Aku menarik tangan Mas Dimas agar dia melihat ke arahku. Karena dari tadi ia terus mengindari tatapanku.
"Mas??!" Panggilku lagi, akhirnya di menatapku. "Naya.. bukan itu, bukan itu Nay," jawabnya dengan penuh penekanan. "Jadi kenapa?!" Tanyaku dengan nada tinggi sambil menantang tatapannya. "Aku belum siap Nay, aku belum siap untuk punya anak," jawabnya. Jawaban yang tidak masuk akal, kenapa dia bilang tak siap punya anak, padahal ia bisa membicarakan ini denganku. Aku tertawa getir sambil menggelengkan kepalaku. "Kalau kamu belum siap punya anak, kita bisa menunda punya anak Mas, kenapa kamu tidak mau membicarakan hal ini denganku. Aneh kamu Mas," ungkapku dengan nada kesal, alasan Mas Dimas seperti tak masuk akal. "Ya..tapi aku nggak bisa jelasin ke kamu sekarang, plis aku kasih aku waktu," ucapnya sambil memohon. "Kenapa kamu tak bisa kamu jelaskan padaku, kita itu suami istri, kamu harus terbuka soal apa pun padaku. Apa kamu nggak cinta sama aku?" Tanyaku. Ia bergeming dan hanya menatapku dengan ekspresi datar. "Ayo jawab, kamu nggak cinta aku!?" sentakku. "Bukan itu Nay.. aku cinta sama aku, tapi plis kasih aku waktu dulu, aku benar benar belum siap untuk melakukannya denganmu," ungkap Mas Dimas. Tanpa menunggu jawaban dariku Ia pun berlalu dan masuk ke kamar. Aku hanya bisa menghela nafas dan menahan rasa kesal. Apa yang ia sembunyikan padaku? Kenapa dia belum siap? Apa Mas Dimas mengidap suatu penyakit menular? Ya Allah...apa yang telah terjadi pada suamiku. Apa aku yang terlalu terburu-buru menerima cinta Mas Dimas? Sehingga banyak yang belum aku ketahui darinya. Entahlah. ~~~ Esok harinya saat di kantin kantor, aku dan kedua sahabatku Egi Melgiansyah dan Melani makan bersama. Aku bekerja di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang jasa. Egi juga ternyata kenal baik dengan Mas Dimas katanya dia mengenal Mas Dimas saat nge Gym. Tapi katanya tak begitu akrab dengan Mas Dimas. "Cie..pengantin baru, gimana rasanya dapat suami ganteng dan romantis kayak Mas Dimas?" tanya Mela menggodaku. "Apaan sih Mel, biasa aja kali," ungkapku malu-malu. Ada satu kebanggaan tersendiri saat semua teman-teman dan sahabatku memuji ketampanan suamiku. "Gimana rasanya Nay malam pertama? Enak nggak? Gue jadi pengen nikah deh," ungkap Mela dengan nakal dan ingin menggodaku. "Hus, jangan bahas itu ada Egi nih, malu tahu," ucapku sambil menunjuk Egi yang terlihat santai saja. "Alah, Egi aja malu, iya kan, Gi? Cerita dong gimana malam pertama kalian?" Tanya Mela padaku setengah mendesak. "Malam pertama apa, malam pertama yang selalu gagal, ditinggal saat sedang pengen-pengennya," ungkapku tapi hanya dalam hati. Tidak mungkin aku menceritakan aib rumah tanggaku. Aku juga tak mau menceritakannya pada Mela jika sampai saat itu aku belum disentuh oleh Mas Dimas. "Udah-udah, jangan bahas itu, pamali tahu!" ucapku sambil tertawa kecil. Akhirnya aku mengalihkan pembicaraan ke topik lain, namun aku pikir lebih baik aku menanyakan pada mereka apa yang terjadi pada suamiku. Tapi mungkin dengan mengatas namakan