Aku kaget saat tiba-tiba ia mendorongku, mengapa dia mendorongku? Apa dia tak menginginkan aku bermesraan dengannya. Seketika pikiranku di landa berbagai tanda tanya yang berkecamuk di pikiranku.
"Mas, aku istrimu!" Seruku. Ia.masih yang belum sadar karena mungkin kami baru saja menikah kemarin. Ia menatapku sesaat dan mengusap wajahnya dengan tangannya. "Astaghfirullah, maaf sayang aku pikir kamu siapa, otakku belum ngeh kalau aku udah punya istri," ungkapnya. Aku tersenyum dan kembali beringsut untuk mendekatinya. Kembali memeluknya ingin merasakan kehangatan dari tubuh Mas Dimas di pagi yang dingin ini. Biasanya pengantin baru pagi hari adalah hal wajib yang harus dilakukan sepasang suami istri. Apa lagi dari semalam Mas Dimas telah menundanya dengan alasan capek. Biasanya wanita uang seperti itu, namun ini malah terbalik. "Udah nggak capek lagi kan Mas?" Tanyaku lembut. Ia melihat ke arahku dan menggeleng. "Udah enggak lagi sayang, semalam aku tidurnya nyenyak banget," jawabnya. "Iya, pas aku peluk aja kamu nggak tahu," ungkapku. Ia tertawa kecil. Aku menatap wajah suamiku yang terlihat sangat tampan saat bangun tidur begini, haruskah aku memintanya lebih dulu dan berkata jujur jika aku menginginkan memadu kasih dengannya? Tapi aku begitu malu untuk mengakuinya. Aku membasahi bibirku memeberikan isyarat agar dia mencium ku, beberapa saat kami saling bertatapan mesra. Ia masih belum menyentuhku, sehingga aku yang berinisiatif untuk menciumnya lebih dulu. Ternyata tak ku duga Mas Dimas membalas ciumanku, sehingga kami berdua larut dalam ciuman panas di pagi buta itu. Di atas ranjang big size dengan cahaya lampu yang temaram. Sungguh aku menikmatinya dan aku merasakan kebahagiaan ini. Tapi yang agak aneh, Mas Dimas sama sekali tak menyentuh tubuhku, seperti yang aku lihat di flm-flm tangan si cowok pasti akan bergerilya kemana-mana, namun tidak dengan Mas Dimas. Apa mungkin dia adalah tipe cowok yang tak tak terlalu ingin menunjukkan hasratnya. Mungkin saja. Sesaat aku dan Mas Dimas masih bercumbu dan saling memagut, sepertinya aku yang lebih dominan dari pada Mas Dimas, aku yang terlihat lebih agresif daripada dia. Aku pikir Mas Dimas akan suka biasanya Laki-laki akan sangat bergairah jika di perempuan lebih dominan dari pada laki-laki. Namun saat aku sudah tak kuasa menahan hasratku dan hendak masuk ke adegan selanjutnya. Mas Dimas langsung bangun dan mendorong tubuhku. Ia bangkit dari tempat tidur dan langsung masuk ke kamar mandi tanpa bicara apa pun. "Mas Dimas...? mas .." panggilku dengan nada sedih. Mengapa Mas Dimas seperti itu? Apa ada yang salah denganku? Apa dia tak suka karena aku terlalu agresif? Aku hanya bisa bertanya-tanya dalam hati mengapa Mas Dimas seperti ini? Aku duduk termenung di tepi ranjang sambil menunggu Mas Dimas yang sepertinya sedang mandi. Aku kaget saat tiba-tiba ponselnya yang ada di ranjang berdering. Ragu-ragu aku meraih ponsel itu, ada panggilan dari Rendi Office. "Mungkin teman kantornya," gumamku. Saat aku hendak mengangkat telepon dari Rendi