Queen menggigit bibir bawahnya, lantas memalingkan wajah. Sebenarnya, Joshua pernah melakukan hal semanis ini, tetapi Queen merasa itu biasa. Akan tetapi, ketika pria asing bernama Rafael melakukan hal yang sama, Queen justru merasakan efek besar di dalam dirinya.
Terlebih saat Rafael mengatakan kalimat terakhir. Ada perasaan membuncah di dalam hati Queen, lantas berefek pada kedua pipi yang memanas. Ah, sebesar itukah daya tarik yang dimiliki Rafael?
Tidak! Queen tidak boleh terpengaruh. Pria mesum seperti Rafael sangat berbahaya. Ingat kalimat pertama yang terlontar dari mulut pria itu saat bertemu dengan Queen? Hem ... typical pria mesum yang senang bergonta-ganti pasangan.
"Kau semakin terlihat cantik dengan pipi merona seperti itu."
Queen memalingkan wajah, lalu melanjutkan langkah yang tertunda. Ucapan-ucapan Rafael semakin membuat Queen melambung tinggi. Terdengar manis seperti madu, tapi Queen yakin jika sebenarnya pria itu sudah mencampurkan racun di dalam madunya. Semanis apa pun, Queen akan tetap kalah dan mati jika terus meminumnya.
"Ngomong-ngomong, kau teman kuliah Joshua?" Rafael menyejajarkan langkahnya dengan Queen.
"Ya."
"Artinya kau belum lama lulus. Sudah bekerja?"
"Saya membantu Mama mengurus toko kue."
"Jika mau, kau bisa melamar ke perusahaan kami. Kebetulan sekretarisku dua bulan lagi akan resign. Kau bisa menggantikannya."
Modus! Queen bergidik ngeri. Menjadi sekretaris pribadi Rafael? Bagi gadis lain, tawaran itu sangat menggiurkan. Siapa yang mampu menolak berdekatan dengan pria tampan setiap hari? Tidak. Bagi Queen, berdekatan dengan Rafael tak ubahnya seperti seekor kelinci yang berani masuk ke kandang singa. Rafael berbahaya, titik.
"Maaf, saya tidak suka melamar pekerjaan menggunakan koneksi."
"Oke, tapi setidaknya bisakah kau berhenti bicara formal padaku?"
"Bisakah Anda berhenti sok akrab dengan saya?"
"Aku ingin kita berteman."
Lagi-lagi, Queen menghentikan langkah. Bukan karena pertemanan yang ditawarkan Rafael, melainkan karena mereka sudah tiba di gerbang kompleks perumahan.
"Jangan mengharapkan apa pun pada saya. Jadi, tolong tinggalkan saya sekarang."
"Berapa kali juga harus kukatakan, aku tidak terbiasa meninggalkan seorang gadis di tengah jalan."
"Saya sudah sampai di kompleks perumahan."
"Tapi bukan di depan rumah."
Astaga, pria ini! Joshua lelaki yang baik, kenapa dia memiliki kakak semenyebalkan Rafael? Joshua pernah bercerita pada Queen, ia sering bertengkar dengan kakaknya. Jadi, inikah yang membuat mereka sering bertengkar? Hanya karena Rafael orang yang keras kepala dan tidak pernah mau mengalah?
Tanpa menoleh pada Rafael, Queen berjalan cepat memasuki kompleks perumahan. Tepat seperti dugaannya, Rafael mengikutinya. Beberapa menit kemudian, mereka sampai di sebuah rumah minimalis tetapi tertata dengan rapi. Gerbang berwarna silver, dengan taman kecil yang membuat rumah terlihat asri.
"Sudah sampai, tunggu apa lagi?" protes Queen.
"Aku harus memastikan kau memasuki pintu rumah dengan selamat."
"Pergilah, Tuan." Sebisa mungkin, Queen melirihkan suara. Tidak ingin membuat gaduh dan membangunkan tetangga. Atau lebih parah, ibunya yang memergoki kedatangan Queen bersama seorang lelaki.
