Malam ini, Annika menginap di rumah Sania. Setelah mandi, Annika mengenakan baju tidur Sania. Kemudian, mereka berdua berbaring di tempat tidur sambil mengobrol.Sania berkata dengan lembut, "Sebenarnya aku nggak peduli dengan Jeremy lagi, dia akan menikah dan aku akan hidup dengan anakku. Annika, aku sudah merencanakannya, setengah bulan lagi aku akan meninggalkan Kota Brata. Aku akan pergi ke kota kecil, lalu membeli rumah dan membuka toko bunga. Aku akan membesarkan anakku di sana."Sania melanjutkan, "Hanya saja, aku akan merindukanmu karena jauh darimu. Apa kamu akan mencariku?"Annika yang sedih menyahut, "Tentu saja, setidaknya aku akan mencarimu beberapa kali setiap tahun. Aku juga akan memberimu saham 10 persen dari tokoku dan membantumu membesarkan anakmu. Setelah dewasa, anakmu pasti punya tampang yang menawan, nggak peduli laki-laki atau perempuan."Annika merangkul Sania sembari berujar, "Aku nggak rela berpisah denganmu."Sania juga merasa sedih. Mereka berdua tidak berbi
Sania hanya ingin memiliki keluarga dekat. Dia akhirnya berbicara dengan terisak, "Annika, kenapa begitu sulit? Kenapa nasibku seperti ini? Kenapa setiap keinginanku nggak pernah terwujud? Aku benar-benar menyayangi anak ini. Aku bahkan sudah memikirkan namanya ... Stefan Lindarto! Aku ingin dia bahagia dan tersenyum begitu lahir. Aku juga berharap dia selalu beruntung."Ketika melontarkan kalimat terakhir, suaranya terdengar serak. Darahnya terus mengalir dan berceceran kemana-mana ....Annika memeluk Sania sambil memekik dengan suara bergetar, "Omong kosong! Jangan asal bicara! Aku akan membawamu ke rumah sakit! Sania, bertahanlah! Begitu aku mengantarmu ke rumah sakit, semuanya akan baik-baik saja! Apa kamu dengar? Ambulans! Ambulans!"....Di parkiran bawah tanah, terdengar suara jeritan histeris Annika. Gambar di baliho sekelilingnya tiba-tiba berubah. Satu per satu foto pernikahan Jeremy dan Evania terpampang. Ternyata, hari ini tanggal 2, hari pernikahan Jeremy dan Evania.Panda
Annika menatap Jeremy dengan dingin. Pria itu tampak begitu cemas. Annika merasa Sania sangat konyol. Bisa-bisanya Sania mencintai Jeremy. Dia juga merasa diri sendiri konyol karena mengira Keluarga Lutaha akan melepaskan Sania karena sedang mengandung.Annika berjalan 2 langkah ke depan dengan terhuyung-huyung, lalu berucap dengan linglung, "Jeremy, Sania mengandung anakmu! Dia nggak berencana untuk memberitahumu karena ingin tinggal di sebuah kota kecil untuk melahirkan anak kalian. Dia hanya ingin memiliki keluarga dekat di sisinya ...."Wajah Annika dipenuhi air mata. Dia menengadah sembari membentak, "Dia nggak pernah berniat untuk menggagalkan pernikahanmu. Kalaupun kamu memberinya 1 triliun untuk membeli telinga kanannya, dia juga nggak akan mengeluh! Jeremy, Sania bisa menerima semua ketidakadilan ini bukan karena dia mati rasa, tapi karena dia nggak punya siapa-siapa!""Dia nggak punya keluarga ataupun kekasih. Dia hanya punya anak itu! Apa kamu tahu seberapa bahagianya dia se
Shinta menyeka air matanya sambil membalas, "Baiklah. Kalau begitu, cuci mukamu dan pergilah makan sesuatu. Kalau mau menjaga Sania, kamu juga harus menjaga diri sendiri dengan baik.Annika mengangguk. Dia menunduk sembari mengelus telapak tangan Sania dengan lembut. Perasaannya dipenuhi kerinduan. Sementara itu, Shinta berbalik dan merasa sangat sedih.....Setelah mencuci wajah, Annika pergi ke restoran di lantai 2 untuk makan. Begitu memasuki lift, terdengar seseorang yang memanggil namanya. Dia menoleh dan melihat orang itu adalah Jony.Jony mengenakan jas putih dan sedang bersandar di jendela ujung koridor. Jendela sedang terbuka. Angin yang berembus masuk membuat rambutnya terlihat berantakan. Wajahnya tampak sayu seperti belum tidur semalaman.Jony adalah direktur rumah sakit dan termasuk orang yang memiliki jabatan tinggi. Pria ini sudah sangat membantu Sania dengan merawatnya. Annika tahu hal ini, jadi dia menghampiri Jony untuk mengucapkan terima kasih.Jony menatap Annika le
