Rafael meletakkan ponsel di atas meja. Kedua sudut bibirnya tertarik ke atas, menampakkan sebuah kepuasan. Puas karena merasa berada di atas angin. Sebentar lagi, kelincinya akan takluk di dalam genggaman.
"Kau tersenyum seperti orang yang sedang jatuh cinta." Teman Rafael yang bernama Aldric, berkomentar.
"Jatuh cinta? Jangan konyol." Rafael menghirup aroma kopi di dalam cangkir, lantas menyesapnya. Menikmati perpaduan antara rasa manis dan pahit yang membasahi tenggorokan.
"Kau benar-benar tahu jika gadis itu sedang memeluk jas dan menghirup aroma tubuhmu?"
"Aku hanya menebaknya. Gadis polos seperti dia persis seperti buku yang terbuka, setiap lembarnya mudah untuk dibaca. Permainan segera dimulai."
"Aish ... dasar serigala!" Aldric menggeleng-gelengkan kepala, tidak menyukai kelakuan sahabatnya. "Sebaiknya kau pikirkan lagi, dia tidak pantas menjadi korban hanya karena dia gadis yang dicintai adikmu."
"I don't care. Toh Queen tidak sepenuhnya merugi. Kau tahu sendiri, ada banyak gadis yang mengantre ingin berkencan denganku. Dan Queen akan menjadi gadis yang beruntung karena bisa menikmati permainan ranjang bersamaku."
"Kau hanya mempermainkan perasaannya. Dan dia pasti akan merasa tersakiti nantinya."
"Rasa sakit yang sebanding dengan kenikmatan yang akan dia dapatkan."
Percakapan terjeda saat waiter meletakkan dua porsi steak di atas meja. Daging hangat itu mengepulkan asap tipis, menguarkan aroma khas yang membuat perut semakin terasa lapar. Disajikan bersama french fries dan salad, serta dilengkapi dengan soy sauce wasabi, begitu menggugah selera.
"Oke, bisa jadi kau sendiri yang akan terjebak dan terjerat pesonanya."
"Tidak mungkin. Aku setia pada kekasihku."
"Jika setia pada Selly, kau tidak akan tidur dengan ..., eh siapa tadi namanya?"
"Queen."
"Ah ya, Queen. Berapa nilai yang kau berikan untuk gadis itu?"
Dahi Rafael berkerut, mencoba mengingat-ingat. "Emmm ... kakinya jenjang, pinggang ramping, rambut panjang dan ikal di bagian bawahnya, ukuran dadanya standart, wajah manis dengan sedikit belahan di dagunya. Sepertinya nilai tujuh setengah sudah cukup."
"Damn!" Aldric menepuk permukaan meja. "Dengan ciri-ciri yang kau sebutkan tadi, aku yakin dia pantas mendapat nilai sembilan setengah."
"Hanya kekasihku yang pantas mendapatkan nilai sebanyak itu."
"Astaga, entah kenapa aku bisa memiliki teman sebrengsek dirimu."
"Jangan banyak komentar. Sekarang ceritakan padaku, bagaimana kau bisa menikah dengan istrimu yang polos itu?"
"Kau ingin menikahi Queen?" Aldric melebarkan mata.
"Tentu saja tidak. Aku hanya ingin menaklukkannya dan membuat dia lebih memilihku daripada Joshua."
"Astaga, Raf! Sebaiknya pikirkan lagi jika kau hanya berniat mempermainkannya."
Rafael berdecak kesal. "Aldric! Jangan terlalu banyak menginterupsiku, aku sudah dewasa untuk menentukan pilihanku sendiri. Jadi, apa yang kau lakukan pada awal berkenalan dengan istrimu?"
"Sehari setelah pertemuan pertama kami, aku mengajak makan malam, lalu aku mengajaknya menikah."
"Dia langsung menerimamu?"
"Tentu saja tidak, dia malah ketakutan karena aku menyusup ke apartemennya dan menciumnya saat itu juga."
"Menciumnya? Ide bagus!"
Aldric mengiris steak menggunakan pisau, sesekali melirik Rafael dengan tatapan kesal. "Jangan harap kau bisa melakukan hal yang sama. Kondisinya berbeda, istriku sejak awal memang sudah jatuh cinta padaku. Lain halnya dengan Queen."