Rafael mengangkat bahu. "Sekalipun kau mengusirku menggunakan bom, aku akan tetap berdiri di sini sebelum kau masuk ke rumah."
"Lain kali saya akan memasang ranjau di sepanjang jalan menuju ke rumah saya." Queen membuka pintu gerbang, lalu menutup dan menguncinya setelah berada di dalam.
"Good night. See you next time, Dear!"
"Saya harap kita tidak akan pernah bertemu lagi."
Queen melihat Rafael melambaikan tangan, senyum mengembang di bibir sensualnya. Oke, Queen harap ini untuk pertama dan terakhir kalinya ia bertemu dengan Rafael. Semoga saja Mama sudah tidur, atau setidaknya sibuk menonton TV sehingga tidak memergoki kepulangannya selarut ini.
Lampu ruang tamu sudah padam, Queen menghela napas lega. Pelan-pelan, ia membuka pintu. Sepertinya Mama lupa menguncinya, ah ... keberuntungan Queen yang kedua. Setelah menguncinya, Queen mengendap-endap melewati anak tangga menuju kamar.
"Mama pikir kau lupa pulang."
Queen mematung. Terdengar suara sarkas Maura, ibunya. Wanita setengah baya itu berdiri tepat di dekat jendela. Tirainya sedikit terbuka, tempat yang strategis untuk mengintai ke luar rumah. Astaga, Maura melihat kelakuan putrinya beberapa saat lalu!
"Maaf, Ma," lirih Queen. "Aku lupa memberitahu Mama, sepulang dari toko aku bertemu dengan teman-teman untuk berdiskusi ke mana kami akan melamar pekerjaan."
"Teman laki-laki?"
"Perempuan, Ma. Mobil temanku mogok di dekat gerbang kompleks. Karenanya aku jalan kaki dari depan."
"Kau tidak pandai berbohong, Queen." Maura menekan sakelar lampu, seketika ruangan berubah terang. "Siapa laki-laki yang mengantarmu sampai ke gerbang rumah?"
Queen mencengkeram teralis tangga. "Eh ... aku tidak mengenalnya, Ma. Dia ... sedang tersesat, karenanya dia berjalan membuntutiku. Dia−"
"Lelaki asing yang sedang tersesat dan menyelimutkan jas hitamnya ke punggungmu."
Sial! Mata Queen melebar menatap jas hitam Rafael yang masih tersampir di kedua pundaknya. Ia tidak bisa berkilah lagi. "Maaf, Ma."
"Hanya karena sudah lulus kuliah, bukan berarti Mama mengizinkanmu bebas berteman dengan lelaki. Berapa kali Mama bilang, seorang gadis harus selektif dalam bergaul. Menjadi seorang gadis itu tidak mudah, Queen! Kau harus pandai-pandai menjaga diri."
Queen menunduk. "Iya, Ma."
"Mama tidak ingin kejadian ini terulang untuk kedua kalinya. Mengerti?"
"Oke, Ma. Aku mengerti."
Setelah memberikan tatapan tajam pada putrinya, Maura beranjak meninggalkan ruang tamu. Queen menghela napas. Ini baru permulaan. Esok pagi saat sarapan, Queen yakin ruang makan akan didominasi oleh ceramah Maura mulai dari A sampai Z. Semenjak Papa meninggal lima tahun yang lalu, Maura berusaha menjadi ibu sekaligus ayah bagi Queen.
Queen sangat mengagumi dan menghormati ibunya. Wanita itu mendidik putrinya dengan kelembutan yang berpadu dengan ketegasan.
Queen melemparkan jas hitam Rafael ke atas ranjang. Mengacak rambut dengan kasar, kepalanya terasa pusing. Kenapa ada pria sejenis Rafael yang hidup di muka bumi? Ah, lupakan!
