Queen menghela napas kasar, menekan button pause di layar laptop. Drama Korea yang sedang ditonton sangat membosankan. Ah, bukan drama yang membosankan, tapi kissing scene yang membuat Queen jengkel. Demi apa, keromantisan itu mengingatkan Queen pada ciuman Rafael.
Refleks, Queen menyentuh bibir. Seharusnya, ia memberikan ciuman pertamanya pada lelaki yang ia cintai, bukan pria asing yang menyebalkan. Sudah dua hari sejak peristiwa itu terjadi, dan untungnya Rafael tidak pernah mengganggu lagi. Barangkali pukulan di wajah Rafael membuat pria itu jera.
Bunyi beep di ponsel membuat Queen mengalihkan perhatian dari laptop. Dengan cekatan jarinya mengusap layar ponsel. Pesan singkat dari Maura.
Mama
Sebelum tidur jangan lupa mengunci pintu dan jendela. Mama pulang besok sore.
Sejak siang tadi, Maura pergi ke luar kota. Kebetulan ada undangan di sebuah acara demo masak, dan Maura menjadi salah satu pengisi acara. Alhasil, Queen pun di rumah sendirian. Setelah membalas pesan Maura, Queen melemparkan smartphone ke atas ranjang.
Queen menajamkan pendengaran. Apa ia tidak salah dengar? Saat itu sudah jam sembilan malam, dan bel pintu berbunyi. Siapa yang bertamu tanpa mengenal waktu? Aish ... tidak tahu sopan santun.
Queen hanya bisa mendengus saat menemukan siapa sosok yang sudah menekan bel pintu. Baru beberapa menit lalu ia merasakan hidup bebas, lalu sekarang si pengganggu datang lagi. Berani sekali Rafael bertamu ke rumahnya. Untung saja Maura sedang bepergian.
Tunggu dulu! Queen mengerutkan dahi dan menatap Rafael tajam. Ia pikir, barangkali pria berjas hitam itulah yang membuat skenario untuk mengundang Maura dalam sebuah acara demo masak di luar kota. Dasar serigala licik!
"Jadi, berapa lama tamu harus menunggu sampai dipersilakan masuk?" tanya Rafael sembari tersenyum manis. Hah, lalu sekarang Rafael bersikap sok ramah?
"Ada perlu apa?"
"Apa begitu caramu menyambut tamu?"
"Tolonglah, Tuan. Ini sudah malam."
"Takut tetanggamu mengintip dan besok akan menggunjingkanmu sambil berbelanja sayuran?"
"Mengertilah, Tuan."
"Tenang, semuanya akan baik-baik saja. Aku datang untuk meminta maaf padamu."
"Saya maafkan, Anda boleh pulang sekarang."
"Dimaafkan, serius?" Senyum Rafael semakin bertambah lebar. "Artinya kita berteman. Kita bisa bicara sebentar di dalam. Aku membawakan lasagna untukmu."
Mata Queen melebar. Rafael bahkan tahu makanan favoritnya? Ah ya, Queen lupa jika Rafael akan menggunakan kekuasaannya untuk mencari semua informasi yang ia inginkan. Dan sekarang, Rafael berdiri di hadapan Queen dengan menenteng dua buah paper bag. Samar-samar, aroma makanan khas Italia itu tercium dan membuat perut Queen terasa lapar.
Tanpa menunggu dipersilakan, Rafael masuk dan meletakkan paper bag di atas meja. "Ini lasagna favoritmu, dan aku juga membawakan hadiah kecil sebagai permintaan maaf."
"Benda mahal apa lagi yang Anda siapkan untuk menyogok saya?"
"Queen, bisakah kita bersikap seperti teman? Berhenti bersikap dingin, aku datang ke sini dengan niat baik."
"Saya mencium aroma busuk di balik niat baik Anda."
"Oke, terserah kau saja. Boleh aku meminjam piring? Ayo kita makan, kebetulan aku lapar." Rafael bersiap mengeluarkan isi paper bag.
