Queen menarik selimut, menutupi tubuh polosnya hingga ke ujung dagu. Meringkuk di ranjang hotel yang empuk, sembari menahan perih di antara kedua pahanya. Sudut matanya melirik pria bertubuh tinggi tegap yang tengah mengancingkan kemeja bercorak garis hitam dan putih.
"Tuan ... Rafael ...," lirih Queen, suaranya terdengar gemetar.
Rafael menoleh sebentar. Setelah semua kancing terpasang dengan rapi, ia mengambil sesuatu dari balik saku jasnya. Menuliskan nominal seratus lima puluh juta rupiah, lantas membubuhkan tanda tangan di sana.
"Anggaplah malam ini tidak pernah terjadi. Jangan sampai ada yang tahu, apalagi sampai terendus media." Rafael berucap tegas, tidak ada keraguan sedikit pun.
***
Ya, aku memang bodoh. Tidak seharusnya aku terjatuh ke dalam pelukan pria penuh pesona itu. Bagaimana tidak, pria bernama Rafael itu terlalu pandai memerangkap seorang wanita dalam sebuah gairah yang tidak berkesudahan. Kenikmatan sesaat, yang pada akhirnya menyeretku ke jurang penderitaan.
Aku layaknya seekor kelinci yang takluk oleh seorang pemburu. Seolah aku adalah permainan yang menyenangkan baginya. Dia ... memperalatku. Dan ia tidak peduli sekalipun kelinci perlahan mati di dalam genggaman tangannya. Aku ... tidak berdaya.
- Queen -
***
Aku menemukan permainan baru. Aku tertarik padanya? Sama sekali tidak! Aku bahkan bisa menemukan wanita yang segalanya melebihi dia. Dan lagi, aku memiliki kekasih yang membuatku tidak ingin berpaling pada wanita lain.
Tapi, harus aku akui jika gadis bernama Queen itu sangat istimewa. Wajah polos yang ceria. Jemari lentiknya piawai memainkan tuts-tuts piano, menciptakan nada-nada yang merasuk hingga ke dalam hati.
Sekali lagi, aku tidak tertarik padanya. Aku hanya memanfaatkannya. Namun akhirnya, aku menjatuhkannya... Aku ... melukainya. Ya, katakanlah aku memang pria brengsek. Tapi, jangan pernah menyalahkanku. Salahkan dia karena berani bermain api, hingga akhirnya terbakar dan hancur lebur menjadi abu.
- Rafael -
"Masuklah, Queen. Jangan sungkan, anggap saja rumah sendiri." Joshua membuka pintu, sementara seorang gadis berambut panjang berjalan membuntutinya."Thanks." Queen mengedarkan pandangan ke penjuru ruangan.Sejak turun dari mobil milik Joshua, Queen sudah berdecak kagum melihat rumah klasik bergaya Eropa. Bangunan mewah berlantai tiga dengan pilar-pilar kokoh itu milik keluarga Alexander, ayah Joshua. Seorang pengusaha sukses yang bergerak di berbagai bidang, mulai dari perhotelan, penerbangan, hingga pertambangan."Duduklah. Mau minum apa?""Jo, aku tidak bisa lama-lama di sini." Queen memperingatkan."Aish ... jangan sungkan. Tenang saja, Mom dan Dad sedang tidak di rumah.""Bukan itu, tapi Mama tidak suka melihatku pulang terlalu malam.""Queen, harusnya kau protes pada ibumu. Umurmu sudah dua puluh dua tahun, bukan bayi lagi.""Jo!"Joshua terkekeh, mengempaskan pantat di atas sofa, tepat di samping Queen. "Aku berca
Sial! Berkali-kali Queen merutuk dalam hati. Siapa arsitektur yang mendesain rumah milik keluarga Alexander? Kenapa harus dibuat semewah dan serumit ini? Apa sebelumnya mereka tidak mempertimbangkan jika rumah sebesar ini bisa membuat orang baru tersesat?Queen menghela napas kasar. Ia menghentikan langkah, lantas menatap lukisan burung merak di dinding sebelah kanan. Beberapa saat lalu, ia melihat lukisan serupa, begitu pula dengan meja kecil di sudut ruangan. Tiga pot kaktus kecil tertata rapi di meja. Artinya, sejak tadi Queen hanya memutari rumah ini. Queen tersesat dan tidak tahu di mana jalan keluarnya.Seharusnya Queen membiarkan Joshua mengantarnya pulang, setidaknya sampai di pintu gerbang. Ia bergegas mengambil ponsel dari saku celana, lalu mendial nomor Joshua. Sialnya, Joshua mengabaikan panggilan Queen. Barangkali pria itu tidak mendengar dering ponselnya.Queen memutuskan melanjutkan langkah tanpa Joshua. Ia berharap bertemu dengan seseorang yang bisa
