"Aaaa..." Teriak Daren begitu keras, seirama dengan para burung-burung yang beterbangan karena keterkejutan mereka terhadap suara yang terdengar sangat nyaring. Daren begitu geram, kesal dan marah. Semuanya bercampur menjadi satu. Wajahnya memerah, dengan sorot mata yang tajam, setajam mata elang yang siap menerkam mangsanya.
"AKU BENCI WANITAAA!!!" Teriak Daren sambil melempar sebuah batu yang digenggamnya ke danau.Seorang pria yang terlihat tampan dan berambut hitam pekat, datang dari arah belakang, menghampiri Daren lalu menepuk nepuk pundaknya "jangan salahkan semua wanita atas kesalahan seorang wanita lainnya Tuan!" ucap pria tampan berambut hitam pekat itu. Namun, tampaknya Daren tak menghiraukan sama sekali apa yang diucapkan oleh pria tampan berambut hitam pekat itu yang sekarang sudah berada disampingnya, memperhatikan Daren dengan lekat, dari jarak yang dekat pula."Huh!" Hanya hembusan napas kasar yang keluar dari mulut Daren."Berteriaklah Tuan! jika Tuan ingin berteriak, dan menangisalah, jika tuan memang ingin menangis. Jangan Tuan simpan sendiri kekesalan dan kegundahan hati Tuan, berbagilah dengan yang lain, saya siap mendengarkan semua keluh kesah tuan," pria tampan dan berambut hitam pekat itu sepertinya mengerti, apa yang sedang Daren alami saat ini, hingga ia kembali menepuk bahu Darren.Bugh!Hantaman keras mendarat dengan sempurna di dada pria itu. Bukannya melakukan apa yang pria itu katakan barusan. Daren malah memukulnya karena ia menyuruhnya untuk menangis, bukan tindakan seorang pria. Pikir Daren.
"Ssssssh...," pria itu tampak meringis sambil memegangi dadanya yang terasa sakit dan sedikit sesak."Kau pikir, aku ini pria macam apa El? Membuang air mataku untuk menangisi seorang wanita," ucap Daren pada pria bernama El, dengan mencengkeram erat kerah baju yang dikenakan oleh El, setelah baru saja Daren memukulnya.El, nama dengan dua huruf itu adalah orang yang paling dekat dengan Daren. Orang yang selalu ada untuk Daren, dalam suka maupun duka."Maafkan saya Tuan?" balas El sambil menundukkan kepalanya. Mendengar apa yang baru saja El ucapkan, Daren mulai melunak, ia melepaskan cengkeramannya dari kerah baju El dengan begitu kasar."Mau apa kau kemari?" pandangan mata Daren lurus ke depan, tanpa arah tujuan, kemana mata itu memandang."Saya hanya ingin menemani anda Tuan!" jawab El, ia merapikan posisi tangan dengan meletakkannya kebelakang. Daren nampak menyunggingkan sebelah bibirnya keatas, dengan pandangan yang terus mengarah ke depan. "Memang, apa yang akan aku lakukan sampai kau ingin sekali menemaniku?""Tidak ada Tuan, saya hanya menghawatirkan anda," balas El."Cih! Menghawatirkan!""Benar Tuan, saya juga ingin mengatakan sesuatu kepada anda." "Apa?" "Bukankah bagus, jika Tuan mengetahui kelakuan wanita itu yang sebenarnya?" ucap El dengan wajah datar dan tangan yang bersiaga di belakang. Waspada, jika tiba-tiba saja Daren tidak suka dengan ucapannya."Apa maksud ucapanmu El?"tanya Daren. Pria tampan dan arogan itu sudah berkacak pinggang dengan tatapan mata yang semakin menyala. Sungguh di luar dugaan. El pikir, Daren akan langsung mengerti akan ucapannya. Nyatanya tidak."Seperti apa yang sudah saya jelaskan barusan Tuan!" balas El dengan tenang dan santai."Mau ku hajar kau El? Memang kau menjelaskan apa padaku?" bentak Daren. ia sungguh sudah sangat kesal pada El."Tidak Tuan! Maafkan saya!" jawab El dengan menundukkan sedikit badannya."Jelaskan!" Daren