Setelah mencuci muka dan berganti pakaian, Queen mengempaskan tubuh ke atas ranjang. Samar-samar, ia mencium aroma musk, aroma yang sama dengan tubuh Rafael. Nampaknya, aroma itu berasal dari jas Rafael.
Queen meraih jas hitam itu, lantas menciumnya. Matanya terpejam, meresapi aroma yang memabukkan. Sontak, bayangan tubuh atletis dengan perut six pack itu berkelebat di benaknya. Pria itu pasti rajin melakukan fitness dan menjaga pola hidup sehat.
Ah ... tatapan tajam serta senyum manis yang mematikan itu!
Dering ponsel di atas nakas menginterupsi Queen. Jadi, apa yang baru saja ia lakukan? Memikirkan pria menyebalkan itu? Oh, pasti ada yang salah dengan otaknya.
Queen menatap nomor tak dikenal di layar ponsel. Dahinya berkerut, siapa yang selarut ini menelepon?
"Halo," sapa Queen.
"Hai, Sweety! Sedang memikirkanku?"
Queen membelalakkan mata. Suara yang tidak asing itu! "Dari mana Anda mendapat nomor ponsel saya?"
Rafael tertawa sejenak. "Jangankan nomor ponsel, untuk mendapatkan informasi pribadi lainnya pun bukan hal yang sulit."
"Apa Anda memang semengerikan itu?"
"Tenang saja, aku tidak menakutkan seperti yang ada di dalam bayanganmu. Setelah mengenalku, aku yakin kau akan merasa nyaman berada di dekatku."
"Jangan bermimpi. Saya bahkan tidak sudi lagi mengingat Anda."
"Kau yakin? Lalu apa yang beberapa saat lalu kau pikirkan?"
"Saya ... tidak memikirkan apa pun."
"Bagaimana dengan menghirup aroma yang tertinggal di jasku dan membayangkan tubuhku?"
"Itu sama sekali tidak benar!"
"Tanpa kau sadari kau juga tertarik padaku."
"Tidak!"
"Tidak ada seorang gadis pun yang bisa menolak pesonaku, termasuk dirimu."
"Jadi apa tujuan Anda menelepon saya selarut ini?"
"Aku merindukanmu."
Queen menelan saliva. Bagaimana mungkin seseorang yang baru pertama kali bertemu bisa merasa rindu? Mustahil!
"Maaf, Tuan. Jika ingin merayu, maka saya bukan gadis yang suka dirayu. Jadi tolong, berhenti mengganggu saya."
Lagi-lagi Rafael terkekeh. "Oke, kita lihat saja nanti. Suatu saat nanti kau tidak akan bisa tidur sebelum mendengar rayuanku."
"Omong kosong."
"Good night, Queen. Tidurlah, dan jangan lupa memimpikanku. Sama halnya aku yang akan memimpikanmu."
Sambungan terputus, tetapi Queen masih meletakkan ponsel di dekat telinganya. Ucapan terakhir Rafael membuatnya merinding. Sekali lagi, ia menghirup aroma musk khas tubuh Rafael, lantas memejamkan mata.
Sekarang Queen merasakan seolah Rafael tengah berbaring di sisinya. Tangan kokohnya membelai puncak kepala Queen sembari berbisik lembut, "Good night, Queen. Tidurlah, dan jangan lupa memimpikanku. Sama halnya aku yang akan memimpikanmu."
Queen membuka mata. Napasnya memburu, ia mencengkeram jas hitam di tangannya kuat-kuat. Kenapa ucapan Rafael begitu berpengaruh pada diri Queen? Seolah setiap kalimat yang keluar dari mulut pria itu mengandung daya magis tersendiri. Hingga menyihir Queen untuk takluk di dalam kuasanya. Oh, no!