Office tersebut. Tiba-tiba Mas Dimas muncul dan merebut ponsel itu dari tanganku. "Jangan lancang kamu, Nay!" Ungkapnya dengan nada marah. Aku kaget karena aku tak menyangka reaksi Mas Dimas terlalu berlebihan. "Maaf Mas, aku pikir ini penting makanya aku mau angkat dan ngasih ke mas," ucapku. Ia menatapku dan seketika raut wajahnya yang semula marah menjadi normal kembali. "Maaf Nay, Mas pikir itu telepon dari Bos, makanya Mas langsung rebut. Takut nanti ada yang penting yang ingin dia sampaikan," ucap Mas Dimas penuh penyesalan. Aku tersenyum dan memaafkan Mas Dimas. Aku bisa paham hal ini, terkadang ada Bos yang tak mau orang lain yang mengangkat teleponnya. Karena biasanya Bos tersebut tak punya banyak waktu. "Ya udah nggak apa-apa Mas, tapi mas...tadi kenapa...kamu..." "Kamu mandi dulu gih, aku laper banget, kita sarapan dulu yuk!" Ucap Mas Dimas memotong ucapanku. Padahal aku ingin membahas soal tadi, mengapa dia tiba-tiba bangun dan meninggalkan aku begitu saja. Padahal kita belum melakukan apa pun sebagai sepasang suami istri. Aku hanya bisa menghela nafas dan masuk ke kamar mandi, saat setelah mandi pun Mas Dimas seperti tak ingin membicarakan soal tadi pagi, ia seperti mengalihkan pembicaraan agar aku tak bertanya lagi. "Kita jalan-jalan ya sebentar lagi sayang, suntuk banget di rumah," ucap Mas Dimas saat kami turun ke lantai dasar. "Boleh Mas, aku juga maunya jalan-jalan mumpung aku juga masih cuti, ," ungkapku. Sejenak aku melupakan kejadian tadi pagi. Rasa cintaku pada Mas Dimas mengalahkan segalanya, bisa mendapatkan Mas Dimas yang perfeksionis saja membuat aku bangga dan sangat bahagia. Mama menyapa Mas Dimas sebagai menantu baru di rumah ini. Ia tersenyum penuh arti melihat kami yang bangun kesiangan, tak ada komentar apa dari Mama. Mungkin dia juga maklum pengantin baru. "Dimas sarapan dulu, ada nasi goreng buatan Bik Ijah, enak banget!" Ungkap Mama. Ia menuangkan susu ke dalam gelas dan menghidangkan untuk kami berdua. "Iya Ma, terima kasih!" Ucap Mas Dimas menanggapi. "Kalian mau kemana hari ini? Kalian belum masuk kerja kan?" Tanya Mama. "Belum Ma, aku masih cuti dua hari lagi, kalau Mas Dimas sepertinya juga begitu, iya kan Mas?" "Benar Ma, setelah cuti dua hari langsung bekerja seperti biasa lagi," ucap Mas Dimas sambil menyuap sesendok nasi ke dalam mulutnya. "Oh iya Papa mana, Ma?" Tanyaku sambil menyeruput gelas uang berisi susu. "Udah pergi ke sekolah dari tadi pagi," jawab Mama. Papa adalah seorang guru di Sebuah sekolah menengah atas. Sejenak Mama dan Mas Dimas terlibat dalam pembicaraan yang hangat, ia begitu cepat bisa akrab dengan Mama. Padahal baru sehari tinggal di rumah ini. Tanpa sadar aku memperhatikan suamiku dengan penuh cinta, melihat dia makan saja membuat aku terpesona. Sungguh aku jatuh cinta yang amat sangat pada Mas Dimas, aku jatuh cinta. "Nay, kok ngeliatin Dimas terus sih!" Tegur Mama, aku kaget dan menunduk malu. "Dimas terlalu ganteng mungkin Ma, makanya diliatin terus sama Naya," ucap Mas Dimas membuat aku tersenyum malu-malu. Mama