"Ikut saya ke ruang makan," ucap Queen, disambut anggukan Rafael.
Rafael memindahkan lasagna ke atas piring, sementara Queen menyiapkan dua cangkir cappuccino. Oke, karena Rafael sudah berusaha memperlihatkan sikap sopan pada Queen, maka Queen akan melakukan hal yang sama. Setidaknya untuk malam ini. Tapi jika Rafael bersikap kurang ajar lagi, Queen tidak segan-segan untuk memukul kepala Rafael dengan vas bunga.
"Kau tahu, lasagna juga menjadi makanan favoritku sejak kuliah di Italia." Rafael kembali membuka pembicaraan. Sedikit merunduk, menghirup aroma khas makanan Italia di hadapannya.
Queen bergumam singkat. Meletakkan cangkir di meja, lalu duduk di hadapan Rafael. Bersiap menyantap pasta berisi daging cincang, sayur-sayuran, serta keju. Bahan-bahan tersebut dipanggang hingga matang. Dimasak berlapis-lapis dengan perpaduan béchamel sauce yang creamy serta bolognese sauce yang nikmat.
"Rasanya lebih enak dari biasanya. Mungkin karena disantap di meja makan rumahan," ucap Rafael lagi.
Queen mengerutkan dahi. "Meja makan rumahan?"
Rafael terkekeh, mulutnya berhenti mengunyah. "Setelah bertahun-tahun aku selalu makan di luar, akhirnya malam ini aku makan di rumah. Bersamamu. Rasanya seperti makan bersama keluarga."
"Anda tidak pernah makan bersama keluarga? Kenapa?"
"Karena ada kalanya mereka yang tinggal seatap dengan kita, tidak pantas disebut sebagai keluarga."
"Maksudnya?"
"Ah, lupakan. Aku memang sering bicara melantur saat lapar." Rafael tersenyum singkat, kembali menyuap lasagna. Membiarkan lidahnya mencecap daging bercampur keju yang meleleh di mulut.
Queen meletakkan garpu sembari menatap Rafael. Pria itu memang tersenyum, tetapi Queen mampu menangkap kesedihan di raut wajah Rafael saat berbicara tentang keluarga. Bicara melantur saat lapar? Omong kosong. Mulut memang mudah berkata dusta, tetapi sorot mata tidak pernah bisa menyembunyikan fakta.
"Seharusnya Anda meluangkan waktu untuk menikmati waktu bersama keluarga. Bayangkan jika Anda berada di posisi saya. Ketika merindukan masa-masa bisa berkumpul dengan kedua orang tua, kenyataannya saya hanya bisa makan malam bersama Mama."
Rafael menggeleng. "Percayalah, Queen. Aku justru ingin berada di posisi persis seperti dirimu."
"Anda memiliki masalah dengan keluarga?"
"Hei, aku tidak mungkin menceritakan problematika kehidupanku pada orang asing," sindir Rafael, tertawa kecil.
Queen mendengus. Beberapa saat lalu Rafael meminta Queen agar bersikap seperti teman, dan sekarang justru Rafael sendiri yang menganggap Queen sebagai orang asing. Eh, tetapi kenapa mendadak Queen tertarik pada kepribadian Rafael? Entahlah, namun dari kalimat Rafael yang menyiratkan jika hubungan dengan keluarganya tidak harmonis, mau tak mau telah menarik simpati Queen.
Rafael memang pria yang memiliki segalanya. Keluarganya masih lengkap, tetapi Rafael merasa hidup sendiri. Apa ini yang membuat Joshua sering bertengkar dengan Rafael? Akan tetapi, ada permasalahan apa?
"Terima kasih sudah membuatku merasakan kehadiran keluarga," ucap Rafael lagi. "Mungkin setelah ini kita bisa mengobrol lebih jauh."
Queen tersenyum sinis. "Saya tidak tahu perangkap apa yang sudah Anda siapkan."
"Masih saja mencurigaiku? Hei, kau mengenal Joshua, bukan? Jika kau bisa dekat dengannya, kenapa tidak denganku?"
