Pada larut malam, Satya kembali ke kamarnya. Dia melonggarkan dasinya dan hendak mandi. Begitu mendongak, terlihat Alaia yang mengenakan piama sapi. Gadis ini tidur tengkurap di kasur besar. Bokongnya terangkat seperti seekor anak anjing. Lucu sekali.Setelah melepaskan dasinya, Satya duduk di tepi kasur. Alaia berpindah mendekati Satya, lalu memeluk paha ayahnya dengan manja. Akan tetapi, dia tidak mau berbicara.Satya menghela napas. Dia menggendong Alaia. Sementara itu, Alaia menjadikan otot perut Satya sebagai papan cuci dan memainkannya. Setelah beberapa saat, wajah Alaia tampak murung. Gadis kecil ini berkata, "Aku bodoh."Satya memeluk putrinya dengan perasaan sedih, lalu menciumnya.Ketika Alaia berusia dua tahun, Aida membelikan buku anak-anak dan mengajari Alaia mengenali huruf dan angka. Meskipun sudah diajari 100 kali, Alaia tetap tidak bisa. Satya sudah membawa Alaia untuk menguji kecerdasannya. IQ Alaia hanya 52, termasuk keterbelakangan mental ringan. Saat itu, Satya men
Renata tidak biasanya banyak berkomentar. Mata Vigo yang sipit sedikit memelototi istrinya saat dia berucap dingin, "Kamu nggak perlu ikut campur dalam hal ini!"Selama tiga tahun pernikahan mereka, ini pertama kalinya Vigo bersikap sedingin ini. Renata merasa canggung, tetapi dia tetap berbaik hati membantu Vigo melepas pakaian sambil bertanya, "Apa kamu membuat kesalahan di kantor, makanya Kakek memarahimu?"Vigo tidak menjawab pertanyaan Renata. Selain menyetujui syarat Malik untuk menikah dan berkeluarga, dia juga telah menjalani hidup sesuai arahan sang kakek. Namun, Malik masih saja mencurigainya dan meragukan Clara.Vigo yang jengkel mengambil jubah mandinya, lalu melangkah ke kamar mandi tanpa bicara apa-apa. Renata hanya bisa memaksakan sebuah senyum. Tak lama kemudian, dia menyentuh sofa yang tadi diduduki Vigo. Sofa itu masih sedikit hangat. Renata mengusapnya sejenak, lalu perlahan duduk di situ. Pernikahan Vigo dan Renata telah berjalan selama tiga tahun. Dari luar, merek
Beberapa saat kemudian, Clara tersadar dari lamunannya. Dia meminta sang sekretaris melayani klien, lalu mengajak Vigo ke kantor pribadinya. Keduanya jelas-jelas keluarga, tetapi atmosfer di antara mereka terasa canggung.Clara menyeduh teh untuk Vigo sambil bertanya pelan, "Kamu masih suka minum teh oolong?"Vigo duduk di sofa tunggal dan mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Lukisan karya Clara di waktu luang terletak di mana-mana. Dia juga mencium aroma samar parfum yang digunakan wanita itu.Kini, Vigo tidak mampu lagi memanggil Clara dengan panggilan bibi. Dia memandang punggungnya dan berujar dengan suara serak, "Kakek nggak sungguh-sungguh mau menjodohkanmu dengan Herman. Dia hanya ingin memastikan kalau aku ... sudah melupakan perasaan itu."Gerakan Clara waktu mengaduk teh sedikit melambat. Dia berbalik, lalu membalas dengan suara rendah, "Vigo, seharusnya aku turut senang karena Pak Malik sangat menyayangimu. Tapi, masalah jadi rumit karena aku yang nggak bersalah jadi
Satya .... Saat ini, Clara merasa lebih baik dia menghadapi Satya daripada harus terus melihat Vigo. Dia berkata pada pria itu dengan nada formal, "Vigo, kamu bisa lihat sendiri kalau aku lumayan sibuk."Vigo tidak memaksa untuk tetap tinggal. Dia bangkit dari sofa, lalu berucap dengan ekspresi dingin, "Baiklah, aku nggak akan mengganggu hubungan lama kalian yang kembali membara."Vigo berpapasan dengan Satya di luar. Dia benci sekali melihat Satya yang dewasa, tampan, dan berpakaian rapi. Katanya dengan nada dingin, "Pak Satya, kebetulan sekali kita bertemu!"Satya memandang Clara yang berada di dalam ruangan, lalu menoleh pada Vigo. Matanya menyorot tajam saat dia berkata dengan nada yang sama muramnya, "Benar, jarang sekali Pak Vigo bertamu. Apa kamu nggak perlu memikirkan teori konspirasi hari ini? Kenapa malah mengunjungi bibimu?"Vigo membalas dengan nada yang lebih dingin, "Kamu nggak perlu ikut campur." Kemudian, dia bergegas pergi dari situ.Saat jarak mereka menipis, kedua pr