menegaskan."Baik tuan!" jawab El. Dan El pun mulai menjelaskan apa maksud dari semua ucapannya pada Dareen. Hingga-"Tapi, aku sangat mencintainya El?" ucap Daren datar, dengan rahang mengeras.El tampak tersenyum kecil, senyum antara mengejek dan kasihan pada tuannya yang masih belum bisa melupakan cinta pertamanya, "apakah wanita seperti itu pantas untuk dicintai?"Daren terdiam seketika saat mendengar pertanyaan yang terlontar dari mulut El untuknya. Hingga kemudian, "tidak! Ini adalah kebodohan! Aku sudah bertindak bodoh dengan mencintai wanita pengkhianat itu!" tangan Daren mencengkram erat batu batu yang masih berada di tangannya, kala ia mengingat seorang wanita yang sudah mengacaukan hatinya."Aaaaaa..., Akan ku balas kau!!!" Teriak Dareen, seirama dengan gerakan tangannya yang melemparkan batu, "aku benci wanita! Aku membenci semua wanita yang ada dimuka bumi ini," ucap Daren kesal, dengan raut wajah yang tidak mengenakkan."Terserah anda Tuan!" El mengedarkan pandangannya, lalu menatap Daren dengan lekat, "tapi, saya sarankan agar Tuan jangan membenci semua wanita.""Kenapa?""Karena, Eyang anda seorang wanita, Tuan!" Duarrr!Bagai tersambar petir Daren mendengar jawaban El. Pria tampan yang penuh dengan emosional itu langsung menendang kaki El cukup keras hingga El terdengar meringis kesakitan.
"Ssssssh...""Kau pikir aku bodoh hah?" tanya Daren pada El. Bagaimana mungkin ia akan membenci Eyangnya sendiri! Eyang yang sudah merawatnya dari Daren remaja hingga kini ia dewasa."Tidak Tuan!" jawab El singkat."Kenapa aku harus membenci Eyangku sendiri hah?" tanya Daren dengan menajamkan matanya, mengarah pada wajah El."Karena Eyang anda seorang wanita Tuan," jawab El, ia berujar seolah tanpa salah dan dosa.Duarrr!Sepertinya, petir datang menyambar disekitar mereka berkali kali. Daren benar-benar sangat kesal dibuat El. Disaat hatinya yang penuh dengan amarah dan kekesalan mulai membaik dan sedikit terhibur karena kehadiran El, sekarang ia malah sangat kesal karena El pula.
Ingin rasanya Daren melempar El ke dasar danau terdalam yang berada dihadapannya. Namun, rasanya tidak mungkin! El adalah orang kedua yang mampu mengendalikan amarah dan kekesalan Daren setelah Eyang Putri. Eyangnya sendiri. Mereka berdua dibesarkan dalam lingkungan yang sama. Hanya saja berbeda nasib dan keberuntungan. Dimana Daren adalah seorang Tuan Muda, anak dari keluarga terpandang nan kaya raya. Sedangkan El, ia adalah anak dari orang kepercayaan Tuan Besar, yang tak lain adalah almarhum ayah dari Daren. Mereka berdua, tumbuh bersama sedari kecil, hingga keduanya begitu dekat dan saling memahami satu sama lain. Saking dekatnya, tidak jarang, El bisa tahu apa yang diinginkan oleh Daren, walaupun Daren tak mengatakannya sama sekali."Dan..., Satu lagi Tuan!" ternyata, ucapan El masih belum selesai. 'Mau mengatakan apa lagi dia?' pikir Daren bertanya-tanya."Apa?""Kedua adik anda juga seorang wanita Tuan!" Daren benar-benar dibuat kesal oleh El, dan tanpa basa basi ataupun ancang-ancang, Daren memukul dada, lengan, perut, juga menginjak kaki El. Hingga seketika itu juga, El jatuh dengan posisi berlutut di hadapan Daren."Kau mau mati El?" ucap Daren dengan nada bicara yang menjadi semakin dingin. Jangankan raut wajah bersahabat, raut wajah datar pun kini sudah tak terlihat lagi.Ucapan yang selalu terngiang-ngiang di benak semua orang yang berurusan tidak baik dengannya telah Dareen ucapkan.
