[Wah, selamat yah, usahamu hampir berhasil untuk membuat Raka makan siang denganmu. Tapi sangat disayangkan, meskipun telah mengorbankan anak sendiri, Raka ternyata tetap memilih makan siang denganku.]Setelah mengirim pesan tersebut, Alana kembali menyusun buku baru ke rak buku. Hingga Enda kembali mengirim pesan padanya. [Kamu memang wanita tak punya perasaan, Alana. Aku lebih dulu mengenal Raka dibandingkan kamu, jadi jangan berpikir jika Raka telah menjadi milikmu hanya karena kamu telah menjadi istrinya. Aku-- aku cinta pertama Raka, dan cinta pertama tidak akan mudah dilupakan. Kamu hanya pelampiasan. Bodoh.]Alana memilih tak membalas pesan tersebut, akan tetapi sebuah pesan baru kembali dikirim oleh Enda. [Lihat saja. Aku akan adukan kelakuanmu pada Raka, chatmu akan kuperlihatkan pada Raka supaya Raka sadar wanita seperti apa yang dia nikahi.]Deg deg deg'Jantung Alana berdebar kencang, tiba-tiba khawatir jika Enda melakukan itu. Alana kembali membaca chat yang ia kirim pa
"Iya, lain kali aku akan mengatakan padamu," jawab Alana, sejujurnya cukup tertegun karena Raka tahu masalah chat dari Enda dan pria ini memihak padanya. Padahal Alana mengira Raka akan memarahinya karena sudah meladeni Enda dan Memancing-mancing perempuan itu. "Malam ini, aku menginginkanmu, Alana," ucap Raka, meraih dagu Alana lalu mengangkatnya supaya mendongak ke arahnya. Dia mendekatkan wajahnya kemudian menempelkan bibirnya di atas bibir Alana, meraup lalu melumat secara lembut bibir yang terasa manis tersebut. Alana tak dapat menolak, ciuman dari Raka sungguh membuatnya melambung tinggi. Alana terbuai olehnya. Tubuhnya dibandingkan dan dress tidur yang ia gunakan dilepas begitu saja oleh Raka, memperlihatkan lekukan indah pada tubuhnya. Raka melepas pangutannya, menatap tubuh istrinya dengan manik gelap yang dipenuhi gairah. Alana sangat indah, tubuh perempuan ini begitu menggodanya. "Jangan menolak, aku akan melakukannya dengan lembut," ucap Raka, sekaligus peringatan supa
Deg' Jantung Alana berdebar kencang dalam sana, gugup sekaligus merasa terancam oleh pesan dari Enda tersebut. Alana segera masuk ke ruangan itu. "Aku tidak mau pindah dari sini, Tuan. Aku sudah berjanji akan mengabdi pada Tuan Lucas seumur hidupku dan akan selalu setia padanya," ucap Alana setelah berada di ruangan itu, membuat Raka menoleh terkejut dan sedikit kesal padanya. Sedangkan Lucas terlihat senang dengan keputusan Alana. "Lihat, Alana saja ingin tetap di sini, Raka. Kau tidak bisa mengambil keputusan sendiri," ucap Lucas dengan nada senang. Alana tersenyum pada Lucas kemudian menatap suaminya. "Tuan Raka, aku rasa kita memang harus tetap tinggal di sini. Ini sudah menjadi rumah kita sejak lama. Kita sama-sama datang kepada Tuan Lucas dengan status sendiri. Anda datang atas rasa kekecewaan pada ayah anda yang memilih Zein sebagai pewaris utama Melviano, dan aku datang dengan kekosongan. Lalu Tuan Lucas menyambutmu dengan hangat, memberikanmu rumah dan semua kasih saya
