Fidel memandang ponsel yang sedang ada di tangannya, menunggu beberapa menit sejak pukul sembilan pagi, tetapi pesannya pada Jake sejak semalam tidak terkirim. “Dia benar-benar memblokir nomorku,” gumamnya kemudian melempar ponselnya di kursi yang ada di samping kemudi. Ia sedang ada di dalam mobilnya yang berhenti di belakang garis putih di persimpangan jalan, dalam perjalanannya menuju ke suatu tempat. Hela napasnya terasa berat, penuh dengan beban, tersirat keluhan bahwa ia mulai kehabisan akal untuk dapat mengambil alih keadaan seperti dalam kendalinya dulu. Fidel berpikir, selagi di sini ia menderita ... jauh di seberang sana terpisahkan oleh darat dan lautan seseorang tengah dihujani cinta yang besar oleh Jake. ‘Siapa lagi kalau bukan Laura,’ gumamnya dalam hati, benak yang penuh dengan kebencian tanpa pemberhentian. Ia kembali melaju saat melihat lampu lalu lintas berubah menjadi hijau. Rahang kecilnya mengetat saat ia baru saja menghitung sudah berapa lama dua manusia—Lau
“Turunkan suaramu, Fidel ….” pinta Alina, suaranya terdengar hampir berbisik. “Tante tidak mau kalau sampai papanya Jake mendengar keributan ini dan tahu kala Tante menghabiskan uang keluarga Heizt,” lanjutnya.“Jika begitu, bukankah Tante tahu apa yang harus Tante lakukan?” tanya Fidel, memperjelas.“Iya, Tante tahu,” jawab Alina dengan gegas. “Tante akan mencari cara. Tapi tidak bisa dalam waktu dekat ini. Mungkin nanti kalau Laura dan Jake sudah kembali ke Jakarta, tante akan melakukan apa yang kamu mau agar Jake bisa seperti dulu,” ucapnya, berusaha meyakinkan Fidel.“Kalau sampai tante bohong, aku tidak akan menahan diri dan langsung mengadu pada Jake,” ancamnya yang tak bisa dibantah oleh Alina.Wanita paruh baya itu mengangguk setuju sehingga Fidel yang menjumpai wajahnya yang ketakutan pun tersenyum manis.“Terima kasih karena Tante selalu di pihakku,” ucap Fidel kemudian berdiri dari duduknya. “Aku pulang dulu kalau begitu, sampai jumpa,” pamitnya lalu mengayunkan langkah kak
Untuk yang ke sekian kalinya setiap kali Laura bangun tidur dan membuka mata … ia tak menjumpai Jake ada di sampingnya. Hari-hari sebelumnya pria itu pergi jogging, lalu berolahraga di gym. Pernah juga membelikan Laura bunga dan toast yang antrenya mengular hanya agar mereka bisa sarapan di dalam kamar hotel. Banyak yang dilakukan oleh Jake yang Laura pikir … ‘Sepertinya dia sengaja pergi pagi-pagi untuk menghindari kontak mata denganku,’ gumam Laura, menerka sekenanya. “Atau aku saja yang bangun terlambat?” tanyanya lagi, berjalan menepi seperginya dari ranjang dan melihat keadaan di luar melalui jendela lantai sepuluh hotel tempat ia tinggal. Laura rasa tidak. Karena ini masih terbilang gelap di luar. “Ke mana perginya Jake?” Tapi Laura ingat sesuatu, semalam Jake mengatakan bahwa ia akan pergi berenang, jadi kemungkinan besar pria itu ada di sana. Laura turun ke lantai bawah setelah mandi. Dugaannya benar, Jake sedang ada di sana. Di kolam renang yang sepi, tak ada satu oran
“Jake?” panggil Laura lirih, mencoba menghentikan Jake tetapi sepertinya ia tidak ingin melepas Dokter Lin begitu saja. Mata pria itu tampak tajam menatap dokter muda yang kebingungan itu, sehingga Laura memutuskan untuk meraih pergelangan tangan Jake. “Jake,” panggil Laura sekali lagi, mengalihkan fokus Jake pada sepasang netra Laura yang tampak memberinya isyarat agar Jake melepasnya. Karena memang sekarang Laura sedang diperiksa. Situasi ini agak sedikit … lucu. Karena perawat yang berdiri tak jauh dari Dokter Lin pun tampak tak bisa menahan senyumnya melihat interaksi mereka. “Jake,” sebut Laura, sedikit keras kali ini sehingga akhirnya pria itu melepas tangan Dokter Lin. Tak lama setelah itu, Dokter Zhen memasuki ruangan kembali, melewatkan kejadian yang membuat ruangan dibakar oleh api kecemburuan. Yang Laura yakin … saat ia keluar dari sini nanti akan menjadi cerita. Pemeriksaan dan fisioterapi lanjutan berjalan dengan baik. Dokter bilang setelah ini nanti Laura bis
