Aku agak kaget saat mendengar Rendi memanggil Mas Dinas dengan sebutan sayang. Mengapa seorang lelaki memanggil laki-laki yang lain dengan sebutan sayang.
"Maaf, saya istrinya Mas Dimas, ada apa ya?" Tanyaku kemudian. "Eh Maaf, Mbak Naya ya, Dimas mana Mbak?" Tanyanya di seberang sana. "Mas Dimas sedang di toilet," jawabku singkat. "Oh ya udah, nanti aja aku telpon lagi," ucapnya dan menutup sambungan telepon tanpa basa-basi sejenak. Aku meletakkan ponsel Mas Dimas lagi, saat itu juga Mas Dimas kembali dari toilet, hatiku mulai tak tenang saat mengingat rekan kerjanya itu memanggil sebutan sayang pada Mas Dimas. Apa dia sendang bercanda? "Mas tadi ada telepon dari Rendy office," ucapku. Aku melihat raut wajah Mas Dimas agak panik, namun cepat ia sembunyikan dan bertanya," Dia bilang apa?" "Dia nanyak kamu, nanti dia telepon lagi," jawabku. "Oh, dia mau nanyak soal kerjaan mungkin, Nay," ucap Mas Dimas santai. Aku mengangguk-angguk mengerti. "Tapi Mas,.kenapa dia tadi manggil sayang ya? Apa sebegitu akrabnya Mas sama Rendi itu?" Selidikku. Ia meliriku sekilas dan tersenyum. "Aku dan Rendy itu akrab Sayang, jadi kadang-kadang dia manggil aku Beb, say, bro..curut, botol kecap. Dia memang sering ngasal gitu orangnya," jawab Dimas, aku memperhatikan perubahan raut wajah Mas Dimas yang semula agak gugup sekarang terlihat santai. "Oh gitu ya? Aku pikir kok tiba-tiba manggil sayang, aneh aja ada cowok manggil teman cowok nya sayang, gimana otakku ngga traveling kan? Kapan-kapan kenalin aku sama Rendy ya Mas, kayaknya orangnya asik tuh," ucapku panjang lebar. Ia tertawa hambar. "Oke, kapan-kapan aku kenalin!" Jawab suamiku dengan nada yang terkesan santai. Tak ada yang aneh, aku yakin tak ada apa yang disembunyikan oleh suamiku. Malam ini aku tak lagi seagresif pagi itu, mungkin tak semua suami suka cewek agresif dan lebih dominan menguasai keadaan. Seperti biasa aku mengenakan baju tidur yang agak sexy, tak lupa menggerai rambutku dan menyemprotkan parfum ke tubuhku. Mas Dimas seperti cuek saja dan hanya bermain ponsel sambil menyandarkan tubuhnya dan menyangganya dengan bantal. Anehnya, dia seperti tak tertarik meliriku sedikit pun. Apa aku kurang menarik atau apa aku kurang sexy? Aku duduk perlahan sambil memperhatikannya, kemudian ia sadar sedang aku tatap. Melirikku sekilas dan kembali fokus ke layar ponselnya. "Lagi apa sih Mas?" Aku melongok melihat ke arah ponselnya, tak ku sangka Mas Dimas menarik tubuhnya menghindari aku, agar aku tak melihat ponselnya. "Apa sih Nay? Aku sedang ngurusin kerjaan nih," Ungkapnya seperti tidak suka saat aku ingin tahu. "Kamu kan cuti kok kerja?" Selidikku. "Iya, tapi kalau Bos yang nanyak masak iya aku nggak balas walaupun aku sedang cuti. Ini mengenai proyek hotel yang Bali itu," ungkapnya. "Oh!" Aku membulatkan mulutku. Ia teka terlalu suka saat aku kepo ingin melihat ponselnya itu. Padahal kita kan suami istri. Akhirnya aku merebahkan tubuhku di sampingnya, sambil menunggu Mas Dimas selesai bekerja. Aku berfikir kenapa dia terlalu sibuk dengan ponselnya dan mengacuhkan aku. Tanpa sadar aku pun tertidur, entah karena kelelahan karena seharian jalan-jalan dengan Mas Dimas. Hingga pagi hari hari Mas Dimas tak membangunkan aku, ia bahkan bangun lebih awal dan katanya akan pergi ke kantor. Setahu ku Mas Dimas masih cuti satu hari lagi, namun katanya ada hal yang harus ia kerjakan di kantor. "Dimas ke kantor Nay?" Tanya Mama saat aku turun ke