Aku kaget saat tiba-tiba ia mendorongku, mengapa dia mendorongku? Apa dia tak menginginkan aku bermesraan dengannya. Seketika pikiranku di landa berbagai tanda tanya yang berkecamuk di pikiranku.
"Mas, aku istrimu!" Seruku. Ia.masih yang belum sadar karena mungkin kami baru saja menikah kemarin. Ia menatapku sesaat dan mengusap wajahnya dengan tangannya. "Astaghfirullah, maaf sayang aku pikir kamu siapa, otakku belum ngeh kalau aku udah punya istri," ungkapnya. Aku tersenyum dan kembali beringsut untuk mendekatinya. Kembali memeluknya ingin merasakan kehangatan dari tubuh Mas Dimas di pagi yang dingin ini. Biasanya pengantin baru pagi hari adalah hal wajib yang harus dilakukan sepasang suami istri. Apa lagi dari semalam Mas Dimas telah menundanya dengan alasan capek. Biasanya wanita uang seperti itu, namun ini malah terbalik. "Udah nggak capek lagi kan Mas?" Tanyaku lembut. Ia melihat ke arahku dan menggeleng. "Udah enggak lagi sayang, semalam aku tidurnya nyenyak banget," jawabnya. "Iya, pas aku peluk aja kamu nggak tahu," ungkapku. Ia tertawa kecil. Aku menatap wajah suamiku yang terlihat sangat tampan saat bangun tidur begini, haruskah aku memintanya lebih dulu dan berkata jujur jika aku menginginkan memadu kasih dengannya? Tapi aku begitu malu untuk mengakuinya. Aku membasahi bibirku memeberikan isyarat agar dia mencium ku, beberapa saat kami saling bertatapan mesra. Ia masih belum menyentuhku, sehingga aku yang berinisiatif untuk menciumnya lebih dulu. Ternyata tak ku duga Mas Dimas membalas ciumanku, sehingga kami berdua larut dalam ciuman panas di pagi buta itu. Di atas ranjang big size dengan cahaya lampu yang temaram. Sungguh aku menikmatinya dan aku merasakan kebahagiaan ini. Tapi yang agak aneh, Mas Dimas sama sekali tak menyentuh tubuhku, seperti yang aku lihat di flm-flm tangan si cowok pasti akan bergerilya kemana-mana, namun tidak dengan Mas Dimas. Apa mungkin dia adalah tipe cowok yang tak tak terlalu ingin menunjukkan hasratnya. Mungkin saja. Sesaat aku dan Mas Dimas masih bercumbu dan saling memagut, sepertinya aku yang lebih dominan dari pada Mas Dimas, aku yang terlihat lebih agresif daripada dia. Aku pikir Mas Dimas akan suka biasanya Laki-laki akan sangat bergairah jika di perempuan lebih dominan dari pada laki-laki. Namun saat aku sudah tak kuasa menahan hasratku dan hendak masuk ke adegan selanjutnya. Mas Dimas langsung bangun dan mendorong tubuhku. Ia bangkit dari tempat tidur dan langsung masuk ke kamar mandi tanpa bicara apa pun. "Mas Dimas...? mas .." panggilku dengan nada sedih. Mengapa Mas Dimas seperti itu? Apa ada yang salah denganku? Apa dia tak suka karena aku terlalu agresif? Aku hanya bisa bertanya-tanya dalam hati mengapa Mas Dimas seperti ini? Aku duduk termenung di tepi ranjang sambil menunggu Mas Dimas yang sepertinya sedang mandi. Aku kaget saat tiba-tiba ponselnya yang ada di ranjang berdering. Ragu-ragu aku meraih ponsel itu, ada panggilan dari Rendi Office. "Mungkin teman kantornya," gumamku. Saat aku hendak