dan Mas Dimas tertawa. Menikmati kebahagiaan yang sudah lengkap ini, punya suami. ~~~ Kami tiba di rumah saat hari sudah gelap, aku dan Mas Dimas menghabiskan waktu di luar, jalan-jalan dan menikmati tempat wisata di sekitar kota ini. Aku begitu bahagia, apa lagi Mas Dimas memperlakukan aku seperti seorang ratu. Aku adalah wanita yang paling beruntung karena bisa memiliki Mas Dimas. "Capek benget ya Mas," ucapku saat kami telah berada di kamar. "Ho'oh tapi seru ya!" Timpal suamiku. "Iya seru banget." Aku menatap suamiku dan menggenggam tangannya. "Makasih ya Mas, aku bahagia banget hari ini," ungkapku. Ia mengangguk dan mengecup keningku. "Aduh Mas sakit perut nih sayang, Mas ke kamar mandi dulu ya?" Pamitnya. Ia pun berlalu ke kamar mandi, mungkin perutnya mules karena tadi kebanyakan makan sambel. Tiba-tiba saja Ponsel Mas Dimas berdering, aku tak mau mengangkatnya katanya kalau Bos Boby menelpon tak boleh diangkat. Namun dering telepon itu sangat mengganggu sekali sehingga aku punya inisiatif untuk mengangkat telepon itu. "Rendy Office lagi," bisikku saat menatapku layar ponsel, ragu-ragu aku mengangkat telepon dari Rendy. "Sayang...kemana aja sih?" Jantungku berdetak saat mendengar Rendy memanggil Mas Dimas dengan sebutan sayang. ***Aku agak kaget saat mendengar Rendi memanggil Mas Dinas dengan sebutan sayang. Mengapa seorang lelaki memanggil laki-laki yang lain dengan sebutan sayang. "Maaf, saya istrinya Mas Dimas, ada apa ya?" Tanyaku kemudian. "Eh Maaf, Mbak Naya ya, Dimas mana Mbak?" Tanyanya di seberang sana. "Mas Dimas sedang di toilet," jawabku singkat. "Oh ya udah, nanti aja aku telpon lagi," ucapnya dan menutup sambungan telepon tanpa basa-basi sejenak. Aku meletakkan ponsel Mas Dimas lagi, saat itu juga Mas Dimas kembali dari toilet, hatiku mulai tak tenang saat mengingat rekan kerjanya itu memanggil sebutan sayang pada Mas Dimas. Apa dia sendang bercanda? "Mas tadi ada telepon dari Rendy office," ucapku. Aku melihat raut wajah Mas Dimas agak panik, namun cepat ia sembunyikan dan bertanya," Dia bilang apa?" "Dia nanyak kamu, nanti dia telepon lagi," jawabku. "Oh, dia mau nanyak soal kerjaan mungkin, Nay," ucap Mas Dimas santai. Aku mengangguk-angguk mengerti. "Tapi Mas,.kenapa dia tadi man
Aku menarik tangan Mas Dimas agar dia melihat ke arahku. Karena dari tadi ia terus mengindari tatapanku. "Mas??!" Panggilku lagi, akhirnya di menatapku. "Naya.. bukan itu, bukan itu Nay," jawabnya dengan penuh penekanan. "Jadi kenapa?!" Tanyaku dengan nada tinggi sambil menantang tatapannya. "Aku belum siap Nay, aku belum siap untuk punya anak," jawabnya. Jawaban yang tidak masuk akal, kenapa dia bilang tak siap punya anak, padahal ia bisa membicarakan ini denganku. Aku tertawa getir sambil menggelengkan kepalaku. "Kalau kamu belum siap punya anak, kita bisa menunda punya anak Mas, kenapa kamu tidak mau membicarakan hal ini denganku. Aneh kamu Mas," ungkapku dengan nada kesal, alasan Mas Dimas seperti tak masuk akal. "Ya..tapi aku nggak bisa jelasin ke kamu sekarang, plis aku kasih aku waktu," ucapnya sambil memohon. "Kenapa kamu tak bisa kamu jelaskan padaku, kita itu suami istri, kamu harus terbuka soal apa pun padaku. Apa kamu nggak cinta sama aku?" Tanyaku. Ia berge