orang lain. "Eh Mel, sebenarnya ada yang ingin aku ceritakan pada kalian, kemarin temanku cerita padaku. Katanya udah hampir dua Minggu jadi suaminya, dia belum sama sekali disentuh oleh suaminya, belum un boxing gitu," ungkapku pada mereka. Kedua sahabatku saling pandang. "Maksud lu gimana sih, Nay?" Tanya Mela yang mulai tertarik dengan ceritaku. "Maksudnya cowok itu nggak mau melakukan gituan ma ceweknya, sampai sekarang tuh cewek masih perawan," ungkapku mejelaskan. Aku harap mereka tak curiga padaku. Sebenarnya aku menceritakan diriku sendiri pada mereka. "Ah masak, ada cowok yang kayak gitu, Nay?" tanya Mela lagi. Dari tadi Egi hanya diam saja sambil menguyah makanannya. "Iya aku juga heran Mel. Kok bisa gitu," ucapku. "Kali aja Si Joninya nggak mau bangun Nay," celetuk Mela. Aku memukul lengan Mela karena tak enak pada Egi yang hanya tersenyum mendengar percakapan kami. "Iya ada yang begitu, lu suruh suaminya dia untuk berobat," ungkap Mela. Aku menganggukkan kepala tanda mengerti. Apa mungkin mas Dimas juga mengalami hal seperti itu? "Kamu nggak sedang menceritakan kamu sendiri kan Nay," ungkap Egi saat kami hendak masuk ke ruangan setelah dari kantin. "Engg..." "Ya udah Nay, aku duluan ya?" ucap Egi, tanpa menunggu aku menjawab, ia pun berlalu masuk ke dalam ruangannya. Apa Egi tahu sesuatu tentang Mas Dimas? Aku pulang ke rumah sambil berfikir keras, apa yang harus aku lakukan selanjutnya agar Mas Dimas jujur, ingin menanyakan pada Mama juga tak mungkin. Sepertinya aku harus membuktikannya sendiri jika memang Mas Dimas seperti itu. Bodohnya aku kenapa aku sampai tak tahu soal itu, oh iya aku baru ingat, dia seperti mengatur jarak denganku saat di ranjang. Yah, benar makanya aku tak tahu dan tak terlalu memperhatikannya, aku terlalu terlena dengan pesona Mas Dimas saat dia mencumbu ku. Setalah shalat isya, aku melirik jam di kamarku, Mas Dimas belum pulang juga. Katanya sih tadi ke kantor. Tapi kenapa dia belum pulang juga. Dengan rasa gelisah aku menunggu Mas Dimas di kamar, mengambil ponsel lalu mencoba untuk menghubunginya. "Assalamualaikum Mas," sapaku saat dia mengangkatnya. "Waalaikumsalam Nay." Terdengar suara Mas Dimas di seberang sana. "Kok belum pulang? Ini sudah malam lho," ucapku dengan nada khawatir. "Ah iya, iya, ni aku lagi Otewe pulang sayang. Kamu mau aku belikan apa?" Tanyanya. "Apa aja Mas," jawabku agak tak bersemangat. "Kok gitu, martabak manis mau? Biar Mas belikan, Mama dan papa mau juga nggak ya?" "Ya udah belikan aja," ucapku. Kemudian aku memutus panggilan telepon darinya setelah mengucapkan salam. Beberapa saya kemudian ia pulang, sambil membawakan aku sebuket bunga mawar berwarna merah. Ia mengecup ku sekilas dan memberikan aku bunga mawar dan bungkusan uang berisi martabak manis. Tentu saja membuat aku bahagia, diperlakukan romantis oleh sang suami. Padahal aku tadi seneng marah padanya karena dia telat pulang. "Wah makasih bunganya, dalam rangka apa ni?" Tanyaku. "Dalam rangka apa ya? Nggak ada, cuma mau ngasih bunga aja ke istri aku yang cantik," ungkap