Share

Tumbal Purnama
Tumbal Purnama
Penulis: Airyline

1

Penulis: Airyline
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-28 12:53:00

Bab 1

Malam itu, bulan purnama menggantung di langit, terlalu besar dan terlalu terang. Cahayanya memantul pada jendela-jendela rumah keluarga Wiratmaja, menembus tirai, seakan mencari sesuatu. Angin dingin membawa aroma anyir yang menyengat, bercampur dengan bau kayu tua dari rumah yang sudah berdiri selama tiga generasi.

Lila terbangun dengan dada yang terasa sesak. Dadanya naik-turun, napasnya terputus-putus. Ia baru saja bermimpi buruk, tapi detailnya menghilang begitu cepat, meninggalkan rasa takut yang membekas di tubuhnya. Perlahan, ia menoleh ke ranjang kecil di sampingnya.

"Arga?" bisiknya dengan suara parau.

Ranjang bayi itu kosong. Selimut yang biasanya membungkus tubuh kecil anaknya terjatuh ke lantai, basah oleh cairan berwarna gelap yang menetes perlahan. Aroma anyir kembali menusuk hidungnya, membuat perutnya mual.

Sebelum ia sempat berteriak, suara itu datang. Tangisan bayi, pelan dan parau, seperti berasal dari tenggorokan yang hampir robek. Tangisan itu tidak datang dari kamar, tapi dari bawah, dari arah gudang tua di belakang rumah.

“Bima!” Lila mengguncang suaminya, yang terbangun dengan mata setengah tertutup. “Arga... dia hilang. Aku mendengar sesuatu.”

Bima terdiam sejenak, tubuhnya kaku. Ia mendengar tangisan itu juga. Suara yang menggema lembut, namun penuh kepedihan, memanggil-manggil.

“Gudang...” gumam Bima, hampir tidak terdengar.

Gudang tua itu sudah bertahun-tahun tak tersentuh, terkunci sejak kakek mereka meninggal. Tapi malam ini, pintunya tampak terbuka sedikit, seperti sedang menunggu mereka masuk.

Lila menggenggam lengan Bima erat, mencoba menguatkan diri. Mereka berjalan menuju pintu belakang, setiap langkah terasa berat, seperti ada sesuatu yang menahan tubuh mereka. Suara tangisan itu semakin jelas, bercampur dengan bisikan-bisikan lirih yang menyayat telinga.

“Dia milik kami... janji harus ditepati...”

Lila berhenti di depan pintu gudang. Suaranya bergetar saat ia berbisik, “Bima, kita jangan masuk. Ada yang salah...”

Namun, sebelum mereka sempat berbalik, pintu gudang berderit terbuka sendiri. Angin dingin menyapu wajah mereka, membawa serta aroma tanah basah dan darah. Di dalam, bayangan-bayangan bergerak liar di sudut gelap, menciptakan bentuk-bentuk yang tak bisa didefinisikan.

Dan di tengah gudang itu, ada sosok kecil. Arga duduk di lantai, tubuhnya terbungkus cahaya bulan yang menyorot dari lubang di atap. Tapi ada yang salah. Tangannya yang mungil terulur ke arah mereka, sementara di belakangnya, bayangan hitam besar berdiri, tak bergerak, tak bernapas, hanya menatap mereka dengan mata kosong yang bersinar merah.

“Tumbal,” suara itu menggema, tak berasal dari mulut siapapun. “Kau tak bisa lari.”

Lila duduk di lantai, tubuhnya menggigil memeluk selimut basah yang masih meneteskan darah. Bima mondar-mandir di ruang tamu, mencoba berpikir jernih meski pikirannya terus dihantui suara-suara dari gudang.

“Kita harus melakukan sesuatu,” kata Lila dengan suara gemetar. “Kita tidak bisa membiarkan ini terus terjadi. Arga... Arga masih di sana.”

