“Wah, coba lihat. Menantu cacat dari keluarga Harrison ikut bergabung di sini.” Baru saja Eva terduduk. Ia sudah mendapatkan sambutan sinis dari kerabat suaminya. Hari ini, Eva ikut menghadiri pesta pernikahan kerabat jauh dari Henry, suaminya. Namun, kehadirannya tidak disambut dengan baik. Salah satu dari mereka, Bibi Maria, mulai menyahuti. “Henry, kenapa kau harus membawa perhiasan tidak layak sepertinya? Tampaknya dia lebih cocok berada di etalase daripada di keluarga kita.”Anggota kerabat lainnya menatap Eva dengan tatapan mengejek. “Wanita yang berasal dari latar belakang biasa dan juga memiliki penyakit mata, ya. Aku tidak yakin dia bisa melakukan tugas-tugas sebagai istri dengan benar.”“Kami bisa mengenalkanmu pada wanita yang layak denganmu. Kenapa kau harus memilih wanita rendahan sepertinya, Henry?” Eva menundukkan, menyembunyikan wajahnya. Ia berusaha bersikap tenang, tetapi rasa sakit hati mulai membanjiri hatinya. Dia tahu, bahwa setiap acara seperti ini, ia hany
Eva merogoh tasnya, mencari obat tetes mata yang biasa ia gunakan. Namun sayangnya, dia tidak membawa obat tersebut.Eva menepuk keningnya pelan. “Aah … aku lupa membawanya karena terburu-buru.”Rasa perih di matanya itu kini menjalar ke kepala. Eva memukul kepalanya berulang kali, berniat menormalkan pandangannya. Namun pandangan matanya semakin gelap.Eva mulai melangkahkan kakinya menjauh dari sana. Perjalannya ternyata tidak mulus. Dia tersungkur karena pandangan matanya gelap.“Awsh.” Eva merintih kesakitan. Lututnya terasa perih.Eva kembali bangkit melupakan rasa perih di lututnya. Ia terus berjalan sampai di tepi jalan besar dengan langkah kaki tersandung. Tangannya melambai menghentikan taksi yang sedang melaju. Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 2 jam lamanya, Eva tiba di Central Park Tower Penthouse. Penthouse mewah yang ia tempati bersama Henry. Di mana suasana di dalamnya sangat sunyi dan dingin. Tak ada kehangatan atau warna di dalamnya.Eva berjalan dengan lesu,
Hari demi hari berlalu, Eva kembali menjalani hari dengan kekosongan dan keterasingan. Setelah acara pesta beberapa hari yang lalu, Henry semakin menjaga jarak dengannya.Malam ini, Henry menghadiri gala perusahaan, yang bertempat di The Pierre Hotel. Seperti biasa, suaminya akan pergi bersama Julia, suaminya tidak pernah membawanya ke acara-acara tersebut. Eva bisa merasakan jika kedua orang itu masih menyimpan perasaan satu sama lain. Pikirannya kembali ke percakapan mereka. Henry berbicara dengan nada dinginnya saat Eva bertanya kenapa suaminya itu tidak pernah membawanya ke acara-acara tersebut. “Kita sudah membicarakan ini sebelumnya Eva. Aku tidak mau jika pernikahan ini menjadi perbincangan di kantor.” “Sadar dirilah! Ingat kondisimu. Bagaimana nanti jika khalayak umum tahu jika aku menikahi wanita sakit-sakitan sepertimu!”Eva menarik napasnya dalam-dalam, berusaha menenangkan dirinya. Ia baru saja memeriksa penglihatannya di cermin, merasakan rabunnya semakin parah. Setia