mas Dimas. Kata-kata Mad Dimas sukses membuat aku melayang dan bahagia. Mas Dimas memang pandai dalam menarik hatiku.Tak ada yang aneh, dia masih bersikap baik dan romantis padaku. Ia mengganti pakaiannya, aku memperhatikan nya sambil duduk di kasur, tadi aku ingat sekali Jiak Mela mengatakan," Kali aja Si Joni-nya nggak mau bangun Nay." Kata-kata itu terus terngiang di telingaku dan saatnya aku membuktikan hal ini, aku sih berharap Mas Dimas tidak seperti itu. Namun bagaimana caranya?? "Sayang ..em, tadi kan Bos-ku bilang aku harus ke Bali, Jum'at sore aku berangkat, jadi ke rumah Mama kita tunda dulu ya?" "Emang kamu harus pergi ya?" tanyaku agak kecewa. Baru saja sebentar jadi pengantin baru harus ditinggal pergi. "Iya, soalnya pengerjaan proyek itu ada hambatan, sepertinya ada beberapa bagian yang harus diperbaiki, jadi Bos menyuruh aku untuk meninjau langsung proyek itu," ungkap Mas Dimas. Aku mengangguk-angguk. "Bagaimana kalau aku ikut?" Tanyaku kemudian dengan antusias. "Kita bisa sekalian bulan madu Mas," tambahku lagi. "Sayang aku ke sana pergi bekerja, bukan untuk main-main. Nanti kita cari waktu khusus untuk bulan madu," ungkapnya keberatan. "Ya udah kalau gitu," ucapku agak kecewa. Tentu saja mulutku ini langsung mengerucut, kecewa dan kesal padanya. Ia tersenyum dan mendekatiku, Mas Dimas menatapku, aku tak kuasa melawan pesona Mas Dimas jika sedang menatapku seperti itu. Ia mengecup bibirku mesra dan ciuman panas itu pun berakhir di ranjang. Ini saatnya, untuk membuktikan yang dikatakan oleh Mela salah. ****Mas Dimas sangat paham cara membuat aku agar tak marah lagi padanya, sentuhan-sentuhan lembut ia berikan padaku, membuat aku semakin bergairah. Tiba-tiba saja aku ingat pada misiku sebelumnya.Ini saatnya aku memberanikan diri untuk menyentuh bagian sensitifnya Mas Dimas untuk membuktikan kata-kata Mela tadi siang. Aku yakin Mela salah, namun apa alasan lain Mas Dimas tak mau menyentuhku?Sebelumnya aku tidak pernah melakukannya karena aku masih malu, maklum aku dan Mas Dimas baru saja menikah dan kami juga tak pacaran. Sehingga rasa canggung tentu saja menguasai diri ini.Nafasku terasa naik turun saat Mas Hanif mulai melancarkan aksinya, menyentuh setiap bagian tubuhku. Apakah ini akan menjadi malam pertamaku??Namun, saat itu juga tanganku bergerak untuk ikut menyentuh bagian sensitif miliknya. Tapi sayangnya, sepertinya ia sadar dan menepis tanganku dengan kasar."Mas..." ucapku lirih.Aku kaget karena baru saja kami bermesraan, tiba-tiba saja ia tak terima saat aku akan menyent
"Nay...plis maafkan aku, aku nggak mau kita pisah, aku akan berusaha berobat, kata orang bisa sembuh kok," ungkap Mas Dimas. "Kalau memang bisa sembuh kenapa Mas tidak berobat dari dulu?" Tanyaku sinis."Udah Nay, cuma mungkin aku tidak terlalu yakin untuk berobat sampai sembuh," ungkapnya."Apa mungkin karena mamang nggak mau sembuh??" Pikirku. Jika Mas Dimas seperti ini aku tidak akan mendapatkan keturunan dari Mas Dimas. Harus kah aku bertahan dan memberikan Mas Dimas kesempatan? Jika Mama dan Papaku