"Dia sudah tidak punya suami, putrinya sedang sakit parah dan putranya mogok bicara semenjak perceraian Enda dengan suaminya," jelas Raka yang sama sekali tak ingin istrinya salah paham mengenai hal tadi. Alana tersenyum simpul padanya, "aku tidak salah paham, Raka." "Baguslah." Raka berkata dongkol, dia memang tak ingin Alana salah paham. Akan tetapi kenapa rasanya menyebalkan melihat respon Alana yang datar begini? Dia ingin melihat Alana cemburu, pertanda jika istrinya merasakan perasaan yang sama dengannya. "Ada yang kurang dengan masakanmu," ucap Raka tiba-tiba. Alana seketika menatap panik pada Raka, alisnya terangkat dan matanya melebar. Benarkah ada yang kurang dari masakannya? Sungguh, Alana memasak dengan sangat hati-hati dan penuh cinta. Ini hidangan untuk suaminya, Alana begitu mempersiapkannya. Tak ada yang Alana lewatkan. Tetapi … mungkinkah rasanya yang kurang bagi Raka? Tidak pas di lidah suaminya? "Coba saja kau menyuapiku, mungkin rasanya akan jauh lebih nikmat.
'Mungkin sama dengan makanan ini, aku akan dicampakkan dengan mudah olehnya.' batin Alana, merasakan sesak di dalam sana. Perih! Ketika ingin menutup bekal, Alana kembali menatap bekal yang dia buat. Tangisannya kembali pecah, air matanya berjatuhan dengan deras–tak tega melihat hasil masakannya menjadi sia-sia begini. Demi Tuhan! Saat dia memasak ini, senyumannya tak henti pudar. Dia membayangkan wajah bahagia Raka ketika menyantap hasil masakannya ini. Dia senang karena Raka memilih makan siang denganya dibandingkan Enda. Tetapi semuanya ilusi! Raka pada akhirnya meninggalkannya di sini. Alana menggembungkan pipi dan mengepakkan tangan, berusaha menahan isakan serta tangisannya. "Untuk apa aku menangis? Cu-cuma makanan doang," gumamnya menguatkan diri. "Aku terlalu lebay," lanjutnya, meraih kotak bekal lalu berjalan ke arah tempat sampah. "Orang lama selalu menang," ucapnya pelan, menatap kotak bekal tersebut dengan perasaan tak rela. Apa dia makan saja sisanya? Sungguh
"Jangan pergi begitu saja, seakan-akan aku tak ada," ucap Alana kembali, membiarkan Raka memeluknya tanpa membalas pelukan pria itu, "sikapmu yang seperti ini menjelaskan seperti apa posisiku bagimu. Tak penting dan bukan apa-apa, iya kan, Tuan? Aku tidak penting kan?""Kau sangat penting, Alana." Raka berkata lembut, mengecup kening istrinya lalu kembali menghapus air mata Alana. Dia berupaya meminta maaf pada perempuan ini. Dia memang salah. "Aku akan makan lagi. Kau masih bersedia menyuapiku?" Alana menggelengkan kepala. "Aku ingin pulang." "Tunggu setelah aku makan."Alana menganggukkan kepala pelan, langsung memalingkan wajah ketika Raka berniat mencium bibirnya. Dia juga menempelkan telapak tangan di bibir suaminya, mendorongnya pelan supaya Raka menjauh darinya. Raka menghela napas, memilih membawa Alana untuk duduk di sofa kemudian dia lanjut makan. Meskipun makanan ini sempat masuk dalam tempat sampah, Raka tak peduli–tetap memakannya dengan lahap. Sedangkan Alana, diam-
