Beberapa saat kemudian, Clara tersadar dari lamunannya. Dia meminta sang sekretaris melayani klien, lalu mengajak Vigo ke kantor pribadinya. Keduanya jelas-jelas keluarga, tetapi atmosfer di antara mereka terasa canggung.Clara menyeduh teh untuk Vigo sambil bertanya pelan, "Kamu masih suka minum teh oolong?"Vigo duduk di sofa tunggal dan mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Lukisan karya Clara di waktu luang terletak di mana-mana. Dia juga mencium aroma samar parfum yang digunakan wanita itu.Kini, Vigo tidak mampu lagi memanggil Clara dengan panggilan bibi. Dia memandang punggungnya dan berujar dengan suara serak, "Kakek nggak sungguh-sungguh mau menjodohkanmu dengan Herman. Dia hanya ingin memastikan kalau aku ... sudah melupakan perasaan itu."Gerakan Clara waktu mengaduk teh sedikit melambat. Dia berbalik, lalu membalas dengan suara rendah, "Vigo, seharusnya aku turut senang karena Pak Malik sangat menyayangimu. Tapi, masalah jadi rumit karena aku yang nggak bersalah jadi
Satya .... Saat ini, Clara merasa lebih baik dia menghadapi Satya daripada harus terus melihat Vigo. Dia berkata pada pria itu dengan nada formal, "Vigo, kamu bisa lihat sendiri kalau aku lumayan sibuk."Vigo tidak memaksa untuk tetap tinggal. Dia bangkit dari sofa, lalu berucap dengan ekspresi dingin, "Baiklah, aku nggak akan mengganggu hubungan lama kalian yang kembali membara."Vigo berpapasan dengan Satya di luar. Dia benci sekali melihat Satya yang dewasa, tampan, dan berpakaian rapi. Katanya dengan nada dingin, "Pak Satya, kebetulan sekali kita bertemu!"Satya memandang Clara yang berada di dalam ruangan, lalu menoleh pada Vigo. Matanya menyorot tajam saat dia berkata dengan nada yang sama muramnya, "Benar, jarang sekali Pak Vigo bertamu. Apa kamu nggak perlu memikirkan teori konspirasi hari ini? Kenapa malah mengunjungi bibimu?"Vigo membalas dengan nada yang lebih dingin, "Kamu nggak perlu ikut campur." Kemudian, dia bergegas pergi dari situ.Saat jarak mereka menipis, kedua pr
Satya menatap Clara lekat-lekat, seolah-olah dia bisa melihat kepedulian dan kecemburuannya. Seakan-akan dia bisa membuktikan bahwa dia masih berada di hati wanita itu. Clara memandang cek yang diletakkan di meja itu, merenungkan bagaimana Satya menghabiskan banyak uang untuk seorang wanita muda.Sebenarnya, Clara juga pernah diperlakukan Satya dengan manja saat mereka sedang berpacaran. Kala itu, pria itu selalu perhatian dan berusaha menyenangkannya. Hanya saja, setelah bertahun-tahun lamanya, kini Satya menunjukkan sisi manisnya itu pada wanita lain.Clara merasa sedih, tetapi dia mengingatkan dirinya sendiri untuk tidak bersedih lama-lama. Dia mendongak dan menatap Satya, lalu menolak dengan suara lembut, "Maaf, Pak Satya. Galeriku ini bukan Akademi Seni Aruma dan aku bukan guru akademi seni. Aku nggak bisa mengajarkan apa pun padanya.""Kamu marah?" tanya Satya dengan mata berbinar.Clara menunduk dan menyahut, "Kenapa aku harus marah? Pak Satya bebas memanjakan dan menghabiskan b
Vigo menyalakan sebatang rokok. Wajah lembutnya segera diselimuti asap kelabu. Beberapa saat kemudian, dia berucap pelan, "Temui Pak Jero, katakan padanya kalau aku mau mentraktirnya makan di kelab yang sebelumnya! Oh iya, berikan juga anggur merah yang kubawa pulang dari luar negeri padanya.""Baik, Pak Vigo," sahut sang sekretaris.Menjelang malam, Vigo muntah di jalanan Kota Brata yang ramai. Sekretarisnya menasihati, "Kelak jangan minum sebanyak ini lagi. Kalau Pak Malik tahu, kamu bisa dihukum."Vigo bertopang pada pagar dan membalas, "Untuk apa memberi tahu Kakek!" Dia menegakkan tubuh, lalu berjalan terseok-seok ke mobil.Masalah belum ada jalan keluar, tetapi Vigo tidak ingin mengandalkan koneksi Keluarga Sadali. Dia tahu bahwa hal ini adalah ulah Satya. Jika Vigo meminta bantuan keluarganya, bukankah dia hanya membuktikan bahwa dirinya memang tidak berguna? Vigo tidak ingin orang lain meremehkannya, terutama Clara.Mobil memasuki gerbang Kediaman Sadali. Vigo turun, lalu berja