lantai bawah, Mas Dimas bahkan tak sempat sarapan. "Iya Ma, katanya ada hal penting yang akan di kerjakan," jawabku. "Oh begitu, kamu tahu nggak Nay, kamu itu wanita paling beruntung bisa mendapatkan Dimas, sudahlah ganteng, pekerja keras, rajin olah raga dan yang paling penting dia Sholeh," ucap Mama. "Iya Ma. Aku bersyukur bisa mendapatkan Mas Dimas, tapi..." Sesaat aku ingin mengatakan jika Mas Dimas belum menyentuhku hingga hari ini. Bahkan ia seperti enggan untuk melirikku yang sudah siap melayaninya sebagai seorang istri. Hati istri mana yang tak gelisah? "Tapi kenapa Nay..." Tanya ibu sambil meletakkan teh di atas meja untukku. Aku menatap Mama dan menggeleng. "Nggak ada Ma, tapi Mas Dimas itu orangnya sibuk banget ya Ma..sepertinya akan ada sedikit waktu untukku. Apa lagi aku juga bekerja," ucapku akhirnya mengalihkan ke topik lain. "Iya, tapi kan ini demi masa depan kalian berdua juga. Oh iya kapan kalian ke rumah rumah orang tua Dimas?" Tanya Mama. Mengingat aku dan Mas Dimas belum pernah pulang ke rumah orang tua mas Dimas. "Minggu depan mungkin Ma, Sabtu Minggu," jawabku. Mama mengangguk dan meninggalkan aku sendiri di sini. "Ah, anggak ada yang aneh sama Mas Dimas, mungkin saja dia belum siap atau kelelahan, berpikir positif saja," gumamku. Lebih baik aku jalan-jalan ke luar rumah saja. ~~~ Malam berikutnya, aku kembali menunggu Mas Dimas untuk melakukan kewajibannya sebagai seorang suami. Namun ia tetap saja tak mau menyentuhku, yang aku herankan dia memperlakukan aku dengan baik dan sangat perhatian padaku, tapi ia enggan melakukan hubungan suami istri denganku. Sehingga malam berikutnya aku yang berinisiatif untuk mendekati Mas Dimas lagi, meminta hak ku sebagai istri. Dari awal tak ada yang aneh, Mas Dimas mau bermesraan dengan ku. Namun setelah melakukan foreplay, saat sedang ingin melepaskan hasratku, ia langsung meninggalkanku terbaring di kasur. "Mas...Mas Dimas!" Panggilku. Namun Mas Dimas tak menggubris ku ia berlalu keluar kamar. Aku hanya bisa menghela nafas, merasakan kecewa yang amat sangat. Aku bangun dan memakai pakaianku. Aku pikir aku harus bicara pada Mas Dimas, yah, aku harus bicara padanya. Kenapa dia bersikap seperti itu padaku. Aku mencari Mas Dimas ternyata dia berdiri di balkon sambil menghisap rokoknya. Ia seolah tak menyadari kehadiranku. "Mas?" Panggilku lembut. Ia menoleh dan menekan puntung rokoknya. "Nay..eh, Ehem" balasnya agak canggung. Aku menghampiri Mas Dimas dan berdiri di depannya. "Aku..mau ngomong," ungkapku. Ia tak menyahut, namun ia seolah mengindari kontak mata denganku. Membuang pandangannya ke arah lain. "Kenapa Mas mengindari aku?" Tanyaku sambil menatap ke arahnya. Ia bergeming dan tak sedikitpun ia melihat ke arahku. Apa dia merasa bersalah?? "Kenapa Mas? Apa aku kurang menarik? Apa kamu tak mencintaiku?" Tanyaku dengan perasaan yang bercampur aduk. ***Aku menarik tangan Mas Dimas agar dia melihat ke arahku. Karena dari tadi ia terus mengindari tatapanku. "Mas??!" Panggilku lagi, akhirnya di menatapku. "Naya.. bukan itu, bukan itu Nay," jawabnya dengan penuh penekanan. "Jadi kenapa?!" Tanyaku dengan nada tinggi sambil menantang tatapannya. "Aku belum siap Nay, aku belum siap untuk punya anak," jawabnya. Jawaban yang tidak masuk akal, kenapa dia bilang tak siap punya anak, padahal ia bisa membicarakan ini denganku. Aku tertawa getir sambil menggelengkan kepalaku. "Kalau kamu belum siap punya anak, kita bisa menunda punya anak Mas, kenapa kamu tidak mau membicarakan hal ini denganku. Aneh kamu Mas," ungkapku dengan nada kesal, alasan Mas Dimas seperti tak masuk akal. "Ya..tapi aku nggak bisa jelasin ke kamu sekarang, plis aku kasih aku waktu," ucapnya sambil memohon. "Kenapa kamu tak bisa kamu jelaskan padaku, kita itu suami istri, kamu harus terbuka soal apa pun padaku. Apa kamu nggak cinta sama aku?" Tanyaku. Ia berge
