Kabar kecelakaan Eva dan Samuel itu telah sampai di telinga Martin. Dia datang ke rumah sakit, wajahnya tegang penuh emosi. Langkahnya cepat menyusuri lorong. Begitu memasuki ruangan Eva, dia hanya melihat keberadaan Ryan di sana, tidak dengan Henry. Melihat kedatangan Martin, Ryan segera bangkit, membungkukkan badannya memberikan hormat pada Tuan Besarnya. “Selamat sore, Tuan.”“Di mana Anak itu?” Tanpa basa-basi dia menanyakan keberadaan Henry.Ryan bisa melihat jelas wajah tidak bersahabat dari Martin. “Tuan Henry ada urusan di luar, Tuan Besar,” jawabnya.“Suruh dia kembali dengan cepat!” Martin memberikan titah dengan tegas, membuat Ryan ketar-ketir. “Ba-baik, Tuan.” Dengan cepat Ryan meraih ponselnya, mencari nomor ponsel Henry. Baru saja dia meletakkan ponsel di telinganya, pintu ruangan itu terbuka, menampilkan sosok Henry yang baru saja tia. Ryan bernapas lega, akhirnya dia terselamatkan. Masih berada di ambang pintu, Henry sudah disambut tatapan tajam dari papanya, seol
Malam hari, di apartemen, Julia duduk di ruang tamu, tangannya terkepal erat di atas lutut, menahan amarah yang mulai memuncak. Matanya menatap kosong ke luar jendela, meski pikirannya jauh dari pemandangan itu. Kecelakaan yang melibatkan Eva itu menjadi kabar yang baru saja dia terima, dan berita yang datang tidak seperti yang dia harapkan. Eva hanya terluka kecil, sebuah cedera ringan yang tidak sebanding dengan harapannya. Itu bukan bagian dari rencananya.Selama ini, Julia telah merencanakan segalanya, menyusun langkah demi langkah untuk memastikan Eva menerima akibatnya. Julia merasa cemburu, merasa bahwa Eva telah mengambil Henry yang seharusnya menjadi miliknya. Segala kebahagiaan, perhatian, dan kasih sayang yang dia inginkan, semuanya diberikan pada Eva. Dan demi mendapatkan Henry kembali, dia bertekad untuk membuat Eva merasakan pahitnya hidup.Namun, ketika kabar datang bahwa Eva hanya mengalami luka ringan, kemarahan Julia meledak. Semua usaha yang telah dia lakukan, ter
Hati Henry berdenyut, nada suara Eva itu seperti tidak mengharapkan kehadirannya. Dengan suara tertahan dia berkata, “Memangnya siapa yang kau harapkan? Samuel?” Samuel?Bagaimana keadaannya saat ini? Dia tidak terluka parah, ‘kan? Apa dia baik-baik saja?Segudang pertanyaan bersarang di dalam pikiran Eva. Lagi-lagi, Samuel mendapatkan situasi sulit karenanya. Memang seharusnya operasi itu tidak perlu dilakukan. Harusnya memang dari awal dia menolak saja walau Samuel dan Nyonya Rosie membujuknya. Pasti hal ini akan tidak terjadi. Dia tidak membutuhkan kedua matanya pulih saat ini. Yang dia harapkan hanyalah keadaan Samuel yang baik-baik saja.Dalam hatinya berdoa, semoga tidak ada hal buruk yang terjadi pada pria yang selalu menolongnya.Setelah terdiam sesaat, akhirnya Eva menjawab, “Siapa saja, asalkan bukan dirimu yang ada di sini.” Kata-katanya begitu memohok. Dia pun mengalihkan padangannya ke kiri, menolak menghadap Henry. Meski dia tidak bisa melihat di mana posisi Henry, t