[Wah, selamat yah, usahamu hampir berhasil untuk membuat Raka makan siang denganmu. Tapi sangat disayangkan, meskipun telah mengorbankan anak sendiri, Raka ternyata tetap memilih makan siang denganku.]Setelah mengirim pesan tersebut, Alana kembali menyusun buku baru ke rak buku. Hingga Enda kembali mengirim pesan padanya. [Kamu memang wanita tak punya perasaan, Alana. Aku lebih dulu mengenal Raka dibandingkan kamu, jadi jangan berpikir jika Raka telah menjadi milikmu hanya karena kamu telah menjadi istrinya. Aku-- aku cinta pertama Raka, dan cinta pertama tidak akan mudah dilupakan. Kamu hanya pelampiasan. Bodoh.]Alana memilih tak membalas pesan tersebut, akan tetapi sebuah pesan baru kembali dikirim oleh Enda. [Lihat saja. Aku akan adukan kelakuanmu pada Raka, chatmu akan kuperlihatkan pada Raka supaya Raka sadar wanita seperti apa yang dia nikahi.]Deg deg deg'Jantung Alana berdebar kencang, tiba-tiba khawatir jika Enda melakukan itu. Alana kembali membaca chat yang ia kirim pa
"Iya, lain kali aku akan mengatakan padamu," jawab Alana, sejujurnya cukup tertegun karena Raka tahu masalah chat dari Enda dan pria ini memihak padanya. Padahal Alana mengira Raka akan memarahinya karena sudah meladeni Enda dan Memancing-mancing perempuan itu. "Malam ini, aku menginginkanmu, Alana," ucap Raka, meraih dagu Alana lalu mengangkatnya supaya mendongak ke arahnya. Dia mendekatkan wajahnya kemudian menempelkan bibirnya di atas bibir Alana, meraup lalu melumat secara lembut bibir yang terasa manis tersebut. Alana tak dapat menolak, ciuman dari Raka sungguh membuatnya melambung tinggi. Alana terbuai olehnya. Tubuhnya dibandingkan dan dress tidur yang ia gunakan dilepas begitu saja oleh Raka, memperlihatkan lekukan indah pada tubuhnya. Raka melepas pangutannya, menatap tubuh istrinya dengan manik gelap yang dipenuhi gairah. Alana sangat indah, tubuh perempuan ini begitu menggodanya. "Jangan menolak, aku akan melakukannya dengan lembut," ucap Raka, sekaligus peringatan supa
Deg' Jantung Alana berdebar kencang dalam sana, gugup sekaligus merasa terancam oleh pesan dari Enda tersebut. Alana segera masuk ke ruangan itu. "Aku tidak mau pindah dari sini, Tuan. Aku sudah berjanji akan mengabdi pada Tuan Lucas seumur hidupku dan akan selalu setia padanya," ucap Alana setelah berada di ruangan itu, membuat Raka menoleh terkejut dan sedikit kesal padanya. Sedangkan Lucas terlihat senang dengan keputusan Alana. "Lihat, Alana saja ingin tetap di sini, Raka. Kau tidak bisa mengambil keputusan sendiri," ucap Lucas dengan nada senang. Alana tersenyum pada Lucas kemudian menatap suaminya. "Tuan Raka, aku rasa kita memang harus tetap tinggal di sini. Ini sudah menjadi rumah kita sejak lama. Kita sama-sama datang kepada Tuan Lucas dengan status sendiri. Anda datang atas rasa kekecewaan pada ayah anda yang memilih Zein sebagai pewaris utama Melviano, dan aku datang dengan kekosongan. Lalu Tuan Lucas menyambutmu dengan hangat, memberikanmu rumah dan semua kasih saya
"Apapun yang Ayah berikan padaku, kamu juga berhak mendapatnya." Alana menggelengkan kepala, merasa tak enak hati mendengar ucapan Zahra. Nyonya-nya terlalu baik padanya. Tidak kah Zahra berpikir sedikit jika bisa saja Alana adalah orang jahat dan licik? "Nyonya, anda berlebihan. Bagaimana jika aku benar-benar orang jahat yang haus kekayaan? Bagaimana jika aku memang mengincar harta keluarga Nyonya? Ba-bagaimana jika aku tidak sebaik yang anda pikirkan? Tolong, jangan terlalu percaya padaku seperti ini. Aku takut kebaikanmu padaku tak bisa kuimbangi dan balas," pinta Alana dengan nada lemah dan lirih. Alana tak akan melakukan apa yang dia tanyakan tadi karena dia memang sangat tulus pada Lucas dan Zahra. Lucas dan Zahra adalah dua sayapnya, juga kekuatannya. Namun, cara Zahra bersikap dan begitu baik padanya membuat Alana takut mengecewakan disuatu saat nanti. Zahra tersenyum lembut, menepuk-nepuk pundak Alana beberapa kali. "Saat kamu menanyakan hal ini saja, aku semakin memp