"Karena Anda berbeda dengan Joshua."
"Apa kau tahu? Kau satu-satunya wanita yang menolak kehadiranku."
"Dan Anda satu-satunya lelaki yang tidak pernah berhenti mengejar saya."
"Seharusnya kau paham, lelaki yang hebat adalah lelaki yang tidak pernah berhenti berjuang."
"Sampai sekarang saya bahkan tidak tahu apa motif—"
"Aku tertarik padamu, berapa kali harus kukatakan itu?"
Argh! Queen menyerah! Percuma berdebat dengan Rafael. Pria itu tidak mau mengalah. Jadi, apa yang harus Queen lakukan sekarang? Mengusir Rafael? Melemparkan vas bunga ke wajahnya? Atau meninjunya lagi seperti waktu itu?
Usai menghabiskan lasagna, Queen membereskan piring dan mencucinya di wastafel. Sementara di kursinya, Rafael tidak berhenti memprotes kenapa Queen memperlakukannya berbeda dengan Joshua. Astaga, apa Rafael sebodoh itu? Seharusnya ia sudah tahu jawaban atas pertanyaannya.
"Terima kasih atas menu makan malamnya, sekarang Anda bisa pulang." Queen berdiri di hadapan Rafael, menyilangkan kedua lengan di depan dada. Lupakan simpati yang sempat hinggap di hati Queen, kenyataannya Rafael tidak patut dikasihani.
"Beri satu alasan kenapa aku harus menjauhimu?" Rafael menatap Queen tajam, menunjukkan ekspresi datar namun nampak terlihat tidak ingin dikalahkan.
"Karena Anda lelaki yang tidak sopan."
"Tidak sopan bagaimana?"
"Anda lancang mencium saya!" Nada Queen meninggi, masih tidak terima atas ciuman pertamanya yang dicuri Rafael.
"Itu hanya kecupan, bukan ciuman!" bantah Rafael.
"Tidak ada lelaki yang berani melakukannya kecuali Anda! Anda merampas ciuman pertama saya! Lalu apa perbedaan antara kecupan dan ciuman, huh?"
Rafael beranjak dari tempat duduk, lalu berucap dengan santai, "Kau ingin tahu? Biar aku tunjukkan perbedaannya."
Sebelum Queen sempat menjawab, Rafael jauh lebih cepat bergerak. Mendorong tubuh Queen ke dinding dan mencekal kedua pergelangan tangannya, dan meletakkan kunciannya di atas kepala Queen. Queen mencoba memberontak, tetapi cengkeraman Rafael terlalu kuat.
"Kau yang memintaku untuk menunjukkan perbedaannya, My Little Rabbit," Rafael berbisik di telinga Queen.
Queen meremang, bisikan Rafael serupa percikan bara api yang bersiap membakar tubuhnya. Membuat wajah Queen memanas dan dalam hitungan detik rona merah menjalari wajahnya.
Argh! Rafael menggeram. Wajah kelincinya begitu menggemaskan, terlebih saat ada sedikit sorot ketakutan di mata indah itu. Ketakutan yang justru semakin membuat Rafael tertantang untuk menaklukkannya dengan mudah. Hello, My Little Rabbit, I'm coming!
Ini saat yang tepat untuk membuat Queen mengingat setiap detik kenangan manis mereka. Dengan gerakan cepat, Rafael menunduk dan mengecup bibir Queen. Dan Queen sudah tidak mampu menolak lagi. Kecupan Rafael telah melenyapkan akal sehatnya. Ah, Queen membutuhkan tetesan air hujan untuk memadamkan api gairah. Tolong, Queen tidak ingin terbakar!