Queen menggigit bibir bawahnya, lantas memalingkan wajah. Sebenarnya, Joshua pernah melakukan hal semanis ini, tetapi Queen merasa itu biasa. Akan tetapi, ketika pria asing bernama Rafael melakukan hal yang sama, Queen justru merasakan efek besar di dalam dirinya.Terlebih saat Rafael mengatakan kalimat terakhir. Ada perasaan membuncah di dalam hati Queen, lantas berefek pada kedua pipi yang memanas. Ah, sebesar itukah daya tarik yang dimiliki Rafael?Tidak! Queen tidak boleh terpengaruh. Pria mesum seperti Rafael sangat berbahaya. Ingat kalimat pertama yang terlontar dari mulut pria itu saat bertemu dengan Queen? Hem ... typical pria mesum yang senang bergonta-ganti pasangan."Kau semakin terlihat cantik dengan pipi merona seperti itu."Queen memalingkan wajah, lalu melanjutkan langkah yang tertunda. Ucapan-ucapan Rafael semakin membuat Queen melambung tinggi. Terdengar manis seperti madu, tapi Queen yakin jika sebenarnya pria itu sudah mencampurkan
Rafael meletakkan ponsel di atas meja. Kedua sudut bibirnya tertarik ke atas, menampakkan sebuah kepuasan. Puas karena merasa berada di atas angin. Sebentar lagi, kelincinya akan takluk di dalam genggaman."Kau tersenyum seperti orang yang sedang jatuh cinta." Teman Rafael yang bernama Aldric, berkomentar."Jatuh cinta? Jangan konyol." Rafael menghirup aroma kopi di dalam cangkir, lantas menyesapnya. Menikmati perpaduan antara rasa manis dan pahit yang membasahi tenggorokan."Kau benar-benar tahu jika gadis itu sedang memeluk jas dan menghirup aroma tubuhmu?""Aku hanya menebaknya. Gadis polos seperti dia persis seperti buku yang terbuka, setiap lembarnya mudah untuk dibaca. Permainan segera dimulai.""Aish ... dasar serigala!" Aldric menggeleng-gelengkan kepala, tidak menyukai kelakuan sahabatnya. "Sebaiknya kau pikirkan lagi, dia tidak pantas menjadi korban hanya karena dia gadis yang dicintai adikmu.""I don't care. Toh Queen tidak sep
Tuan PemaksaHai, Nona Manis. Aku akan menjemputmu tepat jam 7 malam. Di mana aku harus menjemputmu? Di rumah? Di toko roti?Queen membanting ponselnya ke atas meja. Apa ia harus memblokir nomor Rafael agar Tuan Pemaksa itu tidak bisa menghubunginya lagi? Ah, bukan pilihan tepat. Itu justru akan membuat Rafael bertindak semaunya sendiri.Lagi-lagi terdengar bunyi beep dari ponsel. Rafael tidak mudah menyerah. Apa sebenarnya tujuan Rafael mendekatinya? Karena tertarik? Queen menggeleng, tidak mungkin. Pria seperti Rafael tidak akan menyukai gadis polos seperti Queen.Tuan PemaksaTidak dibalas? Oke, aku akan menjemputmu di toko. Jika kau tidak menungguku di sana, aku akan datang ke rumahmu. Bertemu dengan calon ibu mertua bukanlah ide buruk.Gila! Apa kata Maura seandainya pria asing datang ke rumah untuk menjemput putrinya? Terlebih pri