"Apapun yang Ayah berikan padaku, kamu juga berhak mendapatnya." Alana menggelengkan kepala, merasa tak enak hati mendengar ucapan Zahra. Nyonya-nya terlalu baik padanya. Tidak kah Zahra berpikir sedikit jika bisa saja Alana adalah orang jahat dan licik? "Nyonya, anda berlebihan. Bagaimana jika aku benar-benar orang jahat yang haus kekayaan? Bagaimana jika aku memang mengincar harta keluarga Nyonya? Ba-bagaimana jika aku tidak sebaik yang anda pikirkan? Tolong, jangan terlalu percaya padaku seperti ini. Aku takut kebaikanmu padaku tak bisa kuimbangi dan balas," pinta Alana dengan nada lemah dan lirih. Alana tak akan melakukan apa yang dia tanyakan tadi karena dia memang sangat tulus pada Lucas dan Zahra. Lucas dan Zahra adalah dua sayapnya, juga kekuatannya. Namun, cara Zahra bersikap dan begitu baik padanya membuat Alana takut mengecewakan disuatu saat nanti. Zahra tersenyum lembut, menepuk-nepuk pundak Alana beberapa kali. "Saat kamu menanyakan hal ini saja, aku semakin memp
Alana sudah lama menunggu di ruangan Raka, akan tetapi pria itu tak kunjung kembali. Alana ingin menghubungi namun dia takut itu akan mengganggu suaminya. "Sudah jam tujuh," gumam Alana ketika melihat jam di pergelangan tangan. Dia menghela napas kemudian menyenderkan tubuh di sofa. Alana tak menangis lagi, dia sudah lelah dan matanya terasa sudah kering. Alana mengigit kuku, menatap kotak bekalnya dengan perasaan sakit hati. Mungkin makanan dalam sana sudah basi. Alana merasa bodoh, karena bisa-bisanya berpikir Raka cepat kembali lalu memakan masakan yang dia buat. Pastinya tak akan! Raka sedang marah padanya, jangankan menyentuh makanan ini, mungkin Raka akan melemparnya ke wajah Alana. Bodohnya lagi, Alana sudah sangat lapar. Namun, dia memilih terus menunggu–tak berani menyentuh kotak bekal itu karena dia membuatkannya untuk suaminya. "Aku makan saja," ucap Alana pelan, menarik kotak bekal tersebut lalu membukanya. Senyuman getir muncul, menatap isi dari kotak bekal tersebut.
"Lepas, Tuan." Alana memukul pundak Raka, mendorongnya juga supaya pria itu menjauh darinya. Raka menurut, melepas pelukannya pada Alana. Akan tetapi dia tetap di dekat Alana, sama sekali tak bergeser dari depan istrinya. "Kenapa kau tidak pulang, Alana?" "Aku disuruh untuk menunggu di sini," jawab Alana cepat, memalingkan wajah karena enggan menatap Raka. Raka menghela napas dengan pelan, masih setia bersimpuh di depan Alana yang duduk di sofa. Dia mengulurkan tangan untuk membelai pipi istrinya. Wajah privat Alana membuatnya sangat khawatir. "Kau sudah makan?" tanya Raka, seketika menoleh ke arah belak yang Alana bawa. Dia memeriksa dan hanya berkurang sdikit. Artinya Alana belum makan. "Kenapa kau tidak makan, Alana?" tanya Raka, "kau sedang hamil. Harusnya kau tahu …-" "Maaf!" jawab Alana cepat. "Maaf karena membuatmu khawatir pada calon bayimu," lanjutnya. Raka terdiam, menatap ekspresi datar istrinya dengan mimik wajah rak enak. Dia sangat merasa bersalah pada perem
"Kau melihat Nyonya?" tanya Raka pada salah satu maid yang berada di lantai satu. Maid tersebut menundukkan kepala sebagai rasa hormat. "Saya melihat Nyonya Alana pergi dengan pakaian rapi, Tuan." "Kau tahu kemana Nyonya pergi?" tanya Raka kembali. Maid tersebut menggelengkan kepala."Ck." Raka berdecak kesal, beranjak dari sana dan kembali ke kamar. Raka sangat kesal, pagi-pagi Alana sudah meninggalkannya. Jika perempuan itu marah karena kejadian semalam, seharusnya Alana tak seperti ini. Sikap Alana yang seperti ini sama saja dengan tak menjaga bayi dalam kandungannya. Sungguh, Raka pusing! Semalam dia habis menemani Lucas di rumah sakit, mengurus tuannya yang sedang demam. Parah karena Lucas sudah tua. Kesehatan Lucas menurun karena terus memaksa tubuh tuanya untuk bekerja. Dia baru pulang setelah jam setengah empat. Sejujurnya Raka kasihan harus meninggalkan Alana, dia tak tega setiap kali menemukan istrinya tidur sendirian di atas ranjang. Raka beristirahat sejenak untuk m