"Kita pulang sekarang Tuan?" ajak El, mengalihkan pembicaraan, dan menghentikan kekesalan Daren yang pastinya akan terus berlanjut, jika El, tak segera mengajak Daren untuk pulang. Walaupun dengan kondisinya yang sudah babak belur karena hantaman dari Daren."Hmm...," jawab Daren. Ia tidak memperdulikan kondisi El yang meringis kesakitan dengan tangan memegang dadanya. Begitupun dengan El, yang sama sekali tidak memperdulikan rasa sakit yang ia rasakan. Bagi El, mendapat perlakuan seperti itu dari Daren, sudah menjadi hal biasa yang sering ia terima.Dengan kondisi sebelah tangan memegangi dada, El langsung mempersilahkan Daren untuk berjalan tepat didepannya. Daren pun berjalan sesuai dengan apa yang diintruksikan oleh El lewat gerakan tangannya yang sebelahnya lagi. Namun entah karena Dareen sedang melamun atau apa? Tiba tiba saja Daren menabrak seseorang dengan cukup keras, tepat dihadapannya. El nampak kaget, karena sepertinya, ia juga sedang tidak berkonsentrasi saat berjalan mengawal Daren."Aww..." pekik seseorang didepan Daren, yang dari suaranya saja, bisa Daren ketahui, jika suara itu, adalah suara dari seorang wanita."Aaaa!" Teriak seorang wanita. Ia berteriak karena barang barang yang ia bawa, jatuh berserakan ke tanah setelah Daren menabraknya.Geram dan kesal, itulah yang sedang Daren rasakan saat ini. Ia bahkan mengepalkan tangannya sambil menatap ke arah wanita itu, "kau mau mati ya!" raut wajah Daren datar dan sorot matanya tajam. Ia menatap wanita itu dengan tatapan penuh dengan ketidaksukaan.Bersambung..."Ya, aku memang mau mati! Dan kau sudah mengabulkan keinginanku!" bentak gadis itu penuh dengan amarah, membalas tatapan mata Daren tak kalah tajam. Daren membelalak mata saat mendengar jawaban berani yang keluar dari bibir gadis itu. Seperti menemukan sesuatu yang baru, yang baru saja ia temui dalam hidupnya. Itulah yang saat ini Daren rasakan. "Apa? Apa? Kenapa matamu melotot seperti itu hah?" tanya gadis itu dengan nada kesal dan marah, menatap ke arah Daren, dengan wajah sinis, "kau tau? Matamu besar, seperti mau keluar!" lanjut gadis itu. Bisa-bisanya pria itu melotot dengan sebegitunya, padahal jelas jelas dia yang salah. Pikir gadis berseragam putih abu. Mata merah, rahang mengeras, bahkan terdengar suara gigi yang saling beradu, dan tangan yang mengepal geram, Daren tunjukkan pada gadis yang menatapnya tanpa rasa takut. "Kenapa kau malah semakin mengeluarkan matamu seperti itu hah?" tanyanya lagi, "Aku tidak mau tau, kau harus
"Cepat ganti rugi sekarang!" Teriak Daren. "Tidak mau!" tolak Zoya tak kalah berteriak. "Ternyata kau memang mau berurusan dengan polisi!" Daren mencoba menakuti Zoya dengan ancamannya. "Laporkan saja! Lagi pula, aku sama sekali tidak takut dengan ancamanmu itu," jawab Zoya, dengan sisa keberanian yang ia punya. "KAU!" tunjuk Daren pada Zoya, dengan sorot mata tajam, setajam mata elang yang akan menerkam mangsanya. "El?" sambung Daren seraya memanggil asisten setianya. "Saya Tuan!" jawab El, yang langsung menyahut saat Daren memanggil namanya. Dengan gerakan perlahan, El merogoh saku celananya, entah apa yang akan dia lakukan, tapi Zoya terlihat bingung dengan makhluk Tuhan yang satu ini. Dia melakukan hal yang tidak diperintahkan sama sekali oleh Daren. 'Hah, mengambil hp saja harus dengan drama!' ejek Zoya dengan tatapan tanpa suara yang keluar dari mulutnya. "Sek