***
Rafael meletakkan ponsel di atas meja. Kedua sudut bibirnya tertarik ke atas, menampakkan sebuah kepuasan. Puas karena merasa berada di atas angin. Sebentar lagi, kelincinya akan takluk di dalam genggaman."Kau tersenyum seperti orang yang sedang jatuh cinta." Teman Rafael yang bernama Aldric, berkomentar."Jatuh cinta? Jangan konyol." Rafael menghirup aroma kopi di dalam cangkir, lantas menyesapnya. Menikmati perpaduan antara rasa manis dan pahit yang membasahi tenggorokan."Kau benar-benar tahu jika gadis itu sedang memeluk jas dan menghirup aroma tubuhmu?""Aku hanya menebaknya. Gadis polos seperti dia persis seperti buku yang terbuka, setiap lembarnya mudah untuk dibaca. Permainan segera dimulai.""Aish ... dasar serigala!" Aldric menggeleng-gelengkan kepala, tidak menyukai kelakuan sahabatnya. "Sebaiknya kau pikirkan lagi, dia tidak pantas menjadi korban hanya karena dia gadis yang dicintai adikmu.""I don't care. Toh Queen tidak sep
Tuan PemaksaHai, Nona Manis. Aku akan menjemputmu tepat jam 7 malam. Di mana aku harus menjemputmu? Di rumah? Di toko roti?Queen membanting ponselnya ke atas meja. Apa ia harus memblokir nomor Rafael agar Tuan Pemaksa itu tidak bisa menghubunginya lagi? Ah, bukan pilihan tepat. Itu justru akan membuat Rafael bertindak semaunya sendiri.Lagi-lagi terdengar bunyi beep dari ponsel. Rafael tidak mudah menyerah. Apa sebenarnya tujuan Rafael mendekatinya? Karena tertarik? Queen menggeleng, tidak mungkin. Pria seperti Rafael tidak akan menyukai gadis polos seperti Queen.Tuan PemaksaTidak dibalas? Oke, aku akan menjemputmu di toko. Jika kau tidak menungguku di sana, aku akan datang ke rumahmu. Bertemu dengan calon ibu mertua bukanlah ide buruk.Gila! Apa kata Maura seandainya pria asing datang ke rumah untuk menjemput putrinya? Terlebih pri
Queen menahan napas saat Rafael menyentuh sisi lehernya. Sentuhan ringan itu membuat syaraf-syaraf tubuhnya menegang. Baru kali ini ada lelaki yang berani menyentuh Queen secara intens. Ah, perasaan macam apa ini, desiran di dalam darahnya terasa begitu asing.Di saat Queen masih sibuk memikirkan gejolak di dalam dirinya, tanpa diduga Rafael menunduk dan wajahnya semakin mendekat dengan Queen. Lantas, pria itu dengan lancang mengecup bibir gadis di hadapannya!Queen terbelalak. Ciuman pertamanya! Direbut secara paksa oleh lelaki brengsek yang tidak disukainya! Rafael kurang ajar! Refleks, Queen mendorong Rafael, lalu melayangkan tinju ke wajah pria itu.Rafael yang tidak menduga akan mendapat serangan mendadak, mundur selangkah sembari memegangi pipi. Luapan gairah beberapa saat lalu, digantikan rasa nyeri di wajahnya. Damn!Ternyata Queen bukan hanya polos, melainkan juga liar! Di saat semua wanita berebut ingin mendapat ciuman Rafael, Queen justru