mengangkat telepon dari Rendi Office tersebut. Tiba-tiba Mas Dimas muncul dan merebut ponsel itu dari tanganku. "Jangan lancang kamu, Nay!" Ungkapnya dengan nada marah. Aku kaget karena aku tak menyangka reaksi Mas Dimas terlalu berlebihan. "Maaf Mas, aku pikir ini penting makanya aku mau angkat dan ngasih ke mas," ucapku. Ia menatapku dan seketika raut wajahnya yang semula marah menjadi normal kembali. "Maaf Nay, Mas pikir itu telepon dari Bos, makanya Mas langsung rebut. Takut nanti ada yang penting yang ingin dia sampaikan," ucap Mas Dimas penuh penyesalan. Aku tersenyum dan memaafkan Mas Dimas. Aku bisa paham hal ini, terkadang ada Bos yang tak mau orang lain yang mengangkat teleponnya. Karena biasanya Bos tersebut tak punya banyak waktu. "Ya udah nggak apa-apa Mas, tapi mas...tadi kenapa...kamu..." "Kamu mandi dulu gih, aku laper banget, kita sarapan dulu yuk!" Ucap Mas Dimas memotong ucapanku. Padahal aku ingin membahas soal tadi, mengapa dia tiba-tiba bangun dan meninggalkan aku begitu saja. Padahal kita belum melakukan apa pun sebagai sepasang suami istri. Aku hanya bisa menghela nafas dan masuk ke kamar mandi, saat setelah mandi pun Mas Dimas seperti tak ingin membicarakan soal tadi pagi, ia seperti mengalihkan pembicaraan agar aku tak bertanya lagi. "Kita jalan-jalan ya sebentar lagi sayang, suntuk banget di rumah," ucap Mas Dimas saat kami turun ke lantai dasar. "Boleh Mas, aku juga maunya jalan-jalan mumpung aku juga masih cuti, ," ungkapku. Sejenak aku melupakan kejadian tadi pagi. Rasa cintaku pada Mas Dimas mengalahkan segalanya, bisa mendapatkan Mas Dimas yang perfeksionis saja membuat aku bangga dan sangat bahagia. Mama menyapa Mas Dimas sebagai menantu baru di rumah ini. Ia tersenyum penuh arti melihat kami yang bangun kesiangan, tak ada komentar apa dari Mama. Mungkin dia juga maklum pengantin baru. "Dimas sarapan dulu, ada nasi goreng buatan Bik Ijah, enak banget!" Ungkap Mama. Ia menuangkan susu ke dalam gelas dan menghidangkan untuk kami berdua. "Iya Ma, terima kasih!" Ucap Mas Dimas menanggapi. "Kalian mau kemana hari ini? Kalian belum masuk kerja kan?" Tanya Mama. "Belum Ma, aku masih cuti dua hari lagi, kalau Mas Dimas sepertinya juga begitu, iya kan Mas?" "Benar Ma, setelah cuti dua hari langsung bekerja seperti biasa lagi," ucap Mas Dimas sambil menyuap sesendok nasi ke dalam mulutnya. "Oh iya Papa mana, Ma?" Tanyaku sambil menyeruput gelas uang berisi susu. "Udah pergi ke sekolah dari tadi pagi," jawab Mama. Papa adalah seorang guru di Sebuah sekolah menengah atas. Sejenak Mama dan Mas Dimas terlibat dalam pembicaraan yang hangat, ia begitu cepat bisa akrab dengan Mama. Padahal baru sehari tinggal di rumah ini. Tanpa sadar aku memperhatikan suamiku dengan penuh cinta, melihat dia makan saja membuat aku terpesona. Sungguh aku jatuh cinta yang amat sangat pada Mas Dimas, aku jatuh cinta. "Nay, kok ngeliatin Dimas terus sih!" Tegur Mama, aku kaget dan menunduk malu. "Dimas terlalu ganteng mungkin Ma, makanya diliatin terus sama