"Aku tahu rahasia kotormu, Zahra. Bagaimana jika semisal aku memberitahu Zein, mungkin dia akan meninggalkanmu. Ah, kebetulan Zein ada di luar." Setelah mengatakan itu, si perempuan tersebut tersenyum culas pada Zahra. Dia lalu mengenakan masker untuk menutupi wajah kemudian segera beranjak dari sana. Zahra buru-buru menyelesaikan kegiatannya yang sedang mencuci tangan. Dia berjalan cepat untuk menyusul perempuan tadi. Saat di luar, dia bisa melihat suaminya berbicara dengan perempuan lalu si perempuan buru-buru pergi, terlihat takut dan gemetar secara bersamaan. Zahra menghela napas. "Rahasia kotor? Setahuku aku tak punya rahasia apapun pada Zein," gumam Zahra sembari berjalan mendekat ke arah suaminya. "Sudah?" tanya Zein, di mana dia langsung menggandeng tangan istrinya, membawa Zahra untuk pergi dari sana. Zahra menganggukkan kepala, tersenyum tipis pada suaminya. "Oh iya. Kulihat tadi, kamu mengobrol dengan perempuan. Kalian bicara apa?" "Kau cemburu, Heh?" Zein menaikk
"Aku sangat merindukanmu, Tata. Kapan aku boleh pulang, Humm?" ucap Nail dari seberang sana. Sejujurnya mata pria yang katanya sangat kejam tersebut terlihat memerah dan digenangi bulir kristal, akan tetapi karena dia dan Agatha berbicara lewat ponsel, Agatha tak kentara jelas melihatnya. Nail sangat merindukan Agatha. Dia tidak bohong! "Jika Mama dan Papa sudah sembuh, barulah Mon Tresor kembali." Agatha menjawab dengan nada lembut, tak menghilangkan keceriaan di wajahnya. Namun kenyataannya, Agatha rasanya ingin menbagis. Matanya sudah panas dan berair, ingin menangis karena menahan gejolak rindu yang melanda. Percayalah! Ini tidak mudah, akan tetapi mereka harus bertahan. "Keadaan Mama sudah jauh lebih baik," ucap Nail tiba-tiba, tersenyum tipis di bibir, "sebentar lagi kita akan bertemu," lanjutnya. Agatha melebarkan senyuman. "Aaaa … aku tidak sabar. Semangat semangat semangat! Mon Tresor harus semangat merawat Mama dan Papa. Oh iya, bagaimana dengan kondisi Papa?" "Papa su
Tiga tahun kemudian. "Ini adalah hari kematian Kakek, tahun ketiga yang menyedihkan untuk kita semua." Agatha menoleh pada Syakila, tersenyum tipis pada sahabatnya tersebut untuk menyalurkan kekuatan dan cinta. Benar sekali! Ini adalah hari kematian kakek Lucas, tahun ketiga mereka kehilangan semuanya. Tiga bulan setelah Agatha melahirkan, Nail bepergian ke luar negeri. Di sisi lain, Zein, Zahra, Alana dan Raka, juga pergi ke sebuah negara untuk menghadiri acara penting. Nail pergi ke negara berbeda dari orangtuanya, dan dia ke sana untuk kepentingan bisnis. Nail di sana selama sebulan, dan berencana pulang setelah urusannya telah selesai. Namun, niatnya untuk pulang tertunda karena orangtuanya dan kakeknya kecelakaan saat akan kembali ke negara ini. Bukan hanya sekedar kecelakaan, akan tetapi ada campur tangan seseorang yang membenci keluarga Melviano. Tak lain adalah orangtua Soraya, mereka balas dendam karena menghancurkan kehidupan Soraya. Vidio buruk Soraya dengan beberapa p
