Eva menelan ludahnya, menahan rasa menggelitik di hatinya. “Apa dia manusia sejenis chameleon?” gumamnya dalam hati. Chameleon adalah makhluk yang ahli berbaur dengan lingkungannya, mengubah warna sesuai kebutuhannya. Atau biasa disebut dengan bunglon.Segala bentuk perhatian Henry terasa aneh bagi Eva. Karena seumur-umur dia tidak pernah merasakan perhatian itu. Pria yang berada di ruangannya seperti topeng yang berganti-ganti wajah. Terkadang terlihat seperti tidak membutuhkan orang lain, di lain waktu dia akan berubah selayaknya pria lainnya yang memiliki rasa cemburu. Dan di saat ini, dia terlihat peduli. Sama persis seperti chameleon yang disebutnya.Berbagai pertanyaan membanjiri pikirannya. Apa yang membuat suaminya berubah seperti itu? “Cepat buka mulutmu lagi,” pintahnya lagi. Eva bahkan tak menyadari betapa patuhnya dia saat itu. Tanpa banyak berpikir, dia membuka mulut untuk menerima suapan berikutnya, meskipun pikirannya sibuk memutar berbagai kemungkinan. Apa yang m
Eva menghela napas panjang. “Terserah kau saja, ‘lah. Aku tidak ada tenaga untuk berdebat,” jawabnya, tak berminat memperpanjang pembicaraan. “Sekarang kau bisa keluar, ‘kan? Keluarlah,” sambungnya dengan nada mengusir. Henry masih mematung, seperti enggan untuk keluar. Eva yang ada di sana tidak mendengar pergerakan Henry. Keningnya sedikit berkerut, pria itu pasti masih berada di dalam kamar mandi. “Kau masih belum keluar?” Henry menggaruk leher bagian belakang. “Bagaimana kalau … kau kesulitan?”“Memangnya sejak kapan kau peduli?” sengalnya. “Cepatlah keluar!”Henry menyandarkan tubuhnya di pintu, tangannya bersilang di depan dada. “Tidak. Bagaimana jika nanti kau tergelincir atau pingsan di dalam sini? Siapa yang susah? Pasti aku.”Eva mendengus, mencoba menenangkan dirinya agar emosinya tidak meluap. “Aku tidak akan tergelincir ataupun pingsan! Sekarang, keluarlah!”“Aku tidak akan pergi,” jawab Henry santai. “Aku ingin berada di sini. Aku hanya tidak mau menanggung masalah
“Apa ada yang mengganggu Anda, Tuan?” tanya Dave, ketika menyadari atasannya itu tengah melamun. Samuel menoleh ke arahnya. “Antarkan aku ke ruangan Eva.” “Ta-tapi, Tuan … Anda masih perlu banyak istirahat. Dokter menyarankan agar Anda tidak banyak bergerak lebih dulu.” “Aku tidak apa-apa, Dave, ini hanya luka kecil. Jangan menganggapnya serius.” Dave tampak gelisah, berdiri di samping Samuel yang sudah bersiap untuk bangkit dari tempat duduknya. "Tuan, mohon pertimbangkan lagi. Kondisi Anda masih belum pulih," desaknya, nada suaranya penuh kekhawatiran.Samuel menatapnya tajam. "Dave, aku tidak akan terbaring di sini seperti pasien tak berdaya. Antarkan aku ke ruangan Eva sekarang.""Tapi, Tuan-"Samuel mengangkat tangan, memotong ucapan Dave. "Pikiranku sudah bulat. Kalau kau terus membantah, aku akan pergi sendiri. Dan aku yakin kau tahu itu bukan ide yang baik."Dave menghela napas panjang, menyerah pada keras kepala atasannya. Dia tahu betul bahwa tidak ada yang bisa mengubah