“Tapi bagaimana? Apa yang kita hadapi ini bukan... manusia,” jawab Bima, frustrasi. “Apa kau dengar suara itu? Mereka tahu segalanya tentang kita, Lila. Mereka tahu kelemahan kita.”

Lila terdiam, pikirannya melayang pada cerita-cerita aneh yang pernah ia dengar dari para tetua desa. Tentang keluarga Wiratmaja yang, meski selalu kaya raya, membawa kematian bagi keturunannya. Tentang suara-suara di malam purnama dan bayi-bayi yang hilang tanpa jejak. Ia selalu menganggap itu hanya legenda, sampai sekarang.

“Ada seseorang,” kata Lila akhirnya. “Pak Surya. Dia yang pernah menceritakan hal ini padaku dulu. Dia bilang kutukan ini nyata.”

Pak Surya adalah tetua desa yang tinggal di ujung kampung, dikenal sebagai penjaga rahasia keluarga-keluarga lama. Bima awalnya enggan, tapi akhirnya menyerah pada desakan Lila.

Rumah Pak Surya

Di dalam rumah Pak Surya, bayangan dari lampu minyak menari-nari di dinding, menciptakan bentuk-bentuk aneh yang seakan bergerak sendiri. Udara di ruangan itu terasa berat, hampir sulit untuk bernapas. Lila memegang erat selimut berdarah yang ia bawa, tangannya gemetar tak terkendali.

Pintu terbuka sedikit, memperlihatkan wajah Pak Surya yang terlihat lebih tua dari usianya. Mata tuanya langsung menatap selimut di tangan Lila. “Kalian sudah terlambat,” katanya datar.

“Tolong, Pak,” kata Lila memohon. “Kami harus menyelamatkan anak kami. Kami harus tahu cara menghentikan ini.”

Pak Surya menghela napas panjang sebelum mempersilakan mereka masuk. Di dalam, ruangan itu dipenuhi aroma dupa yang menyengat. Di meja kayu, ada sebuah kitab tua dengan halaman yang terlihat rapuh.

“Ini bukan hal baru,” kata Pak Surya, tangannya menunjuk kitab itu. “Kakek buyut kalian, Wiratmaja, membuat perjanjian dengan sesuatu yang seharusnya tidak disentuh manusia. Kekayaan dan kejayaan yang kalian nikmati datang dengan harga yang harus dibayar setiap purnama sempurna.”

“Kenapa bayi?” Lila hampir tidak bisa mengendalikan emosinya. “Kenapa mereka mengambil yang tak berdosa?”

“Karena darah bayi adalah yang paling murni,” jawab Pak Surya tanpa ragu. “Semakin tua tumbal, semakin lemah kekuatannya. Dan jika kalian menolak... mereka akan datang untuk seluruh keluarga kalian.”

Bima mengepalkan tangannya. “Pasti ada cara untuk menghentikannya. Ritual atau apa pun itu.”

Pak Surya terdiam lama sebelum akhirnya berbicara. “Ada. Tapi harganya mungkin lebih besar dari yang kalian bayangkan.”

“Kalian tidak mengerti,” suara Pak Surya serak, nyaris seperti bisikan. “Kutukan ini tidak hanya menuntut darah. Ia menciptakan ikatan. Semakin dekat kalian dengan kebenaran, semakin dalam ia mencengkeram kalian.”

Sebelum Bima bisa bertanya lebih jauh, pintu di belakang mereka berderit pelan, seperti ada seseorang yang mendorongnya. Lila menoleh cepat, tapi tidak ada apa-apa. Hanya kegelapan di luar, gelap yang terasa lebih pekat daripada biasanya.

“Pak Surya, apa itu?” Bima bertanya dengan suara rendah, tubuhnya tegang.

Pak Surya menatap pintu itu dengan ekspresi muram. “Mereka tahu kalian di sini. Semakin lama kita berbicara, semakin dekat mereka.”

Suara langkah terdengar dari luar, perlahan, seperti seseorang berjalan di atas tanah berbatu. Langkah itu semakin mendekat, diiringi suara napas berat, seperti makhluk yang kehabisan udara.