tahu tentang Mas Dimas mereka pasti akan sangat terpukul."Aku tahu, aku sudah tak jujur pada mu dari awal, tapi aku tak bisa mengatakan padamu, karena takut kamu akan menolakku. Aku sudah terlanjur cinta saat pertama kali melihatmu Nay," ungkap Mas Dimas bersungguh-sungguh. Aku menatap netranya, mencari kesungguhan di sana. Aku juga punya banyak pertimbangan untuk memutuskan hubungan pernikahan ini, Papa dan Mama pasti akan sangat malu karena mereka selalu membanggakan Mas Dimas di
Ah, untuk apa memikirkan hal yang tak penting untuk sekarang ini, rumah tanggaku saja dalam masalah. Malah memikirkan story Egi yang tidak ada hubungannya dengan rumah tanggaku. "Ihh, keren semalam kayaknya dia makan malam di restoran di tepi pantai yang harga makanannya selangit itu, aku mau dong ke sana,," ungkap Mela kemudian. "Lihat Mel?" Ungkapku sambil melihat ponsel Mela, Mela menunjukkan padaku. Aku jadi ingat semalam Mas Dimas juga mengunggah story nya sedang makan malam di restoran itu. Mengapa kebetulan sama dengan story Egi? "Mas Dimas juga makan malam di situ semalam Mel," ucapku. Tapi, Mas Dimas makan malam bareng Rendy dan Bosnya. Apa Mas Dimas tidur bareng Rendi juga ya? Ah...pikiran apa pula ini. Apa mungkin aku terlalu berlebihan, terlalu overthinking karena saat ini pikiranku sedang sangat kacau. "Jangan-jangan mereka ketemu lagi Nay. Mas Dimas dan Egi saling kenal kan?" Aku mengangguk dan hanya tersenyum getir dan menepis semua prasangka buruk ku. "Seru ya
Pagi harinya Mas Dimas tak menyapaku, ia sepertinya masih marah padaku, seharusnya aku yang marah padanya. Tapi kenapa jadi kebalik ya? Saat Mas Dimas baru selesai mandi, aku menghampirinya. "Mas maafkan aku, aku percaya kok, jika kamu lembur. Tapi kalau Sabtu Minggu, aku minta waktumu. Aku ingin seperti orang-orang pengantin baru, jalan berdua, makan berdua, gitu," ucapku sambil menahan gengsi dari dalam diriku. Ia tersenyum dan mengecup ku sekilas. "Yah, aku juga minta maaf ya, aku tuh capek banget lho sayang...mana harus bolak balik ke Bali, ngurusin proyek. Kamu tahu kan, proyek yang aku pegang bukan hanya di Bali. Ini untuk kamu juga kan?" Aku mengangguk dan tersenyum, melihat wajah tampan itu tersenyum padaku, membuat semua yang telah terjadi seolah terlupakan. "Nah gitu dong kamu harus paham. Uang bulanan kamu bulan ini, nanti aku transfer ya?" "Masih ada kok Mas, yang bulan lalu aja masih utuh," ucapku. Dia menyentuh daguku dan memandangiku. "Kewajiban aku menafkahi is
Aku heran juga, Mas Dimas itu keren dan sangat komunikatif tapi mengapa dia tak pernah menjalin hubungan dengan wanita. "Katanya dia nggak mau pacaran, Ay...katanya kalau ketemu yang cocok langsung dinikahi, dia anti pacaran, begitu katanya," ucap ibu sambil meletakkan beberapa camilan di dalam piring. Ah, masak? Apa Mas Dimas itu seperti Ikhwan-ikhwan yang memang tak mau pacaran. Namun aku lihat, saat bertemu dengan teman kantornya yang lawan jenis, Mas Dimas tak menundukkan pandangan layaknya Ikhwan-ikhwan Sholeh. "Oh gitu, Bu!" "Iy, Seperti kamu, pas kenal langsung dinikahi, pacarannya setelah menikah, hubungannya halal lagi," ucap ibu sambil tersenyum padaku. Aku hanya tersenyum pahit mendengar penuturan ibu. Mas Dimas tak seperti itu, memperlakukan aku dengan baik di awal pernikahan namun tidak akhir-akhir ini. "Memang halal untuk disentuh namun..sentuhan itu tak pernah aku dapatkan, Bu," ungkapku dalam hati. Ucapan itu h