“Memangnya mau ke mana kau dengannya?” Henry menyilangkan dada, menatap Eva dengan tajam. “Memangnya kalian menuju ke mana sebelum kecelakaan itu? Apa sepenting itu?” Henry menghela napas panjang, seolah menahan emosi yang bergejolak. Sorot matanya tetap tajam ke arah Eva. Dia tahu jawabannya, dia tahu persis jika hari ini harusnya adalah jadwal operasi wanita di depannya itu. Dan kecelakaan yang terjadi itu membuatnya harus mundur. Operasi yang diam-diam dia atur untuk memastikan jika istrinya mendapatkan perawatan terbaik tanpa tahu semua perjuangan yang dia lakukan. Akan tetapi dia memilih diam, tidak mengatakan dan tidak membiarkan Eva tahu. Jika istrinya tahu, pasti dia akan menolaknya. Dia menunggu jawaban Eva, meskipun dalam hatinya dia tahu apa yang akan diucapkan Eva. Eva menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. Dia tahu, semakin banyak ia bicara, semakin besar kemungkinan kebenaran akan terungkap. Namun, dia sedikit lega, karena pria yang sa
Eva menelan ludahnya, menahan rasa menggelitik di hatinya. “Apa dia manusia sejenis chameleon?” gumamnya dalam hati. Chameleon adalah makhluk yang ahli berbaur dengan lingkungannya, mengubah warna sesuai kebutuhannya. Atau biasa disebut dengan bunglon.Segala bentuk perhatian Henry terasa aneh bagi Eva. Karena seumur-umur dia tidak pernah merasakan perhatian itu. Pria yang berada di ruangannya seperti topeng yang berganti-ganti wajah. Terkadang terlihat seperti tidak membutuhkan orang lain, di lain waktu dia akan berubah selayaknya pria lainnya yang memiliki rasa cemburu. Dan di saat ini, dia terlihat peduli. Sama persis seperti chameleon yang disebutnya.Berbagai pertanyaan membanjiri pikirannya. Apa yang membuat suaminya berubah seperti itu? “Cepat buka mulutmu lagi,” pintahnya lagi. Eva bahkan tak menyadari betapa patuhnya dia saat itu. Tanpa banyak berpikir, dia membuka mulut untuk menerima suapan berikutnya, meskipun pikirannya sibuk memutar berbagai kemungkinan. Apa yang m
Eva menghela napas panjang. “Terserah kau saja, ‘lah. Aku tidak ada tenaga untuk berdebat,” jawabnya, tak berminat memperpanjang pembicaraan. “Sekarang kau bisa keluar, ‘kan? Keluarlah,” sambungnya dengan nada mengusir. Henry masih mematung, seperti enggan untuk keluar. Eva yang ada di sana tidak mendengar pergerakan Henry. Keningnya sedikit berkerut, pria itu pasti masih berada di dalam kamar mandi. “Kau masih belum keluar?” Henry menggaruk leher bagian belakang. “Bagaimana kalau … kau kesulitan?”“Memangnya sejak kapan kau peduli?” sengalnya. “Cepatlah keluar!”Henry menyandarkan tubuhnya di pintu, tangannya bersilang di depan dada. “Tidak. Bagaimana jika nanti kau tergelincir atau pingsan di dalam sini? Siapa yang susah? Pasti aku.”Eva mendengus, mencoba menenangkan dirinya agar emosinya tidak meluap. “Aku tidak akan tergelincir ataupun pingsan! Sekarang, keluarlah!”“Aku tidak akan pergi,” jawab Henry santai. “Aku ingin berada di sini. Aku hanya tidak mau menanggung masalah
“Apa ada yang mengganggu Anda, Tuan?” tanya Dave, ketika menyadari atasannya itu tengah melamun. Samuel menoleh ke arahnya. “Antarkan aku ke ruangan Eva.” “Ta-tapi, Tuan … Anda masih perlu banyak istirahat. Dokter menyarankan agar Anda tidak banyak bergerak lebih dulu.” “Aku tidak apa-apa, Dave, ini hanya luka kecil. Jangan menganggapnya serius.” Dave tampak gelisah, berdiri di samping Samuel yang sudah bersiap untuk bangkit dari tempat duduknya. "Tuan, mohon pertimbangkan lagi. Kondisi Anda masih belum pulih," desaknya, nada suaranya penuh kekhawatiran.Samuel menatapnya tajam. "Dave, aku tidak akan terbaring di sini seperti pasien tak berdaya. Antarkan aku ke ruangan Eva sekarang.""Tapi, Tuan-"Samuel mengangkat tangan, memotong ucapan Dave. "Pikiranku sudah bulat. Kalau kau terus membantah, aku akan pergi sendiri. Dan aku yakin kau tahu itu bukan ide yang baik."Dave menghela napas panjang, menyerah pada keras kepala atasannya. Dia tahu betul bahwa tidak ada yang bisa mengubah