"Kau sangat cantik." Deg' Agatha mendongak seketika, menatap gugup pada Nail. Pipinya memerah karena mendengar pujian dari suaminya, dan bibirnya menahan untuk tak tersenyum. Namun, ketika melihat raut muka Nail yang lempeng, Agatha memilih kembali menunduk–memanyunkan bibir sembari meremas bagian gaun di atas pangkuannya. Agatha sepertinya hanya salah mendengar. Nail tak lagi memuji dirinya, Agatha hanya salah pendengaran. Mungkin saking inginnya mendapat pujian dari suaminya. Tiba-tiba saja tangan Nail terulur, menyentuh dagu Agatha secara lembut. Dia menaikkan dagu istrinya, membuat Agatha reflek mendongak–menatap tepat ke arah Nail. "Kau sangat cantik, Tata," ucap Nail lembut, menatap berat ke arah Agatha. Sempurna! Wanita ini terlihat begitu cantik di malam hari ini, gaun biru ini sangat indah setelah berada di tubuh Agatha. Kulit Agatha bersinar terang apabila dibawah cahaya, efek dari sparkling yang menempel pada gaun. Istrinya bak Dewi bulan, cantik dan indah! "Kau
"Daddy jika ingin tersenyum, tersenyum saja. Tak ada yang melarang," ucap Sagara dengan nada yang terkesan ketus, mendongak pada daddynya yang duduk bersebelahan dengannya. Sagara tentu iri! Bagaimana bisa monster cap kuku Setan ini bisa sangat menginspirasi mommynya? Kenapa bukan Sagara yang jelas-jelas baik hati, anak yang rajin dan suka membantu orang tua? "Humm." Nail berdehem datar, menatap putranya dengan tatapan lempeng. Namun, setelah itu dia berdecis geli, terkekeh pelan setelahnya sembari mengacak surai di pucuk kepala putranya. "Cih, mommy sangat menggemaskan," ucap Nail, benar-benar salah tingkah. Damage-nya begitu dahsyat, hingga rasanya Nail terus-terusan ingin tersenyum. Sagara menatap berang pada sang daddy, cukup kesal karena rambutnya terus diacak oleh daddynya. Sedangkan Nail, saat papa, paman dan kakeknya menoleh ke arahnya, seketika itu juga dia memasang wajah lempeng–pura-pura tidak merasakan apapun setelah mendapat pujian dari Agatha. Lalu setelah para pria
"Yah, benar sekali. Lukisanku telah dirusak oleh seseorang." Agatha menoleh sinis pada Laila, "sejujurnya aku sempat down karena lukisanku rusak. Bukan masalah tak punya ide, tetapi mengerjakan lukisan itu memakan banyak waktu. Aku senang saat melukis, tetapi tak bisa dipungkiri melukis sangat melelahkan. Setiap kali selesai melukis, pasti aku akan menjadi nenek-nenek. Pinggang sakit, punggung pegal, leher terasa akan patah, kaki kesemutan. Yah, seperti nenek-nenek. Dan … dengan seenaknya seseorang merusak lukisanku. Siapa yang tak marah?" Lagi-lagi para tamu tersenyum mendengar ucapan Agatha. Ah, mereka sangat suka mendengar coleteh perempuan menggemaskan ini. Sangat lucu! "Tapi tenang! Sejatinya kemampuan pelukis itu bukan pada hasil, akan tetapi pada proses dan ide. Itu yang Mama dan Papa katakan padaku." Agatha berucap dengan ceria, dia lalu menoleh pada mamanya kemudian membungkuk hormat, "Mama, Agatha berterimakasih padamu. Lagi-lagi Mama menginspirasiku dan aku semakin meng
"Itu mirip seperti lukisan Agatha." Orang-orang mulai berbisik karena mendengar ucapan salah satu pelukis tersebut. Sedangkan Laila, dia panik dan terlihat gugup. "Jangan asal menuduh. Ini lukisan yang kubuat, hasil pemikiran ku sendiri." Laila memekik, berucap dengan suara kuat supaya orang-orang percaya padanya. Almira maju ke depan, Laila seketika mendekat karena mengira Almira akan menolongnya. Laila bisa masuk ke tempat ini berkat bantuan Almira, dia yakin sekali Almira akan membantunya. Karena jika tidak nama galeri milik Almira, bahkan nama Almira sendiri bisa rusak. "Ya, benar. Lukisan ini memang mirip dengan lukisan Agatha–putriku," ucap Almira lantang, mengejutkan orang-orang karena tak menyangka jika Almira adalah ibu dari Agatha. "Ti-tidak. Aku tidak mungkin plagiat. Aga-- Nyonya Almira membela Agatha karena dia putri anda. Iya kan?" Laila bersikeras tak mengakui perbuatannya. Almira menoleh pada Laila, tersenyum tipis namun penuh isyarat. Almira memberi i
