Share

9

Penulis: Airyline
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-31 03:30:05

Langit yang berubah merah membuat seluruh dunia di balik cermin menjadi semakin mencekam. Gemuruh yang berasal dari Pohon Leluhur terus menggema, menciptakan getaran yang terasa hingga ke tanah di bawah kaki Lila. Ia terus berlari, meskipun napasnya semakin berat, memeluk Arga erat-erat.

“Bima… di mana kau?” bisiknya, putus asa.

Bayangan wanita yang mengejarnya tak kunjung hilang. Suaranya terus memanggil dengan nada yang penuh kebencian dan kemarahan.

“Lila! Kau tidak bisa lari dariku. Anak itu adalah milik kami!”

Lila terhenti di sebuah persimpangan yang dikelilingi oleh dinding akar. Tidak ada jalan keluar yang jelas. Ia merasa terkepung.

“Tidak,” gumamnya. “Aku tidak akan membiarkanmu mengambil Arga.”

Tiba-tiba, dinding akar di depannya terbuka, memperlihatkan sebuah lorong gelap yang penuh dengan suara gemuruh dari pohon besar di kejauhan. Tanpa pilihan lain, Lila memutuskan untuk masuk, b
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Tumbal Purnama    10

    Lila tersentak ketika tubuhnya melayang, ditarik oleh kekuatan besar yang berasal dari Pohon Leluhur. Akar-akar pohon menggeliat di sekelilingnya, menciptakan lorong yang gelap dan menyeramkan. Arga di pelukannya terus bersinar terang, tetapi tangisnya semakin pelan, seolah-olah kekuatannya terkuras. “Arga, bertahanlah, Sayang. Ibu akan melindungimu,” bisik Lila dengan suara bergetar. Ia terhenti di sebuah ruangan besar di dalam Pohon Leluhur, sebuah tempat yang terasa seperti jantung dari kegelapan itu sendiri. Di tengah ruangan, sebuah bola energi merah menyala menggantung, memancarkan hawa panas yang membuat kulitnya terasa terbakar. Lila memandang sekeliling, mencari jalan keluar. Namun, ruangan itu dipenuhi dengan wajah-wajah mengerikan yang terperangkap di dinding pohon, menangis dan menjerit. Di luar pohon, Bima berjuang melawan akar-akar yang mencengkeram tubuhnya. Ia meraih batu kunci yang jatuh tidak jauh dari tem

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-31
  • Tumbal Purnama    11

    Ledakan besar itu mengguncang tanah, menghancurkan akar-akar pohon yang sebelumnya melilit Lila dan Arga. Bima berusaha melindungi tubuhnya dari serpihan kayu yang beterbangan. Saat debu mulai mengendap, ia melihat sesosok tubuh kecil terbaring di tanah. “Arga!” teriak Bima sambil berlari ke arah bayi itu. Arga masih bernapas, meskipun tubuhnya lemah dan dipenuhi jejak aura gelap. Lila berdiri dengan tubuh gemetar, mencoba menenangkan Arga yang kembali menangis. Namun, suara kakek buyut mereka kembali menggema, kali ini lebih menyeramkan dari sebelumnya. “Kalian pikir bisa menghancurkan kutukan ini begitu saja? Kalian baru saja membangkitkan inti kekuatan yang selama ini tersembunyi.” Di hadapan mereka, Pohon Leluhur yang sudah retak kini mulai menyatu kembali, tetapi kali ini bentuknya berubah. Akar-akar itu menyusun tubuh besar seperti makhluk humanoid dengan wajah menyerupai kakek buyut mereka, tetapi lebih bengis dan menakutkan.

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-31
  • Tumbal Purnama    12

    Ledakan cahaya itu memudar perlahan, meninggalkan keheningan yang menyesakkan. Bima dan Lila terbangun di tengah kehancuran. Pohon Leluhur kini tidak lagi berdiri megah; hanya akar-akar yang hangus dan retakan tanah yang tersisa. Namun, Arga tidak ada di mana pun. “Arga!” Lila berteriak panik, berlari di antara puing-puing. “Di mana dia? Bima, kita harus menemukannya!” Bima bangkit dengan tubuh yang terasa remuk. Ia memegang tangan Lila, mencoba menenangkan istrinya. “Kita akan menemukannya. Dia masih di sini, aku yakin.” Namun, suara tawa kecil yang menyeramkan menggema dari balik bayangan. Dari kegelapan, sesosok perempuan tua dengan mata merah menyala muncul. Kulitnya keriput, tetapi auranya memancarkan kekuatan yang mengintimidasi. “Kalian pikir ini sudah berakhir?” katanya dengan suara mencemooh. “Anak itu telah membuka pintu yang seharusnya tetap terkunci. Kalian baru saja memulai perjalanan menuju kehancuran yang lebih besar.”

