Clara terus mencium Alaia.Kala ini, terdengar suara mesin kopi. Satya sedang bersandar di samping. Sosoknya tinggi dan berisi. Setelah jasnya dilepas, terlihat rompi yang memperjelas bentuk tubuhnya yang ideal. Bahunya lebar, pinggangnya ramping. Kalau menurut Aida, Satya bagaikan bunga yang langsung menarik perhatian kupu-kupu begitu mekar.Satya memainkan cangkirnya seraya berujar dengan santai, "Kamu bimbing dia mengerjakan PR saja."Alaia mengerucutkan bibirnya. Dia terlihat tidak senang.Clara bertanya dengan penuh kasih sayang, "Alaia nggak suka mengerjakan PR?"Alaia memeluk Clara, lalu menyahut dengan sedih, "Aku nggak bisa."Tanpa banyak berpikir, Clara langsung membuka buku PR Alaia. Dia seketika tercengang. Semuanya adalah coretan merah. Soal satu ditambah satu yang paling mudah malah ditulis tiga oleh Alaia. Setelah dikoreksi juga tetap salah. Bukan hanya matematika, pelajaran bahasa juga begitu.Clara akhirnya mengerti alasan Satya memintanya melihat ini. Satya ingin memb
Clara tersenyum tipis. Dia berkata, "Kamu benar. Nggak ada yang harus menunggu seseorang. Satya, aku nggak kesal, apalagi marah dan cemburu. Aku mau mengucapkan selamat padamu. Pacarmu sangat muda dan sangat cantik."Satya membalas dengan ekspresi datar, "Terima kasih."Mereka tidak berniat untuk berpisah baik-baik. Clara merasa dirinya tidak pantas untuk tinggal lebih lama lagi. Dia memang pernah tinggal di rumah ini, tetapi Satya sudah memiliki pacar baru. Dia tidak seharusnya mengganggu mereka.Satya tidak menghentikannya.Alaia sedang duduk di depan meja kecil ruang tamu. Dia lanjut mengerjakan PR-nya sambil berlinangan air mata.Ketika Clara kembali, Alaia segera berdiri. Dia menarik-narik sudut pakaian Clara, lalu bertutur dengan patah semangat dan manja, "Aku bodoh."Alaia sangat menyukai ibunya. Dia ingin ibunya sering mengunjunginya. Akan tetapi, dia takut ibunya tidak akan menyukainya jika dia bodoh. Wajah gadis kecil ini terlihat sangat cemas.Bagaimana mungkin Clara tidak m
Lampu lalu lintas sedang menunjukkan warna merah di perempatan jalan.Satya menghentikan mobilnya, lalu menyahut dengan datar, "Kalau aku menikah, istriku bisa menjaganya. Kenapa? Kamu takut istriku menganiaya Alaia?" Selesai melontarkan ini, dia menoleh memandang Clara.Clara tidak bertanya lagi. Dia bersandar di kursi sambil memalingkan wajahnya. Beberapa helai rambutnya terjatuh di atas lengan Satya. Meskipun terhalang oleh lengan kemeja, Satya masih bisa merasa gatal. Satya tak kuasa untuk menunduk dan melihatnya.Dua puluh menit kemudian, mereka tiba di bawah tempat tinggal Clara. Satya tidak naik, melainkan membuat janji untuk makan bersama pada hari minggu. Clara tidak langsung menyetujuinya.Satya tersenyum tipis sembari meyakinkan, "Tenang saja. Ini hanya perkumpulan keluarga. Aku nggak akan bawa orang lain. Semoga kamu juga nggak bawa orang lain."Clara langsung membuka pintu mobil dan turun. Begitu kembali ke apartemen, dia langsung bersandar di pintu. Kedua tungkainya mulai
Pada larut malam, Satya kembali ke kamarnya. Dia melonggarkan dasinya dan hendak mandi. Begitu mendongak, terlihat Alaia yang mengenakan piama sapi. Gadis ini tidur tengkurap di kasur besar. Bokongnya terangkat seperti seekor anak anjing. Lucu sekali.Setelah melepaskan dasinya, Satya duduk di tepi kasur. Alaia berpindah mendekati Satya, lalu memeluk paha ayahnya dengan manja. Akan tetapi, dia tidak mau berbicara.Satya menghela napas. Dia menggendong Alaia. Sementara itu, Alaia menjadikan otot perut Satya sebagai papan cuci dan memainkannya. Setelah beberapa saat, wajah Alaia tampak murung. Gadis kecil ini berkata, "Aku bodoh."Satya memeluk putrinya dengan perasaan sedih, lalu menciumnya.Ketika Alaia berusia dua tahun, Aida membelikan buku anak-anak dan mengajari Alaia mengenali huruf dan angka. Meskipun sudah diajari 100 kali, Alaia tetap tidak bisa. Satya sudah membawa Alaia untuk menguji kecerdasannya. IQ Alaia hanya 52, termasuk keterbelakangan mental ringan. Saat itu, Satya men