“Bukankah kau harus memulihkan tubuhmu? Untuk apa kau datang ke sini?” Henry tetap berdiri di tengah pintu, tidak memberikan celah sedikitpun untuk Samuel masuk. “Aku ingin lihat keadaan Eva. Apa itu salah?” Nada suaranya terdengar menantang. “Pasien tidak bisa diganggu, sebaiknya kau kembali.” Henry berniat menutup pintu kembali, tidak membiarkan Samuel masuk. Akan tetapi suara Eva membuatnya berhenti. “Siapa yang datang?” tanyanya penasaran. “Kenapa kau tidak membiarkannya masuk?” “Ini aku, Samuel,” jawabnya dengan ramah. Perlahan, ekspresi kesal Eva berangsur memudar, digantikan dengan senyum merekah saat mendengar suara Samuel dari ambang pintu. Hatinya begitu lega bisa mendengar suara bariton itu lagi. Sedari tadi dia mengkhawatirkan pria baik hati itu, berharap dia baik-baik saja. “Kenapa kau tidak membiarkannya masuk?” nada suaranya terdengar ketus. “Dia lagi sakit. Nanti kau tertular,” jawab Henry tak masuk akal. Yang mereka alami adalah kecelakaan, apa
Pagi menyapa dengan cahaya lembut menyusup dari celah gorden. Henry dan Eva masih tertidur pulas. Kehangatan masih terasa di antara mereka, sisa dari kebersamaan yang baru saja terjadi semalam. Eva membuka matanya perlahan, mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya dia benar-benar terbangun. Kedua matanya mencerna suasana kamar yang begitu asing. Di mana ini?Dia belum sepenuhnya sadar. Hingga dia merasakan tangan kekar memeluk tubuhnya. Dia menoleh. Di sampingnya, Henry masih tertidur pulas. Deru napasnya terdengar begitu teratur. Henry? Butuh tiga detik untuk mencerna hingga dia benar-benar sadar dengan kejadian semalam. Dia mengangkat selimut dan melihat ke dalamnya. Rona merah mulai terlihat di pipinya. Dia malu, dan segera menarik selimut untuk membungkus kepalanya. Pergerakannya itu membuat Henry terbangun. Mata Henry masih setengah terpejam, ekspresi khas seseorang yang baru saja terbangun. Dengan mata setengah terbuka itu, dia bisa melihat gundukan selimut di depannya.
Dengan satu gerakan cepat, Henry mengangkat tubuh Eva, merasakan betapa ringannya tubuh itu dalam dekapannya. Eva begitu terkejut ketika tubuhnya terangkat begitu saja. Matanya menatap Henry dengan penuh kebingungan. “Apa yang sedang kau lakukan?” “Yang kulakukan …?” Henry tersenyum penuh makna. Tanpa menjawab lagi, dia membawanya menuju tempat tidur. Henry membaringkan tubuh Eva perlahan. Eva merasakan jantungnya mulai berdetak lebih kencang saat ini. Suasana hening sejenak sebelum akhirnya Henry meraup bibir Eva. Awalnya ragu-ragu, tapi semakin lama, semakin dalam dan penuh hasrat. Tindakan itu begitu cepat. Eva yang sedikit terkejut kini memejamkan kedua matanya, merasakan gelombang hasrat yang Henry ciptakan. Kali ini, Henry seperti tidak memberikan ruang lagi untuk mereka berjarak. Kemudian, bibirnya turun perlahan menyentuh leher Eva.Eva bisa merasakan hembusan napas berat menyentuh kulitnya. Dia mencoba mendorong tubuh Henry, tetapi, Henry menarik tangannya ke atas kep