Eva baru saja keluar dari rumah sakit, memeriksakan kembali kondisi matanya dan menebus obat. Sebelum kembali ke penthouse, Eva singgah di kafe tepi jalan yang biasa ia lewati. Aroma kopi segar dan kue yang baru dipanggang menyambutnya. Ia menarik napas dalam-dalam, merasakan kedamaian yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya.Seorang Barista membawa cappucino dan kue coklat ke mejanya. “Ini pesanan Anda.”“Terima kasih.”Eva menyeruput cappucino miliknya dengan tenang. Namun, kedamaian itu tidak bertahan lama saat suara wanita memecah keheningan.“Oh, Eva, kita bertemu di sini rupanya.” Tanpa persetujuan, wanita itu duduk begitu saja di kursi sebelahnya.Eva menyipitkan kedua matanya untuk melihat siapa yang datang. Samar-samar dia bisa melihat. Ternyata wanita itu adalah Julia, sekertaris sekaligus mantan kekasih dari Henry.Untuk apa dia berada di sini? Apakah Julia tidak bekerja?Eva mencoba untuk bersikap tenang dan memasang senyum di depan Julia.Ketika Julia melihat Eva, dia
“Henry.” Henry menoleh saat Eva memanggilnya. Senyum miring terbit di wajahnya. Ia sudah menduga, pasti istrinya itu akan mengubah keputusannya.Tak mungkin Eva berani dengan keputusan sebesar itu. “Kau mau merubah keputusanmu?” Henry bertanya dengan penuh percaya diri.“Aku sudah mengurus perceraian kita. Semua dokumen sudah diproses, aku juga sudah menghubungi pengacara untuk membantu mempercepat prosesnya. Kita hanya menunggu keputusan resmi dari pengadilan.” Eva berbicara dengan tenang tanpa beban.Seketika, ekspresi Henry berubah drastis. Rahangnya mengeras, matanya membesar karena terkejut. Apa yang dikatakan Eva bukan kebohongan. Henry melangkah, mendekat ke arah Eva dengan penuh amarah. “Katakan sekali lagi apa alasanmu meminta bercerai? Apa karena uang yang kau terima dariku sudah cukup untuk membuatmu seberani ini padaku?”Eva menggeleng cepat. “Tidak ada yang perlu dipertahankan dalam rumah tangga kita.” Eva menjawab dengan santai. Ada rasa geram saat suaminya selalu me
Dokumen itu ternyata adalah surat perceraiannya dengan Eva. Di dalam dokumen itu sudah dibumbui tanda tangan dari Eva. Henry menatap dokumen itu dengan acuh tak acuh. “Apa Anda benar-benar akan menandatangani surat itu, Tuan?” Ryan ingin memastikan bagaimana keputusan Henry. “Aku akan menandatangani nanti.” Henry kembali menyimpan dokumen tersebut.Ryan bisa melihat ketidak pedulian Tuannya pada Eva. Ia kembali bertanya untuk lebih lanjut. “Apa Tuan sudah mengetahui keberadaan Nyonya Eva?” Henry hanya mengangkat bahunya tinggi-tinggi. Tanpa peduli di mana keberadaan atau bagaimana keadaan Eva. “Dia sendiri yang memutuskan pergi. Biarkan dia sendiri yang merasakan kejamnya dunia luar.” “Bagaimana jika-”“Henry!”Tiba-tiba saja Julia menerobos masuk ke dalam ruangan Henry tanpa permisi. Membuat Ryan menghentikan ucapannya.Henry memberikan kode agar Ryan keluar meninggalkan ruangan. Ryan memahami kode Henry. Ia pun berpamitan sopan. “Kalau begitu, saya permisi, Tuan.” Ryan melang
Samuel tersenyum puas, akhirnya idenya itu membuat Eva tertarik. Ia memainkan cangkir di tangannya. “Mengatur jadwal dan membantu dengan beberapa dokumen lainnya.” “Itu terlihat menarik.” Eva menunjukkan minatnya. Namun, beberapa detik berikutnya, ia terlihat lesu. “Tapi, aku tidak tahu bagaimana pekerjaan kantor.” Samuel melihat keterbatasan yang dimiliki Eva. Namun, ia tidak ingin berhenti begitu saja. Apapun itu, ia akan mengusahakan untuk Eva. “Kau tidak perlu khawatir, aku bisa menjelaskan lebih lanjut. Aku juga akan mengajarimu.” “Sungguh?” Wajah Eva merona bahagia. “Tapi, apa kau tidak sibuk dengan pekerjaanmu?” Samuel mengangguk santai. “Aku bisa menggunakan waktuku saat beristirahat.” Mata Eva berbinar-binar. Wajahnya cerah dan senyum lebar menghiasi wajahnya. Eva mengangguk, tampak bersemangat. “Terima kasih, Samuel.” Samuel tersenyum lebar. Ia senang melihat antusiasme Eva. Eva menoleh saat lonceng di atas pintu berbunyi. Dengan buru-buru Eva menyudahi percakapann