***
Pernahkah kalian membayangkan berada di dalam kuasa seorang pria berwajah tampan serupa Dewa Yunani? Rahang tegas dengan bulu-bulu halus yang tercukur rapi, dan hampir seluruh bagian wajah terukir sempurna, tanpa cela sedikitpun. Lalu, mata tajam yang tiba-tiba berubah menjadi sayu, seolah tengah menawarkan sebuah kesepakatan, 'Hello, Baby Girl! Please, come to me! Tenang saja, aku tidak akan menyakitimu.'Harus Queen akui, Rafael terlalu pandai menguasai seseorang hanya dengan menatap matanya. Tatapan tajam dan menghunjam jauh di kedalaman mata lawannya. Seperti virus mematikan, dengan cepat menyebar hingga membuat lawan takluk di tangannya."Ahhhh ...." Desahan itu lolos begitu saja dari bibir Queen, saat lidah Rafael dengan nakal menyusup lebih jauh melewati bibir Queen.Jadi ini rasanya berciuman? Tolong, Queen bahkan tidak tahu bagaimana ia harus mendefinisikan rasa nikmat yang menggelenyar di sekujur tubuh. Yang ia tahu, ia merasakan panas,
Hari ke sepuluh sejak pertemuannya dengan Rafael. Queen memadamkan lampu kamar. Diambilnya kotak music snow globe pemberian Rafael, lantas ditekannya tombol di bagian bawah. Seketika, instrument musik mengalun merdu.Queen membaringkan tubuh di atas ranjang, matanya tidak pernah lepas dari snow globe yang kini memancarkan cahaya temaram warna warni. Indah, dan romantis. Instrument lembut itu dalam sekejap telah menyeret Queen pada kenangan malam itu. Saat Rafael menghujani kenikmatan untuk Queen.Queen bahkan tidak bisa melupakan aroma mint saat Rafael melumat bibirnya. Oh, apa yang sebenarnya Queen rasakan? Ia ingin membenci Rafael, tetapi kenyataannya ia justru tidak bisa melupakan kenangan terakhir mereka.Satu lagi yang mengganggu pikiran Queen. Kenapa Rafael tidak pernah lagi menemuinya? Barangkali Rafael merasa bosan pada Queen, karena saat itu Queen tidak membalas ciumannya. Pria brengsek seperti Rafael lebih meny
"Aku senang melihat gadis yang tidak terlalu pemilih pada makanan," komentar Elma.Queen tersenyum, menyantap hidangan penutup berupa red velvet cake. "Kue ini sangat enak, Nyonya. Saya menyukainya.""Mama sendiri yang membuat kue ini," timpal Joshua."Oh ya? Kau beruntung karena memiliki ibu yang pandai memasak, Jo!""Kau tahu apa yang membuat Papa jatuh cinta dan tergila-gila pada Mama?""Karena masakannya?""Benar. Papa sangat menyayangi Mama karena Mama pandai memanjakan perut Papa.”Seketika tawa riang terdengar memenuhi ruang makan. Awalnya, Queen pikir duduk di depan Nyonya Alexander akan sangat menegangkan. Ternyata ia salah. Nyonya Elma Alexander adalah seorang wanita ramah dan tidak pernah memandang seseorang dari rupa dan kasta.Lihatlah bagaimana cara ia tertawa, terlihat anggun dan penuh etika. Tawa lembut yang menyenangkan. Rambut panjangnya disanggul rapi. Anting berlian kecil yang menempel di telinganya menunju
