Pria itu tampak sedikit bingung dengan pertanyaan itu. “Perwakilan dari Anton Perkasa memang sudah tiba pagi ini, lebih awal dari jadwal semula. Dan mereka langsung diterima oleh Ibu Ratna.”
Mendengar penjelasan itu, wajah Marina berubah. Sorot matanya menunjukkan sesuatu yang mencurigakan. Sementara Juned, yang berdiri di sampingnya, hanya bisa mengerutkan dahi, tak sepenuhnya memahami situasi.Tepat saat itu, Marina dan Juned melihat Ibu Ratna keluar dari ruangannya, berjalan menuju pintu utama bersama seorang pria muda. Pria itu mengenakan setelan jas hitam yang sempurna, rambutnya tersisir rapi, dengan senyum penuh percaya diri. Sosoknya begitu kharismatik, membuat siapa pun yang melihatnya langsung terkesan.Marina memperhatikan pria itu dengan penuh perhatian. Sesaat kemudian, dia berbisik kepada Juned, “Itu perwakilan dari Anton Perkasa. Tapi... sesuatu tidak beres di sini.”“Apa maksudmu?” tanya Juned bingung.“SeharusnyMarina membuka semua busana Juned dengan cepat. Mereka tenggelam bersama di ranjang hotel yang empuk, menikmati setiap hembusan nafas yang saling berebut di antara bibir."Juned," kata Marina tiba-tiba sambil melepaskan ciumannya di bibir pria itu. "Aku punya tawaran untukmu."Juned menatap Marina, terlihat ragu-ragu. "Apa itu, Marina?"Marina menatap pria itu dalam-dalam, senyumnya samar namun tajam. "Aku ingin kamu tinggal di kota ini. Lupakan rumahmu di desa, lupakan semua yang pernah terjadi dengan Anton. Mulailah hidup baru di sini bersamaku."Juned mengernyit, merasa bingung dengan maksud ucapan Marina. "Apa maksudmu? Aku tidak mengerti."Marina menarik napas panjang sebelum melanjutkan. "Jadilah laki-laki simpananku, Juned! Aku akan memberimu kekayaan, kenyamanan, dan keamanan. Semua yang kamu butuhkan. Kamu hanya perlu ada untukku."Ucapan itu membuat Juned terdiam. Dia tidak tahu harus berkata apa. Tawaran Ma
Marina membuka pembicaraan dengan nada tenang tetapi tegas. “Aku sudah memutuskan sesuatu untuk kalian semua. Aku ingin kalian mulai hidup baru tanpa harus takut atau khawatir tentang masa lalu. Untuk itu, aku telah menyediakan rumah untuk kalian masing-masing.”Semua orang yang mendengarnya tampak terkejut. Lilis, yang duduk paling dekat dengan Juned, langsung bertanya, “Rumah? Maksudmu Marina, kita akan tinggal di kota ini?”Marina tersenyum. “Iya. Aku sudah membeli beberapa rumah sederhana di satu kompleks perumahan. Juned, Rini, Lastri, Vivi, dan kamu, Lilis, masing-masing akan mendapatkan satu rumah dariku.”Lilis tampak tidak puas mendengar itu. “Tunggu dulu! Berarti aku tidak akan tinggal bersama keponakanku, Juned. Padahal Kami selalu hidup bersama. Kenapa kamu tak berikan satu saja untukku dan Juned, aku bisa merawatnya seperti biasanya.”Marina menggeleng lembut tetapi tetap tegas. "Aku tahu kamu peduli pada Juned, Lilis. Tapi aku ingin kalian berdua mulai hidup mandiri. J
"Aku sudah memeriksa tempat ini. Lokasinya di pinggir jalan besar, mudah diakses, dan sudah memiliki izin usaha. Aku yakin ini akan cocok untuk klinik pijatmu."Juned menatap foto-foto itu dengan mata berbinar, namun juga ada keraguan yang muncul. "Marina, ini terlihat... sangat bagus. Tapi apakah aku bisa mengelola tempat seperti ini?"Marina menatapnya tajam namun penuh kepercayaan. "Juned, aku tidak memilih tempat ini tanpa alasan. Kamu punya kemampuan, dan aku percaya kamu bisa mengelolanya. Selain itu, aku akan membantumu di awal. Kamu hanya perlu fokus pada apa yang kamu kuasai, yaitu memberikan pelayanan terbaik kepada pelanggan."Juned terdiam, merenungkan kata-kata Marina. Tempat itu terlihat seperti impian, sesuatu yang tidak pernah ia bayangkan bisa ia miliki. "Tapi, Marina, ini pasti sangat mahal. Aku..."Marina mengangkat tangan, menghentikan Juned sebelum ia melanjutkan. "Biarkan itu urusanku. Anggap saja ini adalah bentuk kepercayaanku padamu. Yang perlu kamu lakukan
