Queen menahan napas saat Rafael menyentuh sisi lehernya. Sentuhan ringan itu membuat syaraf-syaraf tubuhnya menegang. Baru kali ini ada lelaki yang berani menyentuh Queen secara intens. Ah, perasaan macam apa ini, desiran di dalam darahnya terasa begitu asing.
Di saat Queen masih sibuk memikirkan gejolak di dalam dirinya, tanpa diduga Rafael menunduk dan wajahnya semakin mendekat dengan Queen. Lantas, pria itu dengan lancang mengecup bibir gadis di hadapannya!
Queen terbelalak. Ciuman pertamanya! Direbut secara paksa oleh lelaki brengsek yang tidak disukainya! Rafael kurang ajar! Refleks, Queen mendorong Rafael, lalu melayangkan tinju ke wajah pria itu.
Rafael yang tidak menduga akan mendapat serangan mendadak, mundur selangkah sembari memegangi pipi. Luapan gairah beberapa saat lalu, digantikan rasa nyeri di wajahnya. Damn!
Ternyata Queen bukan hanya polos, melainkan juga liar! Di saat semua wanita berebut ingin mendapat ciuman Rafael, Queen justru memberikan bogem mentah.
"Kenapa memukulku?" Rafael menatap Queen tajam.
"Anda lancang mencium saya!" Queen mengusap bibir dengan punggung tangan, seolah jijik oleh perbuatan Rafael beberapa saat lalu.
"Aku hanya mengecup bibirmu, bukan mencium!"
"Apa bedanya?" Queen meraih tas kecil dari atas meja. "Saya tidak sudi berteman dengan pria yang tidak tahu sopan santun seperti Anda. Jadi tolong, lupakan saya, anggaplah kita tidak pernah saling bertemu."
Setelah melemparkan tatapan permusuhan pada Rafael, Queen beranjak pergi. "Jangan kejar saya!" teriaknya tanpa menoleh.
Melangkah cepat menuju tangga, turun ke lantai di bawahnya. Ia menajamkan pendengaran, memastikan kalau-kalau Rafael nekat membuntutinya. Namun, suasana sepi, tidak ada suara langkah di belakang sana. Semoga saja pria itu menyerah setelah mendapat hadiah manis di wajah. Berani macam-macam, sama saja itu memancing kemarahan Queen.
Queen melewati pintu lift dengan perasaan lega. Menekan tombol ke lantai satu, berharap setelah ini ia terlepas dari godaan iblis tampan bernama Rafael. Ah ya, berbicara tentang memancing kemarahan, nampaknya beberapa saat lalu bukan hanya emosi Queen yang terpancing. Percaya atau tidak, sentuhan jari-jari kokoh Rafael telah memantikkan api gairah di dalam tubuh Queen.
Queen terpejam, membayangkan kejadian yang membuatnya nyaris takluk oleh tatapan tajam Rafael. Pria itu hanya menyentuh leher, tetapi sudah mampu meluruhkan sendi-sendi tubuh Queen. Bagaimana jika Rafael menyentuh di bagian yang lain? Astaga, Queen! Apa yang kau pikirkan?
Oke, nampaknya otak Queen sudah mulai teracuni kemesuman Rafael. Pria itu berbahaya, titik. Jangan sampai Maura tahu tentang pria itu. Queen tidak ingin membuat Maura cemas memikirkan putrinya. Ya, Maura tidak semestinya merasa cemas, karena putrinya sangat pandai menjaga diri.
***
Rafael tengah mengompres wajah dengan es batu saat Aldric menghampirinya. Masih berada di rooftop, dan duduk di meja yang sama. Di hadapan Rafael, terdapat mangkok besar berisi bongkahan es batu, serta sehelai handuk kecil.
Melihat wajah temannya membiru, Aldric mengerutkan dahi. "Joshua memukulmu lagi?"
Rafael menggeleng. "Tidak."
"Lalu kau berkelahi dengan siapa?"
"Queen meninju wajahku."
Aldric tertawa seraya duduk di hadapan Rafael. "Selamat! Akhirnya ada wanita yang berani menghajarmu. Sepertinya aku perlu memberikan penghargaan pada Queen karena dialah wanita pertama yang mendaratkan tinju di wajah pria brengsek sepertimu."
"Tidak lucu!" dengus Rafael.