"Aaaaaa...," Teriak Zoya setelah kepergian Daren dan El, yang menyisakan kesal mendalam untuk gadis pemilik nama Ananda Zoya itu. "PRIA ANEH! PRIA GILA! PRIA TIDAK BERPERASAAN! AKU BENCI KALIAN!!!" Mengatai, memaki dan meneriaki orang yang tidak ada di dekatnya sama sekali. Membuat napas Zoya terengah-engah. Bahkan, wajahnya sampai memerah. "Memangnya dia itu siapa? seenaknya saja mengatur-atur hidupku!" tanya Zoya mulai melemah, dengan Isak tangis yang mulai terdengar, "apa yang harus aku katakan pada ibu ku nanti? Huaaaaaa..., aku bahkan tidak berani untuk pulang ke rumah!" lanjut Zoya sambil memandangi kue-kuenya yang sudah kotor karena terjatuh. Zoya memunguti kue basah nya satu persatu, mengambil yang masih bisa ia selamatkan. Namun, gerakan tangannya terhenti, saat sepasang bola mata Zoya melihat buku yang dipeluknya erat dengan sebelah tangan. Air mata Zoya bercucuran, isakan itu, berubah menjadi tangisan, tangisan yang menyayat
Byuuuurrr!Ibu mengguyur wajah Zoya dengan segelas air ditangannya.Zoya begitu kaget, ia yang sedang tak sadarkan diri pun, mengerjapkan matanya sambil mengusap usap kasar wajah yang kini telah basah kuyuk, karena air yang diguyurkan oleh ibu.e Ternyata apa yang baru saja Zoya alami hanya mimpi. Cahaya! Sentuhan itu! Sentuhan menghangatkan yang terasa sangat nyata itu, semuanya hanya mimpi."Enak sekali kamu ya? sudah membuatku rugi, dan sekarang kau malah enak enakan tidur dilantai seperti ini! Kau memang anak tidak tahu diri!" ucap ibu penuh dengan emosi, padahal ibu tahu sendiri, jika Zoya tak sadarkan diri tadi, bukan sengaja menidurkan diri disini. Pikir Zoya. Akhirnya Zoya pun memilih untuk tak merespon semua ucapan ibunya walaupun ia terkejut. Ingatan dan pikirannya masih tertuju pada seberkas cahaya yang membuatnya merasakan kehangatan- -"Kehangatan seorang ibu," gumam Zoya, "ya, sentuhan itu begitu meng
Zoya mengerjapkan mata saat terbangun dari tidurnya. Melihat jam dinding saat matanya sudah mulai terbuka dengan sempurna dan nyawanya sudah terkumpul seutuhnya, "masih jam 03.45 dini hari," gumam Zoya setelah melihat jam.Rasa lelah karena terus menangis semalaman masih menyerbu tubuh Zoya. Namun semua itu tak mengurungkan niat Zoya untuk terbangun. Zoya bangun dari kasur lepek yang membuat tubuhnya sedikit sakit, melangkahkan kakinya menuju kamar mandi untuk menggosok gigi dan membasuh wajahnya.Saat sudah keluar dari kamar mandi, seperti biasa, Zoya selalu mengerjakan semua pekerjaan rumah sebelum ia berangkat ke sekolah. Tapi pagi ini, Zoya bangun lebih awal dari biasanya, mungkin..., Karena sebuah janji yang harus Zoya tepati pada seseorang yang kemarin telah menjadi Tuannya secara tiba-tiba."Jika saja pria aneh dan gila itu tidak menyuruhku untuk datang ke rumahnya pagi pagi sekali, aku tidak akan bangun sepagi in
"Apa benar ini rumahnya?" Zoya membulatkan mata sambil membungkam mulutnya dengan kedua tangan saat tiba di sebuah rumah mewah yang sangat besarvdan megah. Ber cat putih dengan begitu banyak pilar pilar indah yang menjulang tinggi, yang jumlahnya tak terhitung oleh Zoya."Apa aku tidak salah rumah?" tanya Zoya pada dirinya sendiri sambil melihat lagi alamat yang tertulis dalam kartu nama yang diberikan oleh El, "aah..., Benar, ini memang rumahnya. Ternyata pria aneh itu memang orang kaya, bagaimana bisa aku berurusan dengan pria seperti itu," gumam Zoya didepan pintu gerbang yang menjulang tinggi. Seketika nyalinya menciut, saat tiba tiba saja Zoya membandingkan dirinya dengan pemilik rumah besar ini, yang tak lain adalah Dareen.Dengan gerakan ragu, Zoya menggerak-gerakkan kunci gerbang dengan cukup keras, melirik kesana dan kemari sambil memperhatikan sekelilingnya, "permisi...," ucap Zoya beberapa kali.Terlihat seora
