Ruangan terasa seperti medan perang antara kegelapan dan cahaya. Cahaya dari pedang Lila dan liontin Arga semakin bersinar terang, memantulkan kekuatan yang saling melindungi satu sama lain. Sementara itu, makhluk bayangan yang mengerikan meluas, memenuhi setiap sudut ruangan dengan aura mencekam. “Darah keluargamu adalah milikku!” makhluk itu meraung, suaranya menggema seperti petir. “Kalian tidak akan pernah bisa melepaskan diri dari perjanjian leluhur kalian!” Lila melangkah maju, menggenggam pedangnya erat-erat. “Ini adalah akhir untukmu. Kutukan ini tidak akan lagi menghantui keluargaku.” Arga menatap ibunya dengan mata penuh keyakinan, meski tubuhnya yang kecil tampak bergetar. Liontin di tangannya memancarkan kilauan yang semakin terang, seolah-olah merespons cahaya dari pedang Lila. “Ibu, aku tahu kita bisa melakukannya bersama,” bisik Arga, tangannya terangkat tinggi dengan liontin yang bersinar seperti matahari. Lila mengangguk, air mata mengalir di pipinya. “Aku tidak
Lila membeku di tempatnya. Kehadiran Bima, suaminya yang selama ini dianggap telah menghilang, membuat pikirannya berkecamuk. Bagaimana mungkin dia ada di sini? Apa hubungannya dengan semua ini?Bima berdiri di ambang pintu, wajahnya suram. Tubuhnya penuh luka, seolah-olah dia baru saja melarikan diri dari sebuah pertempuran. “Lila, jangan lakukan itu,” katanya dengan suara tegas. “Aku tahu kau ingin menyelamatkan keluarga ini, tapi mengorbankan dirimu bukanlah jalan yang benar.”“Bima? Apa yang terjadi? Kenapa kau tiba-tiba muncul sekarang?” Lila bertanya, matanya memancarkan campuran kemarahan dan kebingungan.Pria tua itu memandang Bima dengan tatapan tajam. “Kau seharusnya tidak berada di sini. Kehadiranmu mengacaukan keseimbangan.”Bima menatap pria tua itu dengan penuh kebencian. “Keseimbangan apa? Kau tahu betul bahwa ini semua permainan makhluk itu!” Ia menunjuk ke arah makhluk kecil yang berdiri di luar lingkaran pelindung, senyum jahatnya tidak pernah hilang.“Bima, jelaskan
Di tengah malam yang sunyi, angin malam menyapu daun-daun pohon beringin tua yang telah lama disegel di pinggir desa. Suara ranting yang bergesekan menciptakan nada menyeramkan, seperti bisikan roh-roh yang terperangkap di dalamnya. Lila berdiri di dekat jendela, menatap bayangan pohon yang samar terlihat dari rumah mereka. Dadanya bergemuruh dengan rasa gelisah yang tak mampu ia jelaskan.“Bima, aku merasa segel itu melemah,” ujar Lila, suaranya bergetar.Bima, yang sedang memeriksa laporan keuangan, menoleh dengan kening berkerut. “Itu hanya perasaanmu. Pohon itu sudah disegel dengan benar. Kita sudah bertahan 17 tahun tanpa masalah.”Namun, sebelum Lila bisa membalas, suara tangisan halus terdengar dari arah jendela. Bima segera berlari ke arah Lila, mengawasi sekeliling. Angin bertiup lebih kencang, dan bayangan pohon beringin itu tampak lebih gelap dari biasanya.Lila mengusap lengannya yang meremang. “Tangisan itu... seperti suara bayi, tapi ada sesuatu yang berbeda.”Tiba-tiba,