Aku menahan semua yang aku rasakan pada kedua orang tuaku, biarlah semua ini aku pendam sendiri. Menutupi aib suamiku karena cinta. Yah, cinta. "Nggak ada apa-apa kok, Ma. Berantem-berantem kecil gitu biasalah, namanya juga suami istri," ungkapku. "Tapi Mama lihat hubungan kalian itu hambar dan dingin, bukan seperti pasangan suami istri lainnya. Terus kok kalian nggak bulan madu ya?" Aku tersenyum tipis menunjukan semua baik-baik saja. "Belum Ma, Mas Dimas sedang sibuk, katanya dia mau menyelesaikan proyek nya dulu yang di kota ini, baru setelah itu kami bulan madu, Ma," dustaku. "Ohh.." Mama membulatkan mulutnya. "Dimas kan bolak balik ke Bali, masak kamu nggak diajak kan Bisa sekalian gitu sambil bulan madu," ucap Papa. Aku berpikir cepat, agar orang tuaku tak curiga. Alasan apa lagi yang harus aku berikan pada mereka. "Anu Pa...Mas Dimas kan perginya untuk bekerja, lagi pula aku sedang sibuk di kantor saat Mas Dimas pergi ke Bali, Susah Ma, untuk menyesuaikan jadwal kami
Dengan tangan bergetar aku menautkan aplikasi Mas Dimas pada laptopku agar setiap pesan yang masuk ke ponsel Mas Dimas bisa aku pantau. Namun entah mengapa, semua berjalan dengan lambat. Aku cemas dan takut Mas Dimas kembali, saat aku belum menyelesaikan ini. "Done, Alhamdulillah!" Aku meletakkan lagi ponsel Mas Dimas di tempat biasa. Saat aku hendak mematikan laptopku, tedengar kenop pintu diputar oleh seseorang. Itu pasti Mas Dimas. Pintu terbuka, bertepatan dengan itu, aku menutup laptopku dan pura-pura merapikan jilbabku. Mas Dimas menatapku agak lama dan mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. "Kamu lihat ponselku nggak?" Tanyanya. "Tuh!" Sahutku menunjuk ponsel Mas Dimas dengan cuek. Aku berharap ia tak curiga dan tak mengetahui jika aku menautkan aplikasi chat itu pada laptopku. "Ah, untunglah, aku pikir terjatuh," ungkapnya. Aku tak menanggapi dan terus berpura-pura merapikan jilbab dan make-upku. "Em, maaf soal tadi malam ya Nay...aku khilaf dan tak bermaksud unt
Jantungku terasa berhenti berdetak. Aku melirik pada Mas Dimas yang tersenyum sambil terus menyentuh layar ponselnya lihai membalas pesan dari Rendi. Sepertinya dia memang tak sadar jika pesan-pesannya aku sadap. Karena aku tahu Mas Dimas tak terlalu suka mengotak atik ponselnya. "Sssstttt!" Hanya pesan itu yang dibalas oleh Mas Dimas pada Rendi. Kemudian Rendi membalas emoticon tertawa terpingkal-pingkal. Jadi inilah alasan Mas Dimas tak mengajakku ke Bali. Karena Mas Dimas ingin bermesraan dengan yang wanita lain. "Aku yakin Mas Dimas selingkuh, yah..dia selingkuh di belakangku. Apa jangan-jangan, penyakit nya itu juga sebenarnya bohong. Dia berpura-pura," pikirku. Namun tiba-tiba aku ingat pada benda yang dimiliki oleh Mas Dimas, mainan s*ks untuk wanita yang dirancang khusus menyerupai benda milik pria itu. Apa mungkin Mas Dimas menggunakan benda itu untuk berselingkuh? Tapi untuk apa? Sedangkan dia tetap tak bisa mendapatkan kepuasan batin. Semua teka-teki ini tak mampu a