"Ayo turun!" ajak Dareen kemudian, yang ternyata membuat dua orang wanita berbeda generasi yang sedang asik berbincang di bawah sana menoleh, menatap El dan Dareen secara bergantian."Bocah itu!" gumam El setelah Zoya menunjukan ekspresi wajahnya yang menyebalkan, menatap kearah tangga, dimana ia dan Dareen kini berada, "sial! Kenapa aku bisa lupa kalau Tuan menyuruhnya untuk datang ke rumah ini kemarin!" lanjut El yang mengerutuki kebodohannya."Kau melupakannya El?" tanya Dareen saat melangkahkan kakinya menuruni tangga satu persatu dengan tubuh yang tegap dengan salah satu tangan yang dimasukkan kedalam saku celananya. Berjalan dengan lagak angkuh dihadapan Zoya. Diikuti dengan El yang berjalan dibelakangnya."Ya Tuan , maafkan saya!" balas El.Dareen menyunggingkan sebelah bibirnya. "Wanita memang pantas untuk dilupakan!""Cih! Sombong sekali dia! Memangnya dia itu siap
Zoya memperhatikan semua pelayan yang ada di ruangan tersebut, mereka semua melayani majikan mereka dengan sangat hati hati. Perlahan Zoya pun mengikuti apa yang para pelayan lainnya kerjakan. Dengan membalikkan piring yang berada di hadapan majikan mereka dan Mengambilkan roti untuk diolesi."Maaf Tuan, anda mau selai rasa apa untuk olesan roti nya?" tanya Zoya, ia tidak ingin salah saat melayani Dareen. Karena jika Zoya melakukan kesalahan walaupun hanya sedikit, sudah pasti Dareen akan memaki dan menyalahkannya dengan kata kata pedas yang keluar dari mulutnya. Tragedi pukul 06.00 masih belum terselesaikan, dan jika sekarang Zoya melakukan kesalahan lagi, entah apa yang akan Dareen lakukan padanya."El?" bukannya menjawab pertanyaan Zoya, Dareen malah memanggil El yang berada di sebelah Dareen."Baik Tuan!" sahut El.Zoya menyunggingkan sebelah bibirnya ke atas, 'Dih, apa-apaan dia ini! Baik
Harapan dan doa yang buruk dari orang yang buruk pula hatinya, tak mampu membuat doa yang ia panjatkan menjadi kenyataan. Setelah Daren berhasil menemukan sumber air yang membuat lelah dan dahaganya seketika hilang, Daren memberikan Zoya sebuah air yang ia bawa dengan tangannya sendiri.Sedikit demi sedikit. Walau berceceran dan selalu sedikit yang tersisa untuk di berikan kepada Zoya. Namun, Daren telah berhasil membuat Zoya sadar dari pingsannya yang cukup lama.'Uhuk! Uhuk!'Suara yang keluar dari tenggorokan Zoya, membuat Daren senang bukan main. "Kau sadar, Zoya?!" tanya Daren saat Zoya terbatuk. Matanya masih belum terbuka. Namun Daren sudah tak sabar untuk mengeluarkan suara dan bertanya bagaimana keadaannya.'Uhuk! Uhuk!'Zoya masih terbatuk.Daren menepuk-nepuk punggung Zoya sambil mengelusnya perlahan. "Kau tidak apa?" tanya Daren. "Ayolah, jawab aku. Aku begitu mengkhawatirkan dirimu!" lanjutnya berucap.Perlahan-lahan, kesadaran Zoya mulai kembali. Matanya pun mulai ter