Eva membalas dengan tatapan bingung. “Kenapa? Apa kau perlu sesuatu?”Henry hanya diam, dan tatapan mata yang masih tertuju pada Eva.Dia kenapa? Apa ada yang salah?Eva berdehem pelan. “Aku ambilkan makan malam untukmu.” Dia bersiap untuk bangkit dari duduknya.Namun, dengan gerakan cepat, Henry menariknya, membuatnya terduduk kembali. Akan tetapi, kali ini ia terduduk di pangkuan Henry. Saat itu, jantungnya berdetak lebih kencang, antara rasa terkejut dan tatapan dalam suaminya padanya. “Kenapa kau buru-buru sekali?” Suaranya pelan dan sedikit serak. “Aku hanya ingin mengambilkan makanan untukmu.” Eva sedikit gugup dan mengalihkan pandangannya lurus ke depan. “Jangan seperti ini. Tidak enak jika pelayan melihatnya.” Dia berusaha bangkit, tapi tangan Henry menekan pinggangnya, memaksanya untuk tetap tinggal. “Memangnya kenapa jika mereka melihat?” jawabnya dengan acuh tak acuh. “Mereka tahu kalau kau Istriku.” Eva menoleh.Pria ini memang benar-benar keras kepala dan tidak ped
“Ayolah … tidak ada yang salah jika kita melakukannya. Kenapa wajahmu seperti itu? Kau bahkan sering menuntut lebih,” ucapnya dengan penuh percaya diri.Tatapan mata Eva menjadi tajam. Pria ini benar-benar tidak punya malu dan terlalu percaya diri!Pintar sekali membalikkan fakta!“Racun itu bersarang di perutmu, tapi kenapa jadi otakmu yang bermasalah?” Kata-kata itu terlontar begitu saja dari mulut Eva. Ekspresinya yang datar dan tanpa emosi itu membuat setiap kata yang diucapkan terdengar lebih tajam dan menusuk. Henry tidak mau kalah. Dia terus melayangkan serangannya menggoda Eva. “Aku hanya bicara sesuai fakta.” Eva membantah cepat, “Tapi fakta yang kau katakan justru sebaliknya.” “Coba katakan di mana kebohongannya? Setiap kau membalas, aku selalu kuwalahan.” Eva terdiam. Melihat wajah dan senyum nakal Henry itu membuatnya semakin jengkel. Rasanya dia ingin keluar dan mengambil sesuatu untuk memukul kepalanya yang sedang bermasalah. Dasar pria mesum!“Aku rasa, racun itu
Dua hari kemudian.Lawson menutup teleponnya, lalu mengambil mantel panjangnya dengan tergesa-gesa. Sophia mendekat, memasang wajah penasaran. “Papa mau ke mana? Ada kabar apa?”Gerakannya saat memakai mantel tampak terburu-buru. “Papa mau ke Dermaga. Kepala Koki menjadi tersangka dari insiden kemarin.”“Kepala Koki?” Mata Sophia terbelalak lebar. “Papa pergi dulu, ya.”“Mama ikut!” Sophia menyambar tas, kemudian berlari mengejar langkah suaminya. ****Dermaga. Di tengah suasana tegang, kepala koki itu terlihat berlutut, dengan suara gemetar. Dia menahan tangis, dan memohon ampunan di depan orang-orang yang berjejer penuh kekuasaan, memandang ke atas dengan tatapan penuh harap. “Saya berani bersumpah, saya tidak pernah melakukannya.” Salah satu tim keamanan itu menjawab dengan penuh otoriter, “Simpan semua jawabanmu itu, kita tunggu Tuan Lawson datang.” Kepala koki memegang ujung bajunya dengan tangan gemetar, dia terus memohon, tetapi tak ada seorang pun yang bergeming, maupun
“Itu ….” Dengan sekuat tenaga, Henry mengangkat kepala, mendekat, lalu menempelkan bibirnya di atas bibir Eva, memberikan ciuman yang lembut tanpa terburu-buru atau memaksa. Dia memberikan jeda satu detik. Namun, detik berikutnya dia sedikit menekan kepala Eva.Ciuman yang semula lembut itu perlahan semakin dalam. Eva yang mencoba mengimbangi irama Henry itu kini dibuat kuwalahan. Tangannya bergerak, mencengkeram baju yang dikenakan oleh Henry. Suasana di antara mereka semakin memanas, bukan sekedar hasrat, tetapi seperti pengakuan diam-diam tentang rindu yang tertahan, luka yang perlahan sembuh dalam pelukan. Ruangan itu hanya berisi helaan napas yang mulai tak beraturan, dan ciuman itu masih terus berlanjut, menghapus batas logika di antara keduanya. Henry melupakan kondisinya. Yang ada dalam pikirannya saat ini adalah, menciptakan momen bersama istrinya. Dia menginginkan lebih. Ciuman itu bergerak perlahan ke leher Eva. Namun, tidak lama ciumannya terhenti karena Eva menarik