"Jadi, apa yang membuat Queen melakukan hal sekeren ini?"
"Aku mengecup bibirnya."
Lagi-lagi Aldric tidak bisa menahan tawa. "Kau terlalu agresif, Raf! Kenapa kau nekat mengikuti caraku? Sudah kubilang, keadaan kita berbeda jauh. Istriku mencintaiku, sedangkan Queen tidak memiliki perasaan apa pun padamu."
"Apa salahnya? Itu hanya kecupan kecil."
"Hanya kecupan kecil, tapi jika Queen tidak menolak, kau akan melakukan sesuatu yang lebih jauh, bukan?"
"Demi Tuhan, Al. Awalnya aku tidak memiliki rencana untuk menciumnya."
"What?" Aldric membelalakkan mata, lantas tersenyum mengejek. "Kau mulai bermain hati dengannya."
Rafael mengambil bongkahan batu es terkecil dan melemparkannya ke wajah Aldric. "Jangan sembarangan bicara. Kau tahu aku hanya mencintai Selly."
"Munafik. Hati-hati, Raf! Lengah sedikit saja, kau sendiri yang akan terperangkap di dalam lubang kelinci. Kau akan terjebak oleh permainanmu sendiri."
Rafael mendengus lagi. Kalimat macam apa itu? Oke, Rafael tahu jika sampai sekarang Aldric tidak menyetujui ide gila Rafael untuk memperalat Queen. Lalu sekarang Aldric berusaha menakut-nakutinya? Huh, Rafael tidak akan mundur selangkah pun. Gertakan Aldric tidak berpengaruh dan tidak akan membuat Rafael berubah pikiran.
Terperangkap di lubang kelinci? Lucu sekali. Kelinci bukanlah semut yang pandai membuat sarang serupa labirin. Hanya ada satu jalur di lubang kelinci, dan Rafael yakin tidak akan tersesat, apalagi terjebak. Aldric memang menggelikan.
"Gadis polos seperti Queen tidak menyukai pria agresif, Raf. Kau harus mendekatinya dengan tempo lambat," Aldric menyerobot cangkir kopi milik Rafael dan meminumnya.
"Kau lihat ini? Dia bahkan tidak terpengaruh oleh perhiasan mahal seperti ini." Rafael mengambil kalung berlian dari saku jas dan menunjukkannya pada Aldric.
Lagi-lagi Aldric tercengang. "Bodoh! Jangan samakan Queen dengan gadis-gadis yang mengejarmu! Gadis polos lebih menyukai ketulusan ketimbang harta!"
"Damn! Sesulit itukah mendapatkan gadis polos? Aku pikir mereka mudah dikelabui."
"Tidak semuanya, Raf. Apalagi mendengar ceritamu jika Queen dididik dengan baik oleh ibunya."
"Lalu apa yang harus aku lakukan? Waktuku singkat, aku tidak ingin Joshua lebih dulu mendapatkannya."
Aldric berdecak. "Haruskah aku memberitahu trik mendapatkan gadis seperti Queen? Astaga, aku akan menjadi orang yang paling menyesal saat kau berhasil menghancurkan Queen nanti."
"Jangan sok bijak! Kau pikir aku tidak tahu bagaimana kebrengsekanmu pada istrimu?"
"Oke, fine! Aku akan memberikan tips untuk menaklukkan kelincimu!" Aldric mengacak rambut kasar, antara kesal pada Rafael dan iba pada gadis bernama Queen.
"Cepat katakan."
Menarik napas panjang, Aldric bersiap mengucapkan kalimatnya. "Pertama, gadis polos cenderung menyukai barang-barang sederhana tetapi memiliki kesan yang indah."
"Contohnya?"
"Pikir sendiri! Apa gunanya kau memiliki IQ di atas rata-rata, huh?"
"Oke, lanjut kedua."
"Queen tidak menyukai pria agresif. Semakin kau mengejarnya, maka dia akan semakin menjauh."
"So?"
"Satu kali saja, beri dia kenangan manis yang sulit dilupakan. Lalu, jauhi dia. Aku yakin dia akan penasaran kenapa kau tidak datang menemuinya lagi. Saat itulah, dia mulai merasakan rindu. Dan aku yakin, diam-diam dia mengharapkan kedatanganmu. Dengan begitu, akan lebih mudah untuk mendekatinya lagi. Saat itu juga, hatinya mulai luluh."