Mas Dimas sangat paham cara membuat aku agar tak marah lagi padanya, sentuhan-sentuhan lembut ia berikan padaku, membuat aku semakin bergairah. Tiba-tiba saja aku ingat pada misiku sebelumnya.Ini saatnya aku memberanikan diri untuk menyentuh bagian sensitifnya Mas Dimas untuk membuktikan kata-kata Mela tadi siang. Aku yakin Mela salah, namun apa alasan lain Mas Dimas tak mau menyentuhku?Sebelumnya aku tidak pernah melakukannya karena aku masih malu, maklum aku dan Mas Dimas baru saja menikah dan kami juga tak pacaran. Sehingga rasa canggung tentu saja menguasai diri ini.Nafasku terasa naik turun saat Mas Hanif mulai melancarkan aksinya, menyentuh setiap bagian tubuhku. Apakah ini akan menjadi malam pertamaku??Namun, saat itu juga tanganku bergerak untuk ikut menyentuh bagian sensitif miliknya. Tapi sayangnya, sepertinya ia sadar dan menepis tanganku dengan kasar."Mas..." ucapku lirih.Aku kaget karena baru saja kami bermesraan, tiba-tiba saja ia tak terima saat aku akan menyent
"Nay...plis maafkan aku, aku nggak mau kita pisah, aku akan berusaha berobat, kata orang bisa sembuh kok," ungkap Mas Dimas. "Kalau memang bisa sembuh kenapa Mas tidak berobat dari dulu?" Tanyaku sinis."Udah Nay, cuma mungkin aku tidak terlalu yakin untuk berobat sampai sembuh," ungkapnya."Apa mungkin karena mamang nggak mau sembuh??" Pikirku. Jika Mas Dimas seperti ini aku tidak akan mendapatkan keturunan dari Mas Dimas. Harus kah aku bertahan dan memberikan Mas Dimas kesempatan? Jika Mama dan Papaku tahu tentang Mas Dimas mereka pasti akan sangat terpukul."Aku tahu, aku sudah tak jujur pada mu dari awal, tapi aku tak bisa mengatakan padamu, karena takut kamu akan menolakku. Aku sudah terlanjur cinta saat pertama kali melihatmu Nay," ungkap Mas Dimas bersungguh-sungguh. Aku menatap netranya, mencari kesungguhan di sana. Aku juga punya banyak pertimbangan untuk memutuskan hubungan pernikahan ini, Papa dan Mama pasti akan sangat malu karena mereka selalu membanggakan Mas Dimas di
Pesta pernikahan mewah baru saja digelar, aku sangat bahagia bisa menikah dengan seorang Dimas Mahardika, laki-laki tampan dan juga mapan yang baru saja menghalalkanku. Yah, apa lagi yang aku cari dari Mas Dimas, sudah ganteng pekerja keras, memiliki karir yang bagus dan yang paling penting dia mengerti agama. Aku berharap Mas Dimas bisa membimbingku hingga ke jannah-Nya. Aku bisa melihat kebahagiaan di wajah Papa dan Mama saat melihat putri tunggalnya telah menikah dengan orang yang tepat. Walaupun sebenarnya aku dan Mas Dimas belum lama kenal, yang membuat aku yakin, Mas Dimas tidak mengajak aku untuk pacaran tapi melainkan langsung menikah. Siapa yang bisa menolak, dinikahi pria mapan dan juga tampan seperti Mas Dimas. Aku dan Mas Dimas turun dari mobil pengantin dan langsung masuk ke dalam rumahku, aku mengajak Mas Dimas untuk masuk ke kamarku. Kami belum merencanakan bulan madu, karena waktu cuti Mas Dimas tidak panjang. Sehingga bulan madu kita tunda dulu. "Ini kamarku
