'Mungkin sama dengan makanan ini, aku akan dicampakkan dengan mudah olehnya.' batin Alana, merasakan sesak di dalam sana. Perih! Ketika ingin menutup bekal, Alana kembali menatap bekal yang dia buat. Tangisannya kembali pecah, air matanya berjatuhan dengan deras–tak tega melihat hasil masakannya menjadi sia-sia begini. Demi Tuhan! Saat dia memasak ini, senyumannya tak henti pudar. Dia membayangkan wajah bahagia Raka ketika menyantap hasil masakannya ini. Dia senang karena Raka memilih makan siang denganya dibandingkan Enda. Tetapi semuanya ilusi! Raka pada akhirnya meninggalkannya di sini. Alana menggembungkan pipi dan mengepakkan tangan, berusaha menahan isakan serta tangisannya. "Untuk apa aku menangis? Cu-cuma makanan doang," gumamnya menguatkan diri. "Aku terlalu lebay," lanjutnya, meraih kotak bekal lalu berjalan ke arah tempat sampah. "Orang lama selalu menang," ucapnya pelan, menatap kotak bekal tersebut dengan perasaan tak rela. Apa dia makan saja sisanya? Sungguh
"Jangan pergi begitu saja, seakan-akan aku tak ada," ucap Alana kembali, membiarkan Raka memeluknya tanpa membalas pelukan pria itu, "sikapmu yang seperti ini menjelaskan seperti apa posisiku bagimu. Tak penting dan bukan apa-apa, iya kan, Tuan? Aku tidak penting kan?""Kau sangat penting, Alana." Raka berkata lembut, mengecup kening istrinya lalu kembali menghapus air mata Alana. Dia berupaya meminta maaf pada perempuan ini. Dia memang salah. "Aku akan makan lagi. Kau masih bersedia menyuapiku?" Alana menggelengkan kepala. "Aku ingin pulang." "Tunggu setelah aku makan."Alana menganggukkan kepala pelan, langsung memalingkan wajah ketika Raka berniat mencium bibirnya. Dia juga menempelkan telapak tangan di bibir suaminya, mendorongnya pelan supaya Raka menjauh darinya. Raka menghela napas, memilih membawa Alana untuk duduk di sofa kemudian dia lanjut makan. Meskipun makanan ini sempat masuk dalam tempat sampah, Raka tak peduli–tetap memakannya dengan lahap. Sedangkan Alana, diam-
[Wah, selamat yah, usahamu hampir berhasil untuk membuat Raka makan siang denganmu. Tapi sangat disayangkan, meskipun telah mengorbankan anak sendiri, Raka ternyata tetap memilih makan siang denganku.]Setelah mengirim pesan tersebut, Alana kembali menyusun buku baru ke rak buku. Hingga Enda kembali mengirim pesan padanya. [Kamu memang wanita tak punya perasaan, Alana. Aku lebih dulu mengenal Raka dibandingkan kamu, jadi jangan berpikir jika Raka telah menjadi milikmu hanya karena kamu telah menjadi istrinya. Aku-- aku cinta pertama Raka, dan cinta pertama tidak akan mudah dilupakan. Kamu hanya pelampiasan. Bodoh.]Alana memilih tak membalas pesan tersebut, akan tetapi sebuah pesan baru kembali dikirim oleh Enda. [Lihat saja. Aku akan adukan kelakuanmu pada Raka, chatmu akan kuperlihatkan pada Raka supaya Raka sadar wanita seperti apa yang dia nikahi.]Deg deg deg'Jantung Alana berdebar kencang, tiba-tiba khawatir jika Enda melakukan itu. Alana kembali membaca chat yang ia kirim pa
"Iya, lain kali aku akan mengatakan padamu," jawab Alana, sejujurnya cukup tertegun karena Raka tahu masalah chat dari Enda dan pria ini memihak padanya. Padahal Alana mengira Raka akan memarahinya karena sudah meladeni Enda dan Memancing-mancing perempuan itu. "Malam ini, aku menginginkanmu, Alana," ucap Raka, meraih dagu Alana lalu mengangkatnya supaya mendongak ke arahnya. Dia mendekatkan wajahnya kemudian menempelkan bibirnya di atas bibir Alana, meraup lalu melumat secara lembut bibir yang terasa manis tersebut. Alana tak dapat menolak, ciuman dari Raka sungguh membuatnya melambung tinggi. Alana terbuai olehnya. Tubuhnya dibandingkan dan dress tidur yang ia gunakan dilepas begitu saja oleh Raka, memperlihatkan lekukan indah pada tubuhnya. Raka melepas pangutannya, menatap tubuh istrinya dengan manik gelap yang dipenuhi gairah. Alana sangat indah, tubuh perempuan ini begitu menggodanya. "Jangan menolak, aku akan melakukannya dengan lembut," ucap Raka, sekaligus peringatan supa