Queen menahan napas saat Rafael menyentuh sisi lehernya. Sentuhan ringan itu membuat syaraf-syaraf tubuhnya menegang. Baru kali ini ada lelaki yang berani menyentuh Queen secara intens. Ah, perasaan macam apa ini, desiran di dalam darahnya terasa begitu asing.Di saat Queen masih sibuk memikirkan gejolak di dalam dirinya, tanpa diduga Rafael menunduk dan wajahnya semakin mendekat dengan Queen. Lantas, pria itu dengan lancang mengecup bibir gadis di hadapannya!Queen terbelalak. Ciuman pertamanya! Direbut secara paksa oleh lelaki brengsek yang tidak disukainya! Rafael kurang ajar! Refleks, Queen mendorong Rafael, lalu melayangkan tinju ke wajah pria itu.Rafael yang tidak menduga akan mendapat serangan mendadak, mundur selangkah sembari memegangi pipi. Luapan gairah beberapa saat lalu, digantikan rasa nyeri di wajahnya. Damn!Ternyata Queen bukan hanya polos, melainkan juga liar! Di saat semua wanita berebut ingin mendapat ciuman Rafael, Queen justru
Queen menghela napas kasar, menekan button pause di layar laptop. Drama Korea yang sedang ditonton sangat membosankan. Ah, bukan drama yang membosankan, tapi kissing scene yang membuat Queen jengkel. Demi apa, keromantisan itu mengingatkan Queen pada ciuman Rafael.Refleks, Queen menyentuh bibir. Seharusnya, ia memberikan ciuman pertamanya pada lelaki yang ia cintai, bukan pria asing yang menyebalkan. Sudah dua hari sejak peristiwa itu terjadi, dan untungnya Rafael tidak pernah mengganggu lagi. Barangkali pukulan di wajah Rafael membuat pria itu jera.Bunyi beep di ponsel membuat Queen mengalihkan perhatian dari laptop. Dengan cekatan jarinya mengusap layar ponsel. Pesan singkat dari Maura.MamaSebelum tidur jangan lupa mengunci pintu dan jendela. Mama pulang besok sore.Sejak siang tadi, Maura pergi ke luar kota. Kebetulan ada undangan di sebuah acara demo mas
Pernahkah kalian membayangkan berada di dalam kuasa seorang pria berwajah tampan serupa Dewa Yunani? Rahang tegas dengan bulu-bulu halus yang tercukur rapi, dan hampir seluruh bagian wajah terukir sempurna, tanpa cela sedikitpun. Lalu, mata tajam yang tiba-tiba berubah menjadi sayu, seolah tengah menawarkan sebuah kesepakatan, 'Hello, Baby Girl! Please, come to me! Tenang saja, aku tidak akan menyakitimu.'Harus Queen akui, Rafael terlalu pandai menguasai seseorang hanya dengan menatap matanya. Tatapan tajam dan menghunjam jauh di kedalaman mata lawannya. Seperti virus mematikan, dengan cepat menyebar hingga membuat lawan takluk di tangannya."Ahhhh ...." Desahan itu lolos begitu saja dari bibir Queen, saat lidah Rafael dengan nakal menyusup lebih jauh melewati bibir Queen.Jadi ini rasanya berciuman? Tolong, Queen bahkan tidak tahu bagaimana ia harus mendefinisikan rasa nikmat yang menggelenyar di sekujur tubuh. Yang ia tahu, ia merasakan panas,
“Untuk kesekian kalinya, aku minta maaf pada kalian.” Alexander membuka pembicaraan. Duduk di meja kerja sembari menatap anak-anak di hadapannya bergantian.Queen duduk di antara Rafael dan Joshua. Ia memenuhi undangan Alexander untuk mendengarkan lelaki itu menyelesaikan permasalahan.“Rafael dan Joshua, Papa ingin kalian mengakhiri permusuhan. Cukup sampai di sini. Jangan ada yang menjadi korban untuk kesekian kali.”“Tidak semudah itu,” bantah Rafael.“Rafael, jangan bersikap egois. Kau boleh membenci Papa, jika kau ingin membalas dendam, hancurkan Papa, karena Papa awal mula kejadian ini. Papa akui, Papa yang salah.”“Harusnya Papa mengatakan itu di depan Mama.”“Raf, bukankah setiap manusia pasti pernah berbuat khilaf dan dosa? Pun denganmu yang pernah dengan tega membatalkan pernikahanmu dengan Queen, lalu tanpa perasaan berusaha menggugurkan bayi di kandungan Queen.”“Aku menyesal, Pa.”“Kau pernah salah langkah, begitu pu
