Ah, untuk apa memikirkan hal yang tak penting untuk sekarang ini, rumah tanggaku saja dalam masalah. Malah memikirkan story Egi yang tidak ada hubungannya dengan rumah tanggaku.
"Ihh, keren semalam kayaknya dia makan malam di restoran di tepi pantai yang harga makanannya selangit itu, aku mau dong ke sana,," ungkap Mela kemudian. "Lihat Mel?" Ungkapku sambil melihat ponsel Mela, Mela menunjukkan padaku. Aku jadi ingat semalam Mas Dimas juga mengunggah story nya sedang makan malam di restoran itu. Mengapa kebetulan sama dengan story Egi? "Mas Dimas juga makan malam di situ semalam Mel," ucapku. Tapi, Mas Dimas makan malam bareng Rendy dan Bosnya. Apa Mas Dimas tidur bareng Rendi juga ya? Ah...pikiran apa pula ini. Apa mungkin aku terlalu berlebihan, terlalu overthinking karena saat ini pikiranku sedang sangat kacau. "Jangan-jangan mereka ketemu lagi Nay. Mas Dimas dan Egi saling kenal kan?" Aku mengangguk dan hanya tersenyum getir dan menepis semua prasangka buruk ku. "Seru ya? Tapi Betewe Lo kok nggak ikut Nay?" tanya Mela penasaran. "Mas Dimas kan kerja Nay, bukan untuk pergi liburan, nanti lain kali kami atur waktu untuk bulan madu," ungkapku pada Mela. Bulan madu seperti apa? Bahkan untuk merasakan malam pertama saja tak bisa. Setelah berbicara beberapa saat aku pun memutuskan untuk pulang ke rumah, begitu juga dengan Mela yang katanya ingin segera tiba di rumah dan beristirahat, karena besok kami harus bekerja kembali seperti biasa. ~~~ Mas Dimas pulang, setelah tiga malam di Bali, ia tampak lelah, namun terlihat sangat bahagia. Aku bisa melihat saat ia senyum-senyum sendiri. "Bahagia banget kayaknya Mas," tegurku. Ia tersenyum dan memelukku. "Bahagia dong, karena aku udah ketemu kamu," ucapnya. Aku tersenyum dan tersipu-sipu malu. "Oh ya?" Tanyaku tak yakin. "Iya dong!" Sahutnya sambil mengecup keningku. Sesaat kami terdiam, mas Dimas kembali sibuk dengan ponselnya. "Emm, Mas kapan kita pergi ke pengobatan, aku udah ketemu lho pengobatan alternatifnya, katanya di sana banyak yang bisa sembuh Mas," ungkapku. "Ya, nantilah kapan-kapan kita ke sana," Ungkapnya dengan nada malas. "Kok gitu? Mas udah janji mau berobat, sekarang kok nggak mau!" Ucapku mulai tersulut emosi. "Aku capek Nay, aku baru saja pulang, bukannya disambut dengan baik, malah ngomongin yang nggak penting!" Ucap Mas Dimas. "Apa kata Mas? Nggak penting? Nggak penting? Ini demi rumah tangga kita, demi kelanjutan rumah tangga kita, Mas. Bisa-bisanya kamu bilang nggak penting," ungkapku dengan nada kesal. "Tapi nggak dalam waktu dekat ini dong. Aku sibuk, aku banyak pekerjaan!" Ungkapnya dengan nada marah. "Iya aku tahu, setidaknya kamu bilang iya aja, apa susahnya sih!" Ia menarik nafas dan mendengus kesal, kemudian ia menatapku dengan tatapan tajam sambil menahan amarahnya yang hendak meledak. "Cukup! Aku nggak mau berdebat denganmu, aku capek!" Ungkapnya dengan nada pelan namun penuh penekanan. "Aku mau mandi!" Ia pun berlalu ke kamar mandi dan meninggalkan aku begitu saja. Aku terduduk di ranjang, menghela nafas berat, aku berharap Mama