Queen menghela napas kasar, menekan button pause di layar laptop. Drama Korea yang sedang ditonton sangat membosankan. Ah, bukan drama yang membosankan, tapi kissing scene yang membuat Queen jengkel. Demi apa, keromantisan itu mengingatkan Queen pada ciuman Rafael.Refleks, Queen menyentuh bibir. Seharusnya, ia memberikan ciuman pertamanya pada lelaki yang ia cintai, bukan pria asing yang menyebalkan. Sudah dua hari sejak peristiwa itu terjadi, dan untungnya Rafael tidak pernah mengganggu lagi. Barangkali pukulan di wajah Rafael membuat pria itu jera.Bunyi beep di ponsel membuat Queen mengalihkan perhatian dari laptop. Dengan cekatan jarinya mengusap layar ponsel. Pesan singkat dari Maura.MamaSebelum tidur jangan lupa mengunci pintu dan jendela. Mama pulang besok sore.Sejak siang tadi, Maura pergi ke luar kota. Kebetulan ada undangan di sebuah acara demo mas
Pernahkah kalian membayangkan berada di dalam kuasa seorang pria berwajah tampan serupa Dewa Yunani? Rahang tegas dengan bulu-bulu halus yang tercukur rapi, dan hampir seluruh bagian wajah terukir sempurna, tanpa cela sedikitpun. Lalu, mata tajam yang tiba-tiba berubah menjadi sayu, seolah tengah menawarkan sebuah kesepakatan, 'Hello, Baby Girl! Please, come to me! Tenang saja, aku tidak akan menyakitimu.'Harus Queen akui, Rafael terlalu pandai menguasai seseorang hanya dengan menatap matanya. Tatapan tajam dan menghunjam jauh di kedalaman mata lawannya. Seperti virus mematikan, dengan cepat menyebar hingga membuat lawan takluk di tangannya."Ahhhh ...." Desahan itu lolos begitu saja dari bibir Queen, saat lidah Rafael dengan nakal menyusup lebih jauh melewati bibir Queen.Jadi ini rasanya berciuman? Tolong, Queen bahkan tidak tahu bagaimana ia harus mendefinisikan rasa nikmat yang menggelenyar di sekujur tubuh. Yang ia tahu, ia merasakan panas,
Hari ke sepuluh sejak pertemuannya dengan Rafael. Queen memadamkan lampu kamar. Diambilnya kotak music snow globe pemberian Rafael, lantas ditekannya tombol di bagian bawah. Seketika, instrument musik mengalun merdu.Queen membaringkan tubuh di atas ranjang, matanya tidak pernah lepas dari snow globe yang kini memancarkan cahaya temaram warna warni. Indah, dan romantis. Instrument lembut itu dalam sekejap telah menyeret Queen pada kenangan malam itu. Saat Rafael menghujani kenikmatan untuk Queen.Queen bahkan tidak bisa melupakan aroma mint saat Rafael melumat bibirnya. Oh, apa yang sebenarnya Queen rasakan? Ia ingin membenci Rafael, tetapi kenyataannya ia justru tidak bisa melupakan kenangan terakhir mereka.Satu lagi yang mengganggu pikiran Queen. Kenapa Rafael tidak pernah lagi menemuinya? Barangkali Rafael merasa bosan pada Queen, karena saat itu Queen tidak membalas ciumannya. Pria brengsek seperti Rafael lebih meny
"Aku senang melihat gadis yang tidak terlalu pemilih pada makanan," komentar Elma.Queen tersenyum, menyantap hidangan penutup berupa red velvet cake. "Kue ini sangat enak, Nyonya. Saya menyukainya.""Mama sendiri yang membuat kue ini," timpal Joshua."Oh ya? Kau beruntung karena memiliki ibu yang pandai memasak, Jo!""Kau tahu apa yang membuat Papa jatuh cinta dan tergila-gila pada Mama?""Karena masakannya?""Benar. Papa sangat menyayangi Mama karena Mama pandai memanjakan perut Papa.”Seketika tawa riang terdengar memenuhi ruang makan. Awalnya, Queen pikir duduk di depan Nyonya Alexander akan sangat menegangkan. Ternyata ia salah. Nyonya Elma Alexander adalah seorang wanita ramah dan tidak pernah memandang seseorang dari rupa dan kasta.Lihatlah bagaimana cara ia tertawa, terlihat anggun dan penuh etika. Tawa lembut yang menyenangkan. Rambut panjangnya disanggul rapi. Anting berlian kecil yang menempel di telinganya menunju