Ketukan di pintu semakin keras, seperti ada yang memaksa masuk. Lila memeluk Arga erat, sementara Bima berdiri di depan pintu, memegang parang yang ia ambil dari dapur."Siapa di sana?" teriak Bima, suaranya bergetar di antara keberanian dan ketakutan.Tidak ada jawaban, hanya suara ketukan yang terus menggema. Dari balik pintu, samar-samar terdengar suara tangisan anak-anak yang memilukan. Lila mencengkeram bahu Arga lebih kuat, takut kehilangan putranya.“Kita tidak bisa membiarkan mereka masuk,” bisik Lila, matanya penuh ketakutan.Namun, Arga mendekat ke pintu. “Aku harus tahu siapa mereka,” katanya pelan.“Arga, jangan!” cegah Bima, tapi Arga sudah meraih gagang pintu. Dengan hati-hati, ia membukanya sedikit.Di balik pintu, tidak ada siapa-siapa. Tidak ada anak-anak, tidak ada sosok manusia. Tapi udara dingin menyergap, membuat bulu kuduk mereka berdiri. Di depan pintu, terdapat jejak lumpur kecil, seperti langkah kaki anak
Bab 1 Malam itu, bulan purnama menggantung di langit, terlalu besar dan terlalu terang. Cahayanya memantul pada jendela-jendela rumah keluarga Wiratmaja, menembus tirai, seakan mencari sesuatu. Angin dingin membawa aroma anyir yang menyengat, bercampur dengan bau kayu tua dari rumah yang sudah berdiri selama tiga generasi. Lila terbangun dengan dada yang terasa sesak. Dadanya naik-turun, napasnya terputus-putus. Ia baru saja bermimpi buruk, tapi detailnya menghilang begitu cepat, meninggalkan rasa takut yang membekas di tubuhnya. Perlahan, ia menoleh ke ranjang kecil di sampingnya. "Arga?" bisiknya dengan suara parau. Ranjang bayi itu kosong. Selimut yang biasanya membungkus tubuh kecil anaknya terjatuh ke lantai, basah oleh cairan berwarna gelap yang menetes perlahan. Aroma anyir kembali menusuk hidungnya, membuat perutnya mual. Sebelum ia sempat berteriak, suara itu datang. Tangisan bayi, pelan dan parau, seperti berasal dari tenggorokan yang hampir robek. Tangisan itu tidak da
Bab 2 Langkah kaki mereka berpacu di jalan setapak yang gelap, diterangi hanya oleh sinar merah bulan purnama. Di belakang mereka, suara langkah-langkah berat terus mengikuti, disertai jeritan bayi yang melengking menusuk telinga. Suara itu tidak berkurang, meski mereka sudah jauh meninggalkan rumah Pak Surya. “Bima, mereka semakin dekat!” Lila hampir tersandung, napasnya tersengal-sengal. “Terus lari! Jangan lihat ke belakang!” Bima menggenggam tangan Lila erat, memaksanya untuk tetap bergerak. Tapi ia sendiri mulai merasakan dingin yang tidak wajar menjalar ke tulang-tulangnya. Di tengah jalan, angin berembus kencang, membawa bisikan lirih yang semakin jelas: “Janji... tak bisa dilanggar... darah harus dibayar...” Mereka akhirnya tiba di tepi desa, di sebuah persimpangan yang bercabang ke hutan lebat. Lila terhenti, menatap jalan setapak yang kini hanya berupa bayangan hitam pekat di antara pepohonan tinggi. “Kita harus ke mana?” tanyanya panik. Bima mengeluarkan kertas tua
Bab 3Lila dan Bima berdiri di tengah lingkaran akar, dikelilingi bayangan-bayangan yang bergerak seperti makhluk hidup. Sosok pria berjubah hitam, saksi pertama perjanjian kutukan, berdiri diam di bawah pohon leluhur. Tubuh Arga melayang perlahan di udara, terkurung dalam lingkaran merah menyala.“Keputusanmu akan mengubah segalanya,” kata pria berjubah itu, suaranya menggema seperti ribuan orang berbicara sekaligus. “Keluarga kalian telah melanggar perjanjian. Kini, darah harus dibayar.”Lila menatap Bima, air matanya jatuh tanpa henti. “Bima, ini tidak adil. Kenapa kita harus memilih? Arga tidak bersalah. Kita juga tidak meminta semua ini.”“Karena ini harga yang harus dibayar,” balas pria itu dingin. “Jika kalian ingin memutus rantai kutukan ini, salah satu dari kalian harus menyerahkan jiwa. Tapi jika kalian ingin menyelamatkan diri masing-masing, tinggalkan anak itu. Ia akan menjadi milik kami.”Suasana semakin mencekam. Akar-akar pohon bergerak liar di sekeliling mereka, mencip