“Kita harus pergi,” bisik Lila, hampir menangis.

“Belum,” Pak Surya berkata tegas. Ia membuka kitab tua di atas meja, jarinya menunjuk sebuah halaman yang penuh simbol aneh dan gambar yang menyerupai bayangan-bayangan di gudang. “Ini adalah satu-satunya cara. Kalian harus mencari tempat di mana perjanjian pertama dibuat. Kakek buyut kalian meninggalkan tanda, sebuah lingkaran yang terbuat dari darah. Di sana, kalian bisa memutuskan kutukan ini.”

Sebelum ia sempat menjelaskan lebih jauh, lampu minyak tiba-tiba padam. Ruangan itu tenggelam dalam kegelapan total, hanya diterangi sedikit oleh cahaya bulan dari celah-celah jendela.

Lila mencengkeram lengan Bima. “Apa yang terjadi?!”

Kemudian, suara itu datang. Tangisan bayi, tapi kali ini lebih menyerupai jeritan. Jeritan itu bergema di seluruh ruangan, seakan datang dari setiap sudut.

“Dia milik kami...” suara dalam itu menggema, penuh kebencian.

Lila berteriak saat melihat sesuatu di sudut ruangan, bayangan besar, sama seperti yang ia lihat di gudang, kini berdiri diam, menatap mereka dengan mata merah menyala. Bayangan itu tak bergerak, tapi kehadirannya begitu kuat hingga udara di sekelilingnya terasa membeku.

Pak Surya dengan cepat mencabut pisau kecil dari balik jubahnya, menggoreskan garis di telapak tangannya. Darah segar menetes ke lantai kayu. “Kalian harus pergi sekarang! Lingkaran ini akan menahan mereka sementara waktu.”

“Bagaimana dengan Anda?” tanya Bima panik.

“Jangan pikirkan aku. Kalau kalian ingin menyelamatkan anak kalian, temukan lingkaran darah itu sebelum purnama berikutnya.”

Bayangan itu mulai bergerak, mendekat perlahan. Dengan langkah berat, Lila dan Bima lari keluar dari rumah, tapi suara jeritan terus mengikuti mereka. Di luar, bulan purnama terlihat lebih besar, memancarkan cahaya merah seperti darah. Di kejauhan, mereka mendengar suara langkah yang mengikuti bukan satu, tapi banyak, seperti seluruh desa mengejar mereka.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
HRR. Ocean
awal yg bagus,,, semangat ya thor......
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Tumbal Purnama    2

    Bab 2 Langkah kaki mereka berpacu di jalan setapak yang gelap, diterangi hanya oleh sinar merah bulan purnama. Di belakang mereka, suara langkah-langkah berat terus mengikuti, disertai jeritan bayi yang melengking menusuk telinga. Suara itu tidak berkurang, meski mereka sudah jauh meninggalkan rumah Pak Surya. “Bima, mereka semakin dekat!” Lila hampir tersandung, napasnya tersengal-sengal. “Terus lari! Jangan lihat ke belakang!” Bima menggenggam tangan Lila erat, memaksanya untuk tetap bergerak. Tapi ia sendiri mulai merasakan dingin yang tidak wajar menjalar ke tulang-tulangnya. Di tengah jalan, angin berembus kencang, membawa bisikan lirih yang semakin jelas: “Janji... tak bisa dilanggar... darah harus dibayar...” Mereka akhirnya tiba di tepi desa, di sebuah persimpangan yang bercabang ke hutan lebat. Lila terhenti, menatap jalan setapak yang kini hanya berupa bayangan hitam pekat di antara pepohonan tinggi. “Kita harus ke mana?” tanyanya panik. Bima mengeluarkan kertas tua