Jatuh dan tergelincir, sudah tidak Daren rasakan lagi betapa kaget dan sakitnya seluruh badan. Demi bisa sampai ke tempat tujuan, Daren memaksakan diri menyusuri jalanan menurun yang akan membawanya ke tepian sungai."Jika bukan karena dahagaku, aku tidak akan mau berjalan sambil menggendong gadis ini. Walau dia tidak berat, tapi dia cukup menyusahkan langkahku," gerutunya setelah ia terjatuh dan bangkit lagi dengan tangannya sendiri.Daren mengeluh, ia menggerutu. Namun, hanya di mulut saja. Hatinya benar-benar ikhlas melakukan itu semua, demi dahaganya yang harus segera di aliri air, juga demi kesadaran Zoya. Tanah dan lumpur mengotori hampir seluruh tubuh Daren. Seakan tak ingin tertinggal, wajahnya pun ikut merasakan bagaimana rasanya terkena lumpur saat Daren mengusap keringat yang bercucuran dari kening hingga ke pipinya.Daren tak peduli, setelah ketemu sungai nanti, ia sudah berjanji akan membersihkan diri. "Hei, apa kau tidak kasihan padaku? Lihat aku, aku kelelahan. Aku k
"El! El! Dimana kau? Cepat bantu aku!" teriak Daren saat ia dengan susah payah sudah berhasil melewati jurang curam yang membuat Zoya terjatuh dan tak sadarkan diri, dengan melewati dan mencari jalan lain.Tidak ada tanggapan dan jawaban dari sosok yang Daren panggil. Matahari sudah mulai meninggi, Daren mulai dehidrasi, apalagi dengan gadis yang ada di pangkuannya saat ini, sudah pasti, kondisi gadis itu jauh lebih buruk dari kondisi Daren yang masih bisa mengangkat beban tubuh Zoya. "Bertahanlah! Kau pasti bisa!" ucap Daren menyemangati Zoya yang masih tak sadarkan diri. Perjalanan cukup jauh, hingga saat ini, Daren baru menemukan jalan di mana ia dan El berpisah subuh tadi."El...." teriak Daren kembali. Kali ini, teriakannya begitu nyaring, hingga tenggorokan Daren terasa kering. "El...." Jika kali ini El tidak mendengar teriakan Daren. Maka sudahlah, jangan harapkan Daren bisa berteriak kembali, karena kerongkongannya setelah berteriak, kini terasa benar-benar kering."Ah, ten
"Uh..., Kalajengking sialan!" umpat Daren saat dirinya sudah berhasil menuruni tanah yang terjal tersebut. Dilihatnya tangannya sendiri yang terasa sangat perih dan gatal. Dan ternyata, tangannya membengkak dan memerah. Mungkin, itu adalah efek dari gigitan kalajengking tadi.Kembali Daren memfokuskan dirinya pada pencariannya pada Zoya yang sampai saat ini masih belum ia temukan."Zoya..." Teriak Daren begitu kencang dan menggelegar. Hingga para hewan kecil keluar dari persembunyiannya."Hei Zoya! Dimana kau gadis bodoh?" Teriaknya lagi dan masih belum mendapatkan jawaban. Lalu, pandangannya tertuju pada sesosok tubuh yang tergeletak tak berdaya dengan tubuh penuh tanah dan luka.Zoya, gadis itu terkapar diantara pohon beringin besar dan daun daun yang sudah mengering."Zoya!" Secepat kilat Daren menghampiri Zoya yang tengah terkapar tak sadarkan diri.
Doa kembali Zoya panjatkan pada Tuhan, sang pencipta alam dan segala isinya. Ia berdoa agar siapapun bisa menemukannya dengan segera. Kakinya sudah tak mampu lagi menopang tubuh, di tambah dengan tangannya yang ternyata masih mengeluarkan sisa-sisa darah dari injakan kaki Mayra tadi. "Ya Tuhan, aku mohon... Siapapun tolong aku. Aku akan menikahinya jika dia adalah seorang laki-laki. Tapi, setelah aku lulus sekolah. Dan akan aku jadikan dia saudara, jika dia adalah seorang perempuan," ujar Zoya pasrah. Gadis itu membuat janji dengan Tuhan sesuka hatinya, tanpa memikirkan bagaimana nasib kedepannya. Tentang masa depannya, tentang bagaimana menjalaninya. Akankah ada yang akan datang membantunya atau bahkan tidak. Mengingat ini adalah hutan, dan Zoya hanya sendirian di sana. "Tapi, apakah yang menolongku itu akan mau, jika yang akan dinikahinya atau di jadikan saudaranya adalah seorang gadis miskin yang waj