“Kau mau ke mana Henry?” Julia menyapa Henry yang tampak terburu-buru. Henry menampilkan senyumnya sekilas. “Aku sedang ada urusan.” Tak lama kemudian, Henry kembali melangkah. Julia berdecak. Ia melihat jika hari ini Henry sedikit cuek padanya. Julia berbicara pada diri sendiri dengan nada kesal. “Memangnya urusan apa sih? Tidak jelas sekali.” “H-halo, Asiten Ryan. Ke mana Henry pergi?” Julia tergeragap, terkejut saat dia berbalik melihat Ryan keluar dari ruangan Henry. Namun, detik berikutnya ia teringat jika saat ini sedang dalam jam kerja. “Maksud saya, Tuan Henry.” Ryan memandang Julia tanpa ekspresi. “Tuan Henry sedang ada urusan mendesak. Jika ada urusan, Anda bisa mengatakan pada saya.” Sebenarnya dia sendiri tidak tahu ke mana Henry akan pergi. Namun, dia harus menjawabnya dengan masuk akal. Ryan sedikit risih dengan Julia yang selalu menempel pada Henry. Seperti permen karet. Julia memandang dokumen yang ada di dekapannya. Memberikan pada Ryan. “Oh, iya. Ini a
Satu per satu pakaian milik Eva itu dia masukkan ke dalam tas dengan rapi. Dia mengenali setiap sentuhan kain, tiap tekstur yang berbeda, mulai dari kaos lembut yang sering dikenakan Eva saat santai, hingga pakaian tidur yang nyaman.Di sudut lain, seorang wanita paruh baya dengan wajah lembut tampak sibuk menyiapkan apa saja yang diperlukan. Dialah Nyonya Rosie, dengan telaten dia memastikan setiap detail sebelum keberangkatan Eva ke rumah sakit.“Eva, aku tidak bisa menemanimu di sana. Aku sudah menyiapkan semuanya, jaga dirimu baik-baik. Ikuti apa kata Samuel.” Suaranya lembut penuh perhatian.Eva tersenyum, meski matanya tidak bisa melihat, dia bisa merasakan ketulusan wanita paruh baya itu. “Terima kasih, Nyonya. Anda sudah banyak membantu. Tidak apa-apa, Nyonya, doakan saja agar semuanya berjalan lancar.”Nyonya Rosie mendekat, memberikan pelukan hangat sebelum keberangkatan Eva.Samuel yang sibuk memasukkan baju, memandang dua wanita itu sekilas dengan perasaan hangat. Matanya,
Malam itu semakin terasa dingin, tapi bukan karena angin, melainkan kekosongan yang menguasai hatinya. Dia menarik napas dalam-dalam, mencoba memenuhi paru-parunya dengan udara segar. Akan tetapi rasanya tidak cukup untuk mengurangi rasa sesak di dadanya. Bayangan wajah Eva kembali muncul di benaknya. Senyumnya yang lembut dengan semangat juang yang tidak pernah pudar selalu membuatnya tenang dan lebih asik menjalani hari. Akan tetapi Samuel tahu dan sadar diri, Eva bukan miliknya. Lagi-lagi kenyataan itu menamparnya keras. “Sejak kapan kau menyukainya?” Pertanyaan Henry itu terus berputar-putar dalam pikirannya. Entah kapan itu, dia tidak tahu jelas. Karena kian hari simpatinya itu menuntunnya semakin jauh untuk lebih dekat dengan Eva.Hatinya selalu tergerak untuk mendekati Eva. Hingga akhirnya rasa simpati itu berubah menjadi rasa yang tidak biasa.Samuel terkekeh pelan. Tawa itu menunjukkan ejekan pada dirinya sendiri. “Begitu banyak wanita di luar sana, Sam. Bagaimana bisa k