“Bukankah kau harus memulihkan tubuhmu? Untuk apa kau datang ke sini?” Henry tetap berdiri di tengah pintu, tidak memberikan celah sedikitpun untuk Samuel masuk. “Aku ingin lihat keadaan Eva. Apa itu salah?” Nada suaranya terdengar menantang. “Pasien tidak bisa diganggu, sebaiknya kau kembali.” Henry berniat menutup pintu kembali, tidak membiarkan Samuel masuk. Akan tetapi suara Eva membuatnya berhenti. “Siapa yang datang?” tanyanya penasaran. “Kenapa kau tidak membiarkannya masuk?” “Ini aku, Samuel,” jawabnya dengan ramah. Perlahan, ekspresi kesal Eva berangsur memudar, digantikan dengan senyum merekah saat mendengar suara Samuel dari ambang pintu. Hatinya begitu lega bisa mendengar suara bariton itu lagi. Sedari tadi dia mengkhawatirkan pria baik hati itu, berharap dia baik-baik saja. “Kenapa kau tidak membiarkannya masuk?” nada suaranya terdengar ketus. “Dia lagi sakit. Nanti kau tertular,” jawab Henry tak masuk akal. Yang mereka alami adalah kecelakaan, apa
Eva melipat tangannya di depan dada, ekspresinya datar tanpa sedikit pun emosi. “Cemburu?” ujarnya dengan nada skeptis. “Dia ‘kan tidak punya hati untuk merasa cemburu. Walaupun dia cemburu, itu pasti karena sesuatu yang konyol, seperti kehilangan kendali atau egonya yang terganggu. Lagipula, untuk apa juga dia cemburu?”Kalimat itu menusuk Henry lebih dalam daripada yang dia duga. Rahangnya mengencang, tangan kanannya mengepal di sisi tubuhnya. Dia ingin membantah, tetapi suara Eva yang dingin membuatnya kehilangan kata-kata. Bagaimana mungkin dia berkata seperti itu? pikir Henry, tatapannya membara dengan amarah yang ia coba sembunyikan.Eva menunjukkan sikapnya yang tidak peduli itu justru membuatnya semakin jengkel. Dia menatap Samuel dan Eva secara bergantian. Pandangannya semakin menajam ke arah Samuel. Sementara Samuel, di sisi lain, hanya tersenyum tipis sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi rodanya. Tatapan nakalnya penuh arti, menikmati setiap detik ketegangan di antara pa
Big Sur, California.Villa itu berdiri megah di atas bukit, menghadap laut lepas Samudra Pasifik, jauh dari keramaian California. Suasana ini menandakan jika dunia hanya miliknya. Bagi Martin, villa itu adalah tempat sempurna untuk berdiam diri. Tak ada seorangpun yang tahu mengenai villa megah yang dia datangi, bahkan istrinya sendiri tidak mengetahui villa pribadi yang dia bangun di kawasan itu. Siang itu, dia duduk di ruang tamu villa yang megah dengan nuansa elegan, dengan pemandangan laut yang memukau. Udara segar dari laut yang beraroma asin dan aroma kopi yang menyeruak menjadi teman untuknya bersantai. Di hadapannya, duduk seorang pria dengan setelan jas rapi, dia adalah Logan, orang kepercayaannya. Martin meneguk kopi miliknya, lalu kembali meletakkan di atas meja. “Kau sudah mengumpulkan semua informasi yang aku minta, ‘kan?” tanyanya, meski dia sudah berumur, suaranya tetap penuh otoritas tinggi. Logan mengangguk, dan akhirnya menjawab, “Ya, Tuan. Saya membawa semua yan
Logan diam, memandang ke arah Martin. Wajah pria paruh baya itu tampak tenang, tetapi sorot matanya tidak bisa berbohong. Meski Logan tak menunjukkan banyak emosi, tapi ada sesuatu dalam sorot matanya yang mengatakan bahwa dia bisa merasakan kesedihan yang dirasakan Martin. Suasana di sekitar mereka kembali hening, seolah waktu berhenti sejenak, membiarkan setiap orang tenggelam dalam perasaan masing-masing. Di sisi lain kota, Julia dan Elise duduk di meja kecil elegan, ditemani hiruk-pikuk percakapan dari meja-meja lain di Restoran mewah di tengah kota. Aroma truffle dan masakan mewah lainnya menguar di udara, menciptakan suasana yang menyatu dengan kota yang tidak pernah tidur itu. Julia menyentuh gelas campagne-nya, menatapnya sejenak kemudian meneguknya perlahan. Sementara Elise, yang duduk di seberang, memotong daging steak dengan gerakan elegan. Julia kembali meletakkan gelasnya, dengan suara tenang dia berkata, “Apa Aunty tahu kabar terbaru?” Elise menatapnya, wajahnya ta