Alana sudah lama menunggu di ruangan Raka, akan tetapi pria itu tak kunjung kembali. Alana ingin menghubungi namun dia takut itu akan mengganggu suaminya. "Sudah jam tujuh," gumam Alana ketika melihat jam di pergelangan tangan. Dia menghela napas kemudian menyenderkan tubuh di sofa. Alana tak menangis lagi, dia sudah lelah dan matanya terasa sudah kering. Alana mengigit kuku, menatap kotak bekalnya dengan perasaan sakit hati. Mungkin makanan dalam sana sudah basi. Alana merasa bodoh, karena bisa-bisanya berpikir Raka cepat kembali lalu memakan masakan yang dia buat. Pastinya tak akan! Raka sedang marah padanya, jangankan menyentuh makanan ini, mungkin Raka akan melemparnya ke wajah Alana. Bodohnya lagi, Alana sudah sangat lapar. Namun, dia memilih terus menunggu–tak berani menyentuh kotak bekal itu karena dia membuatkannya untuk suaminya. "Aku makan saja," ucap Alana pelan, menarik kotak bekal tersebut lalu membukanya. Senyuman getir muncul, menatap isi dari kotak bekal tersebut.
"Bagaimana, Wife? Kau suka?" tanya Marc, menoleh pada istrinya dengan senyuman lembut. Alis Marc menaikkan sebelah, terkekeh pelan melihat reaksi istrinya. Belum apa-apa tetapi Kiana sudah membeku di tempat. Cih, bahkan dia belum mengutarakan cintanya pada sang istri. Kiana mematung di tempat, punggungnya terasa panas tetapi tangannya dingin. Masih dibagian sini tetapi Kiana sudah sangat gugup. Ya Tuhan! Kiana tak percaya jika Marc biasa menyiapkan tempat se indah ini. "Ekhem." Suara deheman tersebut membuat Kiana menoleh pada Marc. Matanya membelalak lebar, tak percaya dan terkejut pada Marc yang sudah bertekuk lutut dihadapannya. Pria itu memegang kotak hitam mewah, di mana ketika dibuka isinya adalah … kosong. "Ko-kosong?" bingung Kiana, gugup dan berdebar tak karuan. Marc mendapat kotak dan ternyata benar, kotak tersebut kosong. Dia berdecak pelan kemudian berdiri. Wajah Marc terlihat kesal, dingin secara bersamaan. "Ti-tidak apa-apa, Kak Marc. Tanpa cincin jug
"MARC!" jerit Disha antara syok dan horor. Akan tetapi yang dia panggil malah terlihat santai. Disha geleng-geleng kepala, sudah menangis karena melihat kejahatan putranya. Disha sangat lega suaminya tak ada di sini akan tetapi dia lupa juga titisan suaminya ada di sini. Marc dan Damon, sama saja! "Penjaga!" Daniel memangil penjaga, kemudian menyuruh mereka untuk membereskan kekacauan yang Marc lakukan, "bawa mayat perempuan ini, buang ketengah hutan. Jangan sampai ada jejak yang tertinggal." "Baik, Tuan." Para penjaga melaksanakan perintah, langsung membawa mayat Sofia dari sana. "Masalah sudah selesai. Dan … Marc, lain kali jangan seperti tadi. Kasihan orang-orang rumah yang tak terbiasa dengan suara tembakan, Nak. Apalagi istrimu," tegur Daniel kemudian pada cucunya. Dia geleng-geleng kepala karena Marc dan Damon sangat persis. Untung daddy dari cucunya tak ada di sini. Karena jika Damon di sini, tentu Damon akan membenarkan tindakan Marc dan bahkan bisa memarahi siapapun