22 TAHUN YANG LALU"Aku tidak suka bermain piano, Pa!" Seorang bocah lelaki berusia tujuh tahun, merajuk pada ayahnya."Papa tidak mau tahu. Anak-anak Papa harus pandai dalam semua bidang, termasuk musik. Lagipula, kata Nona Elma kau cepat menangkap apa yang diajarkan olehnya.""Tapi, Pa! Aku bosan dan−""Jangan membantah, Rafael. Papa menginginkan yang terbaik untukmu."Rafael tidak menyukai alat musik. Ia lebih tertarik mengikuti les berbagai macam bahasa, seperti saran ibunya. Namun, belakangan ini ayahnya justru menambah satu daftar les lagi, yaitu les piano. Padahal Rafael sudah berkali-kali menolak, tetapi ayahnya seolah tidak mau tahu.Alexander tetap mendatangkan guru untuk Rafael, seorang pianis muda berwajah cantik. Namanya Nona Elma. Semakin hari, Rafael semakin membenci Elma. Bukan tanpa alasan. Rafael tidak menyukai kedekatan antara Elma dan Alexander. Bukan sekali dua kali bocah itu memergoki ayahnya duduk berpegangan tangan dengan E
Rafael mengusap wajah kasar, rasanya seperti mimpi, saat ia terbangun dalam keadaan tanpa busana. Wanita berambut kecokelatan yang berbaring di sisinya jelas bukan Selly. Setelah ingatannya terkumpul, kini ia tahu siapa wanita yang masih terlelap dengan selimut membungkus tubuhnya sebatas dada.Queen, tergolek lemah setelah berkali-kali Rafael menghujaninya dengan kenikmatan. Gadis polos yang menyerahkan keperawanan karena tipu daya Rafael. Saat ini Rafael bahkan tidak bisa memahami perasaannya sendiri. Haruskah ia senang, sedih, atau menyesal?Rafael menyeringai, seharusnya ia merasa senang karena bisa mengalahkan Joshua. Akan tetapi, ketika mengingat Selly, Rafael merasa bersalah karena telah mengkhianati kekasihnya. Sungguh, kalau saja boleh memilih, Rafael juga tidak ingin menyentuh wanita selain Selly. Dia hanya menginginkan Selly, dan dia terpaksa mengambil keperawanan Queen hanya untuk menyakiti Joshua.Menyingkirkan rasa bersalah, Rafael meraih celana panja
Rafael kecil berdiri mematung di ujung tangga. Untuk kesekian kali, ia menyaksikan ayah dan ibunya bertengkar. Pertengkaran yang lebih hebat dari sebelumnya. Baru kali ini Rafael melihat ibunya berteriak histeris sembari menampar Nona Elma yang perutnya sudah membesar.Rafael tidak tahu apa yang mereka ributkan. Hanya saja, sepertinya bayi di dalam perut Nona Elma lah yang membuat mereka bertiga bertengkar hebat. Tetapi kenapa? Apa yang salah dengan bayi itu?"Aku tidak ingin bayi itu terlahir ke dunia!" Mama menunjuk perut Nona Elma. "Aku tidak akan pernah percaya jika dia anak Alexander!""Dia anakku!"Rahang Rafael gemetar. Bayi di dalam perut Nona Elma, anak Papa? Artinya Rafael akan memiliki adik? Rafael juga akan memiliki ibu baru? Tidak, Rafael hanya sayang Mama. Dia tidak ingin memiliki ibu lagi selain Mama. Bagaimana mungkin Nona Elma dan bayinya tega merebut Papa dari Rafael?"Pergi! Aku tidak ingin melihat wanita ini menginjakkan kaki di lant
"Mama!" Rafael kecil mengguncang tubuh Mama yang terbujur kaku. "Bangun, Ma! Rafael takut sendirian!"Percuma Rafael berteriak sekuat tenaga. Sekalipun ia menangis hingga air matanya habis, Mama tidak akan pernah terbangun lagi. Mama telah pergi untuk selamanya, setelah siang tadi penyakit jantungnya kambuh."Mama! Aku tidak ingin tinggal dengan ibu baru! Aku hanya ingin Mama! Bangun, Ma! Bangun!" Teriakan Rafael semakin kencang saat Nona Elma menyentuh pundaknya, lalu membawa Rafael mundur beberapa langkah.Saat brankar mulai didorong suster, Rafael mencoba menggapai tubuh Mama lagi, tetapi Nona Elma menahan gerakan Rafael. Rafael mencoba memberontak. Namun, ia tidak memiliki kekuatan sedikit pun.Selama ini, satu-satunya sumber kekuatannya hanyalah Mama. Dan sekarang, saat Mama harus pergi, ke mana lagi Rafael harus mendapatkan kekuatan itu?"Mama! Kenapa Mama tega meninggalkan aku sendiri? Kenapa Mama tidak mengajakku pergi? Rafael ingin pergi bersam
