Clara mendongak menatapnya, lalu menjawab dengan bibir bergetar, "Bukan urusanmu."Clara melawan, tetapi tenaga Satya jauh lebih besar. Clara tidak bisa berkutik. Satya menatapnya dengan tatapan mendalam yang mengandung sedikit penantian.Clara menunduk. Dia bisa menebak isi pikiran pria ini sehingga langsung berterus terang, "Ya. Kami memang sudah putus, tapi ini nggak ada kaitannya dengan hubungan kita. Oh, lebih tepatnya, kita memang sudah nggak punya hubungan apa-apa. Satya, kita nggak mungkin bersatu lagi."Lift seketika menjadi sunyi senyap, hanya terdengar suara napas Satya yang cepat. Pria itu menatap Clara lekat-lekat. Tiba-tiba, Vigo kembali ke depan lift dan berkata, "Kita sudah sampai."Clara dan Satya segera menjauh. Vigo menatap mereka dengan tatapan curiga. Karena kejadian ini, Clara pun tidak turun untuk makan.Pukul 8 malam, Vigo mengetuk pintu dan memasuki kamar Clara. Dia membawa makanan untuk makan bersama Clara. Suasana sangat hening.Sesaat kemudian, Vigo melihat
Apalagi, Davin meninggal tragis tahun itu. Clara hanya pernah bertemu sekali dengan orang tua Davin, lalu langsung pergi ke Barline. Sekarang, mereka bertemu kembali.Ketika melihat Clara berlutut, Satya langsung mengepalkan tangan dengan erat dan berucap, "Clara, ini bukan salahmu."Clara tidak memedulikan Satya. Dia menatap kedua orang tua itu dan berkata, "Aku sudah bersalah kepada Davin, tapi aku yakin Davin dan istrinya ingin melihat Alaia tumbuh sehat dan bahagia. Aku mohon, tolong bantu Alaia."Orang tua Davin terus menangis. Mereka tentu ingin menolong anak itu, tetapi jelas dilarang oleh seseorang.Saat ini, Gilian berdiri. Dia menatap Clara dengan tatapan merendahkan sambil membentak, "Kalau bukan karena kamu, tangan kakakku nggak akan patah waktu itu. Kalau bukan karena kamu, kakakku dan kakak iparku nggak bakal meninggal!"Clara tidak menanggapi. Sorot mata Gilian dipenuhi amarah dan kebencian. Wanita itu menjulurkan tangan, hendak menampar Clara.Gilian ingin melampiaskan
"Jangan!" teriak ibu Davin. Dia menghampiri Satya dan menamparnya dengan kuat. Kemudian, dia merebut pisau, lalu memeluknya dengan erat dan meneruskan sembari menangis, "Kalau Davin masih hidup, dia nggak akan berbuat seperti ini! Davin itu orang yang baik. Dia nggak akan meminta orang lain untuk memotong 3 jari ... dia nggak akan tega!""Davin hanya akan menjaga anaknya agar bisa tumbuh dengan sehat. Apa gunanya memotong 3 jari untuk membalas dendam? Davin nggak akan hidup kembali. Cucuku juga nggak bisa diselamatkan," lanjut ibu Davin. Dia berlutut dan berbicara lagi, "Aku mohon kepada kalian, lakukan pencocokan untuk Alaia. Anggap saja demi Davin. Biarkan anaknya hidup."Ibu Davin menambahkan, "Aku dan ayahnya Davin sudah tua. Untuk apa lagi kami terus menyimpan dendam? Kita harus melihat ke depan."Ibu Davin bersujud kepada semua orang. Usianya sudah tua, jadi kesehatannya kurang baik. Kala ini, tubuhnya gemetaran saat angin berembus. Dia terlihat kasihan.Hati semua orang pun lulu
Clara segera membuka pintu. Dia sudah lama menantikan momen ini. Jantungnya berdegup kencang sehingga suaranya bergetar saat bertanya, "Satya, bagaimana hasilnya? Apa ada yang cocok?"Satya tidak menjawab. Dia menyerahkan dokumen di tangannya kepada Clara dengan ekspresi sedih.Clara terhuyung. Dia tidak bisa menerima pukulan ini. Clara memegang pintu dan berusaha berdiri. Dia tidak percaya sumsum tulang dari anggota Keluarga Herjaya tidak ada yang cocok. Bagaimana dengan nasib Alaia? Dia masih menunggu Clara di rumah sakit. Kebetulan ada telepon masuk dari Kota Brata. Ternyata Alaia merindukan Clara.Clara menyeka air matanya, lalu bergumam, "Maaf, aku kehilangan kendali."Kemudian, Clara berjalan ke depan jendela untuk menjawab panggilan telepon. Dia berusaha mengendalikan perasaannya agar Alaia tidak tahu dia menangis. Clara terus membujuk Alaia dengan lembut.Di sisi lain, Aida mengajar Alaia bicara. Alaia berucap dengan lirih, "Bu, Alaia rindu kamu.""Ibu juga rindu kamu," timpal