Mas Dimas sangat paham cara membuat aku agar tak marah lagi padanya, sentuhan-sentuhan lembut ia berikan padaku, membuat aku semakin bergairah. Tiba-tiba saja aku ingat pada misiku sebelumnya.Ini saatnya aku memberanikan diri untuk menyentuh bagian sensitifnya Mas Dimas untuk membuktikan kata-kata Mela tadi siang. Aku yakin Mela salah, namun apa alasan lain Mas Dimas tak mau menyentuhku?Sebelumnya aku tidak pernah melakukannya karena aku masih malu, maklum aku dan Mas Dimas baru saja menikah dan kami juga tak pacaran. Sehingga rasa canggung tentu saja menguasai diri ini.Nafasku terasa naik turun saat Mas Hanif mulai melancarkan aksinya, menyentuh setiap bagian tubuhku. Apakah ini akan menjadi malam pertamaku??Namun, saat itu juga tanganku bergerak untuk ikut menyentuh bagian sensitif miliknya. Tapi sayangnya, sepertinya ia sadar dan menepis tanganku dengan kasar."Mas..." ucapku lirih.Aku kaget karena baru saja kami bermesraan, tiba-tiba saja ia tak terima saat aku akan menyent
"Nay...plis maafkan aku, aku nggak mau kita pisah, aku akan berusaha berobat, kata orang bisa sembuh kok," ungkap Mas Dimas. "Kalau memang bisa sembuh kenapa Mas tidak berobat dari dulu?" Tanyaku sinis."Udah Nay, cuma mungkin aku tidak terlalu yakin untuk berobat sampai sembuh," ungkapnya."Apa mungkin karena mamang nggak mau sembuh??" Pikirku. Jika Mas Dimas seperti ini aku tidak akan mendapatkan keturunan dari Mas Dimas. Harus kah aku bertahan dan memberikan Mas Dimas kesempatan? Jika Mama dan Papaku tahu tentang Mas Dimas mereka pasti akan sangat terpukul."Aku tahu, aku sudah tak jujur pada mu dari awal, tapi aku tak bisa mengatakan padamu, karena takut kamu akan menolakku. Aku sudah terlanjur cinta saat pertama kali melihatmu Nay," ungkap Mas Dimas bersungguh-sungguh. Aku menatap netranya, mencari kesungguhan di sana. Aku juga punya banyak pertimbangan untuk memutuskan hubungan pernikahan ini, Papa dan Mama pasti akan sangat malu karena mereka selalu membanggakan Mas Dimas di
Pesta pernikahan mewah baru saja digelar, aku sangat bahagia bisa menikah dengan seorang Dimas Mahardika, laki-laki tampan dan juga mapan yang baru saja menghalalkanku. Yah, apa lagi yang aku cari dari Mas Dimas, sudah ganteng pekerja keras, memiliki karir yang bagus dan yang paling penting dia mengerti agama. Aku berharap Mas Dimas bisa membimbingku hingga ke jannah-Nya. Aku bisa melihat kebahagiaan di wajah Papa dan Mama saat melihat putri tunggalnya telah menikah dengan orang yang tepat. Walaupun sebenarnya aku dan Mas Dimas belum lama kenal, yang membuat aku yakin, Mas Dimas tidak mengajak aku untuk pacaran tapi melainkan langsung menikah. Siapa yang bisa menolak, dinikahi pria mapan dan juga tampan seperti Mas Dimas. Aku dan Mas Dimas turun dari mobil pengantin dan langsung masuk ke dalam rumahku, aku mengajak Mas Dimas untuk masuk ke kamarku. Kami belum merencanakan bulan madu, karena waktu cuti Mas Dimas tidak panjang. Sehingga bulan madu kita tunda dulu. "Ini kamarku