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-31
  • Tumbal Purnama    13

    Lila berdiri di ambang pintu batu hitam itu, menatap ke dalam kegelapan yang tampak seperti tak berbatas. Suara gemuruh samar terdengar dari dalam, seolah-olah ada sesuatu yang hidup di balik sana. Ia memandang ke arah Bima, yang hanya berdiri diam dengan senyuman yang mengandung campuran kehangatan dan kesedihan. “Lila, kau harus melangkah. Ini adalah akhir dari semuanya,” bisik Bima. “Tapi aku tidak bisa meninggalkanmu. Kau adalah segalanya bagiku,” jawab Lila, air mata mengalir deras di wajahnya. “Kau tidak meninggalkanku,” kata Bima dengan lembut. “Kau membebaskanku.” Kata-kata itu menusuk hati Lila. Ia tahu, langkah ini adalah satu-satunya cara untuk menghentikan kutukan yang telah menghancurkan hidup mereka. Dengan tangan gemetar, ia menggenggam medali itu erat-erat, menarik napas panjang, lalu melangkah ke dalam kegelapan. Begitu ia masuk, pintu di

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-31
  • Tumbal Purnama    14

    Lila berdiri di depan makhluk itu, tubuhnya gemetar antara rasa takut dan kelelahan. Makhluk yang menjulang tinggi dengan mata menyala merah itu memancarkan aura yang begitu mengintimidasi, seolah-olah hanya dengan keberadaannya, ia mampu menghancurkan seluruh kehendak Lila. “Jadi, kau adalah pewaris terakhir dari keluarga yang berani mempermainkan kegelapan,” kata makhluk itu dengan suara dalam yang bergema. “Aku tidak datang untuk mempermainkanmu,” kata Lila, suaranya bergetar. “Aku datang untuk mengakhirinya.” Makhluk itu tertawa, suara tawa yang membuat lorong di sekelilingnya bergetar. “Mengakhirinya? Kau tidak tahu apa yang kau katakan. Darah keluargamu telah mengikatku selama berabad-abad. Aku adalah bagian dari kalian. Tidak ada akhir tanpa kehancuran total.” Makhluk itu mengangkat tangannya, dan dari kegelapan di sekitarnya, muncul bayangan-bayangan yang menyerupai orang-orang yang Lila kenal—Arga, Bima, dan ba

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-31
  • Tumbal Purnama    15

    Lila menggenggam buku tua itu erat-erat, membaca kembali peringatan di halaman terakhir. Tempat semuanya bermula… Ia tahu apa yang dimaksud. Hutan di belakang rumah tua keluarganya, tempat kakek buyutnya membuat perjanjian pertama dengan makhluk kegelapan. Itu adalah pusat dari segala keburukan yang menimpa keluarganya. “Jadi, aku harus kembali ke sana,” gumamnya, memandang keluar jendela ke arah garis pepohonan yang tampak begitu pekat dan gelap, seolah-olah bayangan malam tidak pernah meninggalkan tempat itu. Namun, sebuah suara lembut mengganggunya, bergema dari lorong rumah. Itu suara anak kecil yang tertawa—suara Arga. “Arga?” Lila berlari menuju lorong, tetapi ia hanya menemukan keheningan. Tidak ada siapa-siapa di sana, hanya pintu depan rumah yang terbuka perlahan, mengarah ke kegelapan hutan. Dengan langkah mantap, Lila memasuki hutan. Pohon-pohon besar berdiri seperti penjaga yang mengintimidasi, dan suara dedaunan yang bergesekan terdengar seperti bisikan makhluk yang t

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-31
  • Tumbal Purnama    16