22 TAHUN YANG LALU"Aku tidak suka bermain piano, Pa!" Seorang bocah lelaki berusia tujuh tahun, merajuk pada ayahnya."Papa tidak mau tahu. Anak-anak Papa harus pandai dalam semua bidang, termasuk musik. Lagipula, kata Nona Elma kau cepat menangkap apa yang diajarkan olehnya.""Tapi, Pa! Aku bosan dan−""Jangan membantah, Rafael. Papa menginginkan yang terbaik untukmu."Rafael tidak menyukai alat musik. Ia lebih tertarik mengikuti les berbagai macam bahasa, seperti saran ibunya. Namun, belakangan ini ayahnya justru menambah satu daftar les lagi, yaitu les piano. Padahal Rafael sudah berkali-kali menolak, tetapi ayahnya seolah tidak mau tahu.Alexander tetap mendatangkan guru untuk Rafael, seorang pianis muda berwajah cantik. Namanya Nona Elma. Semakin hari, Rafael semakin membenci Elma. Bukan tanpa alasan. Rafael tidak menyukai kedekatan antara Elma dan Alexander. Bukan sekali dua kali bocah itu memergoki ayahnya duduk berpegangan tangan dengan E
“Untuk kesekian kalinya, aku minta maaf pada kalian.” Alexander membuka pembicaraan. Duduk di meja kerja sembari menatap anak-anak di hadapannya bergantian.Queen duduk di antara Rafael dan Joshua. Ia memenuhi undangan Alexander untuk mendengarkan lelaki itu menyelesaikan permasalahan.“Rafael dan Joshua, Papa ingin kalian mengakhiri permusuhan. Cukup sampai di sini. Jangan ada yang menjadi korban untuk kesekian kali.”“Tidak semudah itu,” bantah Rafael.“Rafael, jangan bersikap egois. Kau boleh membenci Papa, jika kau ingin membalas dendam, hancurkan Papa, karena Papa awal mula kejadian ini. Papa akui, Papa yang salah.”“Harusnya Papa mengatakan itu di depan Mama.”“Raf, bukankah setiap manusia pasti pernah berbuat khilaf dan dosa? Pun denganmu yang pernah dengan tega membatalkan pernikahanmu dengan Queen, lalu tanpa perasaan berusaha menggugurkan bayi di kandungan Queen.”“Aku menyesal, Pa.”“Kau pernah salah langkah, begitu pu
“Selamat malam, Neesha. Belum tidur?” Aldric melangkah menghampiri Neesha yang sedang asyik bermain piano.“Malam, Uncle. Neesha belum mengantuk, masih menunggu siapa tahu sebentar lagi Papa datang menjemput Neesha. Neesha kangen Papa.”Aldric mengelus rambut panjang Neesha dengan lembut, kemudian ia menunduk dan menyejajarkan posisi wajah dengan bocah perempuan itu. “Main pianonya bisa istirahat sebentar? Ada seseorang yang ingin bertemu Neesha.”Kaneesha mendongak dengan mata berbinar. “Papa yang datang kan?”Aldric menggeleng perlahan. “Bukan, Sayang.”“Yaaaah … ternyata bukan Papa.” Seketika binar indah di mata Kaneesha meredup.“Sabar ya, Nak. Papamu masih membutuhkan waktu.”“Sampai berapa lama? Papa sudah terlalu lama di luar kota.”“Emmm … tunggu saja. Ah ya, kata Alsen, selama ini Neesha ingin punya kakek dan nenek, ‘kan?”“Yeah, Neesha iri pada Alsen. Alsen punya mama yang baik, tidak seperti mama Neesha yang lebi