"Nay...plis maafkan aku, aku nggak mau kita pisah, aku akan berusaha berobat, kata orang bisa sembuh kok," ungkap Mas Dimas. "Kalau memang bisa sembuh kenapa Mas tidak berobat dari dulu?" Tanyaku sinis."Udah Nay, cuma mungkin aku tidak terlalu yakin untuk berobat sampai sembuh," ungkapnya."Apa mungkin karena mamang nggak mau sembuh??" Pikirku. Jika Mas Dimas seperti ini aku tidak akan mendapatkan keturunan dari Mas Dimas. Harus kah aku bertahan dan memberikan Mas Dimas kesempatan? Jika Mama dan Papaku tahu tentang Mas Dimas mereka pasti akan sangat terpukul."Aku tahu, aku sudah tak jujur pada mu dari awal, tapi aku tak bisa mengatakan padamu, karena takut kamu akan menolakku. Aku sudah terlanjur cinta saat pertama kali melihatmu Nay," ungkap Mas Dimas bersungguh-sungguh. Aku menatap netranya, mencari kesungguhan di sana. Aku juga punya banyak pertimbangan untuk memutuskan hubungan pernikahan ini, Papa dan Mama pasti akan sangat malu karena mereka selalu membanggakan Mas Dimas di
Mas Dimas sangat paham cara membuat aku agar tak marah lagi padanya, sentuhan-sentuhan lembut ia berikan padaku, membuat aku semakin bergairah. Tiba-tiba saja aku ingat pada misiku sebelumnya.Ini saatnya aku memberanikan diri untuk menyentuh bagian sensitifnya Mas Dimas untuk membuktikan kata-kata Mela tadi siang. Aku yakin Mela salah, namun apa alasan lain Mas Dimas tak mau menyentuhku?Sebelumnya aku tidak pernah melakukannya karena aku masih malu, maklum aku dan Mas Dimas baru saja menikah dan kami juga tak pacaran. Sehingga rasa canggung tentu saja menguasai diri ini.Nafasku terasa naik turun saat Mas Hanif mulai melancarkan aksinya, menyentuh setiap bagian tubuhku. Apakah ini akan menjadi malam pertamaku??Namun, saat itu juga tanganku bergerak untuk ikut menyentuh bagian sensitif miliknya. Tapi sayangnya, sepertinya ia sadar dan menepis tanganku dengan kasar."Mas..." ucapku lirih.Aku kaget karena baru saja kami bermesraan, tiba-tiba saja ia tak terima saat aku akan menyent
Aku menarik tangan Mas Dimas agar dia melihat ke arahku. Karena dari tadi ia terus mengindari tatapanku. "Mas??!" Panggilku lagi, akhirnya di menatapku. "Naya.. bukan itu, bukan itu Nay," jawabnya dengan penuh penekanan. "Jadi kenapa?!" Tanyaku dengan nada tinggi sambil menantang tatapannya. "Aku belum siap Nay, aku belum siap untuk punya anak," jawabnya. Jawaban yang tidak masuk akal, kenapa dia bilang tak siap punya anak, padahal ia bisa membicarakan ini denganku. Aku tertawa getir sambil menggelengkan kepalaku. "Kalau kamu belum siap punya anak, kita bisa menunda punya anak Mas, kenapa kamu tidak mau membicarakan hal ini denganku. Aneh kamu Mas," ungkapku dengan nada kesal, alasan Mas Dimas seperti tak masuk akal. "Ya..tapi aku nggak bisa jelasin ke kamu sekarang, plis aku kasih aku waktu," ucapnya sambil memohon. "Kenapa kamu tak bisa kamu jelaskan padaku, kita itu suami istri, kamu harus terbuka soal apa pun padaku. Apa kamu nggak cinta sama aku?" Tanyaku. Ia berge
