Evelyn sedikit ragu untuk kembali ke toko. Namun, jika ia tak kembali, malah Merry yang akan dibuat susah nantinya."Kak, mungkinkah mereka tahu toko bunga Nyonya Merry?" tanya Andi yang ternyata berpikiran sama dengan Evelyn."Kalau memang begitu, mau tak mau aku harus menghadapinya. Aku tidak ingin Nyonya Merry berada dalam kesulitan," terang Evelyn, menghela napas dalam, berusaha menguatkan dirinya yang hampir saja rapuh."Kak, mau aku temani?" Andi memegangi tangan Evelyn."Tidak apa-apa, aku tidak ingin melibatkanmu juga, Andi. Lalu, tolong jaga Kelvin sebentar, ajak dia bermain." Evelyn tersenyum dengan tatapan penuh luka."Tapi, Kak?" Andi merasa tak tega melihat tatapan mata Evelyn yang persis seperti saat mereka pertama bertemu dulu. Perasaan khawatir terus menyelimuti hatinya."Tidak apa-apa," ucap Evelyn seraya tersenyum."Ibu, Key mau ikut." Kelvin memanyunkan bibirnya sambil menarik-narik ujung baju Evelyn."Katanya Key mau jadi anak pintar. Kira-kira anak pintar mau men
Merry pun menghampiri Evelyn yang tengah fokus memandangi layar komputer dengan wajah terlihat panik."Apa yang terjadi, Evelyn? Kenapa kamu terlihat begitu panik?" Merry tidak begitu paham mengenai komputer. Ia bahkan tidak pernah menyentuh benda tersebut selama memilikinya."Nyonya, kemarilah! Lihat ini!" Evelyn menunjuk layar komputer dengan tajam."Sebentar, aku ambil kacamata dulu." Merry membuka laci meja, lalu meraih kacamata yang biasa digunakan untuk membaca.Merry langsung menyipitkan matanya saat memandangi layar komputer. Ia tidak melihat sesuatu yang aneh, hanya sederet kalimat yang terdapat satu bintang di atasnya."Memangnya, apa ini?" Merry masih belum begitu paham dengan apa yang Evelyn maksud."Ada yang menyerang toko kita dengan memberikan rating dan komentar buruk," terang Evelyn.Merry mengerutkan kening, ia masih bingung dengan maksud Evelyn. Terlebih, memang apa gunanya rating dan komentar?"Aku pikir ada apa," jawab Merry yang kembali melanjutkan menata bunga.
"Ada apa, Andi?" tanya Evelyn, mengerutkan alis."Ini, orang-orang ini, mereka adalah karyawan bawah Peterson Group," terang Andi, menggaruk kepala yang tak gatal."Peterson?" Evelyn merasa tidak asing dengan nama itu. Ia berusaha mengingat sampai tiba-tiba wajah Sean terngiang dalam benaknya."Iya, perusahaan yang pria kemarin pimpin," terang Andi."Maksudmu, Sean?" Evelyn menjadi semakin kebingungan."Iya, pria yang kemarin mengejar Kakak. Dia kan Presdirnya, memang Kakak tidak tahu?" Andi semakin bingung dengan situasi di mana dia terlihat lebih tahu di banding Evelyn."Aku tidak tahu dia seorang Presdir. Lalu, bagaimana kamu bisa tahu?" Evelyn menoleh ke arah Andi.Andi hanya tersenyum seraya menggaruk kepala yang tak gatal. Ia merasa bodoh karena telah sembarangan berbicara tentang Sean."Itu tidak penting, Kak. Sekarang yang terpenting adalah apa yang akan Kakak lakukan dengan semua komentar jelek ini? Ingin menghapusnya?"Evelyn terdiam sejenak, berusaha memikirkan bagaimana
Evelyn berjalan sambil gemetaran. Sangat takut kehilangan Kelvin, satu-satunya keluarga yang ia miliki."Ibu …" Kelvin yang ketakutan seakan sulit untuk beranjak. Ia hanya bisa menatap Evelyn yang sedang berusaha meraihnya.Beruntung Evelyn berhasil meraih sang anak, tetapi posisinya masih tidak aman. Ia tanpa sadar berdiri terlalu pinggir.Disaat itu juga, suara benturan terdengar begitu kencang."Ayah!" teriak Kelvin sambil menangis."Sean, kenapa kamu melakukan itu?" Dada Evelyn seketika terasa penuh dan sesak.Sean terkapar di jalan. Demi menyelamatkan Evelyn dan Kelvin, ia sampai merelakan tubuhnya menjadi tameng agar mobil yang melaju kencang itu tak mencelakai kedua orang yang dicintainya.Meski begitu, Sean masih beruntung. Saat kejadian, ia hanya tersenggol dan tidak sampai tertabrak langsung walau kepalanya terbentur dan mengeluarkan banyak darah.Evelyn langsung memeluk Sean yang sedang tak sadarkan diri tersebut. "Kenapa? Kenapa kamu berbuat sejauh ini?" tangis Evelyn pec