    Lila memasuki pintu kecil yang bercahaya, tubuhnya terasa berat dan lemah. Di balik pintu, ia menemukan dirinya berada di sebuah ruang putih yang luas dan sunyi, kontras dengan kegelapan yang baru saja ia tinggalkan. Suasana di sini terasa damai, tetapi ada aura kesedihan yang sulit dijelaskan. Di tengah ruang itu berdiri seorang pria tua dengan wajah yang penuh kebijaksanaan, mengenakan jubah panjang berwarna keemasan. Tatapannya lembut namun tajam, seperti bisa melihat langsung ke dalam jiwa seseorang. “Selamat datang, pewaris terakhir,” katanya. “Aku adalah penjaga keseimbangan. Kau telah berhasil melawan kegelapan, tetapi perjalananmu belum selesai.” Pengungkapan Kebenaran Terakhir Lila mendekat dengan hati-hati. “Aku telah menghancurkan makhluk itu. Bukankah kutukan ini seharusnya berakhir?” Penjaga itu mengangguk perlahan. “Ya, kau telah menghancurkannya. Tetapi akar dari kutukan ini masih tertanam dalam sejarah keluargamu. Untuk benar-benar mengakhirinya, kau harus membuat

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-01
  • Tumbal Purnama    17

    Ruangan terasa seperti medan perang antara kegelapan dan cahaya. Cahaya dari pedang Lila dan liontin Arga semakin bersinar terang, memantulkan kekuatan yang saling melindungi satu sama lain. Sementara itu, makhluk bayangan yang mengerikan meluas, memenuhi setiap sudut ruangan dengan aura mencekam. “Darah keluargamu adalah milikku!” makhluk itu meraung, suaranya menggema seperti petir. “Kalian tidak akan pernah bisa melepaskan diri dari perjanjian leluhur kalian!” Lila melangkah maju, menggenggam pedangnya erat-erat. “Ini adalah akhir untukmu. Kutukan ini tidak akan lagi menghantui keluargaku.” Arga menatap ibunya dengan mata penuh keyakinan, meski tubuhnya yang kecil tampak bergetar. Liontin di tangannya memancarkan kilauan yang semakin terang, seolah-olah merespons cahaya dari pedang Lila. “Ibu, aku tahu kita bisa melakukannya bersama,” bisik Arga, tangannya terangkat tinggi dengan liontin yang bersinar seperti matahari. Lila mengangguk, air mata mengalir di pipinya. “Aku tidak

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-01

Bab terbaru

  • Tumbal Purnama    20

    Ketukan di pintu semakin keras, seperti ada yang memaksa masuk. Lila memeluk Arga erat, sementara Bima berdiri di depan pintu, memegang parang yang ia ambil dari dapur."Siapa di sana?" teriak Bima, suaranya bergetar di antara keberanian dan ketakutan.Tidak ada jawaban, hanya suara ketukan yang terus menggema. Dari balik pintu, samar-samar terdengar suara tangisan anak-anak yang memilukan. Lila mencengkeram bahu Arga lebih kuat, takut kehilangan putranya.“Kita tidak bisa membiarkan mereka masuk,” bisik Lila, matanya penuh ketakutan.Namun, Arga mendekat ke pintu. “Aku harus tahu siapa mereka,” katanya pelan.“Arga, jangan!” cegah Bima, tapi Arga sudah meraih gagang pintu. Dengan hati-hati, ia membukanya sedikit.Di balik pintu, tidak ada siapa-siapa. Tidak ada anak-anak, tidak ada sosok manusia. Tapi udara dingin menyergap, membuat bulu kuduk mereka berdiri. Di depan pintu, terdapat jejak lumpur kecil, seperti langkah kaki anak

  • Tumbal Purnama    19

    Di tengah malam yang sunyi, angin malam menyapu daun-daun pohon beringin tua yang telah lama disegel di pinggir desa. Suara ranting yang bergesekan menciptakan nada menyeramkan, seperti bisikan roh-roh yang terperangkap di dalamnya. Lila berdiri di dekat jendela, menatap bayangan pohon yang samar terlihat dari rumah mereka. Dadanya bergemuruh dengan rasa gelisah yang tak mampu ia jelaskan.“Bima, aku merasa segel itu melemah,” ujar Lila, suaranya bergetar.Bima, yang sedang memeriksa laporan keuangan, menoleh dengan kening berkerut. “Itu hanya perasaanmu. Pohon itu sudah disegel dengan benar. Kita sudah bertahan 17 tahun tanpa masalah.”Namun, sebelum Lila bisa membalas, suara tangisan halus terdengar dari arah jendela. Bima segera berlari ke arah Lila, mengawasi sekeliling. Angin bertiup lebih kencang, dan bayangan pohon beringin itu tampak lebih gelap dari biasanya.Lila mengusap lengannya yang meremang. “Tangisan itu... seperti suara bayi, tapi ada sesuatu yang berbeda.”Tiba-tiba,