"Bisa saja kamu membuat surat palsu," elak Sofia. "Masalah di rumah Kakek Nenekku, bukannya kamu yang lebih dulu menuduhku yang bukan-bukan?! Kamu menuduhku gembel dan berniat mengacaukan pesta, kamu mengusirku dari rumah Nenek dan Kakekku sendiri. Dan wajar bukan jika aku menyuruh maid di rumah Kakek Nenekku mengawasimu karena … seorang tamu tidak dikenal bisa-bisanya ada di ruang keluarga kami. Padahal ruangan itu area terlarang untuk para tamu. Pertanyaannya, kenapa kamu bisa di sana? Pasti berniat macam-macam bukan?" "Aku bukan pencuri!" marah Sofia, berteriak kesal karena tak tahan dengan tuduhan Kiana. Yang membuatnya semakin kesal adalah semua orang diam dan mendengarkan perkataan Kiana. "Kenapa marah? Aku saja tidak marah saat kamu mengusirku dari rumahku sendiri." Sofia memucat, menggelengkan kepala pada Audi. Dia berharap Audi tak percaya pada perkataan Kiana. "A-aku tidak mengusirnya, Nenek. A-aku bertujuan baik. Saat itu-- dia mengenakan pakaian santai. Sedangkan a
"Kenapa kalian memenjarakan Sofia, Marc?" tanya Audi, menatap Marc dengan ekspresi tak enak kemudian menatap satu persatu anggota keluarga yang lain– yang telah ia suruh berkumpul di kediaman Lucas. Sofia juga ada di sana, sudah ia bebaskan dari penjara. Sofia menghubunginya, mengatakan jika Marc telah memenjarakannya karena kesalah pahaman. "Aku tidak memenjarakannya, Nek," jawab Marc, "dan aku juga tak mungkin memenjarakannya," lanjut Marc, seketika membuat Sofia tersenyum manis–merasa jika Marc memiliki perasaan padanya oleh sebab itu Marc tak ingin menjebloskannya dalam penjara. Audi juga terlihat senang mendengarkan penuturan Marc, ternyata Marc tak ingin menjebloskan Sofia dalam penjara. "Hukuman di penjara terlalu ringan untuk wanita itu. Kejahatan yang dia perbuat sudah sangat banyak," lanjut Marc, seketika membuat senyuman Audi hilang. Begitu juga dengan Sofia yang langsung memucat. "Penjara terlalu enak baginya," tambahnya yang semakin membuat Sofia ketakutan. "Marc
Kiana menatap gambarnya yang salah coret, menganga sedikit lalu menoleh pada suaminya. Pria satu ini! Sangat-sangat tak aman untuk kesehatan jantung Kiana. Hell! Dari tadi, Marc sudah bagus hanya diam dan tak bersuara. Tetapi kenapa dia tiba-tiba mengeluarkan suara? See?! Sekalinya Marc berbicara, gambar Kiana rusak. Bencana! "Jawab." Marc bangkit dari kursi lalu menghampiri Kiana, dia berdiri di belakang istrinya–menatap sejenak pada gambar desain Kiana yang tergores pencil, cukup dalam dan parah. Melihat itu, Marc menarik salah satu sudut bibir ke atas–membentuk sebuah smirk tipis, geli melihat gambar istrinya. Jadi perempuan ini tadi kaget dan salah coret? Cih, menggemaskan. "Kau mencintaiku, Wife?" tanya Marc, membungkuk ke arah Kiana. Satu tangannya memegang sandaran kursi Kiana, satu lagi bertopang pada sisi meja istrinya. Kiana yang sedang menghapus bagian yang salah pada desain, menjadi kikuk lalu berakhir salah hapus. Marc berdecis geli, menarik penghapus dari tangan i
Ceklek' Marc menoleh ke arah pintu, mendapati istrinya di sana. Kiana terlihat kaget, mungkin tak mengira jika Marc telah datang. Kiana masuk dalam kamar, menutupi pintu sembari berjalan menghampiri suaminya. Dia tersenyum manis, senang karena Marc akhirnya kembali. Ada banyak hal yang ingin Kiana ceritakan pada Marc, salah satunya niatan Gebara untuk melamar Kinara–kakaknya. Karena jika Gebara ingin melamar Kinara, pasti mereka akan ke negara Kiana. Itu yang membuat Kiana sangat senang, dia bisa pulang lalu bertemu dengan keluarganya. Tak bisa dipungkiri, Kiana sangat rindu pada keluarganya. "Kak Marc kapan pulang?" tanya Kiana, masih tersenyum manis pada Marc. Pria itu menaikkan sebelah alis, menampilkan raut muka dingin dan tatapan yang cukup mengintimidasi. "Baru saja." Kiana cengar cengir, mendudukkan diri di pinggir ranjang. "Kau sepertinya terlihat sangat senang." Kiana menganggukkan kepala. "Kak Gebara sudah memantapkan niatannya untuk melamar Kak Kinara. Minggu