dan papa tak mendengarkan pertengkaran kami ini. Padahal baru saja dia minta maaf dan berjanji akan melakukan pengobatan untuk kesembuhannya, sekarang ia malah tak mau. Setelah ia pulang dari Bali, kehidupan kami sebagai sepasang suami istri terasa hambar. Tak ada peluk cium seperti biasanya, apa lagi lebih dari itu. Mas Dimas juga selalu pulang malam, dengan alasan lembur dan lembur. Jika sudah di rumah ia akan langsung mandi dan kemudian tidur. Mas Dimas baru saja selesai mandi, tadi aku menawarkan untuk makan malam, namun ia mengatakan sudah makan di luar. Setelah mengeringkan rambutnya dengan handuk Mas Dimas merebahkan tubuhnya di sampingku. "Mas kamu dari mana?!" Tanyaku pada Mas Dimas dengan nada datar, hari ini Sabtu ia keluar dari siang sampai malam. "Kenapa sih kamu bawel banget!!" Sentaknya tiba-tiba. "Mas aku kan nanyak kamu dari mana, masak karena itu pun kamu marah," ungkapku dengan nada lembut. "Aku dari kafe nongkrong-nongkrong bareng teman-teman aku, nggak boleh? Selama aku menikah dengan mu, semua kamu selidiki, aku seperti menikah dengan penyidik saja, bawel banget," ucapnya sinis. "Aku ini istrimu Mas, aku berhak tau kemana kamu pergi. Akhir-akhir ini juga, kamu selalu saja pulang malam, Mas kemana aja sih? Masak iya selalu lembur," ungkapku mengeluarkan isi hatiku yang selalu aku pendam. Sampai-sampai orang tuaku bertanya mengapa Mas Dimas selalu saja pulang malam. Berbagai alasan aku utarakan agar Mama dan Papaku tak mengetahui perubahan sikap Mas Dimas. "Kamu nggak percaya!? Harus ya saat aku sedang bekerja di kantor aku kontenin agar kamu percaya? Heran, kamu bawel banget tahu nggak jadi istri," ucapnya dengan nada marah. Ia merebahkan tubuhnya dan tidur membelakangiku. Hanya bertanya dia pulang dari mana saja, aku dibilang bawel. Aku hanya bisa menghela nafas berat, menyaksikan kehidupan pernikahan yang aku impikan sempurna, sekarang berantakan seperti ini. Aku seperti menikah untuk mengubah status saja. Tak bisa mendapatkan hak ku sebagai istri. Apa aku harus memberitahu adik Mas Dimas atau orang tuanya?? Entahlah. Aku merasa pernikahan yang aku impikan sempurna dan bahagia, kini sirna. Mas Dimas yang tak pernah marah padaku, dari mulai mengenalnya kini telah berubah. Aku juga merasa Mas Dimas seperti menutupi sesuatu, tapi entah apa. Semalaman aku tak tak bisa tidur, namun Mas Dimas tidur nyenyak Hinga dengkuran halusnya Terdengar ke telingaku. Apa dia tak merasa bersalah sedikitpun?? *** Bersambung!Pagi harinya Mas Dimas tak menyapaku, ia sepertinya masih marah padaku, seharusnya aku yang marah padanya. Tapi kenapa jadi kebalik ya? Saat Mas Dimas baru selesai mandi, aku menghampirinya. "Mas maafkan aku, aku percaya kok, jika kamu lembur. Tapi kalau Sabtu Minggu, aku minta waktumu. Aku ingin seperti orang-orang pengantin baru, jalan berdua, makan berdua, gitu," ucapku sambil menahan gengsi dari dalam diriku. Ia tersenyum dan mengecup ku sekilas. "Yah, aku juga minta maaf ya, aku tuh capek banget lho sayang...mana harus bolak balik ke Bali, ngurusin proyek. Kamu tahu kan, proyek yang aku pegang bukan hanya di Bali. Ini untuk kamu juga kan?" Aku mengangguk dan tersenyum, melihat wajah tampan itu tersenyum padaku, membuat semua yang telah terjadi seolah terlupakan. "Nah gitu dong kamu harus paham. Uang bulanan kamu bulan ini, nanti aku transfer ya?" "Masih ada kok Mas, yang bulan lalu aja masih utuh," ucapku. Dia menyentuh daguku dan memandangiku. "Kewajiban aku menafkahi is