Naya," ucap Mas Dimas membuat aku tersenyum malu-malu. Mama dan Mas Dimas tertawa. Menikmati kebahagiaan yang sudah lengkap ini, punya suami. ~~~ Kami tiba di rumah saat hari sudah gelap, aku dan Mas Dimas menghabiskan waktu di luar, jalan-jalan dan menikmati tempat wisata di sekitar kota ini. Aku begitu bahagia, apa lagi Mas Dimas memperlakukan aku seperti seorang ratu. Aku adalah wanita yang paling beruntung karena bisa memiliki Mas Dimas. "Capek benget ya Mas," ucapku saat kami telah berada di kamar. "Ho'oh tapi seru ya!" Timpal suamiku. "Iya seru banget." Aku menatap suamiku dan menggenggam tangannya. "Makasih ya Mas, aku bahagia banget hari ini," ungkapku. Ia mengangguk dan mengecup keningku. "Aduh Mas sakit perut nih sayang, Mas ke kamar mandi dulu ya?" Pamitnya. Ia pun berlalu ke kamar mandi, mungkin perutnya mules karena tadi kebanyakan makan sambel. Tiba-tiba saja Ponsel Mas Dimas berdering, aku tak mau mengangkatnya katanya kalau Bos Boby menelpon tak boleh diangkat. Namun dering telepon itu sangat mengganggu sekali sehingga aku punya inisiatif untuk mengangkat telepon itu. "Rendy Office lagi," bisikku saat menatapku layar ponsel, ragu-ragu aku mengangkat telepon dari Rendy. "Sayang...kemana aja sih?" Jantungku berdetak saat mendengar Rendy memanggil Mas Dimas dengan sebutan sayang. ***Aku agak kaget saat mendengar Rendi memanggil Mas Dinas dengan sebutan sayang. Mengapa seorang lelaki memanggil laki-laki yang lain dengan sebutan sayang. "Maaf, saya istrinya Mas Dimas, ada apa ya?" Tanyaku kemudian. "Eh Maaf, Mbak Naya ya, Dimas mana Mbak?" Tanyanya di seberang sana. "Mas Dimas sedang di toilet," jawabku singkat. "Oh ya udah, nanti aja aku telpon lagi," ucapnya dan menutup sambungan telepon tanpa basa-basi sejenak. Aku meletakkan ponsel Mas Dimas lagi, saat itu juga Mas Dimas kembali dari toilet, hatiku mulai tak tenang saat mengingat rekan kerjanya itu memanggil sebutan sayang pada Mas Dimas. Apa dia sendang bercanda? "Mas tadi ada telepon dari Rendy office," ucapku. Aku melihat raut wajah Mas Dimas agak panik, namun cepat ia sembunyikan dan bertanya," Dia bilang apa?" "Dia nanyak kamu, nanti dia telepon lagi," jawabku. "Oh, dia mau nanyak soal kerjaan mungkin, Nay," ucap Mas Dimas santai. Aku mengangguk-angguk mengerti. "Tapi Mas,.kenapa dia tadi man
Aku menarik tangan Mas Dimas agar dia melihat ke arahku. Karena dari tadi ia terus mengindari tatapanku. "Mas??!" Panggilku lagi, akhirnya di menatapku. "Naya.. bukan itu, bukan itu Nay," jawabnya dengan penuh penekanan. "Jadi kenapa?!" Tanyaku dengan nada tinggi sambil menantang tatapannya. "Aku belum siap Nay, aku belum siap untuk punya anak," jawabnya. Jawaban yang tidak masuk akal, kenapa dia bilang tak siap punya anak, padahal ia bisa membicarakan ini denganku. Aku tertawa getir sambil menggelengkan kepalaku. "Kalau kamu belum siap punya anak, kita bisa menunda punya anak Mas, kenapa kamu tidak mau membicarakan hal ini denganku. Aneh kamu Mas," ungkapku dengan nada kesal, alasan Mas Dimas seperti tak masuk akal. "Ya..tapi aku nggak bisa jelasin ke kamu sekarang, plis aku kasih aku waktu," ucapnya sambil memohon. "Kenapa kamu tak bisa kamu jelaskan padaku, kita itu suami istri, kamu harus terbuka soal apa pun padaku. Apa kamu nggak cinta sama aku?" Tanyaku. Ia berge