Bab 4Pagi itu, Lila bangun dengan tubuh yang terasa berat, seolah-olah semalam ia telah menempuh perjalanan panjang yang tidak nyata. Cahaya matahari pagi masuk melalui celah-celah tirai, tetapi tidak mampu mengusir dingin yang merayap di dalam rumah. Di sebelahnya, Arga tidur dengan tenang, wajahnya polos seperti bayi biasa. Namun, Lila tahu ada sesuatu yang salah.Ingatan tentang malam sebelumnya menghantui pikirannya. Suara bisikan, tawa, dan kata-kata yang keluar dari mulut Arga yang seharusnya tidak mungkin ia ucapkan. Lila mencoba meyakinkan dirinya bahwa semua itu hanyalah mimpi buruk akibat kelelahan. Namun, dalam hati kecilnya, ia tahu itu adalah kenyataan.Bima masuk ke kamar membawa secangkir teh hangat. Wajahnya pucat, matanya menunjukkan kurang tidur. "Aku tidak bisa tidur semalaman," katanya sambil menyerahkan cangkir itu kepada Lila. "Aku merasa ada yang mengawasi kita."Lila menggenggam cangkir itu dengan tangan gemetar. "Bima, aku rasa kita harus mencari tahu lebih b
Ketukan di pintu semakin keras, seperti ada yang memaksa masuk. Lila memeluk Arga erat, sementara Bima berdiri di depan pintu, memegang parang yang ia ambil dari dapur."Siapa di sana?" teriak Bima, suaranya bergetar di antara keberanian dan ketakutan.Tidak ada jawaban, hanya suara ketukan yang terus menggema. Dari balik pintu, samar-samar terdengar suara tangisan anak-anak yang memilukan. Lila mencengkeram bahu Arga lebih kuat, takut kehilangan putranya.“Kita tidak bisa membiarkan mereka masuk,” bisik Lila, matanya penuh ketakutan.Namun, Arga mendekat ke pintu. “Aku harus tahu siapa mereka,” katanya pelan.“Arga, jangan!” cegah Bima, tapi Arga sudah meraih gagang pintu. Dengan hati-hati, ia membukanya sedikit.Di balik pintu, tidak ada siapa-siapa. Tidak ada anak-anak, tidak ada sosok manusia. Tapi udara dingin menyergap, membuat bulu kuduk mereka berdiri. Di depan pintu, terdapat jejak lumpur kecil, seperti langkah kaki anak
Di tengah malam yang sunyi, angin malam menyapu daun-daun pohon beringin tua yang telah lama disegel di pinggir desa. Suara ranting yang bergesekan menciptakan nada menyeramkan, seperti bisikan roh-roh yang terperangkap di dalamnya. Lila berdiri di dekat jendela, menatap bayangan pohon yang samar terlihat dari rumah mereka. Dadanya bergemuruh dengan rasa gelisah yang tak mampu ia jelaskan.“Bima, aku merasa segel itu melemah,” ujar Lila, suaranya bergetar.Bima, yang sedang memeriksa laporan keuangan, menoleh dengan kening berkerut. “Itu hanya perasaanmu. Pohon itu sudah disegel dengan benar. Kita sudah bertahan 17 tahun tanpa masalah.”Namun, sebelum Lila bisa membalas, suara tangisan halus terdengar dari arah jendela. Bima segera berlari ke arah Lila, mengawasi sekeliling. Angin bertiup lebih kencang, dan bayangan pohon beringin itu tampak lebih gelap dari biasanya.Lila mengusap lengannya yang meremang. “Tangisan itu... seperti suara bayi, tapi ada sesuatu yang berbeda.”Tiba-tiba,
