Marina membuka semua busana Juned dengan cepat. Mereka tenggelam bersama di ranjang hotel yang empuk, menikmati setiap hembusan nafas yang saling berebut di antara bibir.
"Juned," kata Marina tiba-tiba sambil melepaskan ciumannya di bibir pria itu. "Aku punya tawaran untukmu."Juned menatap Marina, terlihat ragu-ragu. "Apa itu, Marina?"Marina menatap pria itu dalam-dalam, senyumnya samar namun tajam. "Aku ingin kamu tinggal di kota ini. Lupakan rumahmu di desa, lupakan semua yang pernah terjadi dengan Anton. Mulailah hidup baru di sini bersamaku."Juned mengernyit, merasa bingung dengan maksud ucapan Marina. "Apa maksudmu? Aku tidak mengerti."Marina menarik napas panjang sebelum melanjutkan. "Jadilah laki-laki simpananku, Juned! Aku akan memberimu kekayaan, kenyamanan, dan keamanan. Semua yang kamu butuhkan. Kamu hanya perlu ada untukku."Ucapan itu membuat Juned terdiam. Dia tidak tahu harus berkata apa. Tawaran Ma“Lastri, maukah kamu menjadi pacarku?” Tiba-tiba Juned berdiri menghadang perjalanan Sulastri dan kedua temannya. “Minggir kamu, dasar pria lemah,” ujar Sulastri dengan kasar kepada Juned. “Kamu itu tidak cocok ya bersanding dengan Lastri.” Celetuk salah satu teman Sulastri yang berdiri di sampingnya. Juned hanya tertunduk lesu sambil menggenggam seikat bunga mawar, mendengarkan cemoohan yang menyakiti hatinya. Juned sangat menyukai Sulastri yang merupakan anak Juragan Pasir di desa itu. Meski berkali kali cinta Juned ditolak. Sulastri membalas cinta Juned dengan cemoohan dan hinaan belaka. “Hei, Juned. Kamu itu harusnya berkaca dulu. Kamu itu siapa? Berani beraninya mendekati Sulastri.” Ujar teman Sulastri yang lain, sambil mendorong Juned. Juned terjengkang ke belakang, disambut tawa yang menggema ketiga gadis itu. “Hahaha, lihat dia teman-teman. Baru didorong begitu aja sudah jatuh.” Ucap Sulastri tertawa lepas. Kaos yang dipakai Juned kotor terkena tanah, dia
Juned berdiri dalam keadaan yang berbeda, setelah berada di ambang antara hidup dan mati akibat memakan Jamur yang hanya tumbuh 1000 tahun sekali. Beberapa luka yang di derita sebelumnya menghilang seketika. “Wah, kok aneh. Lukaku sembuh tak berbekas.” Juned merasa takjub dengan apa yang terjadi pada tubuhnya. Sudah semalaman Juned tidur di dalam hutan, lukanya juga telah sembuh. Juned juga menyadari bahwa ada beberapa perubahan, seperti mentalnya yang kini kembali pulih. Juned bergegas kembali ke rumah, dia takut jika Tante Lilis khawatir karena semalaman dia tak pulang. Ketika dalam perjalanan pulang, Juned melewati sungai yang airnya masih bersih di kampungnya. Juned berniat membasuh mukanya di sana agar terlihat lebih segar. Karena airnya yang bersih, sungai itu sering digunakan warga kampung untuk beraktivitas, mulai dari mandi sampai mencuci baju. Saat berada di tepi sungai dan hendak menciduk air. Juned melepas kaos dan celana jeans milikinya menyisakan celana kolor pe
Juned dan Vivi masih dalam posisi yang sama, kepala Vivi yang bersandar di pundak Juned, sedangkan Juned masih membelai lembut rambut Vivi. Pria itu semakin berani dengan merangkul kan tangannya ke pundak Vivi, merasakan kulitnya yang halus nan lembut. Vivi menumpahkan semua kesedihannya untuk beberapa saat kala itu. Hingga akhirnya dia tersadar dan tubuhnya menjauh dari pelukan Juned. “Maaf, jadi terbawa suasana.” Ujar Vivi dengan lirih, menunjukkan mukanya yang memerah menahan malu. Juned merasa canggung dengan yang baru saja terjadi, “iya enggak apa-apa.” Juned berusaha mengatur nafas dan birahinya yang sudah naik dengan membetulkan posisi duduknya. Sampai akhirnya desakkan yang ada di dalam celananya mulai mengendur. “Kenapa sih, Vi? Kamu masih terus bertahan dengan laki-laki seperti Anton.” Tanya Juned untuk mengalihkan perhatian. “Aku enggak bisa melakukan itu, Jun. Pernikahanku dengan Mas Anton dulu karena kondisi terpaksa.” Jawab Vivi dengan lirih, menundukkan waj