Rafael menjentikkan jari. Entah kenapa tidak terpikirkan ide itu sejak awal. Ia yakin kali ini tidak akan gagal lagi. Tidak akan ada gadis mana pun yang mampu menolak pesonanya, termasuk Queen. Sudut bibir Rafael tertarik ke atas, membayangkan Queen akan segera takluk di dalam genggamannya. Hem ... tubuh indah itu! Bagaimana rasanya?
"Temani aku mencari hadiah untuk Queen." Rafael meletakkan handuk kecil di atas meja, lantas beranjak dari kursi dan menarik tangan Aldric.
"Kau sendiri saja, aku lapar."
"Aku akan mentraktirmu makan setelah mendapat barang yang aku cari."
"Brengsek kau, Raf! Aku menyesal sudah memberimu saran!"
Namun, Rafael tidak memedulikan Aldric yang terus mengumpat. Ia menarik Aldric sekuat tenaga. Ia tidak mungkin pergi seorang diri, ia membutuhkan saran Aldric yang lain. Kira-kira benda apa bisa membuat Queen luluh? Boneka? Buket bunga?
Aish ... Rafael benar-benar pusing. Ternyata tidak mudah memahami jalan pikiran Queen. Rafael belum terbiasa menghadapi gadis polos. Ternyata, mengelabui kelinci yang menggemaskan jauh lebih sulit dibanding menaklukkan kuda liar.
***
Queen menghela napas kasar, menekan button pause di layar laptop. Drama Korea yang sedang ditonton sangat membosankan. Ah, bukan drama yang membosankan, tapi kissing scene yang membuat Queen jengkel. Demi apa, keromantisan itu mengingatkan Queen pada ciuman Rafael.Refleks, Queen menyentuh bibir. Seharusnya, ia memberikan ciuman pertamanya pada lelaki yang ia cintai, bukan pria asing yang menyebalkan. Sudah dua hari sejak peristiwa itu terjadi, dan untungnya Rafael tidak pernah mengganggu lagi. Barangkali pukulan di wajah Rafael membuat pria itu jera.Bunyi beep di ponsel membuat Queen mengalihkan perhatian dari laptop. Dengan cekatan jarinya mengusap layar ponsel. Pesan singkat dari Maura.MamaSebelum tidur jangan lupa mengunci pintu dan jendela. Mama pulang besok sore.Sejak siang tadi, Maura pergi ke luar kota. Kebetulan ada undangan di sebuah acara demo mas
Pernahkah kalian membayangkan berada di dalam kuasa seorang pria berwajah tampan serupa Dewa Yunani? Rahang tegas dengan bulu-bulu halus yang tercukur rapi, dan hampir seluruh bagian wajah terukir sempurna, tanpa cela sedikitpun. Lalu, mata tajam yang tiba-tiba berubah menjadi sayu, seolah tengah menawarkan sebuah kesepakatan, 'Hello, Baby Girl! Please, come to me! Tenang saja, aku tidak akan menyakitimu.'Harus Queen akui, Rafael terlalu pandai menguasai seseorang hanya dengan menatap matanya. Tatapan tajam dan menghunjam jauh di kedalaman mata lawannya. Seperti virus mematikan, dengan cepat menyebar hingga membuat lawan takluk di tangannya."Ahhhh ...." Desahan itu lolos begitu saja dari bibir Queen, saat lidah Rafael dengan nakal menyusup lebih jauh melewati bibir Queen.Jadi ini rasanya berciuman? Tolong, Queen bahkan tidak tahu bagaimana ia harus mendefinisikan rasa nikmat yang menggelenyar di sekujur tubuh. Yang ia tahu, ia merasakan panas,
Hari ke sepuluh sejak pertemuannya dengan Rafael. Queen memadamkan lampu kamar. Diambilnya kotak music snow globe pemberian Rafael, lantas ditekannya tombol di bagian bawah. Seketika, instrument musik mengalun merdu.Queen membaringkan tubuh di atas ranjang, matanya tidak pernah lepas dari snow globe yang kini memancarkan cahaya temaram warna warni. Indah, dan romantis. Instrument lembut itu dalam sekejap telah menyeret Queen pada kenangan malam itu. Saat Rafael menghujani kenikmatan untuk Queen.Queen bahkan tidak bisa melupakan aroma mint saat Rafael melumat bibirnya. Oh, apa yang sebenarnya Queen rasakan? Ia ingin membenci Rafael, tetapi kenyataannya ia justru tidak bisa melupakan kenangan terakhir mereka.Satu lagi yang mengganggu pikiran Queen. Kenapa Rafael tidak pernah lagi menemuinya? Barangkali Rafael merasa bosan pada Queen, karena saat itu Queen tidak membalas ciumannya. Pria brengsek seperti Rafael lebih meny