Aku menangis sejadinya, tak menyangka ternyata Egi dan Mas Dimas menjalin hubungan. Aku menangis dan meraung-raung hingga rasanya dada ini terasa sesak. Rasanya aku kesulitan bernafas dan hendak berteriak sekerasnya. Namun suara itu hanya tercekat di tenggorokan. “Sayang... Sayang... Naya... !!“Sayup-sayup aku mendengar suara Mas Dimas dan aku merasa ada yang menepuk-nepuk pipiku. Aku membuka mata perlahan dan melihat ada Mas Dimas yang terlihat sangat Khawatir di depan wajahku. “Naya kamu mimpi, bangun, kamu udah bangun kan?? “ tanya Mas Dimas lagi. Aku mengangguk dalam kebingungan. Melihat ke kiri dan ke kanan. Ternyata aku tidur di atas sofa di ruang TV. “Egi mana? “ tanyaku sambil mengusap sisa air mata di pipi. “Egi? Tak ada Egi di rumah ini, kamu pulang kerja, terus tiba-tiba kamu tertidur di sini. Saat aku sedang mandi tiba-tiba kamu teriak dan Nangis-nangis,” Jawab Mas Dimas menjelaskan. “Benaran?? “ tanyaku. “Iya, aku sampai kaget lho. kamu mimpi apa? Kok sampai segit
Aku menghempas kan tubuhku di ranjang, capek juga..aku menoleh pada mas Dimas yang sepertinya sudah tidur dari tadi.Aku tersenyum dan masih bisa merasakan kebahagiaan Mela saat Egi menyarungkan cincin di jari manisnya. Ia bahkan tak henti-hentinya bibirnya membentuk senyuman. “Semoga Mela dan Egi bisa melanjutkan ke jenjang pernikahan, “ gumamku. Mas Dimas terbangun, saat aku merebahkan tubuhku di samping mas Dimas. “Udah pulang sayang?? “tanya Mas Dimas dengan suara serak. “Iya Mas, udah. Tadi Mela dan keluarga nya nanyak kamu, “ ungkapku. “Kamu bilang apa? ““Aku bilang saja kamu sakit,” Jawabku. Kemudian mas Dimas menanyakan bagaimana acara pertunangan Egi dan Mela. “Mereka sangat bahagia, begitu juga kedua keluarga mereka. Semua mendesak agar Egi dan Mela yang perlu lama-lama bertunangan, “ ucapku sambil tersenyum. “Egi bagaimana? “tanya Mas Dimas. “Bagaimana apanya?? ““Yah, apa dia juga terlihat bahagia seperti Mela atau bagaimana? “ Aku mengernyit kan dahiku saat mende
Aku pulang ke rumah dengan hati yang sangat bahagia, bisa berbaikan dengan Mela adalah harapanku. Aku juga sama seperti Mela tak tahan lama-lama tidak mengobrol dengannya. Tiba-tiba saja aku ingat, jika aku punya gaun berwarna biru muda. Tapi sepertinya Mas Dimas tidak punya kemeja biru. Ada tidak ya? Gegas aku melajukan mobil pulang ke arah rumah dan menanti kepulangan Mas Dimas. Tak sabar ingin memberi tahu Mas dimas jika Mela dan Egi akan bertunangan nanti malam. Begitu tiba di rumah, ternyata mas Dimas sudah pulang, mobilnya sudah terparkir rapi di garasi.“Tumben dia pulang cepat, “ gumamku. Gegas aku turun dari mobil dan menemui Mas dimas. Ia sedang duduk di ruang keluarga sambil memijat kepalanya. “Mas..? ““Hey sayang kamu udah pulang?” Mas Dimas menyambut ku dengan kecupan di bibir. “Iya, tumben Mas pulang cepat, “ ungkapku. “Iya, kebetulan semua kerajaan udah selesai aku kerjakan dengan cepat tadi siang, “ jawab Mas Dimas. Wajahnya terlihat kusut dan juga seperti kele