Mas Dimas sangat paham cara membuat aku agar tak marah lagi padanya, sentuhan-sentuhan lembut ia berikan padaku, membuat aku semakin bergairah. Tiba-tiba saja aku ingat pada misiku sebelumnya.Ini saatnya aku memberanikan diri untuk menyentuh bagian sensitifnya Mas Dimas untuk membuktikan kata-kata Mela tadi siang. Aku yakin Mela salah, namun apa alasan lain Mas Dimas tak mau menyentuhku?Sebelumnya aku tidak pernah melakukannya karena aku masih malu, maklum aku dan Mas Dimas baru saja menikah dan kami juga tak pacaran. Sehingga rasa canggung tentu saja menguasai diri ini.Nafasku terasa naik turun saat Mas Hanif mulai melancarkan aksinya, menyentuh setiap bagian tubuhku. Apakah ini akan menjadi malam pertamaku??Namun, saat itu juga tanganku bergerak untuk ikut menyentuh bagian sensitif miliknya. Tapi sayangnya, sepertinya ia sadar dan menepis tanganku dengan kasar."Mas..." ucapku lirih.Aku kaget karena baru saja kami bermesraan, tiba-tiba saja ia tak terima saat aku akan menyent
"Nay...plis maafkan aku, aku nggak mau kita pisah, aku akan berusaha berobat, kata orang bisa sembuh kok," ungkap Mas Dimas. "Kalau memang bisa sembuh kenapa Mas tidak berobat dari dulu?" Tanyaku sinis."Udah Nay, cuma mungkin aku tidak terlalu yakin untuk berobat sampai sembuh," ungkapnya."Apa mungkin karena mamang nggak mau sembuh??" Pikirku. Jika Mas Dimas seperti ini aku tidak akan mendapatkan keturunan dari Mas Dimas. Harus kah aku bertahan dan memberikan Mas Dimas kesempatan? Jika Mama dan Papaku tahu tentang Mas Dimas mereka pasti akan sangat terpukul."Aku tahu, aku sudah tak jujur pada mu dari awal, tapi aku tak bisa mengatakan padamu, karena takut kamu akan menolakku. Aku sudah terlanjur cinta saat pertama kali melihatmu Nay," ungkap Mas Dimas bersungguh-sungguh. Aku menatap netranya, mencari kesungguhan di sana. Aku juga punya banyak pertimbangan untuk memutuskan hubungan pernikahan ini, Papa dan Mama pasti akan sangat malu karena mereka selalu membanggakan Mas Dimas di
Ah, untuk apa memikirkan hal yang tak penting untuk sekarang ini, rumah tanggaku saja dalam masalah. Malah memikirkan story Egi yang tidak ada hubungannya dengan rumah tanggaku. "Ihh, keren semalam kayaknya dia makan malam di restoran di tepi pantai yang harga makanannya selangit itu, aku mau dong ke sana,," ungkap Mela kemudian. "Lihat Mel?" Ungkapku sambil melihat ponsel Mela, Mela menunjukkan padaku. Aku jadi ingat semalam Mas Dimas juga mengunggah story nya sedang makan malam di restoran itu. Mengapa kebetulan sama dengan story Egi? "Mas Dimas juga makan malam di situ semalam Mel," ucapku. Tapi, Mas Dimas makan malam bareng Rendy dan Bosnya. Apa Mas Dimas tidur bareng Rendi juga ya? Ah...pikiran apa pula ini. Apa mungkin aku terlalu berlebihan, terlalu overthinking karena saat ini pikiranku sedang sangat kacau. "Jangan-jangan mereka ketemu lagi Nay. Mas Dimas dan Egi saling kenal kan?" Aku mengangguk dan hanya tersenyum getir dan menepis semua prasangka buruk ku. "Seru ya