"Aku senang melihat gadis yang tidak terlalu pemilih pada makanan," komentar Elma.Queen tersenyum, menyantap hidangan penutup berupa red velvet cake. "Kue ini sangat enak, Nyonya. Saya menyukainya.""Mama sendiri yang membuat kue ini," timpal Joshua."Oh ya? Kau beruntung karena memiliki ibu yang pandai memasak, Jo!""Kau tahu apa yang membuat Papa jatuh cinta dan tergila-gila pada Mama?""Karena masakannya?""Benar. Papa sangat menyayangi Mama karena Mama pandai memanjakan perut Papa.”Seketika tawa riang terdengar memenuhi ruang makan. Awalnya, Queen pikir duduk di depan Nyonya Alexander akan sangat menegangkan. Ternyata ia salah. Nyonya Elma Alexander adalah seorang wanita ramah dan tidak pernah memandang seseorang dari rupa dan kasta.Lihatlah bagaimana cara ia tertawa, terlihat anggun dan penuh etika. Tawa lembut yang menyenangkan. Rambut panjangnya disanggul rapi. Anting berlian kecil yang menempel di telinganya menunju
22 TAHUN YANG LALU"Aku tidak suka bermain piano, Pa!" Seorang bocah lelaki berusia tujuh tahun, merajuk pada ayahnya."Papa tidak mau tahu. Anak-anak Papa harus pandai dalam semua bidang, termasuk musik. Lagipula, kata Nona Elma kau cepat menangkap apa yang diajarkan olehnya.""Tapi, Pa! Aku bosan dan−""Jangan membantah, Rafael. Papa menginginkan yang terbaik untukmu."Rafael tidak menyukai alat musik. Ia lebih tertarik mengikuti les berbagai macam bahasa, seperti saran ibunya. Namun, belakangan ini ayahnya justru menambah satu daftar les lagi, yaitu les piano. Padahal Rafael sudah berkali-kali menolak, tetapi ayahnya seolah tidak mau tahu.Alexander tetap mendatangkan guru untuk Rafael, seorang pianis muda berwajah cantik. Namanya Nona Elma. Semakin hari, Rafael semakin membenci Elma. Bukan tanpa alasan. Rafael tidak menyukai kedekatan antara Elma dan Alexander. Bukan sekali dua kali bocah itu memergoki ayahnya duduk berpegangan tangan dengan E
Rafael mengusap wajah kasar, rasanya seperti mimpi, saat ia terbangun dalam keadaan tanpa busana. Wanita berambut kecokelatan yang berbaring di sisinya jelas bukan Selly. Setelah ingatannya terkumpul, kini ia tahu siapa wanita yang masih terlelap dengan selimut membungkus tubuhnya sebatas dada.Queen, tergolek lemah setelah berkali-kali Rafael menghujaninya dengan kenikmatan. Gadis polos yang menyerahkan keperawanan karena tipu daya Rafael. Saat ini Rafael bahkan tidak bisa memahami perasaannya sendiri. Haruskah ia senang, sedih, atau menyesal?Rafael menyeringai, seharusnya ia merasa senang karena bisa mengalahkan Joshua. Akan tetapi, ketika mengingat Selly, Rafael merasa bersalah karena telah mengkhianati kekasihnya. Sungguh, kalau saja boleh memilih, Rafael juga tidak ingin menyentuh wanita selain Selly. Dia hanya menginginkan Selly, dan dia terpaksa mengambil keperawanan Queen hanya untuk menyakiti Joshua.Menyingkirkan rasa bersalah, Rafael meraih celana panja