“Kenapa kau menempatkan Istrimu seperti seorang Penjahat yang tidak memiliki hati?” Eva melayangkan protesnya cepat. Henry terkekeh pelan, sedikit terhibur. Entah kenapa hati istrinya begitu sensitif sekarang. “Memeluk Istriku sendiri membuatku harus memohon. Aku heran, dunia apa yang sebenarnya kita jalani saat ini?” Henry menjawab dengan sindiran khasnya. “Kau benar-benar membiarkan Suamimu memohon?” Dia tak mau menghentikannya.Eva masih berpikir. Saat ini mereka di rumah sakit, bagaimana jika seseorang melihatnya? Pasti sangat memalukan. Henry memandang wajahnya dengan tatapan sayu. Dia tahu apa yang ada di pikiran istrinya. Dia mendengus. Sementara Eva menggigit bibir bawahnya, apakah dia harus menuruti permintaan Henry? Bagaimana jika ada yang tiba-tiba masuk? Henry masih menatapnya dengan raut sedikit cemberut, menunggu bagaimana reaksi Eva. “Sudahlah. Sebaiknya aku kembali tidur,” katanya dengan sedikit tidak suka dan pasrah. Henry mengembalikan posisi kepalanya menja
Sophia juga merasakan kelegaan, karena akhirnya ada perkembangan keadaan Henry. Dia ikut menyimak setiap penjelasan yang dokter katakan. Dan ketika dokter keluar dari ruangan, dia berpesan pada Eva. “Sekarang sebaiknya kau istirahat dulu, kau sudah berjaga sampai hampir pagi.” Yang Eva rasakan saat ini adalah mengantuk, tetapi dia menggelengkan kepala. “Aku takut jika nanti Henry membutuhkan sesuatu. Sebaiknya kau lanjut istirahat.” Sophia mendengus. Ternyata Eva memiliki sikap sedikit keras. Dia hanya tidak ingin wanita itu juga tumbang. Dia kembali mengingatkan dengan nada sabarnya, “Perhatikan juga kondisimu, Eva. Bagaimana kalau nanti Henry terbangun tapi justru kau yang jatuh sakit?”Eva terdiam, merenungi perkataan Sophia. Yang dikatakan wanita itu memang benar. Matanya beralih ke arah Henry. Dia pun tersenyum ke arah Sophia, lalu mengangguk. “Baiklah. Aku akan tidur sebentar saja.” Sophia mengangguk tidak mempermasalahkan. “Tidurlah sekarang. Aku keluar sebentar memberit
Suara pintu terbuka. Eva dan lainnya menoleh ke arah dokter yang baru saja keluar dari ruangan. “Bagaimana kondisi Suami saya sekarang, Dok?” Eva berharap akan ada kabar baik. Dengan suara tenang, Dokter itu menjelaskan, “Kami masih harus menunggu hasil laboratorium, Nyonya. Tapi, saya rasa, kondisinya sudah mulai membaik setelah mendapatkan penanganan pertama.” Akhirnya, Eva bisa bernapas sedikit lega sekarang. Setidaknya ada perkembangan dari kondisi Henry saat ini. Tuan Lawson menyahut, “Bisakah kalian mengeluarkan hasil itu dalam waktu singkat?”Dokter itu mengangguk pelan. “Akan kami usahakan, Tuan.”“Bisakah saya masuk ke dalam sekarang?” Rasa tidak sabar menggebu di dalam hatinya.“Silakan, Nyonya,” Setelah mendapat persetujuan, Eva masuk ke dalam ruangan. Dia bisa melihat pria yang biasanya sombong dan arogan itu masih terbaring lemah di sana. Wajah yang sebelumnya pucat, kini terlihat mulai kembali normal. Sementara Tuan Lawson dan Sophia masih berada di luar bersama de