Alaia setengah tertidur dan setengah terjaga. Dia memejamkan matanya. Sekujur tubuhnya terasa sakit, wajahnya pucat pasi, bulu mata yang panjang bergetar. Dia menggenggam tangan Clara sambil memanggil tanpa henti.Clara merasa sangat sedih. Alaia bukan hanya anak adopsinya, tetapi satu-satunya keturunan Davin dan istrinya. Jika terjadi sesuatu pada Alaia, Clara tidak akan bisa memaafkan diri sendiri. Dengan ekspresi cemas, Clara menunduk mencium kening Alaia.Satya berdiri di depan pintu menyaksikan semua ini. Ketika Aida melihatnya, dia menyeka air mata sambil berkata, "Tuan Satya sudah datang."Clara menatap Satya. Mungkin karena sedang dalam kondisi tidak baik, Clara berucap dengan nada yang lebih lembut, "Alaia sakit, gimana aku harus menjelaskannya kepada orang tuanya nanti?"Satya menelan ludah sebelum membalas, "Hasilnya belum keluar, tenang dulu."Bagaimana Clara bisa tenang? Sebelum hasil keluar, setiap detik adalah siksaan bagi Clara. Dia tidak tahu sampai kapan penderitaan i
Dokter berkata dengan serius, "Kalau bukan anggota keluarga, persentase kecocokan termasuk nihil.""Dicoba saja," ujar Satya sambil menatap Clara.Clara berujar, "Aku juga akan mencobanya."Agus dan Veren juga memilih untuk mencobanya. Meskipun Alaia bukan keturunan Keluarga Sadali, Clara menganggapnya sebagai anak kandung sehingga Keluarga Sadali juga mengakui anak ini. Pada akhirnya, Malik dan Surya juga melakukan tes.Namun, hasil baru akan keluar setelah 3 hari. Dokter memberi tahu mereka untuk tidak menunda sehingga mereka bergegas berangkat ke Kota Aruma untuk mencari keluarga Alaia.Malam hari, hujan turun tanpa henti. Clara berdiri di depan jendela bangsal memandang daun yang basah karena hujan. Ada lapisan kabut di jendela. Dia menjulurkan jarinya menggambar sesuatu.Clara telah menghubungi anggota Keluarga Herjaya. Mereka ingin bertemu dengan Satya. Masa lalu bak batu besar yang menimpa hati Clara, membuatnya kesulitan bernapas.Di samping ranjang, Malik sedang menjaga Alaia.
Bibir Clara bergerak sesaat, seperti ingin mengatakan sesuatu. Namun, dia merasa tidak ada yang perlu dijelaskan lagi sehingga menarik tangannya dan berkata, "Kita putus saja, kita nggak cocok."Clara bangkit dan pergi. Herman tertegun sesaat, lalu buru-buru mengejar dan meraih tangan Clara. Karena panik, dia mengungkapkan isi hatinya. "Yang kubilang benar, 'kan? Aku sangat menoleransimu selama ini. Meskipun kita sama-sama pernah menikah, aku nggak punya anak dan kamu punya dua anak. Clara, kalau kamu cerdas, kamu seharusnya tahu mana pilihan yang bijaksana."Clara membalas dengan ekspresi tenang, "Aku memilih untuk putus."Ekspresi Herman menjadi dingin. Dia berkata, "Clara, jangan menyesali pilihanmu ini."Clara mengempaskan tangan Herman, lalu bergegas menuju ke mobilnya. Sesudah masuk ke mobil, Clara menarik napas dalam-dalam. Mereka telah berhubungan selama setengah tahun, jadi pasti punya perasaan untuk satu sama lain. Namun, Clara tahu bahwa Herman bukan pria yang tepat.Sesaat
Clara mendongak menatapnya, lalu menjawab dengan bibir bergetar, "Bukan urusanmu."Clara melawan, tetapi tenaga Satya jauh lebih besar. Clara tidak bisa berkutik. Satya menatapnya dengan tatapan mendalam yang mengandung sedikit penantian.Clara menunduk. Dia bisa menebak isi pikiran pria ini sehingga langsung berterus terang, "Ya. Kami memang sudah putus, tapi ini nggak ada kaitannya dengan hubungan kita. Oh, lebih tepatnya, kita memang sudah nggak punya hubungan apa-apa. Satya, kita nggak mungkin bersatu lagi."Lift seketika menjadi sunyi senyap, hanya terdengar suara napas Satya yang cepat. Pria itu menatap Clara lekat-lekat. Tiba-tiba, Vigo kembali ke depan lift dan berkata, "Kita sudah sampai."Clara dan Satya segera menjauh. Vigo menatap mereka dengan tatapan curiga. Karena kejadian ini, Clara pun tidak turun untuk makan.Pukul 8 malam, Vigo mengetuk pintu dan memasuki kamar Clara. Dia membawa makanan untuk makan bersama Clara. Suasana sangat hening.Sesaat kemudian, Vigo melihat