Satya menatap Clara lekat-lekat, seolah-olah dia bisa melihat kepedulian dan kecemburuannya. Seakan-akan dia bisa membuktikan bahwa dia masih berada di hati wanita itu. Clara memandang cek yang diletakkan di meja itu, merenungkan bagaimana Satya menghabiskan banyak uang untuk seorang wanita muda.Sebenarnya, Clara juga pernah diperlakukan Satya dengan manja saat mereka sedang berpacaran. Kala itu, pria itu selalu perhatian dan berusaha menyenangkannya. Hanya saja, setelah bertahun-tahun lamanya, kini Satya menunjukkan sisi manisnya itu pada wanita lain.Clara merasa sedih, tetapi dia mengingatkan dirinya sendiri untuk tidak bersedih lama-lama. Dia mendongak dan menatap Satya, lalu menolak dengan suara lembut, "Maaf, Pak Satya. Galeriku ini bukan Akademi Seni Aruma dan aku bukan guru akademi seni. Aku nggak bisa mengajarkan apa pun padanya.""Kamu marah?" tanya Satya dengan mata berbinar.Clara menunduk dan menyahut, "Kenapa aku harus marah? Pak Satya bebas memanjakan dan menghabiskan b
Vigo menyalakan sebatang rokok. Wajah lembutnya segera diselimuti asap kelabu. Beberapa saat kemudian, dia berucap pelan, "Temui Pak Jero, katakan padanya kalau aku mau mentraktirnya makan di kelab yang sebelumnya! Oh iya, berikan juga anggur merah yang kubawa pulang dari luar negeri padanya.""Baik, Pak Vigo," sahut sang sekretaris.Menjelang malam, Vigo muntah di jalanan Kota Brata yang ramai. Sekretarisnya menasihati, "Kelak jangan minum sebanyak ini lagi. Kalau Pak Malik tahu, kamu bisa dihukum."Vigo bertopang pada pagar dan membalas, "Untuk apa memberi tahu Kakek!" Dia menegakkan tubuh, lalu berjalan terseok-seok ke mobil.Masalah belum ada jalan keluar, tetapi Vigo tidak ingin mengandalkan koneksi Keluarga Sadali. Dia tahu bahwa hal ini adalah ulah Satya. Jika Vigo meminta bantuan keluarganya, bukankah dia hanya membuktikan bahwa dirinya memang tidak berguna? Vigo tidak ingin orang lain meremehkannya, terutama Clara.Mobil memasuki gerbang Kediaman Sadali. Vigo turun, lalu berja
Vigo melirik Renata sekilas, lalu menyahut, "Oke."Setelah Vigo pergi, Malik mengambilkan sayur untuk Renata dan menghibur dengan lembut, "Vigo sibuk kerja. Jadi, kamu harus lebih memperhatikan urusan di rumah. Dia masih muda, ini masa-masa yang bagus untuk mengejar kariernya."Renata berusaha menahan air matanya dan menimpali, "Aku paham."Malik merasa tenang. Namun, Renata tahu pernikahannya dengan Vigo tidak mungkin kembali seperti dulu lagi. Semalam Vigo yang mabuk mengungkapkan bahwa dia tidak ingin berpura-pura menjadi pasangan suami istri mesra dengan Renata. Pernikahan mereka sudah di ujung tanduk. Renata merasa tidak rela. Dia ingin merebut hati Vigo.....Vigo sangat sibuk seharian. Saat sore, Malik menelepon Vigo untuk pulang agar bisa menemani istri dan anaknya. Vigo pun terpaksa menyetujuinya. Setelah berjalan keluar dari gedung, Aksa berucap, "Kasus tanah itu ...."Vigo memejamkan matanya sembari menyela, "Besok baru kita bicarakan lagi. Malam ini aku mau memenuhi permint
Ketika Clara berjalan masuk, Satya langsung berdiri. Mereka memang sudah bertemu sebelumnya, tetapi kali ini berbeda. Satya dan Clara pernah berjanji untuk bertemu di restoran ini. Jadi, makan malam hari ini baru terasa sempurna.Clara menggandeng tangan Joe, sedangkan Alaia berada di samping Satya. Namun, kala ini Satya dan Clara hanya menatap satu sama lain. Mereka sama-sama menyimpan penyesalan karena tidak sempat bertemu 4 tahun yang lalu. Setelah beberapa saat, Satya menyapa, "Lama nggak berjumpa."Clara hendak bicara, tetapi Satya langsung berjongkok dan memeluk Joe seraya mengusap kepalanya. Satya berkata dengan lembut, "Joe sudah besar. Apa kamu merindukan Ayah?"Joe sudah berumur 7 tahun. Tubuhnya kurus dan tinggi. Dia adalah anak yang tampan. Joe bersandar di bahu Satya dan menyahut, "Iya."Satya mencubit pipi Joe dan menciumnya. Kemudian, dia menggendong Joe, lalu menghampiri meja makan. Joe merasa sedikit malu. Sesudah duduk, Alaia memanggil dengan manja sebelum Joe sempat