Sofia! "Untuk apa kamu datang ke sini?" sinis Kiana, menatap Sofia kesal secara terang-terangan. "Tuan meninggalkan laporan penting dan aku datang untuk menjemputnya," ucap Sofia dengan nada angkuh, berniat masuk akan tetapi Kiana dengan cepat mendorong pundaknya. "Jangan menginjakkan kaki kotormu ke dalam kamarku dan Kak Marc." Tak mau kalah, Kiana memperlihatkan keangkuhan yang sesungguhnya pada Sofia, "makhluk rendahan sepertimu bisa mencemari kamar kami," lanjut Kiana. Sofia mengepalkan tangan, menatap begitu marah pada Kiana. "Kiana! Jaga ucapanmu, ini bukan keluarga Melviano! Mungkin di keluargamu, kamu adalah nona muda yang selalu dihormati dan dimanja. Tetapi di sini …-" Kiana langsung memotong, berkata santai dengan bersedekap di dada, "nyonya Lucas. Aku malah naik jabatan di sini. Dari Lady Melviano, menjadi Nyonya Lucas. Iri, Remahan Biskuit?" ejek Kiana di akhir kalimat. Sofia semakin marah mendengar ucapan Kiana. Dia sangat tak terima, apalagi bagian Kiana meny
"A-aku memang kecelakaan, Tante. A-aku bahkan hampir mati." pekik Sofia, menangis dengan air mata yang terus meluruh. Disha menghela napas, tak ingin berdebat lagi dengan perempuan tersebut. "Kalau begitu biarkan Arseno memeriksa kakimu," ucap Disha dengan nada tegas. Sofia memucat, gugup dan terlihat panik. Kakinya tidak sakit ataupun patah. Meski Arseno bukan dokter ortopedi, tetapi dia yakin kalau Arseno akan tahu kebohongannya. Namun, jika dia keukeuh menolak, Disha akan lebih curiga padanya. Disha memanggil beberapa maid untuk membawa Sofia ke dalam, setelah itu dia menyuruh keponakannya untuk memeriksa kaki Sofia. ***Cup' Marc mencium bibir Kiana, melumatnya cukup kasar dan penuh penuntutan. Saat ini mereka sudah dalam kamar, membuat Marc leluasa untuk mencium istrinya. "Ummff--" Kiana memberontak, cukup kaget karena Marc tiba-tiba menciumnya. Dia juga ingin mengatakan sesuatu pada Marc, oleh sebab itu dia berupaya menghentikan Marc. "Kau menolak ciumanku?" ucap Marc, me
Setelah berbicara pada Eliza, Kiana menemui mama mertuanya. Dia tak enak hati melihat sang mama mertua yang sibuk ikut membantu persiapan pesta untuk nanti malam. Karena tidak tahu harus membantu apa, Kiana mendekati mama mertuanya untuk bertanya. Akan tetapi, sang mama mertua malah menyuruh Kiana istirahat–menyuruh Yoona supaya mengantar Kiana ke kamar. Yoona berbeda dengan Eliza, perempuan ini sangat santai dan juga ramah. Yoona memiliki seorang kakak bernama Gerald De Lucas, dan dia ternyata bekerja di DSL. Hanya saja karena Kiana tak memperhatikan dan Gerald tak terlalu menonjol orangnya, Kiana tak tahu jika Gerald adalah sepupu Marc. Suaminya juga punya satu sepupu laki-laki lainnya. Namanya Arseno De Lucas (anak dari Ando dan Aulia) di mana Ando adalah paman tertua Marc. Arseno sendiri memilih berbeda, menjadi seorang dokter bedah yang sudah terkenal keahliannya di negara ini. "Yoona, aku akan membantumu. Katakan apa yang bisa ku lakukan?" ucap Kiana, menolak masuk dalam ka