Agatha dengan ragu mengatakan langsung alasan kenapa dia marah pada suaminya. "Aku sangat ingin mangga muda dan aku memintanya pada Mon-- Kuku Setan ini!" Agatha menyolot di akrih kalimat, melotot galak pada suaminya kemudian memukul paha Nail kembali. Mendengar sebutan Agatha pada Nail, orang-orang di sana menahan tawa. Sedangkan Agatha lanjut berbicara, "dia bilang, dia akan mencari mangga muda untukku. Tetapi-- Kuku Setan ini bukan memberiku mangga muda, Kuku Setan ini memberiku jelly berbentuk mangga." "Yang penting mangga," jawab Nail tanpa dosa. Bug' Agatha kembali memukul lengan Nail, dengan sekuat tenaga sehingga suara pukulan terdengar. "Kamu mempermainkanku. Dasar Kuku Setan! Aku benciii! Agrkkk--" Agatha menjerit tertahan sembari menengada ke atas. Kemudian, dia mengigit lengan Nail sekuat mungkin–melampiaskan rasa kesal yang melandanya. Agatha kehilangan kendali, tak peduli lagi jika saat ini mereka dihadapan keluarga besar Melviano. "Nail." Zahra geleng-geleng k
Malam ini Agatha, Nail dan putra mereka berkunjung ke kediaman Melviano, untuk membahas pernikahan Aiden dengan Syakila serta pernikahan Alka dengan Kalisa. "Ck." Agatha berdecak kesal, melepas genggaman tangan Nail kemudian mendorong pundak suaminya agar menjaga jarak darinya. "Jangan dekat-dekat denganku," peringat Agatha dengan nada tegas, melayangkan tatapan tajam dan kesal. Ini masih mengenai mangga muda. Agatha sangat dendam pada Nail karena pria itu-- memberinya permen jelly, bukan mangga muda seperti yang Agatha inginkan. "Tata," peringat Nail, mendekat ke arah Agatha dan berniat merangkul pundak Agatha, akan tetapi Agatha lebih dulu mendorongnya. Nail menatap pundaknya yang didorong oleh Agatha kemudian menatap istrinya datar. "Jangan dekati aku!" pekik Agatha, berucap dengan menekan suara. Setelah itu dia melanjutkan langkah untuk memasuki rumah mertuanya. Akan tetapi langkah Agatha kembali berhenti karena Nail tiba-tiba sudah di sebelahnya dan pria itu merangkul pin
"Pak Nail yang terhormat, tolong lepaskan aku!" pekik Agatha, berusaha melepaskan diri dari gendongan Nail. Nail menulikan pendengaran, tak melepas Agatha dalam gendongannya. Hingga setelah sampai di ruangannya, barulah Nail melepas istrinya–mendudukkan perempuan itu di atas sofa. "Ck, kenapa Mon Tresor membawaku ke sini? Aku baru saja keluar dari ruangan ini. Aih, di sini sangat membosankan," ucap Agatha bernada mengomel, menoleh ke sana kemari untuk memperhatikan ruangan suaminya yang memang menurutnya sangat membosankan. Agatha kemudian melangkahkan kaki, menyenggol pundak Nail kemudian berniat pergi. Akan tetapi, Nail dengan cepat menahan pergelangan tangan istrinya. "Tolong biarkan aku pergi. Aku ingin makan siang dengan Syakila dan Alka.""Makan siang denganku." Nail menjawab cepat, dia duduk lalu menarik Agatha supaya duduk di atas pangkuannya. "Mon Treros!" Agatha menberontak, berusaha lepas dan bangkit dari atas pangkuan suaminya. Akan tetapi Nail memeluk tubuhnya erat, s