Lila membeku di tempatnya. Kehadiran Bima, suaminya yang selama ini dianggap telah menghilang, membuat pikirannya berkecamuk. Bagaimana mungkin dia ada di sini? Apa hubungannya dengan semua ini?Bima berdiri di ambang pintu, wajahnya suram. Tubuhnya penuh luka, seolah-olah dia baru saja melarikan diri dari sebuah pertempuran. “Lila, jangan lakukan itu,” katanya dengan suara tegas. “Aku tahu kau ingin menyelamatkan keluarga ini, tapi mengorbankan dirimu bukanlah jalan yang benar.”“Bima? Apa yang terjadi? Kenapa kau tiba-tiba muncul sekarang?” Lila bertanya, matanya memancarkan campuran kemarahan dan kebingungan.Pria tua itu memandang Bima dengan tatapan tajam. “Kau seharusnya tidak berada di sini. Kehadiranmu mengacaukan keseimbangan.”Bima menatap pria tua itu dengan penuh kebencian. “Keseimbangan apa? Kau tahu betul bahwa ini semua permainan makhluk itu!” Ia menunjuk ke arah makhluk kecil yang berdiri di luar lingkaran pelindung, senyum jahatnya tidak pernah hilang.“Bima, jelaskan
Ruangan terasa seperti medan perang antara kegelapan dan cahaya. Cahaya dari pedang Lila dan liontin Arga semakin bersinar terang, memantulkan kekuatan yang saling melindungi satu sama lain. Sementara itu, makhluk bayangan yang mengerikan meluas, memenuhi setiap sudut ruangan dengan aura mencekam. “Darah keluargamu adalah milikku!” makhluk itu meraung, suaranya menggema seperti petir. “Kalian tidak akan pernah bisa melepaskan diri dari perjanjian leluhur kalian!” Lila melangkah maju, menggenggam pedangnya erat-erat. “Ini adalah akhir untukmu. Kutukan ini tidak akan lagi menghantui keluargaku.” Arga menatap ibunya dengan mata penuh keyakinan, meski tubuhnya yang kecil tampak bergetar. Liontin di tangannya memancarkan kilauan yang semakin terang, seolah-olah merespons cahaya dari pedang Lila. “Ibu, aku tahu kita bisa melakukannya bersama,” bisik Arga, tangannya terangkat tinggi dengan liontin yang bersinar seperti matahari. Lila mengangguk, air mata mengalir di pipinya. “Aku tidak
Lila memasuki pintu kecil yang bercahaya, tubuhnya terasa berat dan lemah. Di balik pintu, ia menemukan dirinya berada di sebuah ruang putih yang luas dan sunyi, kontras dengan kegelapan yang baru saja ia tinggalkan. Suasana di sini terasa damai, tetapi ada aura kesedihan yang sulit dijelaskan. Di tengah ruang itu berdiri seorang pria tua dengan wajah yang penuh kebijaksanaan, mengenakan jubah panjang berwarna keemasan. Tatapannya lembut namun tajam, seperti bisa melihat langsung ke dalam jiwa seseorang. “Selamat datang, pewaris terakhir,” katanya. “Aku adalah penjaga keseimbangan. Kau telah berhasil melawan kegelapan, tetapi perjalananmu belum selesai.” Pengungkapan Kebenaran Terakhir Lila mendekat dengan hati-hati. “Aku telah menghancurkan makhluk itu. Bukankah kutukan ini seharusnya berakhir?” Penjaga itu mengangguk perlahan. “Ya, kau telah menghancurkannya. Tetapi akar dari kutukan ini masih tertanam dalam sejarah keluargamu. Untuk benar-benar mengakhirinya, kau harus membuat