Rafael kecil berdiri mematung di ujung tangga. Untuk kesekian kali, ia menyaksikan ayah dan ibunya bertengkar. Pertengkaran yang lebih hebat dari sebelumnya. Baru kali ini Rafael melihat ibunya berteriak histeris sembari menampar Nona Elma yang perutnya sudah membesar.Rafael tidak tahu apa yang mereka ributkan. Hanya saja, sepertinya bayi di dalam perut Nona Elma lah yang membuat mereka bertiga bertengkar hebat. Tetapi kenapa? Apa yang salah dengan bayi itu?"Aku tidak ingin bayi itu terlahir ke dunia!" Mama menunjuk perut Nona Elma. "Aku tidak akan pernah percaya jika dia anak Alexander!""Dia anakku!"Rahang Rafael gemetar. Bayi di dalam perut Nona Elma, anak Papa? Artinya Rafael akan memiliki adik? Rafael juga akan memiliki ibu baru? Tidak, Rafael hanya sayang Mama. Dia tidak ingin memiliki ibu lagi selain Mama. Bagaimana mungkin Nona Elma dan bayinya tega merebut Papa dari Rafael?"Pergi! Aku tidak ingin melihat wanita ini menginjakkan kaki di lant
"Mama!" Rafael kecil mengguncang tubuh Mama yang terbujur kaku. "Bangun, Ma! Rafael takut sendirian!"Percuma Rafael berteriak sekuat tenaga. Sekalipun ia menangis hingga air matanya habis, Mama tidak akan pernah terbangun lagi. Mama telah pergi untuk selamanya, setelah siang tadi penyakit jantungnya kambuh."Mama! Aku tidak ingin tinggal dengan ibu baru! Aku hanya ingin Mama! Bangun, Ma! Bangun!" Teriakan Rafael semakin kencang saat Nona Elma menyentuh pundaknya, lalu membawa Rafael mundur beberapa langkah.Saat brankar mulai didorong suster, Rafael mencoba menggapai tubuh Mama lagi, tetapi Nona Elma menahan gerakan Rafael. Rafael mencoba memberontak. Namun, ia tidak memiliki kekuatan sedikit pun.Selama ini, satu-satunya sumber kekuatannya hanyalah Mama. Dan sekarang, saat Mama harus pergi, ke mana lagi Rafael harus mendapatkan kekuatan itu?"Mama! Kenapa Mama tega meninggalkan aku sendiri? Kenapa Mama tidak mengajakku pergi? Rafael ingin pergi bersam
“Untuk kesekian kalinya, aku minta maaf pada kalian.” Alexander membuka pembicaraan. Duduk di meja kerja sembari menatap anak-anak di hadapannya bergantian.Queen duduk di antara Rafael dan Joshua. Ia memenuhi undangan Alexander untuk mendengarkan lelaki itu menyelesaikan permasalahan.“Rafael dan Joshua, Papa ingin kalian mengakhiri permusuhan. Cukup sampai di sini. Jangan ada yang menjadi korban untuk kesekian kali.”“Tidak semudah itu,” bantah Rafael.“Rafael, jangan bersikap egois. Kau boleh membenci Papa, jika kau ingin membalas dendam, hancurkan Papa, karena Papa awal mula kejadian ini. Papa akui, Papa yang salah.”“Harusnya Papa mengatakan itu di depan Mama.”“Raf, bukankah setiap manusia pasti pernah berbuat khilaf dan dosa? Pun denganmu yang pernah dengan tega membatalkan pernikahanmu dengan Queen, lalu tanpa perasaan berusaha menggugurkan bayi di kandungan Queen.”“Aku menyesal, Pa.”“Kau pernah salah langkah, begitu pu
“Selamat malam, Neesha. Belum tidur?” Aldric melangkah menghampiri Neesha yang sedang asyik bermain piano.“Malam, Uncle. Neesha belum mengantuk, masih menunggu siapa tahu sebentar lagi Papa datang menjemput Neesha. Neesha kangen Papa.”Aldric mengelus rambut panjang Neesha dengan lembut, kemudian ia menunduk dan menyejajarkan posisi wajah dengan bocah perempuan itu. “Main pianonya bisa istirahat sebentar? Ada seseorang yang ingin bertemu Neesha.”Kaneesha mendongak dengan mata berbinar. “Papa yang datang kan?”Aldric menggeleng perlahan. “Bukan, Sayang.”“Yaaaah … ternyata bukan Papa.” Seketika binar indah di mata Kaneesha meredup.“Sabar ya, Nak. Papamu masih membutuhkan waktu.”“Sampai berapa lama? Papa sudah terlalu lama di luar kota.”“Emmm … tunggu saja. Ah ya, kata Alsen, selama ini Neesha ingin punya kakek dan nenek, ‘kan?”“Yeah, Neesha iri pada Alsen. Alsen punya mama yang baik, tidak seperti mama Neesha yang lebi