Hari berlalu, Egi dan Mela sudah tak pernah lagi datang ke rumahku. Sejak kejadian itu, Mela mungkin mengadukan hal ini pada Egi. Ia menyampaikan pada Egi, jika aku keberatan jika Egi selalu datang ke rumah ini. “Nay.. Kalian kenapa? Kok sekarang Mela sudah jarang datang ke rumah ini? “ tanya Mas Dimas saat menyadari Mela yang kini jarang datang ke rumah ini. “Apa nya yang kenapa? Aku dan Mela baik-baik saja kok. Mungkin Mela aja yang terlalu baperan,” ungkapku. “Kalau ada masalah lebih baik bicarakan baik-baik jangan seperti ini. Sampai Egi juga nggak pernah kemari lagi. Ada apa sih? “ selidik Mas Dimas lagi. "Nggak ada Mas, namanya sahabatan terkadang sering terjadi salah paham. Nanti juga baikan lagi kok, “ ucapku santai. Aku tak mungkin menceritakan apa yang telah terjadi di antara kami. “Egi juga nggak pernah datang ke sini lagi, emang ada apa sih? “ tanya Mas Dimas mengulang pertanyaannya. Aku melihat mata Mas Dimas, entah dia pura-pura bertanya atau memang benar-benar ta
Aku meraih celana dalam berwarna maroon itu, tentu saja dengan tangan kiriku, takut nanti ternyata celana dalam itu adalah milik Egi. Apa lagi celana dalam bekas pakai. “Tapi, mirip punya Mas Dimas, aku hapal betul merk dan ukuran celananya, “ gumamku sambil memperhatikan celana yang ada di tangan kiri ku ini. Darahku berdesir saat mengingat jika kemungkinan Egi dan Mas Dimas semalam sempat melakukan... Gegas aku keluar dari kamar itu dan menemui Mas Dimas yang masih tidur di kamar. Dengan setelah berlari aku masuk ke kamar dan membangunkan Mas Dimas. “Mas? Mas? Bangun! “ ucapku sambil berdiri dengan menjinjing celana dalam berwarna maroon gelap itu. “Mas! Mas! Bangun! “ seruku. Mas Dimas menggeliat, ia membuka matanya sesaat, tapi kemudian ia tidur lagi. “Mas, ada yang ingin aku tanyakan, “ ucapku lagi sambil Menggoyang-goyangkan bahu Mas Dimas dengan kesal. “Apa sih sayang... Aku ngantuk banget, “ keluhnya sambil bangkit dari tidurnya dan mengucek matanya. “Ini punya siapa?
Aku sudah berdamai dengan keadaan, walaupunMas Dimas yang tak bisa menjadi laki-laki perkasa. Sepertinya aku yang harus benar-benar menunggu Mas Dimas bisa sembuh. Ia sudah banyak berubah dan aku menghargai itu. Namun, beberapa hari kemudian Egi kembali bertandang ke rumahku di malam Sabtu. Katanya dia suntuk di rumah sendirian. Ia tak datang bersama Mela. Katanya Mela ada acara keluarga, jadi tak bisa menemani Egi. “Suntuk Naya... Aku bosan sendirian di rumah, Mela juga nggak bisa aku ajak keluar, katanya ada acara keluarga. Kebetulan Mas Dimas ngajak aku main game bola, ya kenapa aku tolak, “ ungkap Egi beralasan. Alhasil Mas Dimas dan juga Egi bermain game hingga larut malam. Aku segera berpamitan pada mereka dan tidur ke kamar. Membiarkan mereka berdua yang asik sekali bermain game. “Aku tidur duluan ya Mas, ngantuk, “ pamitku. “Ya, ya Nay. Kamu tidur duluan aja, ” Mas Dimas menjawab tanpa menoleh padaku. Karena matanya fokus ke