Aku heran juga, Mas Dimas itu keren dan sangat komunikatif tapi mengapa dia tak pernah menjalin hubungan dengan wanita. "Katanya dia nggak mau pacaran, Ay...katanya kalau ketemu yang cocok langsung dinikahi, dia anti pacaran, begitu katanya," ucap ibu sambil meletakkan beberapa camilan di dalam piring. Ah, masak? Apa Mas Dimas itu seperti Ikhwan-ikhwan yang memang tak mau pacaran. Namun aku lihat, saat bertemu dengan teman kantornya yang lawan jenis, Mas Dimas tak menundukkan pandangan layaknya Ikhwan-ikhwan Sholeh. "Oh gitu, Bu!" "Iy, Seperti kamu, pas kenal langsung dinikahi, pacarannya setelah menikah, hubungannya halal lagi," ucap ibu sambil tersenyum padaku. Aku hanya tersenyum pahit mendengar penuturan ibu. Mas Dimas tak seperti itu, memperlakukan aku dengan baik di awal pernikahan namun tidak akhir-akhir ini. "Memang halal untuk disentuh namun..sentuhan itu tak pernah aku dapatkan, Bu," ungkapku dalam hati. Ucapan itu h
Aku menahan semua yang aku rasakan pada kedua orang tuaku, biarlah semua ini aku pendam sendiri. Menutupi aib suamiku karena cinta. Yah, cinta. "Nggak ada apa-apa kok, Ma. Berantem-berantem kecil gitu biasalah, namanya juga suami istri," ungkapku. "Tapi Mama lihat hubungan kalian itu hambar dan dingin, bukan seperti pasangan suami istri lainnya. Terus kok kalian nggak bulan madu ya?" Aku tersenyum tipis menunjukan semua baik-baik saja. "Belum Ma, Mas Dimas sedang sibuk, katanya dia mau menyelesaikan proyek nya dulu yang di kota ini, baru setelah itu kami bulan madu, Ma," dustaku. "Ohh.." Mama membulatkan mulutnya. "Dimas kan bolak balik ke Bali, masak kamu nggak diajak kan Bisa sekalian gitu sambil bulan madu," ucap Papa. Aku berpikir cepat, agar orang tuaku tak curiga. Alasan apa lagi yang harus aku berikan pada mereka. "Anu Pa...Mas Dimas kan perginya untuk bekerja, lagi pula aku sedang sibuk di kantor saat Mas Dimas pergi ke Bali, Susah Ma, untuk menyesuaikan jadwal kami
Dengan tangan bergetar aku menautkan aplikasi Mas Dimas pada laptopku agar setiap pesan yang masuk ke ponsel Mas Dimas bisa aku pantau. Namun entah mengapa, semua berjalan dengan lambat. Aku cemas dan takut Mas Dimas kembali, saat aku belum menyelesaikan ini. "Done, Alhamdulillah!" Aku meletakkan lagi ponsel Mas Dimas di tempat biasa. Saat aku hendak mematikan laptopku, tedengar kenop pintu diputar oleh seseorang. Itu pasti Mas Dimas. Pintu terbuka, bertepatan dengan itu, aku menutup laptopku dan pura-pura merapikan jilbabku. Mas Dimas menatapku agak lama dan mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. "Kamu lihat ponselku nggak?" Tanyanya. "Tuh!" Sahutku menunjuk ponsel Mas Dimas dengan cuek. Aku berharap ia tak curiga dan tak mengetahui jika aku menautkan aplikasi chat itu pada laptopku. "Ah, untunglah, aku pikir terjatuh," ungkapnya. Aku tak menanggapi dan terus berpura-pura merapikan jilbab dan make-upku. "Em, maaf soal tadi malam ya Nay...aku khilaf dan tak bermaksud unt