Queen meremas jemarinya, berdiri di depan Selly dengan tegang. Bagaimana tidak, Selly menyambut kedatangannya dengan senyuman. Senyum itulah yang membuat Queen curiga, ada sesuatu hal buruk yang akan diucapkan Selly.“Rafael tidak memaafkan kesalahanku, padahal apa yang dia lakukan tidak berbeda jauh denganku. Aku tidur dengan lelaki lain, dan Rafael pun tidur dengan wanita lain. Harusnya itu impas, bukan?” Selly tertawa dengan ekspresi datar. Terlihat jelas mata wanita itu sembab, pertanda ia baru saja menangis, entah berapa lama.“Kau membohonginya selama bertahun-tahun. Dan kau yang membuat Rafael memilih bayi yang salah.”“Okay. I know. Dan sekarang dia hancur, sama halnya denganku. Kita berempat terjebak dalam situasi yang sama. Bukankah seharusnya kau dan Joshua pun hancur seperti kami? Tapi kenyataannya kalian justru akan berpesta merayakan kehancuran kami.”“Kau harus ingat satu hal, Selly. Kami sudah terlebih dulu hancur oleh keegoisanmu dan
Aldric memapah Rafael masuk ke kamar, lantas mendudukkan lelaki itu di sofa. Beberapa menit yang lalu, ia menjemput lelaki itu di club. Kondisinya begitu memprihatinkan, menghabiskan berrgelas-gelas minuman sampai mabuk berat.“Mulai saat ini pulanglah ke rumahmu sendiri, jangan pulang ke rumah orang lain apalagi ke apartemen Queen. Neesha ada di rumahku, aku akan menjaganya sampai kau bisa mengendalikan diri dan mengambil keputusan yang tepat.”Rafael tertawa. “Bagaimana keadaan anak perempuan itu? Baik-baik saja?”“Baik-baik saja bagaimana, dia shock. Setiap hari menanyakanmu. Untung Alsen dan istriku selalu menghiburnya. Lalu bagaimana? Kau sudah mengambil keputusan?”Rafael mengacak rambut frustrasi. “Aku sudah mengirim surat gugatan cerai untuk Selly.”“Lalu bagaimana dengan Neesha?”“Bagaimana lagi? Tentu saja dia harus ikut ibunya. Aku sudah tidak sanggup mengurusnya, aku terluka setiap kali melihatnya. Seharusnya aku tida
“Good night, Queen. Sweet dream.” Joshua mengecup kening Queen.“Mimpi indah juga untukmu.”“Apa kau bahagia setelah kita menghabiskan waktu seharian untuk bersenang-senang di wahana rekreasi?”“Yeah, I’m happy.”“Syukurlah. Aku pulang dulu, sudah larut malam.”“Terima kasih, Jo.”“Kau sudah mengucapkan itu ratusan kali.”“Terima kasih karena sudah membantuku melupakan masa lalu.”Joshua tersenyum, mengusap pipi kanan calon istrinya. “Kau tahu aku melakukan ini karena aku mencintaimu.”“Aku beruntung memiliki teman sepertimu.”“Queen, kau percaya bahwa aku akan selalu berusaha membahagiakanmu, ‘kan?”“Hum … tentu saja. Saat ini kau satu-satunya lelaki yang aku percaya. Kau tidak pernah lelah mengejarku bahkan sekalipun aku berlari menjauh. Cinta yang kau tunjukkan membuatku semakin yakin, hanya kau lelaki yang bisa membuatku bahagia.”“Aku senang mendengar itu, Honey! Kau tidak m