Saat Juned tiba di ruang makan, Marina sudah menunggunya di sana dengan senyum tenangnya. Di atas meja sudah tersedia berbagai hidangan sarapan lengkap. Namun suasana tampak agak tegang, terutama dengan ekspresi Marina yang sedikit berbeda dari biasanya.“Selamat pagi, Juned. Duduklah,” kata Marina sambil menunjuk kursi di depannya.Juned mengangguk dan duduk, mulai menikmati sarapannya.“Juned, kamu itu selalu kebiasaan tidur di sofa padahal Marina sudah menyiapkan kamar untukmu hehehe.” Celetuk Lastri sambil tertawa cekikan.“Juned selalu seperti itu sejak dulu, Lastri. Asalkan sudah mengantuk, dia bisa tidur walaupun dalam keadaan berdiri.” Sahut Lilis.Ucapan Lilis membuat tawa semua orang menggema di ruangan itu. Kecuali Juned yang hanya bisa menunduk menahan malu.Pagi itu, kehangatan menyelimuti ruang makan di rumah Marina. Lilis, Lastri, Vivi, Rini, dan Novi berkumpul di sekitar meja makan, menikmati sarapan terakhir mereka bersama Juned sebelum berpindah ke rumah baru mas
Setelah Marina pergi, Juned baru saja ingin duduk dan menikmati suasana rumah barunya ketika tiba-tiba terdengar ketukan di pintu. Ia membuka pintu, dan di sana berdiri dua orang wanita dengan senyuman ramah. Salah satu dari mereka menyapa, “Selamat siang, Pak Juned. Kami orang suruhan Bu Marina. Nama saya Siti, dan ini teman saya, Ratih. Kami ditugaskan untuk membantu pekerjaan di rumah ini.”Juned mengernyit sejenak, merasa sedikit bingung. “Membantu pekerjaan? Maksudnya seperti asisten rumah tangga?”Siti mengangguk. “Iya, Pak. Bu Marina bilang Bapak akan membutuhkan bantuan untuk menjaga kebersihan rumah dan mungkin memasak.”Ratih menambahkan, “Kami sudah bekerja lama dengan Bu Marina, jadi Bapak tidak perlu khawatir. Kami di sini untuk memastikan rumah ini tetap nyaman untuk Bapak.”Juned mengangguk, mencoba mencerna semuanya. “Baiklah, kalau begitu silakan masuk. Mari kita bicara di ruang tamu.”Keduanya masuk dengan sopan dan duduk di sofa. Juned pun mulai mengajukan beberapa
Juned akhirnya menyerah. “Baiklah, Marina. Terserah kamu saja.”“Kamu gak usah memikirkan hal berat-berat, Juned. Biar aku yang urus semuanya buat kamu, ya,” balas Marina sebelum menutup telepon.Juned menghela napas panjang dan menyandarkan tubuhnya ke sofa. Ia menatap ke arah dapur, di mana Siti dan Ratih sedang bekerja. Setelah dipikir-pikir, Siti dan Ratih memang lumayan cantik juga. Tapi entah, apakah benar kalau Juned bisa meminta apa saja kepada mereka berdua.Juned memutuskan untuk keluar rumah dan menghirup udara segar. Ia melihat Pak Darma sedang duduk di bangku kecil di dekat pagar, memandangi jalanan yang mulai ramai oleh orang-orang berlalu-lalang.Juned berjalan mendekat dan menyapanya. "Pak Darma, santai di sini ya?"Pak Darma menoleh dan tersenyum. "Iya, Mas Juned. Lagi lihat-lihat suasana. Kota ini memang lebih hidup dibanding tempat-tempat lain."Juned ikut duduk di bangku kecil di sebelah Pak Darma. Mereka berbincang ringan sejenak, hingga akhirnya Juned merasa p
Sebelum Juned sempat menyadari apa yang terjadi, tubuh Ratih yang membawa ember berisi air tiba-tiba tersandung dan menabrak tubuhnya.“Aaah! Maaf, Mas Juned!” Seru Ratih panik, sementara ember di tangannya terlepas hingga menumpahkan air ke tubuh mereka berdua.Juned dan Ratih terjatuh bersama. Tubuh Ratih yang basah kuyup kini menimpa tubuh Juned.Selama beberapa detik yang terasa seperti selamanya, Juned hanya bisa terdiam. Pandangannya terpaku pada wajah Ratih yang begitu dekat dengannya, matanya yang bulat dan penuh rasa bersalah, serta aroma tubuh Ratih yang wangi menyeruak menusuk hidung Juned.Ratih buru-buru berusaha bangkit. "Maaf, Mas Juned! Saya benar-benar nggak sengaja."Namun Juned masih diam di tempat, tanpa sadar tangannya menahan pinggul Ratih agar tak bisa bangkit.Pikiran-pikiran Juned berputar cepat diiringi dengan aroma wangi tubuh Ratih yang memabukkan hingga tanpa dia sadari barangnya mulai berkembang di dalam celananya.Juned bahkan sempat terpikir untuk