Pagi harinya Mas Dimas tak menyapaku, ia sepertinya masih marah padaku, seharusnya aku yang marah padanya. Tapi kenapa jadi kebalik ya? Saat Mas Dimas baru selesai mandi, aku menghampirinya. "Mas maafkan aku, aku percaya kok, jika kamu lembur. Tapi kalau Sabtu Minggu, aku minta waktumu. Aku ingin seperti orang-orang pengantin baru, jalan berdua, makan berdua, gitu," ucapku sambil menahan gengsi dari dalam diriku. Ia tersenyum dan mengecup ku sekilas. "Yah, aku juga minta maaf ya, aku tuh capek banget lho sayang...mana harus bolak balik ke Bali, ngurusin proyek. Kamu tahu kan, proyek yang aku pegang bukan hanya di Bali. Ini untuk kamu juga kan?" Aku mengangguk dan tersenyum, melihat wajah tampan itu tersenyum padaku, membuat semua yang telah terjadi seolah terlupakan. "Nah gitu dong kamu harus paham. Uang bulanan kamu bulan ini, nanti aku transfer ya?" "Masih ada kok Mas, yang bulan lalu aja masih utuh," ucapku. Dia menyentuh daguku dan memandangiku. "Kewajiban aku menafkahi is
Aku heran juga, Mas Dimas itu keren dan sangat komunikatif tapi mengapa dia tak pernah menjalin hubungan dengan wanita. "Katanya dia nggak mau pacaran, Ay...katanya kalau ketemu yang cocok langsung dinikahi, dia anti pacaran, begitu katanya," ucap ibu sambil meletakkan beberapa camilan di dalam piring. Ah, masak? Apa Mas Dimas itu seperti Ikhwan-ikhwan yang memang tak mau pacaran. Namun aku lihat, saat bertemu dengan teman kantornya yang lawan jenis, Mas Dimas tak menundukkan pandangan layaknya Ikhwan-ikhwan Sholeh. "Oh gitu, Bu!" "Iy, Seperti kamu, pas kenal langsung dinikahi, pacarannya setelah menikah, hubungannya halal lagi," ucap ibu sambil tersenyum padaku. Aku hanya tersenyum pahit mendengar penuturan ibu. Mas Dimas tak seperti itu, memperlakukan aku dengan baik di awal pernikahan namun tidak akhir-akhir ini. "Memang halal untuk disentuh namun..sentuhan itu tak pernah aku dapatkan, Bu," ungkapku dalam hati. Ucapan itu h
Aku menahan semua yang aku rasakan pada kedua orang tuaku, biarlah semua ini aku pendam sendiri. Menutupi aib suamiku karena cinta. Yah, cinta. "Nggak ada apa-apa kok, Ma. Berantem-berantem kecil gitu biasalah, namanya juga suami istri," ungkapku. "Tapi Mama lihat hubungan kalian itu hambar dan dingin, bukan seperti pasangan suami istri lainnya. Terus kok kalian nggak bulan madu ya?" Aku tersenyum tipis menunjukan semua baik-baik saja. "Belum Ma, Mas Dimas sedang sibuk, katanya dia mau menyelesaikan proyek nya dulu yang di kota ini, baru setelah itu kami bulan madu, Ma," dustaku. "Ohh.." Mama membulatkan mulutnya. "Dimas kan bolak balik ke Bali, masak kamu nggak diajak kan Bisa sekalian gitu sambil bulan madu," ucap Papa. Aku berpikir cepat, agar orang tuaku tak curiga. Alasan apa lagi yang harus aku berikan pada mereka. "Anu Pa...Mas Dimas kan perginya untuk bekerja, lagi pula aku sedang sibuk di kantor saat Mas Dimas pergi ke Bali, Susah Ma, untuk menyesuaikan jadwal kami
