Hati Clara terasa sakit. Dia tahu bahwa Satya sudah salah paham. Tadi, di telepon itu adalah Roy. Mereka bertemu di Luzano dan Roy pernah merawatnya. Kadang kala, mereka masih berhubungan. Roy juga mengetahui kabar tentang Clara yang pulang bersama Joe.Hanya saja, Clara tidak menjelaskan apa-apa. Dalam hatinya, masa lalunya dengan Satya hanyalah sebuah penyesalan. Diamnya seorang wanita biasanya dianggap sebagai pengakuan.Suara rem mendadak yang tajam terdengar. Mobil Satya yang berwarna sampanye berhenti di pinggir jalan.Hujan masih turun pada malam hari. Satya yang bersikap anggun diam-diam memandang keluar. Melalui kaca jendela mobil yang terhalang hujan, wiper terus menyapu. Akan tetapi, pandangannya tetap buram. Setelah beberapa saat, dia mengeluarkan rokok.Satya mengambil satu batang dan menyalakannya. Aroma rokok yang lembut menyebar di dalam mobil, bercampur dengan aroma aftershave yang harum dari tubuhnya. Ini menciptakan wangi khas pria yang unik ....Satya merokok seteng
Satya tidak menyalakan lampu. Dia duduk di tepi ranjang. Dengan mengandalkan cahaya samar-samar, dia menatap satu-satunya anak kandungnya itu.Setelah beberapa saat, Satya meraih tangan Joe dengan lembut. Bocah itu berguling dan berbaring telentang. Hidungnya yang mancung dan ujung matanya sangat mirip dengan Clara ketika masih berusia 20 tahunan .... Kenangan masa lalu kembali menancap dalam-dalam di hati Satya seperti pisau. Hal ini membuatnya sangat menderita. Masih ada luka di hati Satya ....Empat tahun sudah berlalu. Kini, Satya juga sudah meraih kesuksesan. Semua orang mengira bahwa luka-lukanya sudah sembuh, bahkan dia sendiri juga berpikir bahwa dia tidak lagi begitu peduli. Namun setelah bertemu dengan Clara lagi, dia baru menyadari bahwa luka-lukanya hanya membusuk.Tak lama kemudian, Satya pergi dari sana. Ketika dia pergi, Clara berdiri di depan jendela dengan gaun hitam yang menyatu dengan kegelapan .... Dia melihat pria itu turun dan masuk ke mobil hitam. Begitu mulai me
Aroma teh menguar di udara.Hanya saja ketika Malik meminumnya, dia merasa sangat pahit. Pria tua itu menatap putrinya yang sudah empat tahun tidak ditemuinya. Dia berbicara dengan lembut, "Sudah pulang beberapa hari ... kenapa nggak bawa Joe pulang ke rumah?"Clara melihat ke arah Surya. Orang itu segera berdiri dan berjalan menjauh untuk melihat-lihat buku.Clara mengalihkan pandangannya kembali dan menjawab dengan lembut, "Menurutku kurang pantas."Suara Malik terdengar tertekan ketika berucap, "Kenapa kurang pantas? Vigo sudah lama menikah dan punya anak. Kejadian itu sudah menjadi masa lalu, nggak akan ada lagi yang mengungkitnya .... Clara, aku tahu kamu menyalahkanku. Tapi, saat itu aku punya alasan. Pulanglah, Ayah sudah tua. Aku cuma berharap anak-anakku bisa berada di sisiku."Clara perlahan menyesap setengah cangkir teh. Dia menggeleng seraya membalas, "Lebih baik jangan. Sekarang Vigo hidup dengan baik, bukankah itu bagus untuk semua orang? Kenapa aku harus kembali dan memb
Malik perlahan mendekat, lalu berucap, "Urusan Keluarga Sadali nggak perlu sampai melibatkan Pak Satya."Satya menarik Clara ke belakangnya, lalu menatap mata tajam Malik tanpa rasa gentar. Dia memberi tahu Malik, "Dia bermarga Martha. Selain itu, sampai sekarang aku masih menganggapnya sebagai keluargaku. Meskipun kami bukan lagi suami istri, dia tetaplah ibu dari anak-anakku ... hal ini nggak akan pernah berubah!"....Malik membalas seraya tersenyum dingin, "Sepertinya kamu memang berniat untuk campur tangan!"Satya juga tersenyum dingin, lalu membawa Clara keluar dari sana secara paksa. Berhubung menyadarinya situasi mulai tidak menguntungkan, Herman dan keluarganya buru-buru pergi.Di dalam ruangan VIP, suasana menjadi sangat hening.Wajah Malik tampak sangat muram. Dia memandang Vigo, lalu berucap dengan dingin, "Kamu masih punya perasaan padanya? Vigo, kamu lupa bahwa kamu sudah menikah dan punya anak? Kamu lupa bahwa kamu punya istri .... Dengan tingkah laku yang nggak pantas s