"Baru kali ini aku melihatmu makan dengan lahap. Sangat lapar, Sayang?"Queen bisa dengan jelas melihat wanita cantik di hadapan Rafael, bertopang dagu sembari mengawasi Rafael menghabiskan sushi. Kalau tidak salah dengar, namanya Selly. Wanita berambut panjang dengan sedikit curly di bagian ujung, sangat modis dan rapi seperti baru keluar dari salon.Jadi, siapa Selly? Wanita panggilan yang disewa Rafael? Queen menggeleng. Jika dilihat dari interaksi mereka berdua, mereka lebih pantas menjadi sepasang kekasih. Apa setelah meninggalkan Queen, Rafael memiliki kekasih baru? Atau memang selama ini Rafael sudah memiliki kekasih, tetapi tidak jujur pada Queen?Queen merasa menjadi wanita paling bodoh di dunia. Kenapa dulu dia tidak pernah mempertanyakan hal itu pada Rafael? Seharusnya Queen tahu kenyataan ini sehingga dulu dia tidak perlu berharap lebih, lalu menyerahkan keperawanannya pada lelaki brengsek itu.Kalau saja sejak awal dia tahu, Raf
“Untuk kesekian kalinya, aku minta maaf pada kalian.” Alexander membuka pembicaraan. Duduk di meja kerja sembari menatap anak-anak di hadapannya bergantian.Queen duduk di antara Rafael dan Joshua. Ia memenuhi undangan Alexander untuk mendengarkan lelaki itu menyelesaikan permasalahan.“Rafael dan Joshua, Papa ingin kalian mengakhiri permusuhan. Cukup sampai di sini. Jangan ada yang menjadi korban untuk kesekian kali.”“Tidak semudah itu,” bantah Rafael.“Rafael, jangan bersikap egois. Kau boleh membenci Papa, jika kau ingin membalas dendam, hancurkan Papa, karena Papa awal mula kejadian ini. Papa akui, Papa yang salah.”“Harusnya Papa mengatakan itu di depan Mama.”“Raf, bukankah setiap manusia pasti pernah berbuat khilaf dan dosa? Pun denganmu yang pernah dengan tega membatalkan pernikahanmu dengan Queen, lalu tanpa perasaan berusaha menggugurkan bayi di kandungan Queen.”“Aku menyesal, Pa.”“Kau pernah salah langkah, begitu pu
“Selamat malam, Neesha. Belum tidur?” Aldric melangkah menghampiri Neesha yang sedang asyik bermain piano.“Malam, Uncle. Neesha belum mengantuk, masih menunggu siapa tahu sebentar lagi Papa datang menjemput Neesha. Neesha kangen Papa.”Aldric mengelus rambut panjang Neesha dengan lembut, kemudian ia menunduk dan menyejajarkan posisi wajah dengan bocah perempuan itu. “Main pianonya bisa istirahat sebentar? Ada seseorang yang ingin bertemu Neesha.”Kaneesha mendongak dengan mata berbinar. “Papa yang datang kan?”Aldric menggeleng perlahan. “Bukan, Sayang.”“Yaaaah … ternyata bukan Papa.” Seketika binar indah di mata Kaneesha meredup.“Sabar ya, Nak. Papamu masih membutuhkan waktu.”“Sampai berapa lama? Papa sudah terlalu lama di luar kota.”“Emmm … tunggu saja. Ah ya, kata Alsen, selama ini Neesha ingin punya kakek dan nenek, ‘kan?”“Yeah, Neesha iri pada Alsen. Alsen punya mama yang baik, tidak seperti mama Neesha yang lebi