Aku kaget saat tiba-tiba ia mendorongku, mengapa dia mendorongku? Apa dia tak menginginkan aku bermesraan dengannya. Seketika pikiranku di landa berbagai tanda tanya yang berkecamuk di pikiranku. "Mas, aku istrimu!" Seruku. Ia.masih yang belum sadar karena mungkin kami baru saja menikah kemarin. Ia menatapku sesaat dan mengusap wajahnya dengan tangannya. "Astaghfirullah, maaf sayang aku pikir kamu siapa, otakku belum ngeh kalau aku udah punya istri," ungkapnya. Aku tersenyum dan kembali beringsut untuk mendekatinya. Kembali memeluknya ingin merasakan kehangatan dari tubuh Mas Dimas di pagi yang dingin ini. Biasanya pengantin baru pagi hari adalah hal wajib yang harus dilakukan sepasang suami istri. Apa lagi dari semalam Mas Dimas telah menundanya dengan alasan capek. Biasanya wanita uang seperti itu, namun ini malah terbalik. "Udah nggak capek lagi kan Mas?" Tanyaku lembut. Ia melihat ke arahku dan menggeleng. "Udah enggak lagi sayang, semalam aku tidurnya nyenyak banget," j
"Nay...plis maafkan aku, aku nggak mau kita pisah, aku akan berusaha berobat, kata orang bisa sembuh kok," ungkap Mas Dimas. "Kalau memang bisa sembuh kenapa Mas tidak berobat dari dulu?" Tanyaku sinis."Udah Nay, cuma mungkin aku tidak terlalu yakin untuk berobat sampai sembuh," ungkapnya."Apa mungkin karena mamang nggak mau sembuh??" Pikirku. Jika Mas Dimas seperti ini aku tidak akan mendapatkan keturunan dari Mas Dimas. Harus kah aku bertahan dan memberikan Mas Dimas kesempatan? Jika Mama dan Papaku tahu tentang Mas Dimas mereka pasti akan sangat terpukul."Aku tahu, aku sudah tak jujur pada mu dari awal, tapi aku tak bisa mengatakan padamu, karena takut kamu akan menolakku. Aku sudah terlanjur cinta saat pertama kali melihatmu Nay," ungkap Mas Dimas bersungguh-sungguh. Aku menatap netranya, mencari kesungguhan di sana. Aku juga punya banyak pertimbangan untuk memutuskan hubungan pernikahan ini, Papa dan Mama pasti akan sangat malu karena mereka selalu membanggakan Mas Dimas di
Mas Dimas sangat paham cara membuat aku agar tak marah lagi padanya, sentuhan-sentuhan lembut ia berikan padaku, membuat aku semakin bergairah. Tiba-tiba saja aku ingat pada misiku sebelumnya.Ini saatnya aku memberanikan diri untuk menyentuh bagian sensitifnya Mas Dimas untuk membuktikan kata-kata Mela tadi siang. Aku yakin Mela salah, namun apa alasan lain Mas Dimas tak mau menyentuhku?Sebelumnya aku tidak pernah melakukannya karena aku masih malu, maklum aku dan Mas Dimas baru saja menikah dan kami juga tak pacaran. Sehingga rasa canggung tentu saja menguasai diri ini.Nafasku terasa naik turun saat Mas Hanif mulai melancarkan aksinya, menyentuh setiap bagian tubuhku. Apakah ini akan menjadi malam pertamaku??Namun, saat itu juga tanganku bergerak untuk ikut menyentuh bagian sensitif miliknya. Tapi sayangnya, sepertinya ia sadar dan menepis tanganku dengan kasar."Mas..." ucapku lirih.Aku kaget karena baru saja kami bermesraan, tiba-tiba saja ia tak terima saat aku akan menyent
Aku menarik tangan Mas Dimas agar dia melihat ke arahku. Karena dari tadi ia terus mengindari tatapanku. "Mas??!" Panggilku lagi, akhirnya di menatapku. "Naya.. bukan itu, bukan itu Nay," jawabnya dengan penuh penekanan. "Jadi kenapa?!" Tanyaku dengan nada tinggi sambil menantang tatapannya. "Aku belum siap Nay, aku belum siap untuk punya anak," jawabnya. Jawaban yang tidak masuk akal, kenapa dia bilang tak siap punya anak, padahal ia bisa membicarakan ini denganku. Aku tertawa getir sambil menggelengkan kepalaku. "Kalau kamu belum siap punya anak, kita bisa menunda punya anak Mas, kenapa kamu tidak mau membicarakan hal ini denganku. Aneh kamu Mas," ungkapku dengan nada kesal, alasan Mas Dimas seperti tak masuk akal. "Ya..tapi aku nggak bisa jelasin ke kamu sekarang, plis aku kasih aku waktu," ucapnya sambil memohon. "Kenapa kamu tak bisa kamu jelaskan padaku, kita itu suami istri, kamu harus terbuka soal apa pun padaku. Apa kamu nggak cinta sama aku?" Tanyaku. Ia berge