Setengah jam kemudian, mobil melaju ke dalam vila. Ini adalah rumah yang pernah mereka tempati. Kini, perasaan Clara campur aduk saat kembali ke sini.Begitu pintu belakang mobil dibuka, terlihat seorang gadis kecil berlari keluar. "Ayah," seru Alaia sambil memeluk kaki Satya dengan manja.Satya menggendong Alaia dengan satu tangan dan membawanya ke dalam mobil, lalu menempatkannya di atas pahanya.Lantaran mengerti keadaan, sopir pun segera turun dari mobil.Di dalam mobil sangat gelap. Alaia bersandar di pelukan ayahnya dan menatap Clara dengan hati-hati. Dia masih mengingat ibunya. Bagaimanapun, mereka sudah terpisah selama empat tahun. Jadi, Alaia merasa sedikit segan dan tidak enak hati memanggil Clara sebagai ibu. Begitu juga dengan Clara. Saat ini, perasaan Clara agak tidak karuan saat kembali ke kampung halamannya.Satya mengelus kepala Alaia seraya memandang Clara. Dia bertanya, "Kamu nggak mau memeluknya?"Clara membalas dengan suara bergetar, "Biar aku peluk sebentar." Dia m
Clara terus mencium Alaia.Kala ini, terdengar suara mesin kopi. Satya sedang bersandar di samping. Sosoknya tinggi dan berisi. Setelah jasnya dilepas, terlihat rompi yang memperjelas bentuk tubuhnya yang ideal. Bahunya lebar, pinggangnya ramping. Kalau menurut Aida, Satya bagaikan bunga yang langsung menarik perhatian kupu-kupu begitu mekar.Satya memainkan cangkirnya seraya berujar dengan santai, "Kamu bimbing dia mengerjakan PR saja."Alaia mengerucutkan bibirnya. Dia terlihat tidak senang.Clara bertanya dengan penuh kasih sayang, "Alaia nggak suka mengerjakan PR?"Alaia memeluk Clara, lalu menyahut dengan sedih, "Aku nggak bisa."Tanpa banyak berpikir, Clara langsung membuka buku PR Alaia. Dia seketika tercengang. Semuanya adalah coretan merah. Soal satu ditambah satu yang paling mudah malah ditulis tiga oleh Alaia. Setelah dikoreksi juga tetap salah. Bukan hanya matematika, pelajaran bahasa juga begitu.Clara akhirnya mengerti alasan Satya memintanya melihat ini. Satya ingin memb
Clara tersenyum tipis. Dia berkata, "Kamu benar. Nggak ada yang harus menunggu seseorang. Satya, aku nggak kesal, apalagi marah dan cemburu. Aku mau mengucapkan selamat padamu. Pacarmu sangat muda dan sangat cantik."Satya membalas dengan ekspresi datar, "Terima kasih."Mereka tidak berniat untuk berpisah baik-baik. Clara merasa dirinya tidak pantas untuk tinggal lebih lama lagi. Dia memang pernah tinggal di rumah ini, tetapi Satya sudah memiliki pacar baru. Dia tidak seharusnya mengganggu mereka.Satya tidak menghentikannya.Alaia sedang duduk di depan meja kecil ruang tamu. Dia lanjut mengerjakan PR-nya sambil berlinangan air mata.Ketika Clara kembali, Alaia segera berdiri. Dia menarik-narik sudut pakaian Clara, lalu bertutur dengan patah semangat dan manja, "Aku bodoh."Alaia sangat menyukai ibunya. Dia ingin ibunya sering mengunjunginya. Akan tetapi, dia takut ibunya tidak akan menyukainya jika dia bodoh. Wajah gadis kecil ini terlihat sangat cemas.Bagaimana mungkin Clara tidak m
Lampu lalu lintas sedang menunjukkan warna merah di perempatan jalan.Satya menghentikan mobilnya, lalu menyahut dengan datar, "Kalau aku menikah, istriku bisa menjaganya. Kenapa? Kamu takut istriku menganiaya Alaia?" Selesai melontarkan ini, dia menoleh memandang Clara.Clara tidak bertanya lagi. Dia bersandar di kursi sambil memalingkan wajahnya. Beberapa helai rambutnya terjatuh di atas lengan Satya. Meskipun terhalang oleh lengan kemeja, Satya masih bisa merasa gatal. Satya tak kuasa untuk menunduk dan melihatnya.Dua puluh menit kemudian, mereka tiba di bawah tempat tinggal Clara. Satya tidak naik, melainkan membuat janji untuk makan bersama pada hari minggu. Clara tidak langsung menyetujuinya.Satya tersenyum tipis sembari meyakinkan, "Tenang saja. Ini hanya perkumpulan keluarga. Aku nggak akan bawa orang lain. Semoga kamu juga nggak bawa orang lain."Clara langsung membuka pintu mobil dan turun. Begitu kembali ke apartemen, dia langsung bersandar di pintu. Kedua tungkainya mulai