Lila menggenggam buku tua itu erat-erat, membaca kembali peringatan di halaman terakhir. Tempat semuanya bermula… Ia tahu apa yang dimaksud. Hutan di belakang rumah tua keluarganya, tempat kakek buyutnya membuat perjanjian pertama dengan makhluk kegelapan. Itu adalah pusat dari segala keburukan yang menimpa keluarganya. “Jadi, aku harus kembali ke sana,” gumamnya, memandang keluar jendela ke arah garis pepohonan yang tampak begitu pekat dan gelap, seolah-olah bayangan malam tidak pernah meninggalkan tempat itu. Namun, sebuah suara lembut mengganggunya, bergema dari lorong rumah. Itu suara anak kecil yang tertawa—suara Arga. “Arga?” Lila berlari menuju lorong, tetapi ia hanya menemukan keheningan. Tidak ada siapa-siapa di sana, hanya pintu depan rumah yang terbuka perlahan, mengarah ke kegelapan hutan. Dengan langkah mantap, Lila memasuki hutan. Pohon-pohon besar berdiri seperti penjaga yang mengintimidasi, dan suara dedaunan yang bergesekan terdengar seperti bisikan makhluk yang t
Lila berdiri di depan makhluk itu, tubuhnya gemetar antara rasa takut dan kelelahan. Makhluk yang menjulang tinggi dengan mata menyala merah itu memancarkan aura yang begitu mengintimidasi, seolah-olah hanya dengan keberadaannya, ia mampu menghancurkan seluruh kehendak Lila. “Jadi, kau adalah pewaris terakhir dari keluarga yang berani mempermainkan kegelapan,” kata makhluk itu dengan suara dalam yang bergema. “Aku tidak datang untuk mempermainkanmu,” kata Lila, suaranya bergetar. “Aku datang untuk mengakhirinya.” Makhluk itu tertawa, suara tawa yang membuat lorong di sekelilingnya bergetar. “Mengakhirinya? Kau tidak tahu apa yang kau katakan. Darah keluargamu telah mengikatku selama berabad-abad. Aku adalah bagian dari kalian. Tidak ada akhir tanpa kehancuran total.” Makhluk itu mengangkat tangannya, dan dari kegelapan di sekitarnya, muncul bayangan-bayangan yang menyerupai orang-orang yang Lila kenal—Arga, Bima, dan ba
Lila berdiri di ambang pintu batu hitam itu, menatap ke dalam kegelapan yang tampak seperti tak berbatas. Suara gemuruh samar terdengar dari dalam, seolah-olah ada sesuatu yang hidup di balik sana. Ia memandang ke arah Bima, yang hanya berdiri diam dengan senyuman yang mengandung campuran kehangatan dan kesedihan. “Lila, kau harus melangkah. Ini adalah akhir dari semuanya,” bisik Bima. “Tapi aku tidak bisa meninggalkanmu. Kau adalah segalanya bagiku,” jawab Lila, air mata mengalir deras di wajahnya. “Kau tidak meninggalkanku,” kata Bima dengan lembut. “Kau membebaskanku.” Kata-kata itu menusuk hati Lila. Ia tahu, langkah ini adalah satu-satunya cara untuk menghentikan kutukan yang telah menghancurkan hidup mereka. Dengan tangan gemetar, ia menggenggam medali itu erat-erat, menarik napas panjang, lalu melangkah ke dalam kegelapan. Begitu ia masuk, pintu di
Ledakan cahaya itu memudar perlahan, meninggalkan keheningan yang menyesakkan. Bima dan Lila terbangun di tengah kehancuran. Pohon Leluhur kini tidak lagi berdiri megah; hanya akar-akar yang hangus dan retakan tanah yang tersisa. Namun, Arga tidak ada di mana pun. “Arga!” Lila berteriak panik, berlari di antara puing-puing. “Di mana dia? Bima, kita harus menemukannya!” Bima bangkit dengan tubuh yang terasa remuk. Ia memegang tangan Lila, mencoba menenangkan istrinya. “Kita akan menemukannya. Dia masih di sini, aku yakin.” Namun, suara tawa kecil yang menyeramkan menggema dari balik bayangan. Dari kegelapan, sesosok perempuan tua dengan mata merah menyala muncul. Kulitnya keriput, tetapi auranya memancarkan kekuatan yang mengintimidasi. “Kalian pikir ini sudah berakhir?” katanya dengan suara mencemooh. “Anak itu telah membuka pintu yang seharusnya tetap terkunci. Kalian baru saja memulai perjalanan menuju kehancuran yang lebih besar.”