Ibu dan anak ternyata sama saja!” Elise berujar dengan nada sedikit meninggi, tampak kesal.Julia menatap dengan bingung, alisnya berkerut. “Ibu dan anak … sama saja?” ulangnya dengan nada penasaran. “Maksudnya bagaimana, Aunty?” Elise mendadak diam, sadar jika dia salah berucap. Wajahnya seketika berubah, ekspresi kesalnya itu berganti canggung. Dia menatap Julia yang penuh kebingungan, mencoba mencerna apa yang baru saja dia ucapkan.“Ah, haha … tidak … kau hanya salah dengar tadi,” ucapnya, diikuti dengan nada penuh candaan. “Sudah, ayo habiskan makananmu.” Elise kembali menikmati makanan miliknya, berusaha menghindari pertanyaan dari Julia.Julia bertanya-tanya dalam hati, merasa penasaran. Matanya bergerak mengikuti pergerakan Elise, seolah mencari jawaban yang tersembunyi. “Aku yakin tidak salah dengar. Sepertinya ada sesuatu yang tidak aku ketahui. Jika aku tidak diberitahu, maka aku akan mencari tahu sendiri,” katanya dalam hati. Langit siang mulai beranjak senja, dengan s
“Tuan Henry, mungkin lain kali kita harus bertemu. Saya akan membawa Istriku juga.” Pria itu begitu semangat. Istrinya, yang banyak menghabiskan waktu di rumah pasti akan senang bertemu dengan Eva. Henry terkekeh pelan. Dia pun menyetujui ucapan pria itu. “Saya setuju.”Pria itu tersenyum lebar, wajahnya begitu antusias. “Saya yang akan mengaturnya. Saya yakin para Istri pasti langsung akrab, dan pertemuan kita akan menyenangkan.” “Saya akan menunggu kabar Anda selanjutnya, Tuan.”“Kalau begitu, mari duduk dan nikmati acaranya, Tuan,” ujar pria itu sambil memberi jalan bagi mereka.“Terima kasih banyak,” kata Henry dengan nada halus, menyunggingkan senyum yang sedikit lebih santai.Pria itu membalas dengan senyum tipis, memandang mereka sejenak sebelum beranjak pergi, menyisakan mereka berdua di kursi VIP, dikelilingi oleh kemewahan acara yang sedang berlangsung. Suasana terasa nyaman dan eksklusif, meskipun Henry dan Eva tidak bisa mengabaikan tatapan-tatapan yang mulai tertuju pa
Eva duduk di sofa dengan terkulai, matanya terpaku pada ponsel yang ada di tangannya. Dia memandang pesan yang baru saja dia kirimkan pada Samuel. Pesan yang selalu dia kirim dengan penuh harapan, meski tak pernah mendapat balasan. Terakhir kali mereka berinteraksi melalui telepon Henry, sejak saat itu, tak ada tanda-tanda Samuel membalas pesannya. Orang yang dulu selalu ada untuknya, kini tiba-tiba berubah. Tak ada kata-kata, tak ada jawaban, hanya ruang hening yang menyelimuti keduanya. Eva hanya ingin melihat kondisi Samuel, dia merasa banyak hutang budi dengan pria itu di saat semua hidupnya terombang ambing dalam ketidakpastian. Eva tampak berpikir keras. Perasaannya bimbang, antara harus menghubungi Samuel, atau membiarkan pria itu dengan dunianya. Dia merasa bingung. Perubahan sikap Samuel begitu cepat dan tiba-tiba. Sekarang, terasa Samuel tengah menjauh. Wajahnya tampak lesu, dan perasaannya begitu berkecamuk. Apakah aku melakukan sesuatu yang salah? Atau, dia beg