Pada sore hari, Sania masih belum siuman. Shinta menatap mata Annika yang merah sembari berkata dengan pelan, "Biar aku yang menjaganya di sini. Kamu pulanglah mandi dan berganti pakaian. Sebaiknya kamu istirahat sebentar baru kemari lagi. Kalau kamu seperti ini terus, bagaimana tubuhmu bisa menahannya? Selain itu, ayahmu juga mengkhawatirkanmu di rumah."Annika mengiakan. Ketika hendak pergi, dia menggenggam tangan Sania, lalu mengusapnya sambil berucap, "Sania, kamu harus segera bangun."Melihat ini, kedua mata Shinta menjadi merah. Dia berjalan ke sisi Annika dan bertanya dengan suara rendah, "Ketika aku mengantar dokter keluar subuh tadi, aku melihat kamu sedang bersama Jony. Annika, apa kamu sudah siap membuka hatimu untuknya?"Annika terdiam sejenak, lalu menyahut, "Bibi Shinta, aku belum ada niat untuk menjalin hubungan sekarang."Setelah ragu-ragu beberapa saat, Shinta menimpali, "Sekarang memang bukan waktu yang tepat, tapi kamu nggak boleh langsung menolak. Aku bisa melihat b
Zakki berujar, "Jony nggak akan mampu melawan Keluarga Wongso dan Keluarga Lutaha. Jangankan melindungi Sania, setelah kalian bersama, dia akan sadar nggak ada yang bisa diberikannya selain cinta. Saat itu, dia akan jatuh dalam kesedihan mendalam dan terus menyesal telah memilih belajar kedokteran daripada memperebutkan kekuasaan!""Annika, yang bisa melawan pihak berkuasa cuma orang dengan kekuasaan yang lebih besar," tambah Zakki.Tubuh Annika gemetar hebat. Dia ingin menganggap kata-kata Zakki sebagai ancaman belaka. Namun, dia tahu betul bahwa Zakki tidak perlu berbohong padanya. Annika takut sesuatu yang buruk kembali menimpa Sania. Jika Sania kembali terluka, dia tidak akan bisa memaafkan dirinya sendiri.Seakan-akan bisa membaca pergolakan batin Annika, Zakki pun mengulum senyum tipis. Dia lantas membukakan pintu mobil bagi Annika sambil bertanya sopan, "Kamu mau naik taksi sendiri atau perlu kuantar pulang?""Aku naik taksi saja!" jawab Annika.Annika yang sudah terlalu lelah t
Annika tahu apa yang ingin dibicarakan Zakki di telepon. Dia tidak ingin Shinta mendengar percakapan mereka. Jadi, setelah pamit sebentar pada Shinta, Annika keluar untuk menjawab telepon.Jendela di ujung koridor yang tertutup erat tidak dapat menahan udara dingin pada malam hari. Semilir angin yang masuk lewat celah-celah jendela terasa tajam saat mengenai wajah. Namun, semua itu tidak sedingin isi pembicaraan Zakki dengan Annika.Zakki berujar pelan di ujung telepon, "Seharusnya kamu sudah bisa tebak apa yang akan dilakukan Keluarga Lutaha selanjutnya. Annika, saat ini cuma aku yang bisa membantumu dengan menjadikan Sania orang Keluarga Ruslan. Dengan cara itu, Tristan nggak akan berani macam-macam padanya."Annika bertanya dengan kaku, "Kalau begitu, bisakah aku meminta bantuanmu?"Zakki terdiam sejenak sebelum menyahut dengan suara rendah, "Aku pernah bilang sebelumnya, aku bukan seorang filantropis. Kamu tahu betul, kalau bukan karena kamu, aku nggak mungkin ikut campur dalam mas
Annika tiba-tiba mengingat ucapan Zakki sebelumnya. Jika dia dan Jony bersatu, kelak Jony akan hidup dalam kesedihan dan penyesalan mendalam karena memilih belajar kedokteran daripada memperebutkan kekuasaan.Annika tidak ingin hal itu terjadi pada Jony. Dia tidak ingin Jony menyesal dan mengubah jalan hidupnya hanya demi dirinya. Menjalani hidup demi cinta dan demi orang lain adalah sesuatu yang sangat melelahkan.Annika tidak ingin Jony merasakan penderitaan yang pernah dialaminya sendiri. Menyukai seseorang seharusnya dilakukan secara sukarela oleh dua pihak, bukannya karena tuntutan sepihak. Annika tidak bisa memberikan apa pun pada Jony dan hanya akan membebani pria itu. Sesuai ucapan Zakki, dia hanya akan membuat Jony bersedih dan menyesali pilihan hidupnya.Kira-kira lima menit kemudian, pintu kamar pasien perlahan dibuka.Annika masih menghadap ke jendela. Tanpa memberi Jony ruang untuk menolak dan dirinya sendiri ruang untuk menyesal, dia berujar pelan, "Keluarga Lutaha nggak