Queen meremas jemarinya, berdiri di depan Selly dengan tegang. Bagaimana tidak, Selly menyambut kedatangannya dengan senyuman. Senyum itulah yang membuat Queen curiga, ada sesuatu hal buruk yang akan diucapkan Selly.“Rafael tidak memaafkan kesalahanku, padahal apa yang dia lakukan tidak berbeda jauh denganku. Aku tidur dengan lelaki lain, dan Rafael pun tidur dengan wanita lain. Harusnya itu impas, bukan?” Selly tertawa dengan ekspresi datar. Terlihat jelas mata wanita itu sembab, pertanda ia baru saja menangis, entah berapa lama.“Kau membohonginya selama bertahun-tahun. Dan kau yang membuat Rafael memilih bayi yang salah.”“Okay. I know. Dan sekarang dia hancur, sama halnya denganku. Kita berempat terjebak dalam situasi yang sama. Bukankah seharusnya kau dan Joshua pun hancur seperti kami? Tapi kenyataannya kalian justru akan berpesta merayakan kehancuran kami.”“Kau harus ingat satu hal, Selly. Kami sudah terlebih dulu hancur oleh keegoisanmu dan
Aldric memapah Rafael masuk ke kamar, lantas mendudukkan lelaki itu di sofa. Beberapa menit yang lalu, ia menjemput lelaki itu di club. Kondisinya begitu memprihatinkan, menghabiskan berrgelas-gelas minuman sampai mabuk berat.“Mulai saat ini pulanglah ke rumahmu sendiri, jangan pulang ke rumah orang lain apalagi ke apartemen Queen. Neesha ada di rumahku, aku akan menjaganya sampai kau bisa mengendalikan diri dan mengambil keputusan yang tepat.”Rafael tertawa. “Bagaimana keadaan anak perempuan itu? Baik-baik saja?”“Baik-baik saja bagaimana, dia shock. Setiap hari menanyakanmu. Untung Alsen dan istriku selalu menghiburnya. Lalu bagaimana? Kau sudah mengambil keputusan?”Rafael mengacak rambut frustrasi. “Aku sudah mengirim surat gugatan cerai untuk Selly.”“Lalu bagaimana dengan Neesha?”“Bagaimana lagi? Tentu saja dia harus ikut ibunya. Aku sudah tidak sanggup mengurusnya, aku terluka setiap kali melihatnya. Seharusnya aku tida
“Good night, Queen. Sweet dream.” Joshua mengecup kening Queen.“Mimpi indah juga untukmu.”“Apa kau bahagia setelah kita menghabiskan waktu seharian untuk bersenang-senang di wahana rekreasi?”“Yeah, I’m happy.”“Syukurlah. Aku pulang dulu, sudah larut malam.”“Terima kasih, Jo.”“Kau sudah mengucapkan itu ratusan kali.”“Terima kasih karena sudah membantuku melupakan masa lalu.”Joshua tersenyum, mengusap pipi kanan calon istrinya. “Kau tahu aku melakukan ini karena aku mencintaimu.”“Aku beruntung memiliki teman sepertimu.”“Queen, kau percaya bahwa aku akan selalu berusaha membahagiakanmu, ‘kan?”“Hum … tentu saja. Saat ini kau satu-satunya lelaki yang aku percaya. Kau tidak pernah lelah mengejarku bahkan sekalipun aku berlari menjauh. Cinta yang kau tunjukkan membuatku semakin yakin, hanya kau lelaki yang bisa membuatku bahagia.”“Aku senang mendengar itu, Honey! Kau tidak m
Rafael mengerjap, terbangun dari tidur lelapnya. Ah, entah sudah berapa lama ia tidak pernah merasakan tidur yang begitu hangat dan nyaman seperti malam ini. Dan aroma harum yang tidak asing di indra penciumannya itu−Wait! Rafael menggeleng, sebisa mungkin menghilangkan rasa kantuk, lalu mempertajam penglihatannya. Sekarang ia tahu kenapa ia bisa tidur senyaman ini. Wanita itu, Queen, berada di dalam dekapannya. Bagaimana ceritanya sehingga Queen bisa tertidur di sofa bersamanya?Sembari mengingat-ingat kejadian semalam, tangan Rafael terulur untuk merapikan anak rambut di dahi Queen. Ah, cantik dan penuh pesona.Queen yang merasa terusik oleh belaian lembut di dahinya, dalam sekejap matanya terbuka dan tergagap saat menemukan Rafael berada di sisinya. “Rafael!”Wanita itu bergegas bangun dan menyingkir dari Rafael. Duduk berpindah ke sofa seberang, lantas mengikat rambutnya yang berantakan.“Sepertinya semalam aku mabuk.” Rafael bersandar ke