Pagi ini, Henry datang ke kelas memasak dengan semangat tinggi. Ruangan dapur berkilauan dengan peralatan masak yang tertata rapi. Aroma rempah-rempah yang tercium samar, memberikan suasana yang hangat dan menyenangkan."Selamat datang, Tuan Henry!" sapa Chef Miles dengan ramah.Henry mengangguk. “Apa yang akan kita masak hari ini?" tanyanya tanpa berbasa-basi. Hari ini adalah hari pertamanya untuk mengikuti kelas memasak, dan terlihat dia sudah tidak sabar untuk memasak sendiri. Chef Miles tersenyum lebar melihat antusias Henry. "Kita akan mulai dari resep sederhana, Tuan. Kita akan membuat salad segar dari sayuran dan saus sederhana. Semua bahan sudah tersedia di meja. Yang perlu Anda lakukan hanyalah mengikuti instruksi dari saya," jelas Chef Miles sambil menunjukkan meja berisi sayuran.Chef miles memilih untuk dengan sesuatu yang mudah, membuat salad sayur yang sederhana. Meski itu terbilang mudah, dia tahu betul bahwa memasak bisa menjadi hal yang membingungkan bagi pemula.H
Eva kembali menatap piringnya, sendok berikutnya terasa lebih lembut dan akrab. Setiap gigitan menghidupkan kembali kenangan yang hampir terlupakan di dapur ibunya. Suara obrolan ringan yang menyelingi waktu makan malam, hingga pelukan hangat yang selalu datang setelah mereka selesai makan bersama."Terima kasih," ucap Eva pelan tanpa menoleh, suaranya penuh dengan rasa syukur yang tak terucapkan.Henry memiringkan kepalanya sedikit, menatap wajahnya yang terlihat lebih tenang. “Untuk apa?”“Sudah membawaku ke sini,” jawabnya sambil menatap piringnya. “Aku hampir lupa bagaimana rasanya. Tapi akhirnya aku bisa mengingatnya lagi.” Kata-katanya begitu tulus.Sesimpel itu? Henry menghela napas perlahan, senang melihat cahaya lembut kembali ke mata Eva. Di momen itulah Henry menyadari sesuatu yang sederhana, tetapi begitu berarti. Wajah Eva yang biasanya datar dan diselimuti dengan emosi kini tampak tenang. Senyumnya yang tidak pernah muncul saat bersamanya, kini terlihat lembut dan tulu
Henry mengemudi dengan fokus, sementara Eva duduk tenang di sebelahnya. Mobil melaju mengikuti arus lalu lintas yang ramai, dan sepanjang perjalanan, suasana di dalam mobil tampak sunyi. Sesekali Henry melirik ke arah Eva, dan pada akhirnya, Henry mulai membuka suara, “Kenapa tidak izin kalau kau keluar?” Eva menoleh, mengerutkan kening. “Aku tidak mau mengganggu waktumu,” jawabnya singkat.Henry kembali bersuara, “Kenapa kau menolak pengawalan yang kuberikan untukmu?” “Aku tidak perlu pengawalan,” jawabnya santai. “Terlalu mencolok, dan itu membuatku tidak nyaman saat di luar.”Henry menghela napas panjang, matanya tetap fokus mengarah ke depan. “Aku sengaja menempatkan mereka untuk menjagamu. Anggap saja mereka tidak ada bersamamu. Keselamatanmu lebih penting.” Eva terdiam mendengar pernyataan Henry. Kata-kata itu terngiang di benaknya. Dia menoleh perlahan, mencoba mencari ekspresi di wajah Henry, tetapi pria itu tetap menatap lurus ke depan dengan wajah penuh keseriusan.Hat
Henry menggaruk kepala, sedikit malu. "Mungkin sedikit terlalu lama di atas kompor. Tenang saja, ini bisa dimakan!" jawabnya dengan suara pelan, berusaha mempertahankan semangat. Namun, ekspresinya yang canggung dan mencoba terlihat yakin, justru membuat suasana semakin konyol.Eva terdiam sejenak, rasanya ingin tertawa keras. "Kau … sudah mencobanya?" “Aku membuatkan ini untukmu, aku akan makan kalau kau sudah makan,” jawabnya dengan percaya diri. Ia memberikan piring itu pada Eva.Dia sebenarnya niat atau tidak, sih? Apa dia mengejekku menggunakan makanan ini?Eva yang melihatnya dibuat speechless. Lidahnya mendadak keluh tidak bisa mengeluarkan sepatah kata pun. Salah satu pelayannya terlihat ragu, dia melirik ke dalam piring bergantian menatap majikannya dikelilingi rasa cemas dan takut hingga akhirnya dia angkat bicara, “Tu-tuan … itu ….” Dia menghentikan ucapannya. Sejak awal, dia sudah berusaha memberitahu Henry tentang masakan itu, tapi Henry mengabaikan, enggan mendeng