Vigo melirik Renata sekilas, lalu menyahut, "Oke."Setelah Vigo pergi, Malik mengambilkan sayur untuk Renata dan menghibur dengan lembut, "Vigo sibuk kerja. Jadi, kamu harus lebih memperhatikan urusan di rumah. Dia masih muda, ini masa-masa yang bagus untuk mengejar kariernya."Renata berusaha menahan air matanya dan menimpali, "Aku paham."Malik merasa tenang. Namun, Renata tahu pernikahannya dengan Vigo tidak mungkin kembali seperti dulu lagi. Semalam Vigo yang mabuk mengungkapkan bahwa dia tidak ingin berpura-pura menjadi pasangan suami istri mesra dengan Renata. Pernikahan mereka sudah di ujung tanduk. Renata merasa tidak rela. Dia ingin merebut hati Vigo.....Vigo sangat sibuk seharian. Saat sore, Malik menelepon Vigo untuk pulang agar bisa menemani istri dan anaknya. Vigo pun terpaksa menyetujuinya. Setelah berjalan keluar dari gedung, Aksa berucap, "Kasus tanah itu ...."Vigo memejamkan matanya sembari menyela, "Besok baru kita bicarakan lagi. Malam ini aku mau memenuhi permint
Ketika Clara berjalan masuk, Satya langsung berdiri. Mereka memang sudah bertemu sebelumnya, tetapi kali ini berbeda. Satya dan Clara pernah berjanji untuk bertemu di restoran ini. Jadi, makan malam hari ini baru terasa sempurna.Clara menggandeng tangan Joe, sedangkan Alaia berada di samping Satya. Namun, kala ini Satya dan Clara hanya menatap satu sama lain. Mereka sama-sama menyimpan penyesalan karena tidak sempat bertemu 4 tahun yang lalu. Setelah beberapa saat, Satya menyapa, "Lama nggak berjumpa."Clara hendak bicara, tetapi Satya langsung berjongkok dan memeluk Joe seraya mengusap kepalanya. Satya berkata dengan lembut, "Joe sudah besar. Apa kamu merindukan Ayah?"Joe sudah berumur 7 tahun. Tubuhnya kurus dan tinggi. Dia adalah anak yang tampan. Joe bersandar di bahu Satya dan menyahut, "Iya."Satya mencubit pipi Joe dan menciumnya. Kemudian, dia menggendong Joe, lalu menghampiri meja makan. Joe merasa sedikit malu. Sesudah duduk, Alaia memanggil dengan manja sebelum Joe sempat
Clara meminum anggur, lalu menyahut, "Bukan. Hanya saja, aku nggak mencari pelukis."Satya tidak melanjutkan pembicaraan ini lagi. Dia bersandar di kursi sambil menyesap anggur. Kemudian, dia memberikan kue kepada Clara dan berujar, "Kamu makan kue ini dulu."Sikap Satya benar-benar lembut dan dia juga sangat tampan. Wanita mana pun pasti akan terlena dengan pesona Satya. Apalagi Satya memang berniat menggoda Clara.Clara juga paham. Dia berkata setelah berpikir sejenak, "Satya, aku akui 4 tahun yang lalu aku memang tersentuh. Aku berpikiran untuk rujuk dan memulai hidup baru denganmu. Tapi, perasaan itu nggak ada apa-apanya dibandingkan masa lalu kita. Apalagi kita juga berpisah selama 4 tahun."Clara menambahkan, "Kita lupakan saja masa lalu itu, ya?"Tatapan Satya menjadi muram. Dia menimpali, "Apa karena pria itu atau Bianka? Kalau begitu ... kita sama-sama putus, lalu menikah lagi. Jadi, kita bisa memberi Joe dan Alaia keluarga yang sempurna."Clara dan Satya pernah menikah selama
Clara tidak bergerak. Dia dan Satya saling bertatapan. Clara merasa dirinya seperti melihat mimpi indahnya saat muda. Matanya berkaca-kaca. Saat menghampiri Satya, Clara sedikit kehilangan kendali.Kala ini, jarak Satya dan Clara sangat dekat. Satya menatap Clara lekat-lekat dengan ekspresi lembut dan berkomentar, "Kamu masih sama seperti dulu, cengeng."Clara mendongak. Perasaannya campur aduk. Satya mengulangi perkataannya tadi, "Clara, ayo kita pulang."Namun, mereka tidak pulang ke vila Satya, melainkan pulang ke rumah Clara. Kelak di mana pun Clara berada, itu adalah rumah Satya. Mungkin Clara bukan milik Satya, tetapi Satya adalah milik Clara. Mulai sekarang, tubuh dan jiwa Satya ada di tangan Clara sepenuhnya. Asalkan Clara bersedia, Satya akan menunjukkan kesetiaannya kepada Clara.Hati Satya bergejolak, tetapi ekspresinya tetap terlihat lembut. Seperti pria yang bahagia dalam pernikahannya. Dia menyampirkan jasnya di bahu Clara. Satya menggendong Alaia dengan erat dan merangku