“Kau suka ini?” Joshua menunjuk cincin bermata berlian di etalase.Malam itu, Joshua mengajak Queen memilih satu set perhiasan untuk acara pernikahan mereka yang hanya tinggal 3 minggu lagi.“Aku tidak suka terlihat mencolok. Pilih saja yang berliannya kecil.”“Ayolah, Queen. Apa salahnya terlihat mencolok? Kau bukan hanya calon istri seorang pianis kelas internasional, tetapi juga menantu pengusaha besar Alexander.”“Jo, kita sudah sepakat mengadakan resepsi sederhana.”Joshua menatap Queen secara intens. “Kau tidak sedang meragukan pernikahan ini, ‘kan?”“Tidak, Jo. Aku hanya−““Takut pernikahanmu gagal lagi?”“Jo!”“Queen, aku bukan Rafael! Kau tahu sendiri, seorang lelaki bernama Joshua mencintaimu sejak pertama kali melihatmu. Lalu apa yang harus kau ragukan?”Queen menghela napas. “Aku percaya padamu. Hanya saja−““Takut Rafael menghancurkan rencana pernikahan kita? Tenang saja, aku sudah meminta bantua
“Tiramissu satu, cheesecake satu.” Rafael memesan kue di ‘Q Bakery’ sembari mengedarkan pandangan ke seluruh area toko kue.Setelah selesai melakukan transaksi, Rafael menenteng paper bag berisi kue favorit Kaneesha. Melangkah tegap menuju tempat parkir. Ia mengerutkan dahi saat menemukan seorang wanita berdiri tepat di sisi kanan mobil. Nara, teman Queen.Nara menyilangkan kedua lengan di depan dada sembari bersandar di mobil. “Lima kali,” ujarnya dengan wajah masam.“Lima kali apanya?”“Saya menghitungnya, sudah lima hari berturut-turut Anda selalu datang ke toko ini.”“Lalu? Apa yang aneh? Aku membeli kue.” Rafael menunjukkan paper bag di tangannya.“Anda tidak sekadar membeli kue. Mencari Queen, ‘kan?”“Queen? Apa hubungannya kue ini dengan Queen? Aku justru senang dia tidak menjadi guru les putriku lagi.”Sejak malam di rumah sakit waktu itu, Queen tidak pernah datang ke rumah Rafael lagi.
“Sudah sejauh mana?”Akhirnya, setelah beberapa menit terdiam, pertanyaan Selly memecah keheningan. Rafael menggenggam tangan Selly, menatap wajah pucat wanita itu dengan perasaan bersalah.“Apanya?” Seperti orang bodoh, Rafael menanggapi pertanyaan Selly.“Hubungan kalian, memangnya apa lagi?”“Dia hanya guru les piano Neesha.”“Ya, hanya guru les piano. Aku pun tidak lupa cerita tentang masa kecilmu. Ayahmu, dan guru les piano.”“Jangan samakan aku dengannya. Please, Sel. Jangan berpikiran yang tidak-tidak.”“Aku harus berpikir apa? Neesha bahkan memuji-muji dia seperti ratu. Merawat Neesha saat sakit. Dia menggantikan posisiku sebagai seorang ibu.” Terdengar helaan napas kasar. “Mungkin dia juga sudah menggantikan posisiku sebagai seorang istri.”“Sel, berhenti berpikiran negatif. Kau tahu aku hanya mencintaimu.”“Bagaimana bisa kebetulan seperti itu? Bukankah dulu kau bilang wanita itu berada di Italia? Lalu sekarang