"Itu artinya aku harus membuat Queen jatuh cinta padaku." Rafael tersenyum miring, menusuk sepotong kentang goreng dan mencelupkannya ke dalam mangkok berisi saus. Pikirannya mulai berkelana.
"Tidak semudah itu, Raf. Terlebih gadis yang dididik dengan benar oleh orang tuanya, mereka gadis yang berprinsip."
"Dan prinsipnya akan berubah saat mengenalku."
"Kau tega merusak anak orang? Hanya karena permasalahan keluargamu, lalu orang luar menjadi korban? Ini tidak fair untuk Queen."
"Akan kubuat semua menjadi adil. Kuberikan kompensansi setelah aku mendapatkan tubuhnya."
"Raf, tidak semua hal bisa dinilai dengan uang."
"Berhenti ceramah, aku tidak akan berubah pikiran."
Aldric menggeleng-gelengkan kepala, sementara Rafael berpura-pura sibuk menyantap steak daging. Keputusannya sudah bulat, dia hanya perlu mencari cara agar Queen jatuh cinta padanya.
Aish ... kenapa Joshua harus mencintai gadis aneh seperti Queen? Padahal masih banyak gadis-gadis seksi yang mengincar Joshua juga. Dan gadis-gadis seksi itu pasti akan lebih mudah ditaklukan ketimbang gadis polos seperti Queen.
"Aku sarankan, jangan sampai Selly tahu. Atau akan ada dua orang wanita yang terluka dalam waktu bersamaan. Selly yang merasa dikhianati, dan Queen yang merasa dipermainkan."
"Tenang saja, aku akan bermain dengan rapi."
***
Q BAKERY merupakan salah satu toko kue yang memiliki cabang di beberapa daerah. Menjual aneka kue, mulai dari kue kering sampai cake dengan berbagai macam rasa. Cheese cake, Matcha Cake, Almond Cake, dll. Selain itu, Q BAKERY juga menerima pesanan kue ulang tahun maupun kue pernikahan.
Kue dibuat dari bahan-bahan berkualitas, dengan komposisi sempurna yang diracik Maura. Resep turun temurun yang dikembangkan mengikuti trend, sehingga menghasilkan rasa nikmat yang disukai berbagai kalangan. Itulah yang membuat Q BAKERY tidak pernah sepi pengunjung.
Queen menatap monitor, lantas menyebutkan nominal yang tertera di sana. "Totalnya seratus lima puluh ribu, Nyonya."
Wanita muda bersanggul rapi itu mengulurkan tiga lembar uang lima puluh ribuan. Queen mengucapkan terima kasih sambil menyerahkan sebuah plastik berlogo 'Q BAKERY'. "Ditunggu kedatangannya kembali." Queen tersenyum sampai pelanggan toko kuenya berlalu pergi.
Gadis itu menghela napas. Meraih ponsel yang sejak tadi berdering. "Ya, Mama?"
"Jangan lupa cek persiapan kue ulang tahun yang akan diambil pelanggan nanti malam."
"Tenang, Ma. Semua sudah siap."
"Dan kau, jangan terlambat pulang lagi, atau Mama tidak akan membiarkanmu masuk ke rumah."
"Oke, Ma. Aku langsung pulang setelah toko tutup."
Serentetan kalimat terus meluncur dari seberang sana, dan Queen hanya mengiyakan. Entah itu tentang perkembangan toko kue, maupun ceramah lanjutan semalam. Maura memang tidak main-main dalam hal mendidik anak gadisnya. Wajar jika selama ini Queen jarang berteman dengan lelaki, kecuali Joshua.
Bagi Queen, Joshua berbeda dengan pria kebanyakan. Meski berasal dari keluarga kaya, tetapi ia tidak pernah pandang bulu dalam hal bergaul. Pria itu juga selalu mencerminkan hidup sederhana. Yang paling penting, Joshua adalah pria santun dan selalu menghormati wanita.
Meski demikian, Queen hanya menganggapnya sebagai teman, tidak lebih. Terlepas dari wejangan Maura dalam hal menjaga diri, Queen memang tidak memiliki perasaan lebih pada Joshua. Bukan berarti Queen tidak pernah jatuh cinta pada seorang lelaki.