  • Tumbal Purnama    18

    Lila membeku di tempatnya. Kehadiran Bima, suaminya yang selama ini dianggap telah menghilang, membuat pikirannya berkecamuk. Bagaimana mungkin dia ada di sini? Apa hubungannya dengan semua ini?Bima berdiri di ambang pintu, wajahnya suram. Tubuhnya penuh luka, seolah-olah dia baru saja melarikan diri dari sebuah pertempuran. “Lila, jangan lakukan itu,” katanya dengan suara tegas. “Aku tahu kau ingin menyelamatkan keluarga ini, tapi mengorbankan dirimu bukanlah jalan yang benar.”“Bima? Apa yang terjadi? Kenapa kau tiba-tiba muncul sekarang?” Lila bertanya, matanya memancarkan campuran kemarahan dan kebingungan.Pria tua itu memandang Bima dengan tatapan tajam. “Kau seharusnya tidak berada di sini. Kehadiranmu mengacaukan keseimbangan.”Bima menatap pria tua itu dengan penuh kebencian. “Keseimbangan apa? Kau tahu betul bahwa ini semua permainan makhluk itu!” Ia menunjuk ke arah makhluk kecil yang berdiri di luar lingkaran pelindung, senyum jahatnya tidak pernah hilang.“Bima, jelaskan

  • Tumbal Purnama    17

    Ruangan terasa seperti medan perang antara kegelapan dan cahaya. Cahaya dari pedang Lila dan liontin Arga semakin bersinar terang, memantulkan kekuatan yang saling melindungi satu sama lain. Sementara itu, makhluk bayangan yang mengerikan meluas, memenuhi setiap sudut ruangan dengan aura mencekam. “Darah keluargamu adalah milikku!” makhluk itu meraung, suaranya menggema seperti petir. “Kalian tidak akan pernah bisa melepaskan diri dari perjanjian leluhur kalian!” Lila melangkah maju, menggenggam pedangnya erat-erat. “Ini adalah akhir untukmu. Kutukan ini tidak akan lagi menghantui keluargaku.” Arga menatap ibunya dengan mata penuh keyakinan, meski tubuhnya yang kecil tampak bergetar. Liontin di tangannya memancarkan kilauan yang semakin terang, seolah-olah merespons cahaya dari pedang Lila. “Ibu, aku tahu kita bisa melakukannya bersama,” bisik Arga, tangannya terangkat tinggi dengan liontin yang bersinar seperti matahari. Lila mengangguk, air mata mengalir di pipinya. “Aku tidak

  • Tumbal Purnama    16

    Lila memasuki pintu kecil yang bercahaya, tubuhnya terasa berat dan lemah. Di balik pintu, ia menemukan dirinya berada di sebuah ruang putih yang luas dan sunyi, kontras dengan kegelapan yang baru saja ia tinggalkan. Suasana di sini terasa damai, tetapi ada aura kesedihan yang sulit dijelaskan. Di tengah ruang itu berdiri seorang pria tua dengan wajah yang penuh kebijaksanaan, mengenakan jubah panjang berwarna keemasan. Tatapannya lembut namun tajam, seperti bisa melihat langsung ke dalam jiwa seseorang. “Selamat datang, pewaris terakhir,” katanya. “Aku adalah penjaga keseimbangan. Kau telah berhasil melawan kegelapan, tetapi perjalananmu belum selesai.” Pengungkapan Kebenaran Terakhir Lila mendekat dengan hati-hati. “Aku telah menghancurkan makhluk itu. Bukankah kutukan ini seharusnya berakhir?” Penjaga itu mengangguk perlahan. “Ya, kau telah menghancurkannya. Tetapi akar dari kutukan ini masih tertanam dalam sejarah keluargamu. Untuk benar-benar mengakhirinya, kau harus membuat