Malam itu, di balkon apartemen Samuel, angin malam menyapu dengan perlahan membawa udara sejuk yang menyejukkan kulit. Kota di bawah sana terdengar riuh, suara kendaraan terdengar samar dari kejauhan. Meski kota itu terlihat hidup, tetapi di balkon itu terasa sepi dan sunyi. Henry berdiri di sudut balkon, matanya menatap jauh, pandangannya kosong seperti tidak melihat apa-apa. Wajahnya yang angkuh dan arogan itu kini terlihat sedikit sayu. Seperti kehilangan jati dirinya.Tiba-tiba saja terdengar langkah kaki yang mendekat dari arah belakang. Tanpa Henry menoleh, dia tahu jika itu adalah Samuel. Beberapa detik kemudian Samuel muncul dengan membawa dua gelas Champagne di tangannya. Samuel memberikan satu gelas itu pada Henry, kemudian dia berkata, “Tidak biasanya kau datang ke mari? Apa yang membuatmu datang tiba-tiba?” Samuel meneguk champagne miliknya, dia memutar tubuhnya beralih memandang pemandangan kota di bawah sana, dengan satu tangan dimasukkan ke dalam saku celana.“Bagai
Henry sedang duduk tenang di ruang kerjanya, ia tidak terpengaruh meski Ryan masuk tanpa mengetuk pintu. Wajah Ryan tampak serius, dan ada secercah kegelisahan yang sulit disembunyikan."Tuan," panggil Ryan dengan nada berat.Henry mendongak, meletakkan dokumen yang tengah dia baca. "Ada apa?"“Nexus Group menghubungi saya setelah pembatalan pertemuan Anda dengan mereka. Mereka meminta kejelasan pasti. Jika tidak ….”“Jika tidak, apa?” Suara Henry terdengar berat. “Jika mereka ingin memberikan proyek itu pada orang lain dan meminta pinalti, berikan saja pada mereka.” “Tapi, Tuan … bagaimana jika klien yang lain tidak mempercayai kita lagi?” ucapnya dengan cemas. Ryan memerhatikan Henry dengan lekat. Dia bisa melihat perubahan Henry setelah mengetahui kondisi Eva. Dalam hatinya, dia senang jika Tuan-nya akhirnya bisa sadar dan melakukan segala upaya. Namun, semua pekerjaan terbengkalai. Hingga membuat Julia frustasi dan marah. Pekerjaannya bertambah, ditambah lagi dia semakin terja
Julia menerobos pintu ruangan Henry dengan langkah cepat, heels-nya beradu dengan lantai marmer, menciptakan gema di sepanjang ruangan. Henry yang sedang berdiri di depan jendela besarnya, menoleh, melihat kedatangan Julia dengan ekspresi yang tidak bersahabat.“Henry!” suara Julia memecah keheningan, penuh dengan kemarahan yang tertahan. “Kau tahu sudah berapa kali kau membatalkan pertemuan dengan klien tanpa pemberitahuan yang jelas? Ini bukan hanya membuatku kewalahan, tapi juga mencoreng reputasi perusahaan!”Henry melangkah pelan, mendudukkan diri dan menyandarkan punggungnya ke kursi, kedua tangan disilangkan di dada. Tatapan tenangnya membuat emosi Julia semakin memuncak.“Kau tahu apa yang terjadi tadi pagi? Klien dari Nexus Group marah besar karena kau membatalkan pertemuan lima menit sebelum waktu yang dijadwalkan! Aku harus memohon pada mereka agar tidak memutuskan kerja sama!” Julia melanjutkan dengan nada yang lebih tinggi.Henry menghela napas pelan, tangannya bergerak
Henry berdiri di ruang konferensi rumah sakit, menghadap deretan dokter ahli yang dipanggil khusus untuk menangani kondisi Eva. Jas mahalnya tampak berantakan, dasinya longgar, namun sorot matanya penuh tekanan yang tak terbantahkan. "Ini bukan permintaan, ini perintah," ujar Henry tegas, suaranya bergema di ruangan itu. Dia memandang satu per satu wajah para dokter di depannya. "Aku tidak peduli apa yang kalian butuhkan, peralatan, teknologi, atau bahkan tenaga ahli lain. Aku akan memberikannya pada kalian. Tapi kalian harus menyembuhkan matanya." Dokter Collins, seorang spesialis saraf, menghela napas panjang. "Tuan Henry, kami memahami keinginan Anda, tapi glaukoma yang dialami nyonya Eva sudah mencapai tahap yang tidak bisa dipulihkan. Kerusakan saraf optik dan ototnya bersifat permanen." "Jangan beri aku alasan!" Henry memotong dengan suara meninggi. "Kalian semua di sini karena aku percaya kalian adalah yang terbaik. Kalau ada yang bisa dilakukan, maka lakukan. Kalau tidak,