Aku menangis sejadinya, tak menyangka ternyata Egi dan Mas Dimas menjalin hubungan. Aku menangis dan meraung-raung hingga rasanya dada ini terasa sesak. Rasanya aku kesulitan bernafas dan hendak berteriak sekerasnya. Namun suara itu hanya tercekat di tenggorokan. “Sayang... Sayang... Naya... !!“Sayup-sayup aku mendengar suara Mas Dimas dan aku merasa ada yang menepuk-nepuk pipiku. Aku membuka mata perlahan dan melihat ada Mas Dimas yang terlihat sangat Khawatir di depan wajahku. “Naya kamu mimpi, bangun, kamu udah bangun kan?? “ tanya Mas Dimas lagi. Aku mengangguk dalam kebingungan. Melihat ke kiri dan ke kanan. Ternyata aku tidur di atas sofa di ruang TV. “Egi mana? “ tanyaku sambil mengusap sisa air mata di pipi. “Egi? Tak ada Egi di rumah ini, kamu pulang kerja, terus tiba-tiba kamu tertidur di sini. Saat aku sedang mandi tiba-tiba kamu teriak dan Nangis-nangis,” Jawab Mas Dimas menjelaskan. “Benaran?? “ tanyaku. “Iya, aku sampai kaget lho. kamu mimpi apa? Kok sampai segit
Aku menghempas kan tubuhku di ranjang, capek juga..aku menoleh pada mas Dimas yang sepertinya sudah tidur dari tadi.Aku tersenyum dan masih bisa merasakan kebahagiaan Mela saat Egi menyarungkan cincin di jari manisnya. Ia bahkan tak henti-hentinya bibirnya membentuk senyuman. “Semoga Mela dan Egi bisa melanjutkan ke jenjang pernikahan, “ gumamku. Mas Dimas terbangun, saat aku merebahkan tubuhku di samping mas Dimas. “Udah pulang sayang?? “tanya Mas Dimas dengan suara serak. “Iya Mas, udah. Tadi Mela dan keluarga nya nanyak kamu, “ ungkapku. “Kamu bilang apa? ““Aku bilang saja kamu sakit,” Jawabku. Kemudian mas Dimas menanyakan bagaimana acara pertunangan Egi dan Mela. “Mereka sangat bahagia, begitu juga kedua keluarga mereka. Semua mendesak agar Egi dan Mela yang perlu lama-lama bertunangan, “ ucapku sambil tersenyum. “Egi bagaimana? “tanya Mas Dimas. “Bagaimana apanya?? ““Yah, apa dia juga terlihat bahagia seperti Mela atau bagaimana? “ Aku mengernyit kan dahiku saat mende
Aku pulang ke rumah dengan hati yang sangat bahagia, bisa berbaikan dengan Mela adalah harapanku. Aku juga sama seperti Mela tak tahan lama-lama tidak mengobrol dengannya. Tiba-tiba saja aku ingat, jika aku punya gaun berwarna biru muda. Tapi sepertinya Mas Dimas tidak punya kemeja biru. Ada tidak ya? Gegas aku melajukan mobil pulang ke arah rumah dan menanti kepulangan Mas Dimas. Tak sabar ingin memberi tahu Mas dimas jika Mela dan Egi akan bertunangan nanti malam. Begitu tiba di rumah, ternyata mas Dimas sudah pulang, mobilnya sudah terparkir rapi di garasi.“Tumben dia pulang cepat, “ gumamku. Gegas aku turun dari mobil dan menemui Mas dimas. Ia sedang duduk di ruang keluarga sambil memijat kepalanya. “Mas..? ““Hey sayang kamu udah pulang?” Mas Dimas menyambut ku dengan kecupan di bibir. “Iya, tumben Mas pulang cepat, “ ungkapku. “Iya, kebetulan semua kerajaan udah selesai aku kerjakan dengan cepat tadi siang, “ jawab Mas Dimas. Wajahnya terlihat kusut dan juga seperti kele