  • Tumbal Purnama    15

    Lila menggenggam buku tua itu erat-erat, membaca kembali peringatan di halaman terakhir. Tempat semuanya bermula… Ia tahu apa yang dimaksud. Hutan di belakang rumah tua keluarganya, tempat kakek buyutnya membuat perjanjian pertama dengan makhluk kegelapan. Itu adalah pusat dari segala keburukan yang menimpa keluarganya. “Jadi, aku harus kembali ke sana,” gumamnya, memandang keluar jendela ke arah garis pepohonan yang tampak begitu pekat dan gelap, seolah-olah bayangan malam tidak pernah meninggalkan tempat itu. Namun, sebuah suara lembut mengganggunya, bergema dari lorong rumah. Itu suara anak kecil yang tertawa—suara Arga. “Arga?” Lila berlari menuju lorong, tetapi ia hanya menemukan keheningan. Tidak ada siapa-siapa di sana, hanya pintu depan rumah yang terbuka perlahan, mengarah ke kegelapan hutan. Dengan langkah mantap, Lila memasuki hutan. Pohon-pohon besar berdiri seperti penjaga yang mengintimidasi, dan suara dedaunan yang bergesekan terdengar seperti bisikan makhluk yang t

  • Tumbal Purnama    14

    Lila berdiri di depan makhluk itu, tubuhnya gemetar antara rasa takut dan kelelahan. Makhluk yang menjulang tinggi dengan mata menyala merah itu memancarkan aura yang begitu mengintimidasi, seolah-olah hanya dengan keberadaannya, ia mampu menghancurkan seluruh kehendak Lila. “Jadi, kau adalah pewaris terakhir dari keluarga yang berani mempermainkan kegelapan,” kata makhluk itu dengan suara dalam yang bergema. “Aku tidak datang untuk mempermainkanmu,” kata Lila, suaranya bergetar. “Aku datang untuk mengakhirinya.” Makhluk itu tertawa, suara tawa yang membuat lorong di sekelilingnya bergetar. “Mengakhirinya? Kau tidak tahu apa yang kau katakan. Darah keluargamu telah mengikatku selama berabad-abad. Aku adalah bagian dari kalian. Tidak ada akhir tanpa kehancuran total.” Makhluk itu mengangkat tangannya, dan dari kegelapan di sekitarnya, muncul bayangan-bayangan yang menyerupai orang-orang yang Lila kenal—Arga, Bima, dan ba

  • Tumbal Purnama    13

    Lila berdiri di ambang pintu batu hitam itu, menatap ke dalam kegelapan yang tampak seperti tak berbatas. Suara gemuruh samar terdengar dari dalam, seolah-olah ada sesuatu yang hidup di balik sana. Ia memandang ke arah Bima, yang hanya berdiri diam dengan senyuman yang mengandung campuran kehangatan dan kesedihan. “Lila, kau harus melangkah. Ini adalah akhir dari semuanya,” bisik Bima. “Tapi aku tidak bisa meninggalkanmu. Kau adalah segalanya bagiku,” jawab Lila, air mata mengalir deras di wajahnya. “Kau tidak meninggalkanku,” kata Bima dengan lembut. “Kau membebaskanku.” Kata-kata itu menusuk hati Lila. Ia tahu, langkah ini adalah satu-satunya cara untuk menghentikan kutukan yang telah menghancurkan hidup mereka. Dengan tangan gemetar, ia menggenggam medali itu erat-erat, menarik napas panjang, lalu melangkah ke dalam kegelapan. Begitu ia masuk, pintu di

  • Tumbal Purnama    12

    Ledakan cahaya itu memudar perlahan, meninggalkan keheningan yang menyesakkan. Bima dan Lila terbangun di tengah kehancuran. Pohon Leluhur kini tidak lagi berdiri megah; hanya akar-akar yang hangus dan retakan tanah yang tersisa. Namun, Arga tidak ada di mana pun. “Arga!” Lila berteriak panik, berlari di antara puing-puing. “Di mana dia? Bima, kita harus menemukannya!” Bima bangkit dengan tubuh yang terasa remuk. Ia memegang tangan Lila, mencoba menenangkan istrinya. “Kita akan menemukannya. Dia masih di sini, aku yakin.” Namun, suara tawa kecil yang menyeramkan menggema dari balik bayangan. Dari kegelapan, sesosok perempuan tua dengan mata merah menyala muncul. Kulitnya keriput, tetapi auranya memancarkan kekuatan yang mengintimidasi. “Kalian pikir ini sudah berakhir?” katanya dengan suara mencemooh. “Anak itu telah membuka pintu yang seharusnya tetap terkunci. Kalian baru saja memulai perjalanan menuju kehancuran yang lebih besar.”

DMCA.com Protection Status