Tanpa pikir panjang, Juned berlari menerobos lingkaran orang-orang yang mengelilingi Tante Lilis. Dia mendorong satu per satu dari mereka, sampai akhirnya berdiri di depan Anton. "Berhenti!" teriak Juned dengan nafas memburu. "Apa yang kalian lakukan?!" Anton tersenyum miring. “Oh, jadi akhirnya kau berani muncul juga, Juned,” katanya dingin. “Bagus. Ada beberapa hal yang harus kita bicarakan.” Sebelum Juned sempat bertanya, Anton mendekatinya dengan wajah penuh kebencian. "Apa yang kau lakukan dengan Vivi di sungai, hah?" suara Anton meninggi. Juned terdiam sejenak, pucat. Bagaimana Anton bisa tahu tentang pertemuannya dengan Vivi?. "Aku tidak melakukan apa-apa!" Juned menjawab dengan tegas. "Aku bertemu dengan Vivi secara kebetulan di sungai, saat aku sedang mencari tanaman herbal. Kami hanya mengobrol sebentar." Anton tidak mempercayainya. "Jangan bohong, Pria Letoy! Kau pasti membuntuti dia! Kau pasti berniat buruk terhadap istri orang!" Anton semakin mendekat, matan
Lilis yang sedari tadi meringkuk ketakutan dengan tubuh gemetar. Sambil menangis dia berkata lirih, “tolong.. berhenti..” Anton dan para Anak buahnya kembali bersiap menghantam Juned beramai-ramai. Namun sebuah teriakkan kencang memekik di telinga setiap orang. “Hentikaaan!! Anton kumohon jangan sakiti dia lagi. Aku akan melakukan apa yang kamu mau. Asal berhenti menyakiti Juned.” Lilis berteriak histeris sambil menangis. Juned terkejut mendengar perkataan itu. “Apa yang kamu bicarakan, Tante? Jangan bicara yang tidak-tidak.” Lilis yang sudah dipenuhi ketakutan justru memarahi Juned. “Diamlah Juned, Aku tak ingin melihatmu dihajar seperti itu.” Sementara Anton langsung mengangkat satu tangannya memberikan isyarat berhenti kepada anak buahnya. Anton mendekati Lilis yang meringkuk, “Kalau seperti ini kan tak perlu ada kekerasan, sayang.” Tangan Anton membelai wajah Lilis hingga ke leher jenjangnya. “Tante, Jangan mau menerima tawaran bajingan itu…” “Cukup Juned, cukup,
Beberapa saat kemudian, Lilis menatap Juned dan berkata, “Vivi cantik ya? Sayang suaminya sangat kasar kepadanya.” Juned tergagap. “Ii.. iya, tante. Aku sebenarnya kasihan sama dia, aku ingin menolongnya keluar dari jerat si Anton.” “Hush.. Sudah jangan bertindak bodoh lagi, jangan coba-coba melawan Anton. Dia itu berbahaya bagi kamu.” Lilis memberi peringatan kepada Anton untuk ke sekian kalinya. Juned merasa kesal, kali ini dia merasa bisa mengalahkan siapa pun. Namun Lilis masih menganggapnya sebagai pria lemah yang butuh perlindungan. Di lain sisi, Juned juga kesal karena Lilis menggagalkan kesempatan emas untuk menyalurkan hasrat bersama Vivi. Namun secara mengejutkan Lilis mengganti baju yang tadi sempat tersobek oleh Anton, “Oh iya, Jun. Kamu suka sama si Vivi?” kata Lilis sambil melepas kaosnya. Melihat gunung kembar Lilis yang begitu kencang dalam bungkusnya, hasrat Juned kembali menanjak. Mata Juned melotot seolah tak percaya, “kenapa kok ganti baju di sini,