Sean memelototi perempuan di hadapannya dengan sorot mata yang menunjukan betapa tidak sukanya dia."A-aku… "Sean berusaha beranjak, tetapi pusing di kepala seakan membuatnya tak bisa berbuat banyak."Sean, Jangan memaksakan diri begitu!"Sean terus memegangi kepalanya. Benturan akibat kecelakaan masih menyisakan rasa pusing yang begitu menyakitkan."Di mana, Evelyn?""Evelyn? Dia tidak pernah ada di sini. Aku membawamu kemari saat melihat kamu tergeletak di jalan."Sean berusaha menjernihkan pikirannya sejenak. Apa mungkin Evelyn Setega itu meninggalkannya sendirian terkapar di jalan? padahal dia menjadi seperti itu karena berusaha menolong Kelvin dan ibunya."Bagaimana kamu tahu aku ada di jalan itu? Sejak kapan aku pingsan?" Sean belum begitu yakin dengan pernyataan perempuan di hadapannya itu."Itu …. Aku hanya kebetulan lewat. Kamu pingsan belum lama," terang Stella, dengan sedikit gugup.Sean memandangi jam dinding di ruangan, saat itu sudah pukul 22.15, waktu yang cukup lama s
Namun, keduanya seakan tak menghiraukan ucapan Evelyn. mereka tetap memasuki toko bunga dan menghampiri Merry yang tengah duduk di belakang meja kasir."Apa kamu mau menjual toko ini padaku?"Merry mengerutkan alis, merasa heran dengan sikap perempuan tidak tahu malu yang berada di hadapannya."Apa hidupmu hanya kamu lakukan untuk membuat masalah? Aku tidak akan menjual toko ini sampai kapan pun! Lebih baik kalian pergi, cucuku tidak menyukai kalian," terang Merry seraya mendelik ke arah Sean."Hey, jangan terlalu sombong. Aku bisa membeli seluruh area pertokoan di sepanjang jalan ini."Di tengah perdebatan Stella dan Merry, Sean merasa sesak di dada saat melihat Kelvin yang terus menangisinya. Padahal ia tidak bermaksud membuat bocah tersebut bersedih, kedatangannya kemari hanya untuk sedikit memberi teguran pada Evelyn yang menurutnya sudah sangat keterlaluan."Ibu, Ayah jahat! Ayah malah bersama perempuan lain," teriak Kelvin di tengah tangisnya.Merasa kesal mendengar ucapan Kelvi
Evelyn menoleh ke sana kemari mencari sumber suara, sampai seseorang secara tiba-tiba menghampirinya."Apa yang kamu lakukan di sini Evelyn? Lalu, siapa dia?"Evelyn sempat terdiam beberapa detik. Ia awalnya merasa tidak nyaman dengan situasi tersebut, sampai terpikirkan sebuah ide yang menurutnya akan menjadi hal menarik."Aku sedang menemani Key bermain. Dia sangat ingin pergi ke mall," jawab Evelyn."Tumben sekali, padahal kamu paling sulit di ajak pergi."Saat Evelyn tengah asyik berbincang, Sean yang mulai tak senang dengan pemandangan di depannya pun langsung berdeham dengan keras."Ah, maaf. Aku lupa memperkenalkan diri, namaku Jimmy." Pria tersebut mengulurkan tangan, mengajak Sean berjabat tangan."Sean," jawab Sean singkat lalu dengan cepat menarik lengannya."Halo Key, apa kamu merindukan Paman Jim?" Jimmy berjongkok dekat Kelvin, yang di saat bersamaan bocah tersebut sedang dituntun oleh Sean."Tentu saja Key sangat rindu Paman Jim. Kapan Paman datang ke toko lagi?" tanya
Kelvin langsung menutup mulutnya yang sedang menganga. Ia tak menyangka akan melihat sang ayah mencium ibunya."Yeay, Ayah mencium kening Ibu. Seperti Ibu yang sering mencium Key," teriak Kelvin.Evelyn dan Sean yang semula terdiam mendadak salah tingkah saat tersadar dari lamunan. Bahkan wajah mereka memerah saking merasa malu."Tolong jangan salah paham," bisik Evelyn yang tak berani menatap Sean."Aku tahu."Kelvin yang semula hanya melihat dari kejauhan langsung menghampiri Sean dan Evelyn, lalu memeluk keduanya dengan begitu erat."Ayah, Ibu … terima kasih untuk hari ini," ucap Kelvin yang berpikir jika hari ini adalah hari paling membahagiakan dalam hidupnya."Sama-sama, Key. Seterusnya Ayah akan berusaha membahagiakan Key." Sean mengusap lembut rambut anaknya itu."Terima kasih, Ayah. Key sayang Ayah."Hati Evelyn seketika terenyuh. Andai mereka adalah keluarga yang seutuhnya, mungkin kebahagiaan akan selalu menyertai Kelvin.Setelah selesai bermain, Sean pun langsung mengajak