Dan mereka ternyata sedang.... “Eh kalian! “ sapa Mas Dimas santai. Ia melanjutkan mencabut uban Egi yang ada di bagian depan kepalanya sambil berbincang-bincang. Hei, tadi apa yang aku lihat, tadi aku melihat adegan mereka sedang berciuman, kepala Mas Dimas bergerak ke kiri dan ke kanan. Benar, aku melihat mereka, tak seperti ini sedang berbincang-bincang. “Uban pacar kamu banyak juga ya Mel. Kamu nggak pernah nyabutin? “ tanya Mas Dimas sambil fokus mencari uban di kepala Egi, apa mereka seakrab inj sekarang?? Heran. “Enggak Mas, gue paling males kalau disuruh cabutin uban, Egi sering minta ke gue untuk nyabutin ubannya, “ jawab Mela.“Ini Gi, dapat satu lagi,” ucap Mas Dimas sambil memberikan satu helai uban ke tangan Egi. Aku masih bengong dan munhkin terlihat melongo di depan mereka berdua. Mas Dimas menghentikan aktifitasnya dan melihat ke arah kami berdua dengan raut wajah keheranan. “Kalian kenapa? Wajahnya tegang gitu? Bengong kayak sapi ompong, “ tanya Mas Dimas. Egi ter
Mela tersenyum dan bangkit dari duduknya. "Aku tinggal dulu ya Yang.., " ucap Mela lembut. Aku mendorong bahu Mela, geli melihat mereka yang biasanya berumur elo-gue jadi sayang-sayangan. "Kamu ya Mel, kalau sama Egi aja pakai aku-kamu, sama aku Gue-Elo, udah sayang-sayang pula lagi sekarang, " ungkapku meledek Mela. "Ya iyalah namanya juga baru jadian, pasti deh mesra, iyakan ayang... " ucap Mela lagi manja.Egi hanya tersenyum sekilas saja. Sikap Egi memang agak dingin sebagai cowok, disitulah letak pesinanya. Begitu kata Mela padaku. Sedangkan Mela hanya cengar-cengir tak jelas. "Huu... dasar! " aku kembali mendorong tubuh Mela pelan, ia hanya tertawa tengil. Kemudian aku beralih pada Egi. “Egi kami tinggal dulu ya, nanti kalau Mas Dimas sudah selesai mandi, dia yang akan nemenin kamu, “ ungkapku pada Egi sebelum pergi ke dapur. “Iya, santai aja kali.” Aku tersenyum dan meninggalkan Egi dan pergi ke dapur untuk memasak bersama Mela. “Masak yang enak ya Nay! “ ser
Bab 23 “Egi kenapa? “ tanyaku penasaran. “Egi menerima cinta gue Nay... “ Seru Mela di seberang sana. “Oh ya? Aku turut senang mendengarnya, jadi kalian memutuskan untuk jadian? “ tanyaku sambil tersenyum. “Iya, Egi bilang ingin menjalin hubungan dengan gue, istilahnya kayak penjajakan dulu gitu Nay,” Ucap Melalui di sebarang sana. Dia terdengar begitu bahagia. “Oh gitu, semoga langgeng ya... “ “Oke, makasih ya Nay, gue bahagia banget.. “ Ucap Mela sambil tertawa kecil. Ia mengakhiri pembicaraan setelah berbasa basi sejenak. Aku kembali menemui Mas Dimas sambil tersenyum, aku ikut bahagia karena Mela sahabatku menemui cinta sejatinya. Cuma ada yang aneh, dari gerak gerik Egi yang aku lihat ia sama sekali tak menunjukkan tanda-tanda jika Egi menyukai Mela. Tapi.. Entahlah hati orang siapa yang tahu, apa lagi kalau laki-laki, susah ditebak. “Telepon dari siapa Nay? “ tanya Mas Dimas. “Mela, dia baru aja jadian, “ jawabku sambil tak henti-hentinya bibir ini mena