Aku agak kaget saat mendengar Rendi memanggil Mas Dinas dengan sebutan sayang. Mengapa seorang lelaki memanggil laki-laki yang lain dengan sebutan sayang. "Maaf, saya istrinya Mas Dimas, ada apa ya?" Tanyaku kemudian. "Eh Maaf, Mbak Naya ya, Dimas mana Mbak?" Tanyanya di seberang sana. "Mas Dimas sedang di toilet," jawabku singkat. "Oh ya udah, nanti aja aku telpon lagi," ucapnya dan menutup sambungan telepon tanpa basa-basi sejenak. Aku meletakkan ponsel Mas Dimas lagi, saat itu juga Mas Dimas kembali dari toilet, hatiku mulai tak tenang saat mengingat rekan kerjanya itu memanggil sebutan sayang pada Mas Dimas. Apa dia sendang bercanda? "Mas tadi ada telepon dari Rendy office," ucapku. Aku melihat raut wajah Mas Dimas agak panik, namun cepat ia sembunyikan dan bertanya," Dia bilang apa?" "Dia nanyak kamu, nanti dia telepon lagi," jawabku. "Oh, dia mau nanyak soal kerjaan mungkin, Nay," ucap Mas Dimas santai. Aku mengangguk-angguk mengerti. "Tapi Mas,.kenapa dia tadi man
Aku kaget saat tiba-tiba ia mendorongku, mengapa dia mendorongku? Apa dia tak menginginkan aku bermesraan dengannya. Seketika pikiranku di landa berbagai tanda tanya yang berkecamuk di pikiranku. "Mas, aku istrimu!" Seruku. Ia.masih yang belum sadar karena mungkin kami baru saja menikah kemarin. Ia menatapku sesaat dan mengusap wajahnya dengan tangannya. "Astaghfirullah, maaf sayang aku pikir kamu siapa, otakku belum ngeh kalau aku udah punya istri," ungkapnya. Aku tersenyum dan kembali beringsut untuk mendekatinya. Kembali memeluknya ingin merasakan kehangatan dari tubuh Mas Dimas di pagi yang dingin ini. Biasanya pengantin baru pagi hari adalah hal wajib yang harus dilakukan sepasang suami istri. Apa lagi dari semalam Mas Dimas telah menundanya dengan alasan capek. Biasanya wanita uang seperti itu, namun ini malah terbalik. "Udah nggak capek lagi kan Mas?" Tanyaku lembut. Ia melihat ke arahku dan menggeleng. "Udah enggak lagi sayang, semalam aku tidurnya nyenyak banget," j
Pesta pernikahan mewah baru saja digelar, aku sangat bahagia bisa menikah dengan seorang Dimas Mahardika, laki-laki tampan dan juga mapan yang baru saja menghalalkanku. Yah, apa lagi yang aku cari dari Mas Dimas, sudah ganteng pekerja keras, memiliki karir yang bagus dan yang paling penting dia mengerti agama. Aku berharap Mas Dimas bisa membimbingku hingga ke jannah-Nya. Aku bisa melihat kebahagiaan di wajah Papa dan Mama saat melihat putri tunggalnya telah menikah dengan orang yang tepat. Walaupun sebenarnya aku dan Mas Dimas belum lama kenal, yang membuat aku yakin, Mas Dimas tidak mengajak aku untuk pacaran tapi melainkan langsung menikah. Siapa yang bisa menolak, dinikahi pria mapan dan juga tampan seperti Mas Dimas. Aku dan Mas Dimas turun dari mobil pengantin dan langsung masuk ke dalam rumahku, aku mengajak Mas Dimas untuk masuk ke kamarku. Kami belum merencanakan bulan madu, karena waktu cuti Mas Dimas tidak panjang. Sehingga bulan madu kita tunda dulu. "Ini kamarku