Jantungku terasa berhenti berdetak. Aku melirik pada Mas Dimas yang tersenyum sambil terus menyentuh layar ponselnya lihai membalas pesan dari Rendi. Sepertinya dia memang tak sadar jika pesan-pesannya aku sadap. Karena aku tahu Mas Dimas tak terlalu suka mengotak atik ponselnya. "Sssstttt!" Hanya pesan itu yang dibalas oleh Mas Dimas pada Rendi. Kemudian Rendi membalas emoticon tertawa terpingkal-pingkal. Jadi inilah alasan Mas Dimas tak mengajakku ke Bali. Karena Mas Dimas ingin bermesraan dengan yang wanita lain. "Aku yakin Mas Dimas selingkuh, yah..dia selingkuh di belakangku. Apa jangan-jangan, penyakit nya itu juga sebenarnya bohong. Dia berpura-pura," pikirku. Namun tiba-tiba aku ingat pada benda yang dimiliki oleh Mas Dimas, mainan s*ks untuk wanita yang dirancang khusus menyerupai benda milik pria itu. Apa mungkin Mas Dimas menggunakan benda itu untuk berselingkuh? Tapi untuk apa? Sedangkan dia tetap tak bisa mendapatkan kepuasan batin. Semua teka-teki ini tak mampu a
Egi menatapku, ingin tahu langkah selanjutnya yang akan aku lakukan. Aku pikir tak ada salahnya aku mengatakan rencanaku toh mereka berusaha adalah sahabat baikku."Entahlah Gi, mungkin aja aku ngikutin dia sore ini, jadi aku bisa memergoki dia dengan selingkuhannya itu," ucapku sambil menguatkan hati ini, walapun aku sebenarnya tak sanggup melihat kenyataan yang nanti akan aku saksikan sendiri."Mungkin setelah melihat kebusukan Mas Dimas dengan mataku sendiri, aku akan minta cerai, aku hanya ingin memastikan saja jika bukti chat itu benar menunjukan kalau dia berselingkuh," lanjutku dengan nada lemah dan juga hampir putus asa. Rasanya hidupku hancur, membayangkan rumah tangga yang baru seumur jagung aku bangun kini harus runtuh begitu saja.Egi dan Mela menganguk-angguk,. mereka merasa berempati atas kejadian yang telah menimpaku. "Gue nggak tahu, mungkin ini keputusan yang terbaik buat Lo Nay...tapi ada baiknya lo selidiki dulu, mungkin saja Mas Dimas itu tidak begitu orangnya,
Aku jadi berpikir sendiri, mengapa Mas Dimas seolah-olah seperti mengetahui aku menguntitnya. Kenapa dia tidak naik mobilnya? Jika aku menyadap ponselnya, bisa jadi Mas Dimas mengetahuinya, tapi kenapa dia tak marah padaku? ia terlihat santai saja dan tak pernah membahas hal itu padaku. Esok harinya sikap Mas Dimas biasa saja, dia tampak santai dan juga sangat tenang. Sikap Mas Dimas ini lah yang membuat aku jatuh cinta dulu, tenang dan juga berkharisma. Namun sikap tenang Mas Dimas ini, kini menjadi misteri. Ia bahkan seperti menghindar untuk ribut denganku. "Mas ada yang ingin aku tanyakan," ungkapku dingin. Aku juga sedang tak ingin ribut dan berharap Mas Dimas jujur jika dia mengatakan berselingkuh dariku. "Ada apa Nay?" tanyanya santai. "Em...kamu yakin masih mau bertahan denganku??" tanyaku. Ia menoleh padaku dan mengernyitkan dahinya. "Kamu kok ngomong gitu, seharusnya aku yang bertanya seperti itu padamu, bukan kamu," Ungkapnya sambil menatapku dengan tatapan hangat