Itu adalah sebuah jamur kecil dengan bentuk yang sangat mirip dengan jamur yang pernah ia makan di hutan dulu.Alisa menghapus air matanya perlahan dan menjawab dengan suara lemah. “Saya menemukannya di belakang sekolah, Mas. Ada semak-semak yang jarang orang lewati. Saya nggak sengaja lihat jamur ini tumbuh di sana.”Juned menatap jamur itu dengan perasaan campur aduk. Ia tidak ingin membuat Alisa maupun Pak Darma panik, tapi ia tahu jamur ini mungkin memiliki kekuatan tersembunyi seperti pengalaman aneh yang pernah ia alami.“Alisa, boleh saya minta jamur ini? Saya ingin memeriksanya lebih lanjut,” ujar Juned sambil berusaha terdengar tenang.Alisa tampak ragu sejenak, tetapi akhirnya mengangguk. “Kalau Mas Juned mau, ambil saja. Saya juga nggak tahu itu jamur apa.”Juned menerima jamur itu dan memasukkannya ke dalam kantongnya dengan hati-hati. Ia tidak memberi tahu Pak Darma atau siapa pun tentang penemuannya, memilih untuk menyimpannya sebagai rahasia.Juned baru saja memasukka
Marina tersenyum tipis. “Aku akan jelaskan nanti saat kita di jalan. Sekarang, habiskan makananmu dulu. Aku tunggu di luar.”Juned mulai memasukkan nasi ke dalam mulutnya, “Kamu gak ikut makan dulu, Mar. Biar aku bilang ke Siti untuk mengambilkan makanan buat kamu.”“Gak usah, Juned. Aku sudah sarapan tadi di rumah.” Kata Marina menolak dengan halus.Juned menatap Marina yang bangkit dari kursinya dan berjalan keluar rumah tanpa menjelaskan lebih jauh. Rasa penasaran mulai menguasai pikirannya, tetapi ia memilih untuk tidak banyak bertanya untuk saat ini.Setelah menghabiskan nasi gorengnya, Juned bergegas menuju kamar untuk bersiap-siap. Saat keluar, ia melihat Marina sedang berdiri di dekat mobilnya, menunggunya dengan sabar.“Kamu yakin ini penting?” tanya Juned saat ia menghampirinya.“Percaya saja padaku, Juned,” jawab Marina sambil membuka pintu mobil. “Ayo, masuk.”Juned masuk ke dalam mobil, dan Marina langsung menginjak pedal gas. Di sepanjang perjalanan, Marina tetap
“Mas, apa yang terjadi?” tanya Ratih sambil duduk di ranjang, kini Ratih mulai cemas.Juned menutup jendela kembali dan menatap Ratih. “Tadi aku lihat seseorang mengintip dari luar. Tapi sekarang dia sudah nggak ada.”Wajah Ratih langsung memucat. “Mas, jangan-jangan ada yang melihat kita berdua begituan tadi.”Juned menggeleng, masih mencoba memikirkan kemungkinan lain. "Aku nggak tahu. Bisa jadi seperti itu.”Ratih terlihat ketakutan, namun ia mengangguk pelan. “Mas, bagaimana kalau itu Mbak Siti atau Pak Darma?”Juned mendekat ke arah Ratih, lalu memeluk tubuh wanita itu dengan lembut. “Kamu tenang saja, aku yang akan menyelesaikan semua ini.”Dalam pelukan Juned, tubuh Ratih mulai tenang. Setelah mengetahui ada yang mengintip mereka berdua memilih untuk menghiraukan hal itu.“Mas Juned.” Kata Ratih dengan lirih.Juned menatap wajah manis Ratih dengan tatapan yang teduh. “Ada apa, Ratih?”“Barang kamu enak banget, Mas. Bolehkah aku tidur di kamarmu malam ini?” tanya Ratih y