Queen meremas jemarinya, berdiri di depan Selly dengan tegang. Bagaimana tidak, Selly menyambut kedatangannya dengan senyuman. Senyum itulah yang membuat Queen curiga, ada sesuatu hal buruk yang akan diucapkan Selly.“Rafael tidak memaafkan kesalahanku, padahal apa yang dia lakukan tidak berbeda jauh denganku. Aku tidur dengan lelaki lain, dan Rafael pun tidur dengan wanita lain. Harusnya itu impas, bukan?” Selly tertawa dengan ekspresi datar. Terlihat jelas mata wanita itu sembab, pertanda ia baru saja menangis, entah berapa lama.“Kau membohonginya selama bertahun-tahun. Dan kau yang membuat Rafael memilih bayi yang salah.”“Okay. I know. Dan sekarang dia hancur, sama halnya denganku. Kita berempat terjebak dalam situasi yang sama. Bukankah seharusnya kau dan Joshua pun hancur seperti kami? Tapi kenyataannya kalian justru akan berpesta merayakan kehancuran kami.”“Kau harus ingat satu hal, Selly. Kami sudah terlebih dulu hancur oleh keegoisanmu dan
Aldric memapah Rafael masuk ke kamar, lantas mendudukkan lelaki itu di sofa. Beberapa menit yang lalu, ia menjemput lelaki itu di club. Kondisinya begitu memprihatinkan, menghabiskan berrgelas-gelas minuman sampai mabuk berat.“Mulai saat ini pulanglah ke rumahmu sendiri, jangan pulang ke rumah orang lain apalagi ke apartemen Queen. Neesha ada di rumahku, aku akan menjaganya sampai kau bisa mengendalikan diri dan mengambil keputusan yang tepat.”Rafael tertawa. “Bagaimana keadaan anak perempuan itu? Baik-baik saja?”“Baik-baik saja bagaimana, dia shock. Setiap hari menanyakanmu. Untung Alsen dan istriku selalu menghiburnya. Lalu bagaimana? Kau sudah mengambil keputusan?”Rafael mengacak rambut frustrasi. “Aku sudah mengirim surat gugatan cerai untuk Selly.”“Lalu bagaimana dengan Neesha?”“Bagaimana lagi? Tentu saja dia harus ikut ibunya. Aku sudah tidak sanggup mengurusnya, aku terluka setiap kali melihatnya. Seharusnya aku tida
“Good night, Queen. Sweet dream.” Joshua mengecup kening Queen.“Mimpi indah juga untukmu.”“Apa kau bahagia setelah kita menghabiskan waktu seharian untuk bersenang-senang di wahana rekreasi?”“Yeah, I’m happy.”“Syukurlah. Aku pulang dulu, sudah larut malam.”“Terima kasih, Jo.”“Kau sudah mengucapkan itu ratusan kali.”“Terima kasih karena sudah membantuku melupakan masa lalu.”Joshua tersenyum, mengusap pipi kanan calon istrinya. “Kau tahu aku melakukan ini karena aku mencintaimu.”“Aku beruntung memiliki teman sepertimu.”“Queen, kau percaya bahwa aku akan selalu berusaha membahagiakanmu, ‘kan?”“Hum … tentu saja. Saat ini kau satu-satunya lelaki yang aku percaya. Kau tidak pernah lelah mengejarku bahkan sekalipun aku berlari menjauh. Cinta yang kau tunjukkan membuatku semakin yakin, hanya kau lelaki yang bisa membuatku bahagia.”“Aku senang mendengar itu, Honey! Kau tidak m
Rafael mengerjap, terbangun dari tidur lelapnya. Ah, entah sudah berapa lama ia tidak pernah merasakan tidur yang begitu hangat dan nyaman seperti malam ini. Dan aroma harum yang tidak asing di indra penciumannya itu−Wait! Rafael menggeleng, sebisa mungkin menghilangkan rasa kantuk, lalu mempertajam penglihatannya. Sekarang ia tahu kenapa ia bisa tidur senyaman ini. Wanita itu, Queen, berada di dalam dekapannya. Bagaimana ceritanya sehingga Queen bisa tertidur di sofa bersamanya?Sembari mengingat-ingat kejadian semalam, tangan Rafael terulur untuk merapikan anak rambut di dahi Queen. Ah, cantik dan penuh pesona.Queen yang merasa terusik oleh belaian lembut di dahinya, dalam sekejap matanya terbuka dan tergagap saat menemukan Rafael berada di sisinya. “Rafael!”Wanita itu bergegas bangun dan menyingkir dari Rafael. Duduk berpindah ke sofa seberang, lantas mengikat rambutnya yang berantakan.“Sepertinya semalam aku mabuk.” Rafael bersandar ke