"Aku akan menanggung kesembuhan Eva, tapi ada syaratnya..." Henry mengucapkannya dengan nada santai, tatapannya mengarah ke Samuel.Samuel, yang awalnya duduk santai, seketika mengerutkan kening. Kebingungan terlihat jelas di wajahnya. Dia mencondongkan tubuh ke depan, menatap Henry dengan sorot mata penuh tanda tanya."Syarat?" tanyanya, mencoba memahami maksud Henry. "Apa syaratnya?"Henry menyeringai lebar, melipat tangannya di depan dada. Sorot matanya tidak berubah. "Aku akan menanggung semuanya tapi kau harus menjauhinya."Samuel membeku di tempat. Kata-kata Henry menghantamnya seperti pukulan keras mengenai kepalanya.Matanya melebar menatap Henry dengan tatapan tidak percaya. Menjauhinya? Kata-kata Henry terngiang-ngiang di kepalanya. “A-apa maksudmu?” Samuel menahan suaranya yang gemetar. Henry tetap di posisi yang sama, menyeringai tanpa ragu sedikitpun di wajahnya. “Kau pasti mendengar apa yang aku katakan, Sam. Aku akan menanggung semua biaya kesembuhan Eva, tapi kau ha
Midtown Manhattan. Samuel memijat pelipisnya, menatap layar komputernya yang sudah tidak lagi menampilkan email pekerjaannya. Semua email masuk selesai dicek, semua tanggung jawab sudah dituntaskan, tapi hatinya masih terasa sesak. Dia bersandar pada kursi yang sepertinya sudah menjadi bagian dari dirinya. Pemandangan kota yang luas terbentang di luar jendela, tapi dia merasa terjebak dalam kesunyian yang begitu dalam. Samuel memandang ke luar jendela cukup lama. Pikirannya kembali melayang pada Eva. Wajahnya, senyum lembutnya, dan tatapan matanya yang penuh harapan. Dia tahu perasaannya terhadap Eva lebih dari sekadar simpati. Ada sesuatu yang lebih dalam, yang dia rasakan. Namun, seperti halnya dengan banyak hal dalam hidupnya, Samuel tahu bahwa ada saat-saat di mana perasaan itu harus dipendam. Dalam keheningan apartemennya ini, Samuel hanya bisa berharap. Dia berharap agar operasi itu berjalan lancar, agar Eva bisa merasakan kebahagiaan yang layak dia dapatkan. N
“Kalau kau merasa bisa membantunya, kenapa tidak kau yang menyembuhkannya dengan uang milikmu itu?” Ekspresi wajahnya tetap sama, mencerminkan sikap yang sama sekali tidak peduli.“Bukankah kau yang paling peduli dengannya?” jawabnya dingin, nada suaranya tak menunjukkan sedikit pun empati. “Dia tidak terlalu penting sampai-sampai harus menghabiskan waktu dan uangku.”Samuel menggertakkan gigi-giginya. Dengan gerakan kasar dia menarik kerah baju Henry dan berteriak, “Sebenarnya apa maumu, Hen? Dia menjadi seperti ini karena keegoisanmu, tapi kau tidak merasa bersalah sama sekali! Di mana letak hatimu, hah?” Suaranya terdengar gemetar, antara marah dan kecewa.Samuel melepaskan cengkeramannya dengan kasar, sikap Henry lama-lama membuatnya muak. Dia mundur selangkah, menatap pria di depannya dengan mata yang penuh kebencian. Samuel menunjuk ke arah Henry, nadanya semakin meninggi. “Kau itu benar-benar munafik! Apa kau pikir aku tidak tahu bagaimana dirimu sebenarnya jika mengenai Eva!