Langit sore berwarna merah saga saat kerumunan berkumpul di lapangan utama perusahaan. Seekor ayam raksasa—hasil dari proyek genetik para insinyur gila itu—berdiri menjulang setinggi rumah, mengeluarkan suara rendah yang menggetarkan dada.Dan lalu, dengan dentuman besar, telur raksasa jatuh ke tanah, membuat tanah bergetar seperti gempa kecil."Ya ampun...," bisik Dinda, karyawan muda yang berdiri di samping Ghenadie.Ghenadie hanya menggelengkan kepala, matanya gelap menatap kekacauan yang baru saja dimulai."Ini gila," gumamnya. "Siapa yang menyetujui eksperimen ini tanpa sepengetahuan direksi?"Dinda menunduk, wajahnya pucat. "Sepertinya... para kepala divisi riset, Pak. Mereka... mereka dibujuk pihak ketiga. Ada banyak uang terlibat."Ghenadie mendesah dalam, menahan gejolak amarah."Aku ingin semua data riset, laporan keuangan, dan nama-nama yang terlibat. Sekarang juga."Dinda mengangguk cepat. "Baik, Pak."Malam itu, di ruang rapat utama, berkas-berkas menumpuk di atas meja pa
Dua hari kemudian, Ghenadie duduk sendirian di sebuah restoran tenang di bilangan Menteng. Ia baru saja selesai rapat internal. Lehernya pegal, pikirannya kusut.Dia butuh ruang.Pesanannya datang—steak medium rare dan jus lemon. Baru saja ia menyendokkan suapan pertama—“Wah, wah, wah... bos besar makan sendirian nih!”Ghenadie menoleh.Empat pria kekar berdiri di hadapannya. Salah satunya memakai hoodie hitam dengan lambang tengkorak. Tatapan mereka menantang.“Maaf, saya tidak kenal kalian,” kata Ghenadie tenang.“Kenalin, kami temannya Didik. Pacarnya Dinda,” kata pria berambut cepak. “Dan kamu... ngapain deket-deket cewek orang?”Ghenadie mengangkat alis. “Saya bosnya. Kami bekerja bersama. Itu saja.”“Kerja? Atau modus?”Tawa kasar mereka menggema. Pelayan mulai gelisah, tapi belum berani campur tangan.“Sudah. Kalau tidak ada urusan, silakan pergi.”Sebuah tamparan mendarat di wajah Ghenadie.Brak!“Jangan sok suci, lo!”Seketika meja terjungkal. Piring pecah. Ghenadie didorong
Tiga minggu setelah Hendro ditangkap, Ghenadie menerima surat tak bertanda. Isinya hanya satu kalimat yang diketik rapi:“Mereka belum selesai denganmu.”Ia duduk diam di ruangannya, mengamati secarik kertas itu sambil mengetuk-ngetukkan jari ke meja. Surat ini tidak datang dari polisi. Tidak dari media. Tidak dari siapa pun yang bisa dia tebak.Seseorang memperingatkannya. Tapi siapa? Dan kenapa?Ketukan ringan di pintu membuyarkan pikirannya."Masuk."Dinda melangkah masuk, mengenakan blus putih dan celana kain abu-abu. Rambutnya dikuncir, wajahnya tegas, tapi ada keraguan di matanya."Pak, saya tahu ini mungkin bukan waktu yang tepat... tapi saya mau bicara soal Didik."Ghenadie mengangguk. "Duduklah."Dinda menarik napas, lalu berkata, "Saya sudah memutuskan untuk tidak kembali padanya. Dia... bukan orang yang saya pikir."Ghenadie tak langsung menjawab. Ia hanya memandangnya, mencoba membaca sesuatu di balik sorot mata itu."Kenapa kamu yakin sekarang?"Dinda menunduk. "Karena sa