Ratih berdiri mematung sejenak, berusaha menenangkan pikirannya. Namun, rasa penasaran dan sedikit gugup membuatnya tak bisa fokus pada pekerjaan membereskan meja makan. Dalam hatinya, ia bertanya-tanya apa yang sebenarnya ingin Juned bicarakan dengannya malam ini.Ratih masuk ke kamar Juned dengan langkah ragu. Wajahnya memancarkan kecemasan yang sulit ia sembunyikan. Pintu kamar terbuka sedikit, namun Juned yang duduk di tepi tempat tidur dengan santai segera berkata, “Tutup pintunya, Ratih. Jangan lupa dikunci.”Dengan tangan yang gemetar, Ratih mematuhi perintah itu. Ia merasa aneh, namun tidak punya keberanian untuk menolak. Setelah pintu terkunci, ia berdiri di tempatnya, tak berani mendekat.Juned menatapnya dari ujung kepala hingga kaki, lalu berkata, “Coba kamu berdiri di tengah ruangan. Aku mau lihat sesuatu.”Meski hatinya penuh kebingungan, Ratih melangkah ke tengah ruangan. “Mas, ada apa? Apa ada yang salah dari saya?” tanyanya dengan nada gugup.“Tidak, kamu nggak salah
Juned yang awalnya terkejut lebih memilih untuk membiarkan saja.Sementara Siti terus memandang ke arah Ratih yang menunduk dengan raut wajah yang menunjukkan rasa sesal. “Nggak usah, Mas. Kami makan nanti aja di belakang,” jawab Ratih dengan nada pelan.Juned menggeleng. “Nggak ada nanti-nanti. Sekarang aja. Lagian, aku juga nggak nyaman makan sendirian. Biar lebih, panggil sekalian Pak Darma ke sini, ya.”Siti tersenyum tipis. “Pak Darma? Tapi—““Nggak pake tapi-tapian,” potong Juned sambil tertawa kecil. “Ayo, Ratih, panggil Pak Darma. Kalau nggak, saya yang manggil.”Setelah terus dipaksa, akhirnya Ratih dan Siti mengalah. “Baik, Mas. Kami panggil Pak Darma dulu,” kata Ratih sebelum menuju ke luar untuk memanggilnya.Tak lama, Pak Darma masuk ke ruang makan dengan wajah sedikit bingung. “Ada apa, Mas Juned?” tanyanya.Juned tersenyum dan menunjuk kursi di meja makan. “Pak Darma, duduk sini. Kita makan bareng. Jangan biarkan saya makan sendirian, dong.”Pak Darma tertawa kecil, t
Marina menatap Juned dengan mata yang sayu, “Maksudmu Siti, Ratih, dan Pak Darma? Kamu tenang saja Juned.”Saat Marina memeluk Juned dengan erat, suasana di dalam kamar semakin intens. Marina mendekatkan wajahnya ke Juned, dan mereka hampir berciuman. Namun tiba-tiba, pintu kamar terbuka.Ratih berdiri di ambang pintu dengan ekspresi kaget sambil membawa kain pel. "Astaga, maaf, Mas Juned... Bu Marina... Saya nggak sengaja!" katanya dengan gugup, langsung menutup pintu kembali.Juned melompat mundur, terkejut dengan situasi yang memalukan itu. Wajahnya memerah, sementara detak jantungnya berdegup kencang. Namun, reaksi Marina sangat berbeda.Dengan santai, Marina menghela napas panjang sambil mengusap rambutnya yang tergerai. "Ratih, tunggu sebentar," katanya dengan nada tenang, berjalan mendekati pintu.Ratih membuka pintu sedikit, wajahnya masih terlihat tegang. "Iya, Bu. Maaf banget tadi saya nggak sengaja masuk.""Sudah, nggak apa-apa. Daripada minta maaf terus, mending kamu
“Ah tidak apa-apa. Aku akan mengantar Alisa pulang ke rumah.” Kata Juned saat tersadar dari lamunannya.“Iya lebih baik kamu antar dia pulang, keluarganya pasti khawatir dengan Alisa.” Balas Marina.Alisa hanya diam saja mendengarkan percakapan Juned dan Marina.Kemudian Juned keluar rumah sambil di ikuti oleh Alisa.“Alisa, kalau ada apa-apa, kamu bilang ke aku, ya. Aku nggak mau kamu kenapa-kenapa lagi,” kata Juned sambil membantu Alisa naik ke motor.Alisa mengangguk lemah. Wajahnya masih sedikit pucat, tapi ia tidak mengeluh. Juned menghidupkan motor dan memulai perjalanan menuju rumah Alisa.Di sepanjang perjalanan, Juned mencoba mencairkan suasana dengan mengajaknya berbicara. “Kamu tinggal sama siapa di rumah? Ayah dan ibumu pasti khawatir tadi,” tanya Juned.“Aku tinggal sama ayahku. Ibu sudah meninggal beberapa tahun yang lalu,” jawab Alisa pelan.Juned mengangguk dengan simpati. “Oh, begitu. Kalau begitu nanti aku mau sekalian minta maaf sama ayahmu karena kejadian ini.”