“Kau suka ini?” Joshua menunjuk cincin bermata berlian di etalase.Malam itu, Joshua mengajak Queen memilih satu set perhiasan untuk acara pernikahan mereka yang hanya tinggal 3 minggu lagi.“Aku tidak suka terlihat mencolok. Pilih saja yang berliannya kecil.”“Ayolah, Queen. Apa salahnya terlihat mencolok? Kau bukan hanya calon istri seorang pianis kelas internasional, tetapi juga menantu pengusaha besar Alexander.”“Jo, kita sudah sepakat mengadakan resepsi sederhana.”Joshua menatap Queen secara intens. “Kau tidak sedang meragukan pernikahan ini, ‘kan?”“Tidak, Jo. Aku hanya−““Takut pernikahanmu gagal lagi?”“Jo!”“Queen, aku bukan Rafael! Kau tahu sendiri, seorang lelaki bernama Joshua mencintaimu sejak pertama kali melihatmu. Lalu apa yang harus kau ragukan?”Queen menghela napas. “Aku percaya padamu. Hanya saja−““Takut Rafael menghancurkan rencana pernikahan kita? Tenang saja, aku sudah meminta bantua
“Tiramissu satu, cheesecake satu.” Rafael memesan kue di ‘Q Bakery’ sembari mengedarkan pandangan ke seluruh area toko kue.Setelah selesai melakukan transaksi, Rafael menenteng paper bag berisi kue favorit Kaneesha. Melangkah tegap menuju tempat parkir. Ia mengerutkan dahi saat menemukan seorang wanita berdiri tepat di sisi kanan mobil. Nara, teman Queen.Nara menyilangkan kedua lengan di depan dada sembari bersandar di mobil. “Lima kali,” ujarnya dengan wajah masam.“Lima kali apanya?”“Saya menghitungnya, sudah lima hari berturut-turut Anda selalu datang ke toko ini.”“Lalu? Apa yang aneh? Aku membeli kue.” Rafael menunjukkan paper bag di tangannya.“Anda tidak sekadar membeli kue. Mencari Queen, ‘kan?”“Queen? Apa hubungannya kue ini dengan Queen? Aku justru senang dia tidak menjadi guru les putriku lagi.”Sejak malam di rumah sakit waktu itu, Queen tidak pernah datang ke rumah Rafael lagi.
“Sudah sejauh mana?”Akhirnya, setelah beberapa menit terdiam, pertanyaan Selly memecah keheningan. Rafael menggenggam tangan Selly, menatap wajah pucat wanita itu dengan perasaan bersalah.“Apanya?” Seperti orang bodoh, Rafael menanggapi pertanyaan Selly.“Hubungan kalian, memangnya apa lagi?”“Dia hanya guru les piano Neesha.”“Ya, hanya guru les piano. Aku pun tidak lupa cerita tentang masa kecilmu. Ayahmu, dan guru les piano.”“Jangan samakan aku dengannya. Please, Sel. Jangan berpikiran yang tidak-tidak.”“Aku harus berpikir apa? Neesha bahkan memuji-muji dia seperti ratu. Merawat Neesha saat sakit. Dia menggantikan posisiku sebagai seorang ibu.” Terdengar helaan napas kasar. “Mungkin dia juga sudah menggantikan posisiku sebagai seorang istri.”“Sel, berhenti berpikiran negatif. Kau tahu aku hanya mencintaimu.”“Bagaimana bisa kebetulan seperti itu? Bukankah dulu kau bilang wanita itu berada di Italia? Lalu sekarang