"Apa kubilang El! Kau memang bodoh! Kenapa kau melarang ku menyusul mereka tadi hah!" Daren geram. Di cengkeramnya kerah baju El dengan sangat kuat, hingga buku-buku tangan Daren terlihat memutih, saking geramnya. "Maafkan saya Tuan!" tunduk El. El sama sekali tidak berani menegakkan kepalanya, apalagi menatap mata Daren, atas apa yang El katakan padanya. "Maaf kau bilang? Beraninya kau meminta maaf setelah mengabaikan perasaanku tadi," dihempaskan pula dengan kencang baju El. Pria tampan berambut hitam pekat itu seketika terbatuk, saat Daren melepaskan cengkraman tangannya. "Apa dengan meminta maaf, semua akan kembali?" Sedangkan Delia dan Delina, serta Gio dan teman sekelompoknya. Mereka semua berdiam mematung setelah menceritakan jika Zoya menghilang dan terpisah dari rombongan. Apalagi saat melihat reaksi Daren yang ternyata di luar dugaan. Sangat marah saat mengetahuinya. Mereka semua tidak ada yang bera
"Eh, apa ada yang melihat kak Zoya?" tanya Delia yang baru saja menyadari jika Zoya sedari tadi tidak bersamanya. Semua orang memandang ke arah Delia. Lalu saling pandang satu sama lain. "Bukankah Zoya selalu bersama Anda, Nona?" ujar Gio membalikkan pertanyaan pada Delia. Delia menggeleng, "memang! Tapi setelah teriakan itu, aku langsung berlari mengikuti kalian, dan melepaskan peganganku dari tangan kak Zoya," jawab Delia sedikit gemetar. Lalu ia alihkan pandangannya pada Delina yang nampak acuh tak acuh dengan ketidakadaannya Zoya di dalam rombongan mereka. "Kenapa kau melihatku?" tanya Delina sinis, "aku memang tidak menyukainya. Tapi aku tidak melakukan apa-apa. Aku juga tidak tahu kalau dia tidak bersama kita!" sambungnya dengan penuh penekanan. Dan Delina berkata jujur apa adanya. Tanpa ada yang dia sembunyikan. "Bagaimana ini kak Gio, kak Andi?" reng
Zoya berjalan mundur beberapa langkah, "jangan kau pikir aku ini bodoh Mayra! Apa yang kau rencanakan padaku hah?" tanya Zoya tanpa basa-basi. Mayra tertawa, sedang Zoya mengerutkan keningnya. "Kenapa kak? Apa kau takut kakak!" tanya Mayra dengan menekankan perkataannya. Membuat Zoya yakni jika Mayra memang sedang merencanakan sesuatu yang buruk padanya. "Ma-mau apa kau Mayra?" tanya Zoya bergetar. Mayra terus berjalan perlahan mendekatinya. Semakin dekat, dan terus mendekat. Sedangkan Zoya, gadis itu juga terus berjalan mundur menjauhi Mayra. Nyali Zoya semakin menciut kala melihat wajah Mayra yang terlihat seperti seorang pembunuh kala mengeluarkan tawanya. Walaupun Zoya tau, jika Mayra adalah adiknya sendiri. Tapi kenapa? Kenapa Mayra ingin berbuat jahat padanya? Pikir Zoya. "Ak-aku mohon Mayra! Apa yang akan kau lakukan padaku? Aku ini kakakmu, kau adikku. Kita ini bersaudara Mayra!" ujar
"Kau gila El! Kenapa aku tidak boleh ikut bersama mereka hah?" ungkap Daren setelah kepergian para anggota perkemahan. "Karena mereka akan merasa tidak nyaman saat bersama Anda Tuan!" jawab El tanpa basa-basi. Tuannya itu sedari tadi terus mengomelinya karena El tidak menyarankannya untuk mengikuti mereka. "Ah!" Daren frustasi. Pria tampan penuh kharismatik itu menjambak rambutnya sendiri karena kesal dengan jawaban El. *** "Kak Zoya? Aku takut!" rengek Delia sambil menggandeng lengan Zoya erat. "Tenanglah Nona. Tidak akan ada apa-apa di sini!" ujar Zoya menenangkan. Gadis itupun akhirnya sedikit lebih tenang. Walaupun tangannya masih enggan untuk melepaskan lengan Zoya. Menempel terus seperti lem. "Delia, kenapa kau terus menempel padanya?" tanya Delina dengan nada kesal. Namun, yang di tanya terlihat enggan untuk menjawab