Ghenadie mendorong gerobak baksonya dengan perlahan menyusuri jalan setapak kota yang bentuknya sudah seperti kampung, karena terletak agak ke pinggiran kota.Ghenadie berjalan dengan santainya memakai pakaian yang cukup rapi dan bersih, namun keringatnya mengalir deras di bawah terik matahari siang.Gerobaknya bergemeretak ringan, seolah mengiringi langkahnya yang mantap meskipun tubuhnya terasa lelah. Aroma bakso yang gurih bercampur dengan sambal pedas melayang di udara, menggoda siapa saja yang melewati.Ghenadie, seorang mahasiswa yang gigih, tak pernah mengeluh meski panas matahari membakar kulitnya. Setiap teriakan yang ia keluarkan saat menawarkan baksonya, membawa harapan besar untuk bisa membayar biaya kuliahnya.Sambil berjalan itu, dia ingat dengan kekasihnya, Lina, seorang gadis yang cantik, tetapi mereka belum bisa menikah karena belum cukup uang. Pikirannya juga melayang ke keluarganya di desa yang berharap besar padanya."Bakso! Bakso panas! Ayo, bakso!" serunya, suara
Hidup tidak selalu berpihak padanya, terutama setelah apa yang terjadi dengan Lina. Dulu, ia dan Lina pernah saling mencintai.Lina adalah gadis yang membuatnya bermimpi, namun impian itu hancur ketika Lina jatuh ke dalam pelukan seorang pemuda kaya raya. Pemuda itu datang dengan mobil mewah, jam tangan mahal, dan segala hal yang tak pernah bisa Ghenadie tawarkan. Cinta mereka kalah oleh harta.Momen paling menyakitkan bagi Ghenadie bukan hanya ketika Lina pergi, tapi juga saat ia mendengar hinaan yang tak terlupakan. Lina, yang pernah menjadi kekasihnya, kini telah berubah, ikut merendahkan dirinya."Sudahlah, Ghenadie. Kau hanya tukang bakso. Apa yang bisa kau tawarkan?" kata-kata Lina masih terngiang di telinganya.Tak hanya Lina, tapi juga kekasih barunya dan teman-temannya seringkali mengejek Ghenadie. "Penjaja bakso yang tidak akan pernah maju. Kau tak cocok untuk Lina, dia layak mendapatkan yang lebih baik."Penghinaan itu melukai hati Ghenadie lebih dalam dari yang ia kira. Na
Wajah pria itu tampak tenang, tetapi ada ketegasan dalam suaranya ketika ia berbicara.“Siapa kamu sekarang tidak mengubah fakta tentang siapa kamu sebenarnya,” kata pria itu dengan nada bijak. “Kamu adalah putra sulung dari direktur kami, dan keluargamu telah mencarimu selama ini.”Ghenadie mencoba memahami kata-kata itu, tapi pikirannya terasa buntu. Hidupnya yang begitu sederhana, tiba-tiba berubah dalam hitungan detik.Setiap harinya, ia hanya seorang penjual bakso keliling yang hidup dalam rutinitas. Bagaimana mungkin ia sekarang dikaitkan dengan seorang direktur kaya raya?"Putra sulung dari direktur"?Rasanya tidak masuk akal."Aku... Aku tidak mengerti," gumam Ghenadie, suaranya terdengar lemah.Pria itu mengangguk, seolah sudah mengantisipasi kebingungan yang terpancar dari Ghenadie.“Kami tidak sedang menipumu. Kami tahu ini bukan hal yang mudah. Tapi direktur kami sangat ingin bertemu denganmu. Setidaknya, berikan kesempatan bagi dirimu untuk mendengar lebih banyak.”Ghenad
Pagi itu, matahari baru saja naik ketika Ghenadie melangkah keluar dari rumahnya, pikirannya dipenuhi oleh rasa cemas dan kebingungan. Ia masih belum percaya dengan apa yang terjadi kemarin.Pertemuan tak terduga dengan seorang lelaki bernama Pak Andri ketika dirinya mau pulang dari berjualan bakso mengubah segalanya. Pak Andri, yang saat itu tampak lelah dan terluka, menyuruhnya datang ke sebuah perusahaan besar dengan janji bahwa direktur perusahaan itu mencarinya."Kalau begitu, besok kamu datanglah ke perusahaan, bertemu dengan direktur kami," kata pak Andri kemarin sambil menahan rasa sakit di rusuknya.“Baik,” jawab Ghenadie, yang saat itu juga sama-sama terluka setelah kejadian diserang orang suruhan Joko.Cuma sayangnya, karena waktu malam dan minimnya penerangan, Joko dan Lina sewaktu itu berada dari kejauhan dan cuaca mulai gelap, mereka tidak mengenal pak Andri yang terlempar jauh.Sementera meskipun masih bingung dan ragu, Ghenadie setuju. Tetapi ada satu hal yang membuat