Henry mendengus sebal. “Sudah kubilang, kau memang tidak berguna!” kata-katanya penuh sarkasme. “Saya ‘kan tidak setiap hari bersama Nyonya, Tuan. Harusnya Tuan yang lebih tahu apa saja yang disukai Nyonya Eva.” Ryan membantah. “Tugasmu sebagai Asistenku untuk apa kalau tidak mencari tahu semuanya?” Tatapan Henry begitu tajam ke arahnya. Dengan nada pasrah Ryan menjawab, “Siap salah, Tuan. Saya akan mencari tahu apa saja yang disukai Nyonya Eva.” Dia memilih pasrah, karena tahu bahwa berdebat lebih lanjut dengan Henry tidak akan membawa hasil apa pun. “Oh, iya, Tuan, begini saja.” Suara Ryan kembali terdengar penuh semangat. “Anda tahu Chef Miles, ‘kan? Nah … kebetulan dia sedang membuka kelas memasak. Mungkin Tuan bisa ikut kelasnya dan membuat masakan untuk Nyonya Eva.” “Ya sudah tunggu apa lagi? Cepat hubungi dia sekarang juga!” perintahnya. “Aku mau kelas pribadi.” Rasa semangat Ryan membara, dia senang sekali karena Henry menuruti setiap saran yang diberikan. D
Henry duduk di meja kerjanya dengan wajah serius menatap layar ponsel yang ada di tangannya. Jari-jarinya terus menggulir di atas layar, mencari yang penuh perhatian. Di atas meja, tumpukan dokumen itu tidak tersentuh, terlupakan karena dia begitu fokus pada apa yang sedang dia baca. “Cara menyenangkan hati istri” begitu judul artikel di layar ponselnya. Dia merasa ini adalah topik yang penting. Sampai saat ini, dia tidak bisa memahami perasaan Eva, dan kali ini dia mencoba yang terbaik untuk memperbaiki rumah tangganya. Dengan penuh rasa ingin tahu, dia segera menggulir layar dan membaca artikel itu dengan cermat. Artikel itu memberikan beberapa tips, dari mulai memberikan perhatian lebih, menghargai waktu, mengajak makan malam bersama, dan memperhatikan hal-hal kecil yang sepele, tapi berarti bagi pasangan. Henry mendesah pelan, beberapa dari tips itu sudah pernah dia lakukan. Namun itu tidak berhasil. Eva hanya diam, menunjukkan emosinya dan selalu menghindar. Dia kembali meng
“Kau sangat mencintainya, ‘kan?” Nyonya Rosie tidak terkejut. Ia bisa melihat perlakuan dan bagaimana tatapan Samuel selama ini. Wanita itu menjeda ucapannya sejenak, kemudian melanjutkan, “Tidak semua cinta harus memiliki, Anak Muda.”Samuel memandang Nyonya Rosie. Wajahnya menyimpan luka yang dia sembunyikan. Entah bagaimana wanita tua itu bisa tahu perasaan tanpa perlu menjelaskan panjang lebar. "Kadang, cinta sejati adalah tentang mengorbankan perasaan kita sendiri demi kebahagiaan orang yang kita cintai," lanjut Nyonya Rosie. "Aku pernah muda sepertimu.” Nyonya Rosie memulai untuk bercerita. "Dulu aku mencintai seseorang dengan seluruh hatiku. Tapi dia memilih orang lain.”“Benarkah, Nyonya?” kata Samuel, suaranya penuh keterkejutan. “Lalu, apa Anda menyesal sudah mencintainya, Nyonya?” tanyanya dengan penasaran.Nyonya Rosie menggeleng samar. “Tidak! Aku tidak pernah menyesal.” Dia tersenyum, mengenang kenangan yang jauh. “Aku bisa saja membencinya, atau berusaha memisahkan