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-28
  • Tumbal Purnama    3

    Bab 3Lila dan Bima berdiri di tengah lingkaran akar, dikelilingi bayangan-bayangan yang bergerak seperti makhluk hidup. Sosok pria berjubah hitam, saksi pertama perjanjian kutukan, berdiri diam di bawah pohon leluhur. Tubuh Arga melayang perlahan di udara, terkurung dalam lingkaran merah menyala.“Keputusanmu akan mengubah segalanya,” kata pria berjubah itu, suaranya menggema seperti ribuan orang berbicara sekaligus. “Keluarga kalian telah melanggar perjanjian. Kini, darah harus dibayar.”Lila menatap Bima, air matanya jatuh tanpa henti. “Bima, ini tidak adil. Kenapa kita harus memilih? Arga tidak bersalah. Kita juga tidak meminta semua ini.”“Karena ini harga yang harus dibayar,” balas pria itu dingin. “Jika kalian ingin memutus rantai kutukan ini, salah satu dari kalian harus menyerahkan jiwa. Tapi jika kalian ingin menyelamatkan diri masing-masing, tinggalkan anak itu. Ia akan menjadi milik kami.”Suasana semakin mencekam. Akar-akar pohon bergerak liar di sekeliling mereka, mencip

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-28
  • Tumbal Purnama    4

    Bab 4Pagi itu, Lila bangun dengan tubuh yang terasa berat, seolah-olah semalam ia telah menempuh perjalanan panjang yang tidak nyata. Cahaya matahari pagi masuk melalui celah-celah tirai, tetapi tidak mampu mengusir dingin yang merayap di dalam rumah. Di sebelahnya, Arga tidur dengan tenang, wajahnya polos seperti bayi biasa. Namun, Lila tahu ada sesuatu yang salah.Ingatan tentang malam sebelumnya menghantui pikirannya. Suara bisikan, tawa, dan kata-kata yang keluar dari mulut Arga yang seharusnya tidak mungkin ia ucapkan. Lila mencoba meyakinkan dirinya bahwa semua itu hanyalah mimpi buruk akibat kelelahan. Namun, dalam hati kecilnya, ia tahu itu adalah kenyataan.Bima masuk ke kamar membawa secangkir teh hangat. Wajahnya pucat, matanya menunjukkan kurang tidur. "Aku tidak bisa tidur semalaman," katanya sambil menyerahkan cangkir itu kepada Lila. "Aku merasa ada yang mengawasi kita."Lila menggenggam cangkir itu dengan tangan gemetar. "Bima, aku rasa kita harus mencari tahu lebih b

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-28
  • Tumbal Purnama    5

    Bab 5Lila dan Bima berlari keluar dari rumah, meninggalkan Arga dalam pelukan erat Lila. Malam terasa lebih dingin dari biasanya, angin yang berhembus membawa bisikan samar yang terus-menerus mengganggu pikiran mereka. Ketakutan menggerogoti mereka, tetapi rasa cinta dan tanggung jawab untuk melindungi anak mereka lebih besar dari rasa takut itu."Kita harus ke Pohon Leluhur sebelum purnama berikutnya," kata Bima, suaranya tegas meski napasnya tersengal."Tapi apa kita cukup siap?" tanya Lila, menggenggam tangan Bima erat. "Pak Gana bilang kita membutuhkan ritual, dan itu tidak mudah."Bima menghentikan langkahnya sejenak. Ia memandang Lila dalam-dalam, matanya penuh tekad. "Kalau kita menunggu, Arga akan menjadi tumbal berikutnya. Aku tidak akan membiarkan itu terjadi."Kembali ke rumah Bu RatmiNamun, sebelum melangkah lebih jauh, mereka memutuskan untuk memeriksa rumah Bu Ratmi. Jeritan terakhir yang mereka dengar masih terngiang di telinga. Rumah kecil itu kini tampak lebih gelap