Hari berlalu, Egi dan Mela sudah tak pernah lagi datang ke rumahku. Sejak kejadian itu, Mela mungkin mengadukan hal ini pada Egi. Ia menyampaikan pada Egi, jika aku keberatan jika Egi selalu datang ke rumah ini. “Nay.. Kalian kenapa? Kok sekarang Mela sudah jarang datang ke rumah ini? “ tanya Mas Dimas saat menyadari Mela yang kini jarang datang ke rumah ini. “Apa nya yang kenapa? Aku dan Mela baik-baik saja kok. Mungkin Mela aja yang terlalu baperan,” ungkapku. “Kalau ada masalah lebih baik bicarakan baik-baik jangan seperti ini. Sampai Egi juga nggak pernah kemari lagi. Ada apa sih? “ selidik Mas Dimas lagi. "Nggak ada Mas, namanya sahabatan terkadang sering terjadi salah paham. Nanti juga baikan lagi kok, “ ucapku santai. Aku tak mungkin menceritakan apa yang telah terjadi di antara kami. “Egi juga nggak pernah datang ke sini lagi, emang ada apa sih? “ tanya Mas Dimas mengulang pertanyaannya. Aku melihat mata Mas Dimas, entah dia pura-pura bertanya atau memang benar-benar ta
Aku meraih celana dalam berwarna maroon itu, tentu saja dengan tangan kiriku, takut nanti ternyata celana dalam itu adalah milik Egi. Apa lagi celana dalam bekas pakai. “Tapi, mirip punya Mas Dimas, aku hapal betul merk dan ukuran celananya, “ gumamku sambil memperhatikan celana yang ada di tangan kiri ku ini. Darahku berdesir saat mengingat jika kemungkinan Egi dan Mas Dimas semalam sempat melakukan... Gegas aku keluar dari kamar itu dan menemui Mas Dimas yang masih tidur di kamar. Dengan setelah berlari aku masuk ke kamar dan membangunkan Mas Dimas. “Mas? Mas? Bangun! “ ucapku sambil berdiri dengan menjinjing celana dalam berwarna maroon gelap itu. “Mas! Mas! Bangun! “ seruku. Mas Dimas menggeliat, ia membuka matanya sesaat, tapi kemudian ia tidur lagi. “Mas, ada yang ingin aku tanyakan, “ ucapku lagi sambil Menggoyang-goyangkan bahu Mas Dimas dengan kesal. “Apa sih sayang... Aku ngantuk banget, “ keluhnya sambil bangkit dari tidurnya dan mengucek matanya. “Ini punya siapa?
Aku sudah berdamai dengan keadaan, walaupunMas Dimas yang tak bisa menjadi laki-laki perkasa. Sepertinya aku yang harus benar-benar menunggu Mas Dimas bisa sembuh. Ia sudah banyak berubah dan aku menghargai itu. Namun, beberapa hari kemudian Egi kembali bertandang ke rumahku di malam Sabtu. Katanya dia suntuk di rumah sendirian. Ia tak datang bersama Mela. Katanya Mela ada acara keluarga, jadi tak bisa menemani Egi. “Suntuk Naya... Aku bosan sendirian di rumah, Mela juga nggak bisa aku ajak keluar, katanya ada acara keluarga. Kebetulan Mas Dimas ngajak aku main game bola, ya kenapa aku tolak, “ ungkap Egi beralasan. Alhasil Mas Dimas dan juga Egi bermain game hingga larut malam. Aku segera berpamitan pada mereka dan tidur ke kamar. Membiarkan mereka berdua yang asik sekali bermain game. “Aku tidur duluan ya Mas, ngantuk, “ pamitku. “Ya, ya Nay. Kamu tidur duluan aja, ” Mas Dimas menjawab tanpa menoleh padaku. Karena matanya fokus ke