Aku agak kaget saat mendengar Rendi memanggil Mas Dinas dengan sebutan sayang. Mengapa seorang lelaki memanggil laki-laki yang lain dengan sebutan sayang. "Maaf, saya istrinya Mas Dimas, ada apa ya?" Tanyaku kemudian. "Eh Maaf, Mbak Naya ya, Dimas mana Mbak?" Tanyanya di seberang sana. "Mas Dimas sedang di toilet," jawabku singkat. "Oh ya udah, nanti aja aku telpon lagi," ucapnya dan menutup sambungan telepon tanpa basa-basi sejenak. Aku meletakkan ponsel Mas Dimas lagi, saat itu juga Mas Dimas kembali dari toilet, hatiku mulai tak tenang saat mengingat rekan kerjanya itu memanggil sebutan sayang pada Mas Dimas. Apa dia sendang bercanda? "Mas tadi ada telepon dari Rendy office," ucapku. Aku melihat raut wajah Mas Dimas agak panik, namun cepat ia sembunyikan dan bertanya," Dia bilang apa?" "Dia nanyak kamu, nanti dia telepon lagi," jawabku. "Oh, dia mau nanyak soal kerjaan mungkin, Nay," ucap Mas Dimas santai. Aku mengangguk-angguk mengerti. "Tapi Mas,.kenapa dia tadi man
Aku kaget saat tiba-tiba ia mendorongku, mengapa dia mendorongku? Apa dia tak menginginkan aku bermesraan dengannya. Seketika pikiranku di landa berbagai tanda tanya yang berkecamuk di pikiranku. "Mas, aku istrimu!" Seruku. Ia.masih yang belum sadar karena mungkin kami baru saja menikah kemarin. Ia menatapku sesaat dan mengusap wajahnya dengan tangannya. "Astaghfirullah, maaf sayang aku pikir kamu siapa, otakku belum ngeh kalau aku udah punya istri," ungkapnya. Aku tersenyum dan kembali beringsut untuk mendekatinya. Kembali memeluknya ingin merasakan kehangatan dari tubuh Mas Dimas di pagi yang dingin ini. Biasanya pengantin baru pagi hari adalah hal wajib yang harus dilakukan sepasang suami istri. Apa lagi dari semalam Mas Dimas telah menundanya dengan alasan capek. Biasanya wanita uang seperti itu, namun ini malah terbalik. "Udah nggak capek lagi kan Mas?" Tanyaku lembut. Ia melihat ke arahku dan menggeleng. "Udah enggak lagi sayang, semalam aku tidurnya nyenyak banget," j
Pesta pernikahan mewah baru saja digelar, aku sangat bahagia bisa menikah dengan seorang Dimas Mahardika, laki-laki tampan dan juga mapan yang baru saja menghalalkanku. Yah, apa lagi yang aku cari dari Mas Dimas, sudah ganteng pekerja keras, memiliki karir yang bagus dan yang paling penting dia mengerti agama. Aku berharap Mas Dimas bisa membimbingku hingga ke jannah-Nya. Aku bisa melihat kebahagiaan di wajah Papa dan Mama saat melihat putri tunggalnya telah menikah dengan orang yang tepat. Walaupun sebenarnya aku dan Mas Dimas belum lama kenal, yang membuat aku yakin, Mas Dimas tidak mengajak aku untuk pacaran tapi melainkan langsung menikah. Siapa yang bisa menolak, dinikahi pria mapan dan juga tampan seperti Mas Dimas. Aku dan Mas Dimas turun dari mobil pengantin dan langsung masuk ke dalam rumahku, aku mengajak Mas Dimas untuk masuk ke kamarku. Kami belum merencanakan bulan madu, karena waktu cuti Mas Dimas tidak panjang. Sehingga bulan madu kita tunda dulu. "Ini kamarku