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-28
  • Tumbal Purnama    6

    Udara di sekitar Pohon Leluhur semakin berat, seolah-olah mengisap oksigen dari paru-paru mereka. Cahaya hijau dari lubang di dasar pohon berubah menjadi kabut pekat, membentuk lingkaran yang perlahan berputar. Makhluk raksasa itu berdiri diam, menatap mereka dengan senyum penuh arti, seakan menunggu langkah mereka berikutnya. “Pergi ke dalam pohon…” suara misterius dari Arga terulang lagi, lebih tegas kali ini. Lila memeluk anaknya lebih erat. "Bima, apa maksudnya? Bagaimana seorang bayi bisa tahu semua ini?" Bima menatap Arga dengan kebingungan yang sama, tetapi waktu tidak berpihak pada mereka. Pak Gana, yang sebelumnya hanya terpaku ketakutan, akhirnya membuka suara. "Kalian harus melakukannya. Jika suara itu berasal dari anak kalian... mungkin dia adalah kunci untuk menghentikan semua ini." Lila menatap Bima, matanya penuh keraguan. "Bagaimana jika ini jebakan? Bagaimana jika kita justru membawa Arga lebih dekat ke bahaya?" Bima menggenggam tangan Lila dengan erat, meskipun

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-30
  • Tumbal Purnama    7

    Ruangan itu terdiam sesaat setelah suara Arga menggema. Mata hijau menyala anak kecil itu tidak lagi tampak polos, melainkan seperti mata makhluk purba yang tahu segalanya. Sosok besar yang sebelumnya tampak mengancam kini terlihat gentar. “Tidak mungkin…” sosok itu bergumam, suaranya penuh ketakutan. “Jiwa Pohon Leluhur seharusnya terikat pada perjanjian! Bagaimana bisa…” Bima dan Lila hanya bisa terpaku, tidak percaya dengan apa yang mereka lihat. Arga, yang sebelumnya hanyalah seorang bayi tak berdaya, kini memancarkan aura yang membuat akar-akar di sekitarnya berhenti bergerak. “Bima… apa ini? Apa yang terjadi dengan Arga?” bisik Lila, suaranya bergetar. Bima tidak menjawab. Ia hanya menatap anaknya, mencoba memahami situasi aneh yang baru saja terjadi. Tiba-tiba, suara lembut namun penuh wibawa terdengar dari altar di tengah ruangan. Suara itu berbeda dari sosok jahat yang mengancam mereka sebelumnya. “Anak itu adalah titisan kekuatan kami. Dia bukan hanya tumbal; dia adala

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-30
  • Tumbal Purnama    8

    Cermin itu memancarkan cahaya perak yang aneh, seperti undangan sekaligus peringatan. Suara gemuruh yang sebelumnya menggema kini berubah menjadi bisikan-bisikan samar, seakan-akan memanggil mereka masuk. Bima menatap cermin itu, lalu pada Lila yang menggenggam Arga erat-erat. “Kita tidak punya pilihan lain. Ini satu-satunya cara untuk menyelamatkan Arga dan mengakhiri kutukan ini.” Lila mengangguk, meskipun tubuhnya gemetar. “Aku tidak peduli apa yang ada di balik sana. Selama Arga aman, aku akan lakukan apa saja.” Bima mengambil napas dalam, lalu melangkah mendekati cermin. Saat ia menyentuh permukaannya, cermin itu beriak seperti air. Sekejap kemudian, ia tersedot masuk. Lila mengikuti, dengan Arga dalam pelukannya. Saat mereka memasuki cermin, tubuh mereka terasa melayang di tengah kehampaan yang gelap. Tidak ada arah, tidak ada suara, hanya kegelapan yang mencekam. Tapi perlahan, kegelapan itu memudar, digantikan oleh pemandangan yang membuat darah mereka membeku. Mereka ber