Setelah melewati banyak kesalahpahaman, bahkan perpisahan yang Laura sangka sebagai sebuah kematian, akhirnya ia merasa dirinya terlahir kembali.Setiap membuka mata, atau di manapun ia dan Jake bertatap muka, Laura melihat Jake dengan keadaan pria itu tersenyum, tidak seperti sebelumnya yang selalu murung dan tampak kesal, atau bahkan abai padanya.Pagi hari ini, kehidupan baru dimulai di Jakarta. Laura sudah memikirkan apa yang akan ia dan Jake lakukan. Mereka akan pergi bekerja pada pagi hari, lalu sore harinya pulang untuk menghabiskan waktu bersama. Tapi sepertinya … itu tak bisa berjalan dengan lancar karena Laura harus menghadapi Jake yang terus menempel padanya, seperti ini!Laura sedang ada di dalam ruang ganti yang ada di kamar mereka, baru saja selesai bersiap saat melihat Jake selesai mandi.Saat Laura menyerahkan kemeja yang harus ia kenakan, yang dilakukan oleh Jake adalah malah memeluknya.“Tidak usah pakai baju,” ucapnya bermalasan.“Apa maksudnya?” tanya Laura tak h
“Seorang wanita?” ulang Jake memperjelas pada Laura yang mengangguk membenarkannya.“Iya, Jake,” jawab istrinya itu teriring dengan sebuah anggukan. “Seingatku hari itu, yang mengendarai mobilnya adalah seorang wanita. Hanya saja … aku tidak jelas melihatnya karena saat itu hujannya sangat deras, ‘kan?”Jake menghela napasnya kemudian menoleh pada Farren. “Cari informasi lebih lanjut pada orang-orang yang ada di penadah mobil bekas itu, Ren!” pintanya tegas. “Harusnya mereka tahu siapa yang menjualnya, dan kenapa mobil itu ada di sana dengan harga yang murah.”“Baik, Tuan Jake.”“Meski kecil kemungkinan mendapatkan informasi … tidak ada salahnya kita bertanya lebih jauh pada mereka, mereka pasti tidak akan keberatan,” katanya. “Baik, akan aku lakukan,” jawab Farren.Ia memandang sepasang mata Jake yang tampak menyipit tajam, ada dendam terhadap sore hari itu, pada seseorang yang melindas tangan kirinya hingga mengalami retak parah dan membuatnya harus melihat Laura terkapar koma.Bul
Laura menghela dalam napasnya, mencoba menenangkan gadis itu dengan menunjukkan senyumnya. “Baik,” ucapnya mula-mula. “Jika memang kamu tidak memiliki niat untuk mencelakai aku, lalu kenapa kamu melakukan itu, Tania?” tanyanya. “Kamu tahu aku tidak menuduhmu, tapi kamu yang baru saja mengatakan bahwa kamu tidak begitu, jadi apa alasannya?” Laura berharap … Tania menjawabnya dengan jujur. Menyingkirkan ketakutannya dan menyebutkan alasan yang jelas. Tania tampak memandanginya dan Jake bergantian. Sepasang matanya yang cekung dan menghitam itu menoleh ke sekitar dan ia membuka kedua bibirnya. Senyum terkembang lebih lebar di bibir Laura saat berpikir gadis itu akan bicara. Tetapi … kenyataan selalu meleset dari harapan. Sebab yang dilihat oleh Laura, sekali lagi adalah sebuah gelengan. “Maaf,” ucapnya penuh sesal tertunduk dalam dengan air mata yang kembali membasahi pipinya yang tirus. “Maaf, Nona Laura,” lanjutnya. “Saya yang bersalah karena sudah membuat sakit Nona semakin terpur
Sepertinya, kalimatnya barusan didapati oleh Jake penuh dengan kemelut sehingga pria itu bangun dari pangkuannya dan mendekatkan wajahnya untuk menggapai bibir Laura.Dua detik bibir mereka saling menyapa sebelum suara bariton Jake berbisik, “Kalau kamu terus kepikiran dengan itu, kamu bisa drop lagi,” ujarnya. “Dan aku tidak mau itu terjadi, Laura. Bisa dibilang ini masih dalam tahap pemulihanmu, tolong jangan terbebani banyak hal.”Laura menatap wajahnya yang sangat dekat, dan karena sepertinya Jake tidak akan begitu saja menjauh maka ia menganggukkan kepalanya dengan cepat.“I-iya, baiklah,” tanggapnya. “Aku tidak akan—“Laura berhenti bicara saat matanya secara otomatis terpejam kala Jake menutup bibirnya sehingga hening menyapa mereka.Seolah jantung Laura akan meledak diperlakukan seperti ini, padahal ia sudah melakukannya bersama dengan Jake lebih dari puluhan kali jumlahnya.Tetapi tetap saja pelukan yang ia berikan, ciumannya yang memagut Laura lebih dalam atau saat kedua len