Telapak tangan Juned mengeluarkan cahaya. Juned merasakan kekuatan yang besar mengalir dalam tubuhnya. “Permisi, Mbak. Apa kamu mau dipijat?.” Pertanyaan Juned seolah ambigu di kepala Marina. Dia kan hanya ingin berobat, kenapa harus di pijat. Dari sini Marina mulai ragu dengan pengobatan yang dilakukan Juned. “Kenapa kok pijat?” Juned kembali mendekat ke arah Marina, lalu memegang tengkuk leher Marina yang jenjang. “Sepertinya ada darah yang menggumpal di dada kamu.” Kata Juned sambil memijat lembut leher Marina. “Oleh sebab itu, harus dipijat seluruh badan untuk melancarkan peredaran darah.” Marina mengerutkan kening, bola matanya berkeliling mengamati sekitar “Apa benar-benar harus mas?” Dengan santai dan percaya diri Juned berkata, “ kalau tidak mau sembuh, enggak usah.” Marina tersenyum tanpa kegembiraan, “Saya mau sembuh, mas” telapak tangannya mulai berkeringat. Juned menyuruh Marina menanggalkan kemeja beserta celana jeans yang melekat, menggantinya dengan
Celana dalam itu lembut dan halus, dan seperti masih ada aroma dari Lilis yang tertinggal di dalamnya. Merasakan pakaian dalam di tangannya, Mau tak mau Juned membayangkan apa yang tadi dilihatnya. Hal yang membuat Juned semakin antusias dan bersemangat. Juned tak bisa melakukan dengan Lilis, namun dia hanya bisa berfantasi dengan barang milik Lilis saja. Di lepas ikat pinggangnya dan memasukkan celana dalam Lilis ke balik celananya. Tepat ketika Juned hendak memainkan kelima jarinya, tiba-tiba terdengar suara dari arah belakangnya. “Juned.. kamu sudah selesai mengobati pasiennya?” Lilis sudah berdiri di belakang Juned dalam keadaan rambut yang sudah basah. Juned sangat ketakutan hingga rohnya serasa mau keluar. Untuk beberapa saat dia menarik keluar tangannya dan membiarkan celana dalam merah tetap berada di dalam celananya. “Su.. sudah Tante.” Kata Juned dengan suara terbata-bata. “Juned, apa yang sedang kamu lakukan?” tanya Lilis. “eeee, enggak ngapa-ngapain
Marina membuka semua busana Juned dengan cepat. Mereka tenggelam bersama di ranjang hotel yang empuk, menikmati setiap hembusan nafas yang saling berebut di antara bibir."Juned," kata Marina tiba-tiba sambil melepaskan ciumannya di bibir pria itu. "Aku punya tawaran untukmu."Juned menatap Marina, terlihat ragu-ragu. "Apa itu, Marina?"Marina menatap pria itu dalam-dalam, senyumnya samar namun tajam. "Aku ingin kamu tinggal di kota ini. Lupakan rumahmu di desa, lupakan semua yang pernah terjadi dengan Anton. Mulailah hidup baru di sini bersamaku."Juned mengernyit, merasa bingung dengan maksud ucapan Marina. "Apa maksudmu? Aku tidak mengerti."Marina menarik napas panjang sebelum melanjutkan. "Jadilah laki-laki simpananku, Juned! Aku akan memberimu kekayaan, kenyamanan, dan keamanan. Semua yang kamu butuhkan. Kamu hanya perlu ada untukku."Ucapan itu membuat Juned terdiam. Dia tidak tahu harus berkata apa. Tawaran Ma
Pria itu tampak sedikit bingung dengan pertanyaan itu. “Perwakilan dari Anton Perkasa memang sudah tiba pagi ini, lebih awal dari jadwal semula. Dan mereka langsung diterima oleh Ibu Ratna.”Mendengar penjelasan itu, wajah Marina berubah. Sorot matanya menunjukkan sesuatu yang mencurigakan. Sementara Juned, yang berdiri di sampingnya, hanya bisa mengerutkan dahi, tak sepenuhnya memahami situasi.Tepat saat itu, Marina dan Juned melihat Ibu Ratna keluar dari ruangannya, berjalan menuju pintu utama bersama seorang pria muda. Pria itu mengenakan setelan jas hitam yang sempurna, rambutnya tersisir rapi, dengan senyum penuh percaya diri. Sosoknya begitu kharismatik, membuat siapa pun yang melihatnya langsung terkesan.Marina memperhatikan pria itu dengan penuh perhatian. Sesaat kemudian, dia berbisik kepada Juned, “Itu perwakilan dari Anton Perkasa. Tapi... sesuatu tidak beres di sini.”“Apa maksudmu?” tanya Juned bingung.“Seharusny