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-31
  • Tumbal Purnama    9

    Langit yang berubah merah membuat seluruh dunia di balik cermin menjadi semakin mencekam. Gemuruh yang berasal dari Pohon Leluhur terus menggema, menciptakan getaran yang terasa hingga ke tanah di bawah kaki Lila. Ia terus berlari, meskipun napasnya semakin berat, memeluk Arga erat-erat. “Bima… di mana kau?” bisiknya, putus asa. Bayangan wanita yang mengejarnya tak kunjung hilang. Suaranya terus memanggil dengan nada yang penuh kebencian dan kemarahan. “Lila! Kau tidak bisa lari dariku. Anak itu adalah milik kami!” Lila terhenti di sebuah persimpangan yang dikelilingi oleh dinding akar. Tidak ada jalan keluar yang jelas. Ia merasa terkepung. “Tidak,” gumamnya. “Aku tidak akan membiarkanmu mengambil Arga.” Tiba-tiba, dinding akar di depannya terbuka, memperlihatkan sebuah lorong gelap yang penuh dengan suara gemuruh dari pohon besar di kejauhan. Tanpa pilihan lain, Lila memutuskan untuk masuk, b

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-31

Bab terbaru

  • Tumbal Purnama    20

    Ketukan di pintu semakin keras, seperti ada yang memaksa masuk. Lila memeluk Arga erat, sementara Bima berdiri di depan pintu, memegang parang yang ia ambil dari dapur."Siapa di sana?" teriak Bima, suaranya bergetar di antara keberanian dan ketakutan.Tidak ada jawaban, hanya suara ketukan yang terus menggema. Dari balik pintu, samar-samar terdengar suara tangisan anak-anak yang memilukan. Lila mencengkeram bahu Arga lebih kuat, takut kehilangan putranya.“Kita tidak bisa membiarkan mereka masuk,” bisik Lila, matanya penuh ketakutan.Namun, Arga mendekat ke pintu. “Aku harus tahu siapa mereka,” katanya pelan.“Arga, jangan!” cegah Bima, tapi Arga sudah meraih gagang pintu. Dengan hati-hati, ia membukanya sedikit.Di balik pintu, tidak ada siapa-siapa. Tidak ada anak-anak, tidak ada sosok manusia. Tapi udara dingin menyergap, membuat bulu kuduk mereka berdiri. Di depan pintu, terdapat jejak lumpur kecil, seperti langkah kaki anak

  • Tumbal Purnama    19

    Di tengah malam yang sunyi, angin malam menyapu daun-daun pohon beringin tua yang telah lama disegel di pinggir desa. Suara ranting yang bergesekan menciptakan nada menyeramkan, seperti bisikan roh-roh yang terperangkap di dalamnya. Lila berdiri di dekat jendela, menatap bayangan pohon yang samar terlihat dari rumah mereka. Dadanya bergemuruh dengan rasa gelisah yang tak mampu ia jelaskan.“Bima, aku merasa segel itu melemah,” ujar Lila, suaranya bergetar.Bima, yang sedang memeriksa laporan keuangan, menoleh dengan kening berkerut. “Itu hanya perasaanmu. Pohon itu sudah disegel dengan benar. Kita sudah bertahan 17 tahun tanpa masalah.”Namun, sebelum Lila bisa membalas, suara tangisan halus terdengar dari arah jendela. Bima segera berlari ke arah Lila, mengawasi sekeliling. Angin bertiup lebih kencang, dan bayangan pohon beringin itu tampak lebih gelap dari biasanya.Lila mengusap lengannya yang meremang. “Tangisan itu... seperti suara bayi, tapi ada sesuatu yang berbeda.”Tiba-tiba,