Langit di luar jendela mulai gelap, seiring dengan suasana yang makin tegang di dalam ruangan. Ghenadie berdiri dengan tegak, namun ada sesuatu di matanya yang menunjukkan gejolak batin.Ia mengangkat kepalanya, memandang lurus ke arah Joko, meskipun ia bisa merasakan kemarahan yang mulai menggelora di dadanya."Saya di sini bukan untuk Lina," ucap Ghenadie dengan nada terkendali.Namun, di balik ketenangan itu, ada ketegangan yang jelas. "Saya di sini karena diminta bertemu oleh Pak Andri."Tawa Joko pecah dengan keras, begitu keras hingga menggema di seluruh sudut ruangan. Tatapannya menyiratkan ejekan dan rasa meremehkan."Pak Andri? Ha! Jangan bercanda," katanya dengan nada mengejek, menatap Ghenadie seolah-olah pria itu baru saja mengatakan sesuatu yang sangat konyol. "Pak Andri adalah orang kepercayaan Direktur Utama kami. Tidak mungkin dia ingin bertemu dengan seseorang gembel seperti kamu!"Di sudut ruangan, Lina tampak bingung. Mata cokelatnya menyipit, penuh pertanyaan yang
Tiga minggu setelah Hendro ditangkap, Ghenadie menerima surat tak bertanda. Isinya hanya satu kalimat yang diketik rapi:“Mereka belum selesai denganmu.”Ia duduk diam di ruangannya, mengamati secarik kertas itu sambil mengetuk-ngetukkan jari ke meja. Surat ini tidak datang dari polisi. Tidak dari media. Tidak dari siapa pun yang bisa dia tebak.Seseorang memperingatkannya. Tapi siapa? Dan kenapa?Ketukan ringan di pintu membuyarkan pikirannya."Masuk."Dinda melangkah masuk, mengenakan blus putih dan celana kain abu-abu. Rambutnya dikuncir, wajahnya tegas, tapi ada keraguan di matanya."Pak, saya tahu ini mungkin bukan waktu yang tepat... tapi saya mau bicara soal Didik."Ghenadie mengangguk. "Duduklah."Dinda menarik napas, lalu berkata, "Saya sudah memutuskan untuk tidak kembali padanya. Dia... bukan orang yang saya pikir."Ghenadie tak langsung menjawab. Ia hanya memandangnya, mencoba membaca sesuatu di balik sorot mata itu."Kenapa kamu yakin sekarang?"Dinda menunduk. "Karena sa
Dua hari kemudian, Ghenadie duduk sendirian di sebuah restoran tenang di bilangan Menteng. Ia baru saja selesai rapat internal. Lehernya pegal, pikirannya kusut.Dia butuh ruang.Pesanannya datang—steak medium rare dan jus lemon. Baru saja ia menyendokkan suapan pertama—“Wah, wah, wah... bos besar makan sendirian nih!”Ghenadie menoleh.Empat pria kekar berdiri di hadapannya. Salah satunya memakai hoodie hitam dengan lambang tengkorak. Tatapan mereka menantang.“Maaf, saya tidak kenal kalian,” kata Ghenadie tenang.“Kenalin, kami temannya Didik. Pacarnya Dinda,” kata pria berambut cepak. “Dan kamu... ngapain deket-deket cewek orang?”Ghenadie mengangkat alis. “Saya bosnya. Kami bekerja bersama. Itu saja.”“Kerja? Atau modus?”Tawa kasar mereka menggema. Pelayan mulai gelisah, tapi belum berani campur tangan.“Sudah. Kalau tidak ada urusan, silakan pergi.”Sebuah tamparan mendarat di wajah Ghenadie.Brak!“Jangan sok suci, lo!”Seketika meja terjungkal. Piring pecah. Ghenadie didorong