Dan mereka ternyata sedang.... “Eh kalian! “ sapa Mas Dimas santai. Ia melanjutkan mencabut uban Egi yang ada di bagian depan kepalanya sambil berbincang-bincang. Hei, tadi apa yang aku lihat, tadi aku melihat adegan mereka sedang berciuman, kepala Mas Dimas bergerak ke kiri dan ke kanan. Benar, aku melihat mereka, tak seperti ini sedang berbincang-bincang. “Uban pacar kamu banyak juga ya Mel. Kamu nggak pernah nyabutin? “ tanya Mas Dimas sambil fokus mencari uban di kepala Egi, apa mereka seakrab inj sekarang?? Heran. “Enggak Mas, gue paling males kalau disuruh cabutin uban, Egi sering minta ke gue untuk nyabutin ubannya, “ jawab Mela.“Ini Gi, dapat satu lagi,” ucap Mas Dimas sambil memberikan satu helai uban ke tangan Egi. Aku masih bengong dan munhkin terlihat melongo di depan mereka berdua. Mas Dimas menghentikan aktifitasnya dan melihat ke arah kami berdua dengan raut wajah keheranan. “Kalian kenapa? Wajahnya tegang gitu? Bengong kayak sapi ompong, “ tanya Mas Dimas. Egi ter
Mela tersenyum dan bangkit dari duduknya. "Aku tinggal dulu ya Yang.., " ucap Mela lembut. Aku mendorong bahu Mela, geli melihat mereka yang biasanya berumur elo-gue jadi sayang-sayangan. "Kamu ya Mel, kalau sama Egi aja pakai aku-kamu, sama aku Gue-Elo, udah sayang-sayang pula lagi sekarang, " ungkapku meledek Mela. "Ya iyalah namanya juga baru jadian, pasti deh mesra, iyakan ayang... " ucap Mela lagi manja.Egi hanya tersenyum sekilas saja. Sikap Egi memang agak dingin sebagai cowok, disitulah letak pesinanya. Begitu kata Mela padaku. Sedangkan Mela hanya cengar-cengir tak jelas. "Huu... dasar! " aku kembali mendorong tubuh Mela pelan, ia hanya tertawa tengil. Kemudian aku beralih pada Egi. “Egi kami tinggal dulu ya, nanti kalau Mas Dimas sudah selesai mandi, dia yang akan nemenin kamu, “ ungkapku pada Egi sebelum pergi ke dapur. “Iya, santai aja kali.” Aku tersenyum dan meninggalkan Egi dan pergi ke dapur untuk memasak bersama Mela. “Masak yang enak ya Nay! “ ser
Bab 23 “Egi kenapa? “ tanyaku penasaran. “Egi menerima cinta gue Nay... “ Seru Mela di seberang sana. “Oh ya? Aku turut senang mendengarnya, jadi kalian memutuskan untuk jadian? “ tanyaku sambil tersenyum. “Iya, Egi bilang ingin menjalin hubungan dengan gue, istilahnya kayak penjajakan dulu gitu Nay,” Ucap Melalui di sebarang sana. Dia terdengar begitu bahagia. “Oh gitu, semoga langgeng ya... “ “Oke, makasih ya Nay, gue bahagia banget.. “ Ucap Mela sambil tertawa kecil. Ia mengakhiri pembicaraan setelah berbasa basi sejenak. Aku kembali menemui Mas Dimas sambil tersenyum, aku ikut bahagia karena Mela sahabatku menemui cinta sejatinya. Cuma ada yang aneh, dari gerak gerik Egi yang aku lihat ia sama sekali tak menunjukkan tanda-tanda jika Egi menyukai Mela. Tapi.. Entahlah hati orang siapa yang tahu, apa lagi kalau laki-laki, susah ditebak. “Telepon dari siapa Nay? “ tanya Mas Dimas. “Mela, dia baru aja jadian, “ jawabku sambil tak henti-hentinya bibir ini mena