  • Tumbal Purnama    18

    Lila membeku di tempatnya. Kehadiran Bima, suaminya yang selama ini dianggap telah menghilang, membuat pikirannya berkecamuk. Bagaimana mungkin dia ada di sini? Apa hubungannya dengan semua ini?Bima berdiri di ambang pintu, wajahnya suram. Tubuhnya penuh luka, seolah-olah dia baru saja melarikan diri dari sebuah pertempuran. “Lila, jangan lakukan itu,” katanya dengan suara tegas. “Aku tahu kau ingin menyelamatkan keluarga ini, tapi mengorbankan dirimu bukanlah jalan yang benar.”“Bima? Apa yang terjadi? Kenapa kau tiba-tiba muncul sekarang?” Lila bertanya, matanya memancarkan campuran kemarahan dan kebingungan.Pria tua itu memandang Bima dengan tatapan tajam. “Kau seharusnya tidak berada di sini. Kehadiranmu mengacaukan keseimbangan.”Bima menatap pria tua itu dengan penuh kebencian. “Keseimbangan apa? Kau tahu betul bahwa ini semua permainan makhluk itu!” Ia menunjuk ke arah makhluk kecil yang berdiri di luar lingkaran pelindung, senyum jahatnya tidak pernah hilang.“Bima, jelaskan

  • Tumbal Purnama    17

    Ruangan terasa seperti medan perang antara kegelapan dan cahaya. Cahaya dari pedang Lila dan liontin Arga semakin bersinar terang, memantulkan kekuatan yang saling melindungi satu sama lain. Sementara itu, makhluk bayangan yang mengerikan meluas, memenuhi setiap sudut ruangan dengan aura mencekam. “Darah keluargamu adalah milikku!” makhluk itu meraung, suaranya menggema seperti petir. “Kalian tidak akan pernah bisa melepaskan diri dari perjanjian leluhur kalian!” Lila melangkah maju, menggenggam pedangnya erat-erat. “Ini adalah akhir untukmu. Kutukan ini tidak akan lagi menghantui keluargaku.” Arga menatap ibunya dengan mata penuh keyakinan, meski tubuhnya yang kecil tampak bergetar. Liontin di tangannya memancarkan kilauan yang semakin terang, seolah-olah merespons cahaya dari pedang Lila. “Ibu, aku tahu kita bisa melakukannya bersama,” bisik Arga, tangannya terangkat tinggi dengan liontin yang bersinar seperti matahari. Lila mengangguk, air mata mengalir di pipinya. “Aku tidak

  • Tumbal Purnama    16

    Lila memasuki pintu kecil yang bercahaya, tubuhnya terasa berat dan lemah. Di balik pintu, ia menemukan dirinya berada di sebuah ruang putih yang luas dan sunyi, kontras dengan kegelapan yang baru saja ia tinggalkan. Suasana di sini terasa damai, tetapi ada aura kesedihan yang sulit dijelaskan. Di tengah ruang itu berdiri seorang pria tua dengan wajah yang penuh kebijaksanaan, mengenakan jubah panjang berwarna keemasan. Tatapannya lembut namun tajam, seperti bisa melihat langsung ke dalam jiwa seseorang. “Selamat datang, pewaris terakhir,” katanya. “Aku adalah penjaga keseimbangan. Kau telah berhasil melawan kegelapan, tetapi perjalananmu belum selesai.” Pengungkapan Kebenaran Terakhir Lila mendekat dengan hati-hati. “Aku telah menghancurkan makhluk itu. Bukankah kutukan ini seharusnya berakhir?” Penjaga itu mengangguk perlahan. “Ya, kau telah menghancurkannya. Tetapi akar dari kutukan ini masih tertanam dalam sejarah keluargamu. Untuk benar-benar mengakhirinya, kau harus membuat

  • Tumbal Purnama    15

    Lila menggenggam buku tua itu erat-erat, membaca kembali peringatan di halaman terakhir. Tempat semuanya bermula… Ia tahu apa yang dimaksud. Hutan di belakang rumah tua keluarganya, tempat kakek buyutnya membuat perjanjian pertama dengan makhluk kegelapan. Itu adalah pusat dari segala keburukan yang menimpa keluarganya. “Jadi, aku harus kembali ke sana,” gumamnya, memandang keluar jendela ke arah garis pepohonan yang tampak begitu pekat dan gelap, seolah-olah bayangan malam tidak pernah meninggalkan tempat itu. Namun, sebuah suara lembut mengganggunya, bergema dari lorong rumah. Itu suara anak kecil yang tertawa—suara Arga. “Arga?” Lila berlari menuju lorong, tetapi ia hanya menemukan keheningan. Tidak ada siapa-siapa di sana, hanya pintu depan rumah yang terbuka perlahan, mengarah ke kegelapan hutan. Dengan langkah mantap, Lila memasuki hutan. Pohon-pohon besar berdiri seperti penjaga yang mengintimidasi, dan suara dedaunan yang bergesekan terdengar seperti bisikan makhluk yang t