Bagaimanapun juga, Queen seorang wanita normal. Ia juga pernah menyukai lawan jenis. Hanya saja, ia selalu abai pada perasaannya. Lebih senang mengalihkan perasaan cintanya pada hal-hal positif. Entah itu dengan cara membantu Maura di toko kue, ataupun ikut terjun ke dalam komunitas sosial.
Queen masih sibuk menggulir layar ponsel, saat suara baritone menginterupsinya. "Pesan dua cheese cake, dua matcha cake, dua almond cake, dan dua banana cake."
Queen mendongak, seketika matanya melebar melihat pria di hadapannya. Tubuh Rafael terbalut setelan kerja, berdiri tegak di depan meja kasir. "Anda lagi?"
"Kebetulan hari ini ada tamu penting, jadi aku memesan banyak kue untuk menjamu mereka."
"Apa Anda tidak punya bawahan sehingga harus turun tangan untuk membeli kue sendiri?" Queen memutar bola mata jengah. Pria berjas hitam di depannya sangat menyebalkan. Ingin rasanya Queen menarik dasi di leher Rafael dengan kencang sampai pria itu tercekik dan kehabisan napas.
"Kebetulan aku baru saja meeting di gedung sebelah. Aku pikir tidak ada salahnya jika sekalian mampir ke sini untuk membeli kue. Ah, bukan kue. Tapi untuk ...," Rafael menjeda kalimatnya, lantas mencondongkan tubuh ke arah Queen, "menemui gadis yang kurindukan."
Queen menunduk, berpura-pura sibuk mencatat pesanan Rafael. Astaga, kenapa hanya mendengar kalimat singkat itu, wajah Queen sudah memanas? Padahal Queen saja tidak yakin jika ucapan Rafael berasal dari hati.
"Nara, tolong siapkan pesanan Tuan Rafael," ucap Queen pada salah satu karyawan toko.
"Oke." Nara dengan sigap menyiapkan kue pesanan Rafael.
Setelah menyelesaikan transaksi, Rafael tidak langsung pergi. "Aku ingin makan malam denganmu. Apa nanti malam ada waktu? Pasti ada."
"Maaf, saya sibuk."
"Ayolah, aku tidak suka ditolak."
"Maaf, Tuan. Transaksi Anda sudah selesai. Ada antrean pelanggan lain di belakang Anda."
"Aku tidak akan pergi sebelum kau menerima ajakanku."
"Tapi−"
"Aku tidak suka mengancam, tapi berdiri di antrean paling depan sangatlah menyenangkan."
Queen mengusap wajah kasar. Ah, pria keras kepala! "Oke, saya menerima ajakan Anda. Sekarang pergilah."
Rafael menjentikkan jari. "Aku akan meneleponmu. Sampai jumpa nanti malam, Nona Manis."
Sembari melayani customer selanjutnya, Queen mengawasi Rafael sampai lelaki itu menghilang di balik pintu. Nanti malam, itu urusan belakangan. Yang penting Rafael tidak mengganggunya lagi, setidaknya untuk saat ini.
Dinner? Astaga, Maura saja sudah memperingatkan Queen agar tidak pulang terlambat. Lalu, alasan apa yang akan Queen berikan? Bicara jujur kalau dia akan makan malam dengan seorang pria? Oh, bisa-bisa Maura mencoretnya dari daftar Kartu Keluarga.
Argh! Rafael sialan!