Langit sore berwarna merah saga saat kerumunan berkumpul di lapangan utama perusahaan. Seekor ayam raksasa—hasil dari proyek genetik para insinyur gila itu—berdiri menjulang setinggi rumah, mengeluarkan suara rendah yang menggetarkan dada.Dan lalu, dengan dentuman besar, telur raksasa jatuh ke tanah, membuat tanah bergetar seperti gempa kecil."Ya ampun...," bisik Dinda, karyawan muda yang berdiri di samping Ghenadie.Ghenadie hanya menggelengkan kepala, matanya gelap menatap kekacauan yang baru saja dimulai."Ini gila," gumamnya. "Siapa yang menyetujui eksperimen ini tanpa sepengetahuan direksi?"Dinda menunduk, wajahnya pucat. "Sepertinya... para kepala divisi riset, Pak. Mereka... mereka dibujuk pihak ketiga. Ada banyak uang terlibat."Ghenadie mendesah dalam, menahan gejolak amarah."Aku ingin semua data riset, laporan keuangan, dan nama-nama yang terlibat. Sekarang juga."Dinda mengangguk cepat. "Baik, Pak."Malam itu, di ruang rapat utama, berkas-berkas menumpuk di atas meja pa
Malam itu, Ghenadie duduk di ruangannya, lampu temaram menyinari meja yang penuh berkas. Di sudut ruangan, Dinda menunggu sambil memegang laptop, ekspresinya gelisah."Ada perkembangan baru," kata Dinda perlahan.Ghenadie mengangguk, matanya menatap kosong ke layar komputer."Surya mengadakan pertemuan rahasia malam ini," lanjut Dinda. "Lokasinya di Gudang 7."Ghenadie mengangkat kepala. "Gudang 7? Bukankah itu sudah tidak aktif?""Itu yang kita pikir," gumam Dinda. "Tapi belakangan, ada pergerakan barang yang aneh. Saya dapat rekamannya dari CCTV."Ia memutar video di laptop. Di layar, terlihat sekelompok pria berpakaian kasual masuk ke gudang kosong sambil membawa tas besar."Surya ada di sana?" tanya Ghenadie cepat.Dinda mengangguk."Kurasa ini lebih besar dari sekadar korupsi kecil," kata Ghenadie perlahan, rasa dingin menjalari tengkuknya. "Mereka menyelundupkan sesuatu.""Kalau begitu, kita harus bertindak," ujar Dinda, matanya menyala semangat.Ghenadie berdiri, menarik jaketn
Suasana sore di PT. Surya Timur Logistics begitu tenang. Matahari mulai condong ke barat, meninggalkan semburat jingga di balik deretan gudang besar. Ghenadie berdiri di balkon kecil di lantai dua, memandangi halaman yang mulai sepi.Sejak reformasi yang ia lakukan tiga bulan lalu, perusahaan ini memang berubah drastis. Tapi ketenangan yang ia rasakan hari itu terasa... ganjil.Ada sesuatu yang tidak beres.Pikirannya terus kembali ke laporan kecil yang diterima pagi tadi, sebuah memo anonim, hanya satu kalimat:"Hati-hati pada orang yang kau pikir sekutu."Ghenadie menggenggam kertas itu di sakunya.Langkah kaki mendekat. Dinda muncul, membawa map berisi laporan keuangan terbaru."Pak Ghenadie," sapanya dengan suara lembut. "Laporan triwulan sudah dirangkum. Mau saya review sekarang?"Ghenadie berbalik, tersenyum tipis."Boleh. Tapi sebelum itu..." Ia menatap Dinda dalam-dalam. "Kamu percaya semua orang di manajemen ini bersih?"Dinda tampak terkejut, tapi cepat menguasai diri."Saya
Angin pagi membawa aroma aspal basah dan udara perkotaan yang baru bangun. Ghenadie berdiri di depan gerbang besi tinggi berwarna abu-abu, mengenakan kemeja putih sederhana dan celana jeans pudar. Ransel kulit yang sudah mulai usang tersampir di punggungnya. Wajahnya tenang, namun tatapannya tajam, penuh kesadaran baru akan hidup yang sempat porak-poranda.Sudah hampir satu tahun sejak Liana meninggal. Luka itu masih ada, tapi kini membentuk parut. Ia sudah tidak lagi bangun dengan mimpi buruk. Tidak lagi mengurung diri. Ia mulai kembali menjalani hidup.“Ini waktumu bangkit, Nad,” kata Pak Anton, ayahnya, dua malam lalu. “Aku akuisisi perusahaan logistik di kawasan industri timur. Aku mau kamu ke sana. Bukan hanya untuk kerja, tapi untuk belajar jadi pemimpin.”Ghenadie tak menolak. Ia tahu, ini kesempatan. Tapi juga ujian.Sekarang, ia berdiri di depan perusahaan yang dimaksud: **PT. Surya Timur Logistics**. Sebuah kompleks besar dengan halaman luas, gedung bertingkat tiga, dan lalu