  • Tumbal Purnama    14

    Lila berdiri di depan makhluk itu, tubuhnya gemetar antara rasa takut dan kelelahan. Makhluk yang menjulang tinggi dengan mata menyala merah itu memancarkan aura yang begitu mengintimidasi, seolah-olah hanya dengan keberadaannya, ia mampu menghancurkan seluruh kehendak Lila. “Jadi, kau adalah pewaris terakhir dari keluarga yang berani mempermainkan kegelapan,” kata makhluk itu dengan suara dalam yang bergema. “Aku tidak datang untuk mempermainkanmu,” kata Lila, suaranya bergetar. “Aku datang untuk mengakhirinya.” Makhluk itu tertawa, suara tawa yang membuat lorong di sekelilingnya bergetar. “Mengakhirinya? Kau tidak tahu apa yang kau katakan. Darah keluargamu telah mengikatku selama berabad-abad. Aku adalah bagian dari kalian. Tidak ada akhir tanpa kehancuran total.” Makhluk itu mengangkat tangannya, dan dari kegelapan di sekitarnya, muncul bayangan-bayangan yang menyerupai orang-orang yang Lila kenal—Arga, Bima, dan ba

  • Tumbal Purnama    13

    Lila berdiri di ambang pintu batu hitam itu, menatap ke dalam kegelapan yang tampak seperti tak berbatas. Suara gemuruh samar terdengar dari dalam, seolah-olah ada sesuatu yang hidup di balik sana. Ia memandang ke arah Bima, yang hanya berdiri diam dengan senyuman yang mengandung campuran kehangatan dan kesedihan. “Lila, kau harus melangkah. Ini adalah akhir dari semuanya,” bisik Bima. “Tapi aku tidak bisa meninggalkanmu. Kau adalah segalanya bagiku,” jawab Lila, air mata mengalir deras di wajahnya. “Kau tidak meninggalkanku,” kata Bima dengan lembut. “Kau membebaskanku.” Kata-kata itu menusuk hati Lila. Ia tahu, langkah ini adalah satu-satunya cara untuk menghentikan kutukan yang telah menghancurkan hidup mereka. Dengan tangan gemetar, ia menggenggam medali itu erat-erat, menarik napas panjang, lalu melangkah ke dalam kegelapan. Begitu ia masuk, pintu di

  • Tumbal Purnama    12

    Ledakan cahaya itu memudar perlahan, meninggalkan keheningan yang menyesakkan. Bima dan Lila terbangun di tengah kehancuran. Pohon Leluhur kini tidak lagi berdiri megah; hanya akar-akar yang hangus dan retakan tanah yang tersisa. Namun, Arga tidak ada di mana pun. “Arga!” Lila berteriak panik, berlari di antara puing-puing. “Di mana dia? Bima, kita harus menemukannya!” Bima bangkit dengan tubuh yang terasa remuk. Ia memegang tangan Lila, mencoba menenangkan istrinya. “Kita akan menemukannya. Dia masih di sini, aku yakin.” Namun, suara tawa kecil yang menyeramkan menggema dari balik bayangan. Dari kegelapan, sesosok perempuan tua dengan mata merah menyala muncul. Kulitnya keriput, tetapi auranya memancarkan kekuatan yang mengintimidasi. “Kalian pikir ini sudah berakhir?” katanya dengan suara mencemooh. “Anak itu telah membuka pintu yang seharusnya tetap terkunci. Kalian baru saja memulai perjalanan menuju kehancuran yang lebih besar.”

DMCA.com Protection Status