***
Tuan PemaksaHai, Nona Manis. Aku akan menjemputmu tepat jam 7 malam. Di mana aku harus menjemputmu? Di rumah? Di toko roti?Queen membanting ponselnya ke atas meja. Apa ia harus memblokir nomor Rafael agar Tuan Pemaksa itu tidak bisa menghubunginya lagi? Ah, bukan pilihan tepat. Itu justru akan membuat Rafael bertindak semaunya sendiri.Lagi-lagi terdengar bunyi beep dari ponsel. Rafael tidak mudah menyerah. Apa sebenarnya tujuan Rafael mendekatinya? Karena tertarik? Queen menggeleng, tidak mungkin. Pria seperti Rafael tidak akan menyukai gadis polos seperti Queen.Tuan PemaksaTidak dibalas? Oke, aku akan menjemputmu di toko. Jika kau tidak menungguku di sana, aku akan datang ke rumahmu. Bertemu dengan calon ibu mertua bukanlah ide buruk.Gila! Apa kata Maura seandainya pria asing datang ke rumah untuk menjemput putrinya? Terlebih pri
Queen menahan napas saat Rafael menyentuh sisi lehernya. Sentuhan ringan itu membuat syaraf-syaraf tubuhnya menegang. Baru kali ini ada lelaki yang berani menyentuh Queen secara intens. Ah, perasaan macam apa ini, desiran di dalam darahnya terasa begitu asing.Di saat Queen masih sibuk memikirkan gejolak di dalam dirinya, tanpa diduga Rafael menunduk dan wajahnya semakin mendekat dengan Queen. Lantas, pria itu dengan lancang mengecup bibir gadis di hadapannya!Queen terbelalak. Ciuman pertamanya! Direbut secara paksa oleh lelaki brengsek yang tidak disukainya! Rafael kurang ajar! Refleks, Queen mendorong Rafael, lalu melayangkan tinju ke wajah pria itu.Rafael yang tidak menduga akan mendapat serangan mendadak, mundur selangkah sembari memegangi pipi. Luapan gairah beberapa saat lalu, digantikan rasa nyeri di wajahnya. Damn!Ternyata Queen bukan hanya polos, melainkan juga liar! Di saat semua wanita berebut ingin mendapat ciuman Rafael, Queen justru
Queen menghela napas kasar, menekan button pause di layar laptop. Drama Korea yang sedang ditonton sangat membosankan. Ah, bukan drama yang membosankan, tapi kissing scene yang membuat Queen jengkel. Demi apa, keromantisan itu mengingatkan Queen pada ciuman Rafael.Refleks, Queen menyentuh bibir. Seharusnya, ia memberikan ciuman pertamanya pada lelaki yang ia cintai, bukan pria asing yang menyebalkan. Sudah dua hari sejak peristiwa itu terjadi, dan untungnya Rafael tidak pernah mengganggu lagi. Barangkali pukulan di wajah Rafael membuat pria itu jera.Bunyi beep di ponsel membuat Queen mengalihkan perhatian dari laptop. Dengan cekatan jarinya mengusap layar ponsel. Pesan singkat dari Maura.MamaSebelum tidur jangan lupa mengunci pintu dan jendela. Mama pulang besok sore.Sejak siang tadi, Maura pergi ke luar kota. Kebetulan ada undangan di sebuah acara demo mas
Pernahkah kalian membayangkan berada di dalam kuasa seorang pria berwajah tampan serupa Dewa Yunani? Rahang tegas dengan bulu-bulu halus yang tercukur rapi, dan hampir seluruh bagian wajah terukir sempurna, tanpa cela sedikitpun. Lalu, mata tajam yang tiba-tiba berubah menjadi sayu, seolah tengah menawarkan sebuah kesepakatan, 'Hello, Baby Girl! Please, come to me! Tenang saja, aku tidak akan menyakitimu.'Harus Queen akui, Rafael terlalu pandai menguasai seseorang hanya dengan menatap matanya. Tatapan tajam dan menghunjam jauh di kedalaman mata lawannya. Seperti virus mematikan, dengan cepat menyebar hingga membuat lawan takluk di tangannya."Ahhhh ...." Desahan itu lolos begitu saja dari bibir Queen, saat lidah Rafael dengan nakal menyusup lebih jauh melewati bibir Queen.Jadi ini rasanya berciuman? Tolong, Queen bahkan tidak tahu bagaimana ia harus mendefinisikan rasa nikmat yang menggelenyar di sekujur tubuh. Yang ia tahu, ia merasakan panas,