Abah yang dari tadi hanya diam melihat ke arah Mas Dimas, begitu juga dengan ibu dan kedua adiknya. Aku harap mereka paham arah pembicaraan ku kemana. "Tapi banyak juga perempuan yang rahimnya nggak subur sehingga susah mendapatkan momongan Ay," ucap Mas Dimas. "Iya, tapi kalau suaminya memang nggak niatan punya anak dan tidak mau ikut program hamil dengan sang istri, apa istri juga yang harus disalahkan? terkadang pasangan suami istri itu tak bisa punya anak bukan karena istrinya yang nggak subur, tapi karena suaminya yang nggak bisa kasih keturunan," Ucapku dengan dengan emosi yang agak aku tahan. Semua orang menatapku, aku sudah tak sanggup lagi disalahkan seperti ini, biar orang tua Mas Dimas tahu jika anaknya yang tak mau punya anak. "Nay...? Sayang..." Ucap Mas Dimas sambil menggeleng. Ia takut rahasianya terbongkar, tapi aku memberi tahu kedua orang tuanya kali ini. "Eh, eh kalian kenapa? Ada apa?" tanya Ibu dengan raut wajah bingung. "Nay plis ..jangan.." Ucap Mas Dima
Aku menangis sejadinya, tak menyangka ternyata Egi dan Mas Dimas menjalin hubungan. Aku menangis dan meraung-raung hingga rasanya dada ini terasa sesak. Rasanya aku kesulitan bernafas dan hendak berteriak sekerasnya. Namun suara itu hanya tercekat di tenggorokan. “Sayang... Sayang... Naya... !!“Sayup-sayup aku mendengar suara Mas Dimas dan aku merasa ada yang menepuk-nepuk pipiku. Aku membuka mata perlahan dan melihat ada Mas Dimas yang terlihat sangat Khawatir di depan wajahku. “Naya kamu mimpi, bangun, kamu udah bangun kan?? “ tanya Mas Dimas lagi. Aku mengangguk dalam kebingungan. Melihat ke kiri dan ke kanan. Ternyata aku tidur di atas sofa di ruang TV. “Egi mana? “ tanyaku sambil mengusap sisa air mata di pipi. “Egi? Tak ada Egi di rumah ini, kamu pulang kerja, terus tiba-tiba kamu tertidur di sini. Saat aku sedang mandi tiba-tiba kamu teriak dan Nangis-nangis,” Jawab Mas Dimas menjelaskan. “Benaran?? “ tanyaku. “Iya, aku sampai kaget lho. kamu mimpi apa? Kok sampai segit
Aku menghempas kan tubuhku di ranjang, capek juga..aku menoleh pada mas Dimas yang sepertinya sudah tidur dari tadi.Aku tersenyum dan masih bisa merasakan kebahagiaan Mela saat Egi menyarungkan cincin di jari manisnya. Ia bahkan tak henti-hentinya bibirnya membentuk senyuman. “Semoga Mela dan Egi bisa melanjutkan ke jenjang pernikahan, “ gumamku. Mas Dimas terbangun, saat aku merebahkan tubuhku di samping mas Dimas. “Udah pulang sayang?? “tanya Mas Dimas dengan suara serak. “Iya Mas, udah. Tadi Mela dan keluarga nya nanyak kamu, “ ungkapku. “Kamu bilang apa? ““Aku bilang saja kamu sakit,” Jawabku. Kemudian mas Dimas menanyakan bagaimana acara pertunangan Egi dan Mela. “Mereka sangat bahagia, begitu juga kedua keluarga mereka. Semua mendesak agar Egi dan Mela yang perlu lama-lama bertunangan, “ ucapku sambil tersenyum. “Egi bagaimana? “tanya Mas Dimas. “Bagaimana apanya?? ““Yah, apa dia juga terlihat bahagia seperti Mela atau bagaimana? “ Aku mengernyit kan dahiku saat mende