"Kamu pikir aku nggak berani?" tanya Satya. Dia mengerahkan tenaganya untuk mencekik Gilian.Gilian merasa lehernya hampir patah. Dia terus menggerakkan kedua kakinya dan wajahnya memerah. Gilian berkata dengan lirih, "Kalau kamu mau menyetujui persyaratanku, aku akan melakukan pencocokan."Satya langsung melepaskan Gilian. Sementara itu, Gilian mengelus lehernya sambil menarik napas dalam-dalam. Sesudah menenangkan dirinya, Gilian mengeluarkan pil dari tas dan memberikannya kepada Satya. Dia tersenyum genit dan berujar, "Setelah kamu makan pil ini, aku akan pergi ke rumah sakit."Satya tidak bodoh. Dia tahu Gilian baru selesai berhubungan intim dengan pria. Satya menebak sekarang Gilian sudah terpuruk sehingga dia mencari uang dengan menjual dirinya. Pil yang diberikan Gilian pasti berfungsi untuk merangsang nafsu pria. Dia ingin melihat Satya kehilangan kendali.Sesuai dugaan Satya, Gilian terkekeh dan berucap, "Kudengar kamu nggak berhubungan dengan wanita lain demi Clara. Setelah m
Satya membuka pintu kamar. Pakaiannya acak-acakan dan dia tampak bernafsu. Satya menatap Clara lekat-lekat.Clara langsung mundur dan hendak pergi. Namun, gerakan Satya lebih cepat. Sebelum Clara sempat merespons, Satya sudah meraih pergelangan tangannya dan menariknya ke dalam kamar. Satya menahan Clara di depan pintu. Tubuh Satya sangat panas.Keringat Satya membasahi pakaian Clara. Rasanya agak lengket sehingga Clara merasa tidak nyaman. Clara tidak berani bergerak. Dia bukan gadis polos lagi, jadi dia bisa menebak Satya sudah mengonsumsi pil perangsang. Clara memalingkan wajahnya dan menyarankan, "Kamu coba mandi dengan air dingin untuk menenangkan dirimu.""Aku nggak mau," tolak Satya. Suaranya serak sehingga dia tampak sangat seksi. Satya mengelus wajah Clara. Dia sudah menahan nafsunya untuk waktu yang lama.Satya tidak melepaskan pakaian Clara. Dia meraih tangan Clara dan menggenggamnya dengan erat. Kemudian, Satya membenamkan wajahnya di bahu Clara. Dia terus menghela napas, s
Clara menolak, tetapi Satya tetap menghampiri Clara. Dia menggendong Clara dengan lembut dan menurunkannya di depan pancuran. Satya tetap tidak melepaskan pakaian Clara. Dia hanya membantu Clara membersihkan tubuhnya dengan air hangat. Tangan Satya menyentuh seluruh tubuh Clara.Mereka berdua sudah lama tidak berhubungan intim. Tubuh Satya tetap terasa panas, tetapi dia berusaha mengendalikan dirinya. Sesudah membantu Clara membersihkan tubuhnya, Satya mengambil jubah mandi dan menyerahkannya kepada Clara. Dia berkata, "Kamu ganti bajumu yang basah dulu di kamar. Kita baru bicara setelah aku selesai mandi."Tubuh Clara masih gemetaran. Dia mengambil jubah mandi tanpa melontarkan sepatah kata pun. Satya memandangi Clara sejenak, lalu berbalik dan memegang dinding. Dia membiarkan air hangat menyiram tubuhnya yang sudah terpuaskan. Tadi, Satya tidak berdekatan dengan Clara. Namun, nafsu Satya yang menggebu-gebu membuatnya kehilangan kendali di depan Clara.Selesai mandi, Satya memakai kem
Setelah itu, mereka berdua berpelukan dengan napas yang masih memburu. Sebenarnya satu kali tidaklah cukup. Namun, tidak ada satu pun yang berniat melakukannya lagi. Mereka hanya berpelukan dalam keheningan sembari merasakan kegembiraan karena Alaia bisa menjalani operasi. Kala ini, fisik dan jiwa mereka merasakan kepuasan.Tidak lama kemudian, suhu panas di tubuh mereka mereda. Satya menunduk sambil mencium bibir Clara. Dia berkata dengan suara serak, "Kamu dan Herman ...."Satya ingin bertanya kepada Clara sudah sejauh apa hubungannya dengan Herman. Dia sangat memedulikan hal ini. Namun, Satya tidak melanjutkan ucapannya karena merasa dirinya tidak berhak.Sementara itu, Clara sudah mengerti maksudnya. Dia beranjak dari atas tubuh Satya, lalu bersandar di sofa. Tubuhnya diselimuti jubah mandi, tetapi kulit halusnya masih terlihat. Masih ada tanda merah di sekujur tubuhnya.Clara menunduk. Di bawah sorot lampu kristal, bulu matanya yang lentik membuatnya terlihat lebih menawan. Dia me