Marina tersenyum tipis, berusaha menenangkan suasana. “Tidak, Juned. Aku hanya teringat sesuatu, tapi mungkin tidak ada hubungannya. Lagi pula, jamur seperti itu bisa saja tumbuh di mana saja, kan?”Juned semakin penasaran dengan ucapan Marina, “Memang kamu teringat dengan Apa? Kau juga pernah mendengar cerita seperti yang diceritakan Pak Darma?” Desak Juned.Marina menghela napas panjang, “Pak Darma? Cerita apa? Aku hanya teringat tentang sup jamur yang dulu sering dibuat oleh ibuku, sangat enak sekali.” Marina terlihat gugup, tangannya mencoba mengusap kepala Alisa agar menghilangkan rasa gugupnya.“Oh hanya itu, baiklah kalau begitu.” Kata Juned sambil berdiri lalu melangkah ke Jendela.Marina menoleh ke arah Juned yang kini berdiri di dekat Jendela. “Lupakan perihal jamur yang dimakan Alisa. Yang penting dia sekarang kelihatan baik-baik saja.” Kata Marina.“Marina, apa kamu percaya kalau semua yang terjadi di dunia ini karena kebetulan?” Tanya Juned sambil tetap menatap ke luar j
Namun, setelah beberapa detik berlalu, tubuh Alisa tetap tidak menunjukkan reaksi apa-apa. Ia hanya menelan jamur itu sepenuhnya lalu duduk kembali sambil mengelus perutnya."Aku baik-baik saja, kok," katanya dengan suara tenang. "Nggak ada yang aneh atau berbeda. Rasanya juga biasa aja."Juned menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri dari kekhawatirannya. "Syukurlah kamu nggak kenapa-kenapa. Tapi lain kali, jangan bertindak sembarangan begitu, Alisa. Yang diceritakan Pak Darma itu belum ada kebenarannya."Alisa menunduk sedikit, merasa bersalah. "Maaf, Mas Juned. Aku cuma penasaran aja. Lagipula, kalau itu beneran jamur yang katanya punya kekuatan, aku juga ingin tahu rasanya."Pak Darma, yang masih memandang Alisa dengan serius, berkomentar, "Mungkin jamur itu memang hanya mitos belaka, Mas Juned. Atau bisa juga, jamur itu baru bekerja di kondisi tertentu, atau hanya pada orang tertentu."“Baiklah, aku akan mengantarmu pulang, Alisa.” Kata Juned dengan tegas.Alisa langsung
Itu adalah sebuah jamur kecil dengan bentuk yang sangat mirip dengan jamur yang pernah ia makan di hutan dulu.Alisa menghapus air matanya perlahan dan menjawab dengan suara lemah. “Saya menemukannya di belakang sekolah, Mas. Ada semak-semak yang jarang orang lewati. Saya nggak sengaja lihat jamur ini tumbuh di sana.”Juned menatap jamur itu dengan perasaan campur aduk. Ia tidak ingin membuat Alisa maupun Pak Darma panik, tapi ia tahu jamur ini mungkin memiliki kekuatan tersembunyi seperti pengalaman aneh yang pernah ia alami.“Alisa, boleh saya minta jamur ini? Saya ingin memeriksanya lebih lanjut,” ujar Juned sambil berusaha terdengar tenang.Alisa tampak ragu sejenak, tetapi akhirnya mengangguk. “Kalau Mas Juned mau, ambil saja. Saya juga nggak tahu itu jamur apa.”Juned menerima jamur itu dan memasukkannya ke dalam kantongnya dengan hati-hati. Ia tidak memberi tahu Pak Darma atau siapa pun tentang penemuannya, memilih untuk menyimpannya sebagai rahasia.Juned baru saja memasukka