Mata para wanita—Marina, Lilis, Lastri, Vivi, dan Rini—tertumbuk pada Juned. Mereka terdiam sejenak, lalu hampir serentak menunjukkan ekspresi kagum.“Ya ampun, Juned! Keponakanku Ganteng banget!” ujar Lilis dengan suara riang, tangannya menutup mulut seolah tak percaya dengan apa yang dilihatnya.Vivi mengangguk setuju. “Aku sampai nggak kenal tadi. Serius ini kamu Juned? Kayak model yang mau pergi ke gala dinner aja,” katanya sambil tersenyum lebar.Lastri menambahkan dengan nada menggoda. “Juned, kayaknya kalau ada perempuan yang lihat kamu kayak gini, mereka langsung naksir, deh.”Juned hanya tersenyum canggung, merasa sedikit kikuk dengan perhatian yang begitu besar dari mereka. “Ah, jangan bercanda kalian. Ini cuma karena pakaian yang terlihat bagus,” ucapnya merendah sambil menggaruk belakang kepalanya.Namun Marina, yang duduk di sofa dengan anggun, memberikan komentar yang berbeda. “Lihatlah, ini yang aku maksud. Penamp
Juned hanya bisa duduk terpaku, tidak ingin membuat situasi semakin buruk dengan bertindak kasar. Namun, sebelum Winda melanjutkan aksinya, tubuhnya tiba-tiba melemah, dan ia terjatuh ke samping, pingsan karena mabuk.Juned menghela napas lega, tapi matanya langsung tertuju pada Marina dan Tari yang kini juga tampak setengah sadar, mencoba bernyanyi dengan suara yang sudah tidak jelas. Tidak lama kemudian, satu per satu dari mereka mulai pingsan, termasuk Rini. Suasana yang tadi penuh dengan tawa dan nyanyian kini berubah menjadi hening.Melihat mereka semua terbaring di lantai dan sofa, Juned menyadari bahwa ia tidak bisa membiarkan mereka begitu saja. "Ya Allah, ini benar-benar malam yang melelahkan," gumamnya sambil mengusap wajahnya.Dengan hati-hati, Juned mulai memindahkan mereka satu per satu ke kamar Marina yang besar. Ia mengangkat Winda lebih dulu, lalu kembali ke ruangan karaoke untuk membawa Marina, Tari, dan akhirnya Rini. Setelah memast
Juned tersentak, tapi ia tetap tenang. "Tari, kamu mabuk. Lebih baik kamu duduk di sana dan istirahat.""Aku nggak mabuk," balas Tari sambil terkekeh, meskipun jelas dari gerak-geriknya bahwa ia mulai kehilangan kendali. Ia memiringkan tubuhnya, kini kepalanya bersandar di bahu Juned. "Kamu itu terlalu kaku. Nggak apa-apa, rileks sedikit. Kita ini cuma bersenang-senang."Juned menoleh ke Marina yang duduk di sisi lain ruangan, berharap mendapatkan bantuan. Namun Marina hanya mengangkat gelas anggurnya sambil tersenyum tenang, seolah-olah tidak ingin ikut campur. Winda dan Rini juga tampak terlalu sibuk dengan tawa mereka sendiri."Tari, aku serius," Juned berkata dengan nada lebih tegas, tapi tetap menjaga suaranya rendah agar tidak mengganggu suasana pesta. "Kamu perlu menjaga sikapmu. Aku hanya di sini untuk membantu, bukan untuk hal lain."Namun Tari justru memeluk Juned, membuatnya semakin sulit untuk melepaskan diri tanpa menimbulkan keributan. "Juned, kamu baik sekali. Kamu bahk