Angin sore berhembus pelan, menyapu wajah pucat Ghenadie yang berdiri di depan makam Liana. Batu nisan itu masih baru, tanahnya masih merah, dan kesunyian yang melingkupi terasa menyesakkan. Di balik kacamata hitamnya, matanya tetap sembab, meski air mata tak lagi keluar. Ia telah kehabisan tangis. Batu nisan itu baru dipasang, karena kuburan Liana dia cari di dalam hutan Kalimantan tempatnya mengalami kecelakaan dulu. Dia bekerja keras untuk menemukan makam Liana, untung dia mencata koordinatnya, sehingga beberapa hari saja mereka meneemukannya. Makam itu terletak di tepi sungai, di dalam hutan yang lebat. Untung batu nisan dari kayu seadanya sebagai tanda itu makam, masih terlihat kokoh. Lebih untung lagi, ada tanah lapang berpasir di tepi sungai kecil itu, sehingga helikopter mereka bisa mendarat. Dia menggaji sekelompok orang untuk memindahkan tulang Liana ke pulau Jawa. "Aku janji... aku akan baik-baik saja, Li," bisiknya. Tapi kalimat itu terasa seperti kebohongan yang ka
Beberapa hari berlalu sejak mereka meninggalkan pondok itu. Kota tidak pernah ramah pada orang yang ingin melupakan. Setiap sudutnya memantulkan kenangan, setiap detik mengingatkan bahwa hidup tidak pernah berhenti meski hati ingin bersembunyi.Hana berdiri di depan kaca, mengenakan blus putih dan rok panjang. Ia menatap bayangannya sendiri. Wajahnya masih cantik, tapi tak lagi setenang dulu. Di tangannya ada alat uji kehamilan yang baru saja menunjukkan dua garis merah.Keheningan menguap dalam satu tarikan napas panjang.Rendra datang dari belakang, melihat ekspresinya. “Sudah kau periksa?”Hana mengangguk perlahan.“Aku… hamil, Rendra.”Lelaki itu mendekat, menatap alat kecil itu seolah tak percaya, lalu memeluk Hana dari belakang. “Terima kasih, Tuhan…” gumamnya. “Ini… ini kabar terbaik dalam hidupku.”Namun pelukan itu tak dibalas. Hana hanya diam, tubuhnya kaku, matanya menatap jauh ke depan.“Aku belum tahu harus bagaimana,” bisiknya. “Aku belum siap jadi ibu. Dan aku belum tah
Kabut masih menggantung tipis di sela-sela pepohonan, membelai pucuk dedaunan seperti bisikan sunyi. Pondok kecil dari kayu sermpngan itu berdiri di tengah kesunyian alam, menjadi saksi atas apa yang telah mereka lakukan semalam, dan pagi ini.Keheningan yang seolah menyimpan rahasia, hanya terganggu oleh kicauan burung yang terdengar jauh.Hana terbaring diam, rambutnya berantakan, matanya setengah terpejam. Tubuhnya masih hangat oleh sisa pelukan dan cumbuan. Di sampingnya, Rendra masih memeluknya erat, seakan ingin mengukir keabadian dari kebersamaan itu.Rendra membelai lembut pipi Hana. “Kau tahu,” bisiknya, “aku tak pernah membayangkan pagi bisa seindah ini.”Hana tersenyum tipis, lelah tapi bahagia. “Kau bilang begitu juga semalam.”“Tapi semalam bulan bersinar,” jawab Rendra, mencium keningnya. “Sekarang matahari menyinari kita. Dua-duanya indah. Tapi kau, Hana… kau lebih dari segalanya.”Ia tidak menjawab. Hanya menarik napas pelan, menghela rasa yang bercampur antara senang,