Renata tidak biasanya banyak berkomentar. Mata Vigo yang sipit sedikit memelototi istrinya saat dia berucap dingin, "Kamu nggak perlu ikut campur dalam hal ini!"Selama tiga tahun pernikahan mereka, ini pertama kalinya Vigo bersikap sedingin ini. Renata merasa canggung, tetapi dia tetap berbaik hati membantu Vigo melepas pakaian sambil bertanya, "Apa kamu membuat kesalahan di kantor, makanya Kakek memarahimu?"Vigo tidak menjawab pertanyaan Renata. Selain menyetujui syarat Malik untuk menikah dan berkeluarga, dia juga telah menjalani hidup sesuai arahan sang kakek. Namun, Malik masih saja mencurigainya dan meragukan Clara.Vigo yang jengkel mengambil jubah mandinya, lalu melangkah ke kamar mandi tanpa bicara apa-apa. Renata hanya bisa memaksakan sebuah senyum. Tak lama kemudian, dia menyentuh sofa yang tadi diduduki Vigo. Sofa itu masih sedikit hangat. Renata mengusapnya sejenak, lalu perlahan duduk di situ. Pernikahan Vigo dan Renata telah berjalan selama tiga tahun. Dari luar, merek
Beberapa saat kemudian, Clara tersadar dari lamunannya. Dia meminta sang sekretaris melayani klien, lalu mengajak Vigo ke kantor pribadinya. Keduanya jelas-jelas keluarga, tetapi atmosfer di antara mereka terasa canggung.Clara menyeduh teh untuk Vigo sambil bertanya pelan, "Kamu masih suka minum teh oolong?"Vigo duduk di sofa tunggal dan mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Lukisan karya Clara di waktu luang terletak di mana-mana. Dia juga mencium aroma samar parfum yang digunakan wanita itu.Kini, Vigo tidak mampu lagi memanggil Clara dengan panggilan bibi. Dia memandang punggungnya dan berujar dengan suara serak, "Kakek nggak sungguh-sungguh mau menjodohkanmu dengan Herman. Dia hanya ingin memastikan kalau aku ... sudah melupakan perasaan itu."Gerakan Clara waktu mengaduk teh sedikit melambat. Dia berbalik, lalu membalas dengan suara rendah, "Vigo, seharusnya aku turut senang karena Pak Malik sangat menyayangimu. Tapi, masalah jadi rumit karena aku yang nggak bersalah jadi
Satya .... Saat ini, Clara merasa lebih baik dia menghadapi Satya daripada harus terus melihat Vigo. Dia berkata pada pria itu dengan nada formal, "Vigo, kamu bisa lihat sendiri kalau aku lumayan sibuk."Vigo tidak memaksa untuk tetap tinggal. Dia bangkit dari sofa, lalu berucap dengan ekspresi dingin, "Baiklah, aku nggak akan mengganggu hubungan lama kalian yang kembali membara."Vigo berpapasan dengan Satya di luar. Dia benci sekali melihat Satya yang dewasa, tampan, dan berpakaian rapi. Katanya dengan nada dingin, "Pak Satya, kebetulan sekali kita bertemu!"Satya memandang Clara yang berada di dalam ruangan, lalu menoleh pada Vigo. Matanya menyorot tajam saat dia berkata dengan nada yang sama muramnya, "Benar, jarang sekali Pak Vigo bertamu. Apa kamu nggak perlu memikirkan teori konspirasi hari ini? Kenapa malah mengunjungi bibimu?"Vigo membalas dengan nada yang lebih dingin, "Kamu nggak perlu ikut campur." Kemudian, dia bergegas pergi dari situ.Saat jarak mereka menipis, kedua pr
Satya menatap Clara lekat-lekat, seolah-olah dia bisa melihat kepedulian dan kecemburuannya. Seakan-akan dia bisa membuktikan bahwa dia masih berada di hati wanita itu. Clara memandang cek yang diletakkan di meja itu, merenungkan bagaimana Satya menghabiskan banyak uang untuk seorang wanita muda.Sebenarnya, Clara juga pernah diperlakukan Satya dengan manja saat mereka sedang berpacaran. Kala itu, pria itu selalu perhatian dan berusaha menyenangkannya. Hanya saja, setelah bertahun-tahun lamanya, kini Satya menunjukkan sisi manisnya itu pada wanita lain.Clara merasa sedih, tetapi dia mengingatkan dirinya sendiri untuk tidak bersedih lama-lama. Dia mendongak dan menatap Satya, lalu menolak dengan suara lembut, "Maaf, Pak Satya. Galeriku ini bukan Akademi Seni Aruma dan aku bukan guru akademi seni. Aku nggak bisa mengajarkan apa pun padanya.""Kamu marah?" tanya Satya dengan mata berbinar.Clara menunduk dan menyahut, "Kenapa aku harus marah? Pak Satya bebas memanjakan dan menghabiskan b