Aku pulang ke rumah dengan hati yang sangat bahagia, bisa berbaikan dengan Mela adalah harapanku. Aku juga sama seperti Mela tak tahan lama-lama tidak mengobrol dengannya. Tiba-tiba saja aku ingat, jika aku punya gaun berwarna biru muda. Tapi sepertinya Mas Dimas tidak punya kemeja biru. Ada tidak ya? Gegas aku melajukan mobil pulang ke arah rumah dan menanti kepulangan Mas Dimas. Tak sabar ingin memberi tahu Mas dimas jika Mela dan Egi akan bertunangan nanti malam. Begitu tiba di rumah, ternyata mas Dimas sudah pulang, mobilnya sudah terparkir rapi di garasi.“Tumben dia pulang cepat, “ gumamku. Gegas aku turun dari mobil dan menemui Mas dimas. Ia sedang duduk di ruang keluarga sambil memijat kepalanya. “Mas..? ““Hey sayang kamu udah pulang?” Mas Dimas menyambut ku dengan kecupan di bibir. “Iya, tumben Mas pulang cepat, “ ungkapku. “Iya, kebetulan semua kerajaan udah selesai aku kerjakan dengan cepat tadi siang, “ jawab Mas Dimas. Wajahnya terlihat kusut dan juga seperti kele
Hari berlalu, Egi dan Mela sudah tak pernah lagi datang ke rumahku. Sejak kejadian itu, Mela mungkin mengadukan hal ini pada Egi. Ia menyampaikan pada Egi, jika aku keberatan jika Egi selalu datang ke rumah ini. “Nay.. Kalian kenapa? Kok sekarang Mela sudah jarang datang ke rumah ini? “ tanya Mas Dimas saat menyadari Mela yang kini jarang datang ke rumah ini. “Apa nya yang kenapa? Aku dan Mela baik-baik saja kok. Mungkin Mela aja yang terlalu baperan,” ungkapku. “Kalau ada masalah lebih baik bicarakan baik-baik jangan seperti ini. Sampai Egi juga nggak pernah kemari lagi. Ada apa sih? “ selidik Mas Dimas lagi. "Nggak ada Mas, namanya sahabatan terkadang sering terjadi salah paham. Nanti juga baikan lagi kok, “ ucapku santai. Aku tak mungkin menceritakan apa yang telah terjadi di antara kami. “Egi juga nggak pernah datang ke sini lagi, emang ada apa sih? “ tanya Mas Dimas mengulang pertanyaannya. Aku melihat mata Mas Dimas, entah dia pura-pura bertanya atau memang benar-benar ta
Aku meraih celana dalam berwarna maroon itu, tentu saja dengan tangan kiriku, takut nanti ternyata celana dalam itu adalah milik Egi. Apa lagi celana dalam bekas pakai. “Tapi, mirip punya Mas Dimas, aku hapal betul merk dan ukuran celananya, “ gumamku sambil memperhatikan celana yang ada di tangan kiri ku ini. Darahku berdesir saat mengingat jika kemungkinan Egi dan Mas Dimas semalam sempat melakukan... Gegas aku keluar dari kamar itu dan menemui Mas Dimas yang masih tidur di kamar. Dengan setelah berlari aku masuk ke kamar dan membangunkan Mas Dimas. “Mas? Mas? Bangun! “ ucapku sambil berdiri dengan menjinjing celana dalam berwarna maroon gelap itu. “Mas! Mas! Bangun! “ seruku. Mas Dimas menggeliat, ia membuka matanya sesaat, tapi kemudian ia tidur lagi. “Mas, ada yang ingin aku tanyakan, “ ucapku lagi sambil Menggoyang-goyangkan bahu Mas Dimas dengan kesal. “Apa sih sayang... Aku ngantuk banget, “ keluhnya sambil bangkit dari tidurnya dan mengucek matanya. “Ini punya siapa?