Rafael mengerjap, terbangun dari tidur lelapnya. Ah, entah sudah berapa lama ia tidak pernah merasakan tidur yang begitu hangat dan nyaman seperti malam ini. Dan aroma harum yang tidak asing di indra penciumannya itu−Wait! Rafael menggeleng, sebisa mungkin menghilangkan rasa kantuk, lalu mempertajam penglihatannya. Sekarang ia tahu kenapa ia bisa tidur senyaman ini. Wanita itu, Queen, berada di dalam dekapannya. Bagaimana ceritanya sehingga Queen bisa tertidur di sofa bersamanya?Sembari mengingat-ingat kejadian semalam, tangan Rafael terulur untuk merapikan anak rambut di dahi Queen. Ah, cantik dan penuh pesona.Queen yang merasa terusik oleh belaian lembut di dahinya, dalam sekejap matanya terbuka dan tergagap saat menemukan Rafael berada di sisinya. “Rafael!”Wanita itu bergegas bangun dan menyingkir dari Rafael. Duduk berpindah ke sofa seberang, lantas mengikat rambutnya yang berantakan.“Sepertinya semalam aku mabuk.” Rafael bersandar ke
“Kau suka ini?” Joshua menunjuk cincin bermata berlian di etalase.Malam itu, Joshua mengajak Queen memilih satu set perhiasan untuk acara pernikahan mereka yang hanya tinggal 3 minggu lagi.“Aku tidak suka terlihat mencolok. Pilih saja yang berliannya kecil.”“Ayolah, Queen. Apa salahnya terlihat mencolok? Kau bukan hanya calon istri seorang pianis kelas internasional, tetapi juga menantu pengusaha besar Alexander.”“Jo, kita sudah sepakat mengadakan resepsi sederhana.”Joshua menatap Queen secara intens. “Kau tidak sedang meragukan pernikahan ini, ‘kan?”“Tidak, Jo. Aku hanya−““Takut pernikahanmu gagal lagi?”“Jo!”“Queen, aku bukan Rafael! Kau tahu sendiri, seorang lelaki bernama Joshua mencintaimu sejak pertama kali melihatmu. Lalu apa yang harus kau ragukan?”Queen menghela napas. “Aku percaya padamu. Hanya saja−““Takut Rafael menghancurkan rencana pernikahan kita? Tenang saja, aku sudah meminta bantua
“Tiramissu satu, cheesecake satu.” Rafael memesan kue di ‘Q Bakery’ sembari mengedarkan pandangan ke seluruh area toko kue.Setelah selesai melakukan transaksi, Rafael menenteng paper bag berisi kue favorit Kaneesha. Melangkah tegap menuju tempat parkir. Ia mengerutkan dahi saat menemukan seorang wanita berdiri tepat di sisi kanan mobil. Nara, teman Queen.Nara menyilangkan kedua lengan di depan dada sembari bersandar di mobil. “Lima kali,” ujarnya dengan wajah masam.“Lima kali apanya?”“Saya menghitungnya, sudah lima hari berturut-turut Anda selalu datang ke toko ini.”“Lalu? Apa yang aneh? Aku membeli kue.” Rafael menunjukkan paper bag di tangannya.“Anda tidak sekadar membeli kue. Mencari Queen, ‘kan?”“Queen? Apa hubungannya kue ini dengan Queen? Aku justru senang dia tidak menjadi guru les putriku lagi.”Sejak malam di rumah sakit waktu itu, Queen tidak pernah datang ke rumah Rafael lagi.
“Sudah sejauh mana?”Akhirnya, setelah beberapa menit terdiam, pertanyaan Selly memecah keheningan. Rafael menggenggam tangan Selly, menatap wajah pucat wanita itu dengan perasaan bersalah.“Apanya?” Seperti orang bodoh, Rafael menanggapi pertanyaan Selly.“Hubungan kalian, memangnya apa lagi?”“Dia hanya guru les piano Neesha.”“Ya, hanya guru les piano. Aku pun tidak lupa cerita tentang masa kecilmu. Ayahmu, dan guru les piano.”“Jangan samakan aku dengannya. Please, Sel. Jangan berpikiran yang tidak-tidak.”“Aku harus berpikir apa? Neesha bahkan memuji-muji dia seperti ratu. Merawat Neesha saat sakit. Dia menggantikan posisiku sebagai seorang ibu.” Terdengar helaan napas kasar. “Mungkin dia juga sudah menggantikan posisiku sebagai seorang istri.”“Sel, berhenti berpikiran negatif. Kau tahu aku hanya mencintaimu.”“Bagaimana bisa kebetulan seperti itu? Bukankah dulu kau bilang wanita itu berada di Italia? Lalu sekarang