“Selamat malam, Neesha. Belum tidur?” Aldric melangkah menghampiri Neesha yang sedang asyik bermain piano.“Malam, Uncle. Neesha belum mengantuk, masih menunggu siapa tahu sebentar lagi Papa datang menjemput Neesha. Neesha kangen Papa.”Aldric mengelus rambut panjang Neesha dengan lembut, kemudian ia menunduk dan menyejajarkan posisi wajah dengan bocah perempuan itu. “Main pianonya bisa istirahat sebentar? Ada seseorang yang ingin bertemu Neesha.”Kaneesha mendongak dengan mata berbinar. “Papa yang datang kan?”Aldric menggeleng perlahan. “Bukan, Sayang.”“Yaaaah … ternyata bukan Papa.” Seketika binar indah di mata Kaneesha meredup.“Sabar ya, Nak. Papamu masih membutuhkan waktu.”“Sampai berapa lama? Papa sudah terlalu lama di luar kota.”“Emmm … tunggu saja. Ah ya, kata Alsen, selama ini Neesha ingin punya kakek dan nenek, ‘kan?”“Yeah, Neesha iri pada Alsen. Alsen punya mama yang baik, tidak seperti mama Neesha yang lebi
Queen meremas jemarinya, berdiri di depan Selly dengan tegang. Bagaimana tidak, Selly menyambut kedatangannya dengan senyuman. Senyum itulah yang membuat Queen curiga, ada sesuatu hal buruk yang akan diucapkan Selly.“Rafael tidak memaafkan kesalahanku, padahal apa yang dia lakukan tidak berbeda jauh denganku. Aku tidur dengan lelaki lain, dan Rafael pun tidur dengan wanita lain. Harusnya itu impas, bukan?” Selly tertawa dengan ekspresi datar. Terlihat jelas mata wanita itu sembab, pertanda ia baru saja menangis, entah berapa lama.“Kau membohonginya selama bertahun-tahun. Dan kau yang membuat Rafael memilih bayi yang salah.”“Okay. I know. Dan sekarang dia hancur, sama halnya denganku. Kita berempat terjebak dalam situasi yang sama. Bukankah seharusnya kau dan Joshua pun hancur seperti kami? Tapi kenyataannya kalian justru akan berpesta merayakan kehancuran kami.”“Kau harus ingat satu hal, Selly. Kami sudah terlebih dulu hancur oleh keegoisanmu dan
Aldric memapah Rafael masuk ke kamar, lantas mendudukkan lelaki itu di sofa. Beberapa menit yang lalu, ia menjemput lelaki itu di club. Kondisinya begitu memprihatinkan, menghabiskan berrgelas-gelas minuman sampai mabuk berat.“Mulai saat ini pulanglah ke rumahmu sendiri, jangan pulang ke rumah orang lain apalagi ke apartemen Queen. Neesha ada di rumahku, aku akan menjaganya sampai kau bisa mengendalikan diri dan mengambil keputusan yang tepat.”Rafael tertawa. “Bagaimana keadaan anak perempuan itu? Baik-baik saja?”“Baik-baik saja bagaimana, dia shock. Setiap hari menanyakanmu. Untung Alsen dan istriku selalu menghiburnya. Lalu bagaimana? Kau sudah mengambil keputusan?”Rafael mengacak rambut frustrasi. “Aku sudah mengirim surat gugatan cerai untuk Selly.”“Lalu bagaimana dengan Neesha?”“Bagaimana lagi? Tentu saja dia harus ikut ibunya. Aku sudah tidak sanggup mengurusnya, aku terluka setiap kali melihatnya. Seharusnya aku tida
“Good night, Queen. Sweet dream.” Joshua mengecup kening Queen.“Mimpi indah juga untukmu.”“Apa kau bahagia setelah kita menghabiskan waktu seharian untuk bersenang-senang di wahana rekreasi?”“Yeah, I’m happy.”“Syukurlah. Aku pulang dulu, sudah larut malam.”“Terima kasih, Jo.”“Kau sudah mengucapkan itu ratusan kali.”“Terima kasih karena sudah membantuku melupakan masa lalu.”Joshua tersenyum, mengusap pipi kanan calon istrinya. “Kau tahu aku melakukan ini karena aku mencintaimu.”“Aku beruntung memiliki teman sepertimu.”“Queen, kau percaya bahwa aku akan selalu berusaha membahagiakanmu, ‘kan?”“Hum … tentu saja. Saat ini kau satu-satunya lelaki yang aku percaya. Kau tidak pernah lelah mengejarku bahkan sekalipun aku berlari menjauh. Cinta yang kau tunjukkan membuatku semakin yakin, hanya kau lelaki yang bisa membuatku bahagia.”“Aku senang mendengar itu, Honey! Kau tidak m