Marina memimpin rombongan ke sebuah ruangan yang ada di lantai bawah rumahnya. Begitu pintu ruangan itu dibuka, Juned tertegun. Ruangan itu sangat mewah, penuh dengan lampu neon warna-warni yang berkedip, sofa besar empuk, dan layar besar di dinding yang memutar daftar lagu karaoke. Di sudut ruangan, terdapat meja yang dipenuhi dengan camilan, minuman, dan beberapa botol anggur.Marina melangkah masuk dengan percaya diri, diikuti oleh Winda, Tari, dan Rini. Tari segera mengambil remote kontrol dan mulai menjelajahi daftar lagu. "Tempat ini adalah tempat favoritku di rumah Marina," katanya sambil tertawa. "Aku nggak pernah bosan."Juned, di sisi lain, hanya berdiri di pintu, tampak kebingungan. Dia menggaruk kepala dan mendekati Rini. "Aku nggak bisa nyanyi, Rini. Jadi buat apa aku ada di sini?"Rini menahan senyum. "Sudah, santai saja, Juned. Nggak ada yang maksa kamu nyanyi kalau nggak mau. Nikmati saja suasananya."Namun, Marina yang mendengar percakapan itu langsung menoleh. "Jun
Rini yang sedari tadi hanya duduk di ruangan, akhirnya angkat bicara setelah hanya menjadi pendengar sejauh ini. Dengan nada yang penuh arti, ia menatap Juned sambil tersenyum. “Mas Juned, kamu nggak perlu khawatir soal ini. Tanpa kamu sadari, sebenarnya kamu punya kemampuan alami untuk membuat orang lain tertarik sama kamu.”Juned menoleh ke arah Rini dengan alis yang sedikit terangkat. “Apa maksudmu, Mbak Rini? Aku nggak pernah merasa seperti itu.”Rini tertawa kecil, lalu mendekati Juned. “Apa kamu lupa sudah banyak wanita yang mengagumimu saat ini?”Juned menghela napas, masih merasa skeptis. “Tapi aku gak merasa membuat mereka kagum. Aku hanya melakukan apa yang aku bisa, jika mereka senang aku juga senang.”Marina menyela dengan santai, memanfaatkan momen itu untuk memperkuat keyakinan Juned. “Rini benar. Justru karena kamu nggak terlihat seperti pria korporat yang penuh tipu daya, itu akan menjadi keuntungan besar. Kamu akan terlihat tulus, dan itu yang akan membuat dia terta
Marina mengangguk dengan senyum yang masih tertempel di wajahnya. “Iya, memang. Kami sudah beroperasi cukup lama dan memiliki banyak proyek besar yang berjalan. Itu salah satu alasan kenapa aku bisa menangani Anton tanpa masalah.” Marina menyandarkan tubuhnya lebih dalam ke kursi, sambil menatap Juned dengan tatapan tajam, seolah mengukur seberapa banyak yang sudah dia pelajari tentang Anton.“Aku tidak pernah menyangka bahwa kamu adalah orang yang memiliki perusahaan sebesar itu,” kata Juned dengan terkejut, masih tidak bisa sepenuhnya mempercayai fakta tersebut.Marina tersenyum santai, seolah hal itu bukan sesuatu yang luar biasa. “Bagi banyak orang, itu mungkin mengejutkan. Tapi bagiku, itu adalah hasil dari kerja keras bertahun-tahun. Dan kini, aku harus menghadapi pesaing baru yang bernama Anton. Dia pikir dia bisa menguasai pasar, tapi aku yakin aku punya lebih banyak cara untuk mengalahkannya.”Juned merasa terkesan dengan ketenangan Marina dalam menghadapi situasi seperti ini
Saat sudah berada di ambang pintu ruangan, Marina berbalik arah kembali masuk dengan langkah tenang. Juned dan Rini yang masih saling pandang tak tahu harus berkata apa saat melihat Marina mendekat. Wajahnya terlihat serius kali ini, dan ada secercah ketegasan dalam suaranya."Sebelum kita melangkah lebih jauh, ada beberapa orang yang harus kita pastikan keselamatannya terlebih dahulu," kata Marina sambil duduk kembali. "Aku butuh informasi tentang keberadaan seseorang bernama Novi, Vivi, dan juga Lilis serta Lastri."Juned langsung menjawab tanpa ragu. "Lilis dan Lastri ada di rumahku, aman. Mereka tidak dalam bahaya."Marina mengangguk, lalu memandang ke arah Rini. "Bagaimana dengan Vivi dan anakmu?"Rini terlihat cemas, menggigit bibir bawahnya. "Vivi dan Novi sedang ditahan di rumah Pak Slamet, kepala desa. Dia orang kepercayaan Anton dan sering melakukan apa pun yang Anton perintahkan."Marina mendengar penjelasan itu dengan ekspresi tenang, meskipun kedua matanya tampak menila