Aku sudah berdamai dengan keadaan, walaupunMas Dimas yang tak bisa menjadi laki-laki perkasa. Sepertinya aku yang harus benar-benar menunggu Mas Dimas bisa sembuh. Ia sudah banyak berubah dan aku menghargai itu. Namun, beberapa hari kemudian Egi kembali bertandang ke rumahku di malam Sabtu. Katanya dia suntuk di rumah sendirian. Ia tak datang bersama Mela. Katanya Mela ada acara keluarga, jadi tak bisa menemani Egi. “Suntuk Naya... Aku bosan sendirian di rumah, Mela juga nggak bisa aku ajak keluar, katanya ada acara keluarga. Kebetulan Mas Dimas ngajak aku main game bola, ya kenapa aku tolak, “ ungkap Egi beralasan. Alhasil Mas Dimas dan juga Egi bermain game hingga larut malam. Aku segera berpamitan pada mereka dan tidur ke kamar. Membiarkan mereka berdua yang asik sekali bermain game. “Aku tidur duluan ya Mas, ngantuk, “ pamitku. “Ya, ya Nay. Kamu tidur duluan aja, ” Mas Dimas menjawab tanpa menoleh padaku. Karena matanya fokus ke
Dan mereka ternyata sedang.... “Eh kalian! “ sapa Mas Dimas santai. Ia melanjutkan mencabut uban Egi yang ada di bagian depan kepalanya sambil berbincang-bincang. Hei, tadi apa yang aku lihat, tadi aku melihat adegan mereka sedang berciuman, kepala Mas Dimas bergerak ke kiri dan ke kanan. Benar, aku melihat mereka, tak seperti ini sedang berbincang-bincang. “Uban pacar kamu banyak juga ya Mel. Kamu nggak pernah nyabutin? “ tanya Mas Dimas sambil fokus mencari uban di kepala Egi, apa mereka seakrab inj sekarang?? Heran. “Enggak Mas, gue paling males kalau disuruh cabutin uban, Egi sering minta ke gue untuk nyabutin ubannya, “ jawab Mela.“Ini Gi, dapat satu lagi,” ucap Mas Dimas sambil memberikan satu helai uban ke tangan Egi. Aku masih bengong dan munhkin terlihat melongo di depan mereka berdua. Mas Dimas menghentikan aktifitasnya dan melihat ke arah kami berdua dengan raut wajah keheranan. “Kalian kenapa? Wajahnya tegang gitu? Bengong kayak sapi ompong, “ tanya Mas Dimas. Egi ter
Mela tersenyum dan bangkit dari duduknya. "Aku tinggal dulu ya Yang.., " ucap Mela lembut. Aku mendorong bahu Mela, geli melihat mereka yang biasanya berumur elo-gue jadi sayang-sayangan. "Kamu ya Mel, kalau sama Egi aja pakai aku-kamu, sama aku Gue-Elo, udah sayang-sayang pula lagi sekarang, " ungkapku meledek Mela. "Ya iyalah namanya juga baru jadian, pasti deh mesra, iyakan ayang... " ucap Mela lagi manja.Egi hanya tersenyum sekilas saja. Sikap Egi memang agak dingin sebagai cowok, disitulah letak pesinanya. Begitu kata Mela padaku. Sedangkan Mela hanya cengar-cengir tak jelas. "Huu... dasar! " aku kembali mendorong tubuh Mela pelan, ia hanya tertawa tengil. Kemudian aku beralih pada Egi. “Egi kami tinggal dulu ya, nanti kalau Mas Dimas sudah selesai mandi, dia yang akan nemenin kamu, “ ungkapku pada Egi sebelum pergi ke dapur. “Iya, santai aja kali.” Aku tersenyum dan meninggalkan Egi dan pergi ke dapur untuk memasak bersama Mela. “Masak yang enak ya Nay! “ ser
Bab 23 “Egi kenapa? “ tanyaku penasaran. “Egi menerima cinta gue Nay... “ Seru Mela di seberang sana. “Oh ya? Aku turut senang mendengarnya, jadi kalian memutuskan untuk jadian? “ tanyaku sambil tersenyum. “Iya, Egi bilang ingin menjalin hubungan dengan gue, istilahnya kayak penjajakan dulu gitu Nay,” Ucap Melalui di sebarang sana. Dia terdengar begitu bahagia. “Oh gitu, semoga langgeng ya... “ “Oke, makasih ya Nay, gue bahagia banget.. “ Ucap Mela sambil tertawa kecil. Ia mengakhiri pembicaraan setelah berbasa basi sejenak. Aku kembali menemui Mas Dimas sambil tersenyum, aku ikut bahagia karena Mela sahabatku menemui cinta sejatinya. Cuma ada yang aneh, dari gerak gerik Egi yang aku lihat ia sama sekali tak menunjukkan tanda-tanda jika Egi menyukai Mela. Tapi.. Entahlah hati orang siapa yang tahu, apa lagi kalau laki-laki, susah ditebak. “Telepon dari siapa Nay? “ tanya Mas Dimas. “Mela, dia baru aja jadian, “ jawabku sambil tak henti-hentinya bibir ini mena