Rafael mengerjap, terbangun dari tidur lelapnya. Ah, entah sudah berapa lama ia tidak pernah merasakan tidur yang begitu hangat dan nyaman seperti malam ini. Dan aroma harum yang tidak asing di indra penciumannya itu−Wait! Rafael menggeleng, sebisa mungkin menghilangkan rasa kantuk, lalu mempertajam penglihatannya. Sekarang ia tahu kenapa ia bisa tidur senyaman ini. Wanita itu, Queen, berada di dalam dekapannya. Bagaimana ceritanya sehingga Queen bisa tertidur di sofa bersamanya?Sembari mengingat-ingat kejadian semalam, tangan Rafael terulur untuk merapikan anak rambut di dahi Queen. Ah, cantik dan penuh pesona.Queen yang merasa terusik oleh belaian lembut di dahinya, dalam sekejap matanya terbuka dan tergagap saat menemukan Rafael berada di sisinya. “Rafael!”Wanita itu bergegas bangun dan menyingkir dari Rafael. Duduk berpindah ke sofa seberang, lantas mengikat rambutnya yang berantakan.“Sepertinya semalam aku mabuk.” Rafael bersandar ke
“Kau suka ini?” Joshua menunjuk cincin bermata berlian di etalase.Malam itu, Joshua mengajak Queen memilih satu set perhiasan untuk acara pernikahan mereka yang hanya tinggal 3 minggu lagi.“Aku tidak suka terlihat mencolok. Pilih saja yang berliannya kecil.”“Ayolah, Queen. Apa salahnya terlihat mencolok? Kau bukan hanya calon istri seorang pianis kelas internasional, tetapi juga menantu pengusaha besar Alexander.”“Jo, kita sudah sepakat mengadakan resepsi sederhana.”Joshua menatap Queen secara intens. “Kau tidak sedang meragukan pernikahan ini, ‘kan?”“Tidak, Jo. Aku hanya−““Takut pernikahanmu gagal lagi?”“Jo!”“Queen, aku bukan Rafael! Kau tahu sendiri, seorang lelaki bernama Joshua mencintaimu sejak pertama kali melihatmu. Lalu apa yang harus kau ragukan?”Queen menghela napas. “Aku percaya padamu. Hanya saja−““Takut Rafael menghancurkan rencana pernikahan kita? Tenang saja, aku sudah meminta bantua
“Tiramissu satu, cheesecake satu.” Rafael memesan kue di ‘Q Bakery’ sembari mengedarkan pandangan ke seluruh area toko kue.Setelah selesai melakukan transaksi, Rafael menenteng paper bag berisi kue favorit Kaneesha. Melangkah tegap menuju tempat parkir. Ia mengerutkan dahi saat menemukan seorang wanita berdiri tepat di sisi kanan mobil. Nara, teman Queen.Nara menyilangkan kedua lengan di depan dada sembari bersandar di mobil. “Lima kali,” ujarnya dengan wajah masam.“Lima kali apanya?”“Saya menghitungnya, sudah lima hari berturut-turut Anda selalu datang ke toko ini.”“Lalu? Apa yang aneh? Aku membeli kue.” Rafael menunjukkan paper bag di tangannya.“Anda tidak sekadar membeli kue. Mencari Queen, ‘kan?”“Queen? Apa hubungannya kue ini dengan Queen? Aku justru senang dia tidak menjadi guru les putriku lagi.”Sejak malam di rumah sakit waktu itu, Queen tidak pernah datang ke rumah Rafael lagi.
“Sudah sejauh mana?”Akhirnya, setelah beberapa menit terdiam, pertanyaan Selly memecah keheningan. Rafael menggenggam tangan Selly, menatap wajah pucat wanita itu dengan perasaan bersalah.“Apanya?” Seperti orang bodoh, Rafael menanggapi pertanyaan Selly.“Hubungan kalian, memangnya apa lagi?”“Dia hanya guru les piano Neesha.”“Ya, hanya guru les piano. Aku pun tidak lupa cerita tentang masa kecilmu. Ayahmu, dan guru les piano.”“Jangan samakan aku dengannya. Please, Sel. Jangan berpikiran yang tidak-tidak.”“Aku harus berpikir apa? Neesha bahkan memuji-muji dia seperti ratu. Merawat Neesha saat sakit. Dia menggantikan posisiku sebagai seorang ibu.” Terdengar helaan napas kasar. “Mungkin dia juga sudah menggantikan posisiku sebagai seorang istri.”“Sel, berhenti berpikiran negatif. Kau tahu aku hanya mencintaimu.”“Bagaimana bisa kebetulan seperti itu? Bukankah dulu kau bilang wanita itu berada di Italia? Lalu sekarang