Deg' Jantung Alana berdebar kencang dalam sana, gugup sekaligus merasa terancam oleh pesan dari Enda tersebut. Alana segera masuk ke ruangan itu. "Aku tidak mau pindah dari sini, Tuan. Aku sudah berjanji akan mengabdi pada Tuan Lucas seumur hidupku dan akan selalu setia padanya," ucap Alana setelah berada di ruangan itu, membuat Raka menoleh terkejut dan sedikit kesal padanya. Sedangkan Lucas terlihat senang dengan keputusan Alana. "Lihat, Alana saja ingin tetap di sini, Raka. Kau tidak bisa mengambil keputusan sendiri," ucap Lucas dengan nada senang. Alana tersenyum pada Lucas kemudian menatap suaminya. "Tuan Raka, aku rasa kita memang harus tetap tinggal di sini. Ini sudah menjadi rumah kita sejak lama. Kita sama-sama datang kepada Tuan Lucas dengan status sendiri. Anda datang atas rasa kekecewaan pada ayah anda yang memilih Zein sebagai pewaris utama Melviano, dan aku datang dengan kekosongan. Lalu Tuan Lucas menyambutmu dengan hangat, memberikanmu rumah dan semua kasih saya
"Apapun yang Ayah berikan padaku, kamu juga berhak mendapatnya." Alana menggelengkan kepala, merasa tak enak hati mendengar ucapan Zahra. Nyonya-nya terlalu baik padanya. Tidak kah Zahra berpikir sedikit jika bisa saja Alana adalah orang jahat dan licik? "Nyonya, anda berlebihan. Bagaimana jika aku benar-benar orang jahat yang haus kekayaan? Bagaimana jika aku memang mengincar harta keluarga Nyonya? Ba-bagaimana jika aku tidak sebaik yang anda pikirkan? Tolong, jangan terlalu percaya padaku seperti ini. Aku takut kebaikanmu padaku tak bisa kuimbangi dan balas," pinta Alana dengan nada lemah dan lirih. Alana tak akan melakukan apa yang dia tanyakan tadi karena dia memang sangat tulus pada Lucas dan Zahra. Lucas dan Zahra adalah dua sayapnya, juga kekuatannya. Namun, cara Zahra bersikap dan begitu baik padanya membuat Alana takut mengecewakan disuatu saat nanti. Zahra tersenyum lembut, menepuk-nepuk pundak Alana beberapa kali. "Saat kamu menanyakan hal ini saja, aku semakin memp
Alana sudah lama menunggu di ruangan Raka, akan tetapi pria itu tak kunjung kembali. Alana ingin menghubungi namun dia takut itu akan mengganggu suaminya. "Sudah jam tujuh," gumam Alana ketika melihat jam di pergelangan tangan. Dia menghela napas kemudian menyenderkan tubuh di sofa. Alana tak menangis lagi, dia sudah lelah dan matanya terasa sudah kering. Alana mengigit kuku, menatap kotak bekalnya dengan perasaan sakit hati. Mungkin makanan dalam sana sudah basi. Alana merasa bodoh, karena bisa-bisanya berpikir Raka cepat kembali lalu memakan masakan yang dia buat. Pastinya tak akan! Raka sedang marah padanya, jangankan menyentuh makanan ini, mungkin Raka akan melemparnya ke wajah Alana. Bodohnya lagi, Alana sudah sangat lapar. Namun, dia memilih terus menunggu–tak berani menyentuh kotak bekal itu karena dia membuatkannya untuk suaminya. "Aku makan saja," ucap Alana pelan, menarik kotak bekal tersebut lalu membukanya. Senyuman getir muncul, menatap isi dari kotak bekal tersebut.
"Lepas, Tuan." Alana memukul pundak Raka, mendorongnya juga supaya pria itu menjauh darinya. Raka menurut, melepas pelukannya pada Alana. Akan tetapi dia tetap di dekat Alana, sama sekali tak bergeser dari depan istrinya. "Kenapa kau tidak pulang, Alana?" "Aku disuruh untuk menunggu di sini," jawab Alana cepat, memalingkan wajah karena enggan menatap Raka. Raka menghela napas dengan pelan, masih setia bersimpuh di depan Alana yang duduk di sofa. Dia mengulurkan tangan untuk membelai pipi istrinya. Wajah privat Alana membuatnya sangat khawatir. "Kau sudah makan?" tanya Raka, seketika menoleh ke arah belak yang Alana bawa. Dia memeriksa dan hanya berkurang sdikit. Artinya Alana belum makan. "Kenapa kau tidak makan, Alana?" tanya Raka, "kau sedang hamil. Harusnya kau tahu …-" "Maaf!" jawab Alana cepat. "Maaf karena membuatmu khawatir pada calon bayimu," lanjutnya. Raka terdiam, menatap ekspresi datar istrinya dengan mimik wajah rak enak. Dia sangat merasa bersalah pada perem