Apalagi, Davin meninggal tragis tahun itu. Clara hanya pernah bertemu sekali dengan orang tua Davin, lalu langsung pergi ke Barline. Sekarang, mereka bertemu kembali.Ketika melihat Clara berlutut, Satya langsung mengepalkan tangan dengan erat dan berucap, "Clara, ini bukan salahmu."Clara tidak memedulikan Satya. Dia menatap kedua orang tua itu dan berkata, "Aku sudah bersalah kepada Davin, tapi aku yakin Davin dan istrinya ingin melihat Alaia tumbuh sehat dan bahagia. Aku mohon, tolong bantu Alaia."Orang tua Davin terus menangis. Mereka tentu ingin menolong anak itu, tetapi jelas dilarang oleh seseorang.Saat ini, Gilian berdiri. Dia menatap Clara dengan tatapan merendahkan sambil membentak, "Kalau bukan karena kamu, tangan kakakku nggak akan patah waktu itu. Kalau bukan karena kamu, kakakku dan kakak iparku nggak bakal meninggal!"Clara tidak menanggapi. Sorot mata Gilian dipenuhi amarah dan kebencian. Wanita itu menjulurkan tangan, hendak menampar Clara.Gilian ingin melampiaskan
"Jangan!" teriak ibu Davin. Dia menghampiri Satya dan menamparnya dengan kuat. Kemudian, dia merebut pisau, lalu memeluknya dengan erat dan meneruskan sembari menangis, "Kalau Davin masih hidup, dia nggak akan berbuat seperti ini! Davin itu orang yang baik. Dia nggak akan meminta orang lain untuk memotong 3 jari ... dia nggak akan tega!""Davin hanya akan menjaga anaknya agar bisa tumbuh dengan sehat. Apa gunanya memotong 3 jari untuk membalas dendam? Davin nggak akan hidup kembali. Cucuku juga nggak bisa diselamatkan," lanjut ibu Davin. Dia berlutut dan berbicara lagi, "Aku mohon kepada kalian, lakukan pencocokan untuk Alaia. Anggap saja demi Davin. Biarkan anaknya hidup."Ibu Davin menambahkan, "Aku dan ayahnya Davin sudah tua. Untuk apa lagi kami terus menyimpan dendam? Kita harus melihat ke depan."Ibu Davin bersujud kepada semua orang. Usianya sudah tua, jadi kesehatannya kurang baik. Kala ini, tubuhnya gemetaran saat angin berembus. Dia terlihat kasihan.Hati semua orang pun lulu
Clara segera membuka pintu. Dia sudah lama menantikan momen ini. Jantungnya berdegup kencang sehingga suaranya bergetar saat bertanya, "Satya, bagaimana hasilnya? Apa ada yang cocok?"Satya tidak menjawab. Dia menyerahkan dokumen di tangannya kepada Clara dengan ekspresi sedih.Clara terhuyung. Dia tidak bisa menerima pukulan ini. Clara memegang pintu dan berusaha berdiri. Dia tidak percaya sumsum tulang dari anggota Keluarga Herjaya tidak ada yang cocok. Bagaimana dengan nasib Alaia? Dia masih menunggu Clara di rumah sakit. Kebetulan ada telepon masuk dari Kota Brata. Ternyata Alaia merindukan Clara.Clara menyeka air matanya, lalu bergumam, "Maaf, aku kehilangan kendali."Kemudian, Clara berjalan ke depan jendela untuk menjawab panggilan telepon. Dia berusaha mengendalikan perasaannya agar Alaia tidak tahu dia menangis. Clara terus membujuk Alaia dengan lembut.Di sisi lain, Aida mengajar Alaia bicara. Alaia berucap dengan lirih, "Bu, Alaia rindu kamu.""Ibu juga rindu kamu," timpal
"Kamu pikir aku nggak berani?" tanya Satya. Dia mengerahkan tenaganya untuk mencekik Gilian.Gilian merasa lehernya hampir patah. Dia terus menggerakkan kedua kakinya dan wajahnya memerah. Gilian berkata dengan lirih, "Kalau kamu mau menyetujui persyaratanku, aku akan melakukan pencocokan."Satya langsung melepaskan Gilian. Sementara itu, Gilian mengelus lehernya sambil menarik napas dalam-dalam. Sesudah menenangkan dirinya, Gilian mengeluarkan pil dari tas dan memberikannya kepada Satya. Dia tersenyum genit dan berujar, "Setelah kamu makan pil ini, aku akan pergi ke rumah sakit."Satya tidak bodoh. Dia tahu Gilian baru selesai berhubungan intim dengan pria. Satya menebak sekarang Gilian sudah terpuruk sehingga dia mencari uang dengan menjual dirinya. Pil yang diberikan Gilian pasti berfungsi untuk merangsang nafsu pria. Dia ingin melihat Satya kehilangan kendali.Sesuai dugaan Satya, Gilian terkekeh dan berucap, "Kudengar kamu nggak berhubungan dengan wanita lain demi Clara. Setelah m