Hari ke sepuluh sejak pertemuannya dengan Rafael. Queen memadamkan lampu kamar. Diambilnya kotak music snow globe pemberian Rafael, lantas ditekannya tombol di bagian bawah. Seketika, instrument musik mengalun merdu.Queen membaringkan tubuh di atas ranjang, matanya tidak pernah lepas dari snow globe yang kini memancarkan cahaya temaram warna warni. Indah, dan romantis. Instrument lembut itu dalam sekejap telah menyeret Queen pada kenangan malam itu. Saat Rafael menghujani kenikmatan untuk Queen.Queen bahkan tidak bisa melupakan aroma mint saat Rafael melumat bibirnya. Oh, apa yang sebenarnya Queen rasakan? Ia ingin membenci Rafael, tetapi kenyataannya ia justru tidak bisa melupakan kenangan terakhir mereka.Satu lagi yang mengganggu pikiran Queen. Kenapa Rafael tidak pernah lagi menemuinya? Barangkali Rafael merasa bosan pada Queen, karena saat itu Queen tidak membalas ciumannya. Pria brengsek seperti Rafael lebih meny
"Aku senang melihat gadis yang tidak terlalu pemilih pada makanan," komentar Elma.Queen tersenyum, menyantap hidangan penutup berupa red velvet cake. "Kue ini sangat enak, Nyonya. Saya menyukainya.""Mama sendiri yang membuat kue ini," timpal Joshua."Oh ya? Kau beruntung karena memiliki ibu yang pandai memasak, Jo!""Kau tahu apa yang membuat Papa jatuh cinta dan tergila-gila pada Mama?""Karena masakannya?""Benar. Papa sangat menyayangi Mama karena Mama pandai memanjakan perut Papa.”Seketika tawa riang terdengar memenuhi ruang makan. Awalnya, Queen pikir duduk di depan Nyonya Alexander akan sangat menegangkan. Ternyata ia salah. Nyonya Elma Alexander adalah seorang wanita ramah dan tidak pernah memandang seseorang dari rupa dan kasta.Lihatlah bagaimana cara ia tertawa, terlihat anggun dan penuh etika. Tawa lembut yang menyenangkan. Rambut panjangnya disanggul rapi. Anting berlian kecil yang menempel di telinganya menunju
22 TAHUN YANG LALU"Aku tidak suka bermain piano, Pa!" Seorang bocah lelaki berusia tujuh tahun, merajuk pada ayahnya."Papa tidak mau tahu. Anak-anak Papa harus pandai dalam semua bidang, termasuk musik. Lagipula, kata Nona Elma kau cepat menangkap apa yang diajarkan olehnya.""Tapi, Pa! Aku bosan dan−""Jangan membantah, Rafael. Papa menginginkan yang terbaik untukmu."Rafael tidak menyukai alat musik. Ia lebih tertarik mengikuti les berbagai macam bahasa, seperti saran ibunya. Namun, belakangan ini ayahnya justru menambah satu daftar les lagi, yaitu les piano. Padahal Rafael sudah berkali-kali menolak, tetapi ayahnya seolah tidak mau tahu.Alexander tetap mendatangkan guru untuk Rafael, seorang pianis muda berwajah cantik. Namanya Nona Elma. Semakin hari, Rafael semakin membenci Elma. Bukan tanpa alasan. Rafael tidak menyukai kedekatan antara Elma dan Alexander. Bukan sekali dua kali bocah itu memergoki ayahnya duduk berpegangan tangan dengan E
Rafael mengusap wajah kasar, rasanya seperti mimpi, saat ia terbangun dalam keadaan tanpa busana. Wanita berambut kecokelatan yang berbaring di sisinya jelas bukan Selly. Setelah ingatannya terkumpul, kini ia tahu siapa wanita yang masih terlelap dengan selimut membungkus tubuhnya sebatas dada.Queen, tergolek lemah setelah berkali-kali Rafael menghujaninya dengan kenikmatan. Gadis polos yang menyerahkan keperawanan karena tipu daya Rafael. Saat ini Rafael bahkan tidak bisa memahami perasaannya sendiri. Haruskah ia senang, sedih, atau menyesal?Rafael menyeringai, seharusnya ia merasa senang karena bisa mengalahkan Joshua. Akan tetapi, ketika mengingat Selly, Rafael merasa bersalah karena telah mengkhianati kekasihnya. Sungguh, kalau saja boleh memilih, Rafael juga tidak ingin menyentuh wanita selain Selly. Dia hanya menginginkan Selly, dan dia terpaksa mengambil keperawanan Queen hanya untuk menyakiti Joshua.Menyingkirkan rasa bersalah, Rafael meraih celana panja
“Untuk kesekian kalinya, aku minta maaf pada kalian.” Alexander membuka pembicaraan. Duduk di meja kerja sembari menatap anak-anak di hadapannya bergantian.Queen duduk di antara Rafael dan Joshua. Ia memenuhi undangan Alexander untuk mendengarkan lelaki itu menyelesaikan permasalahan.“Rafael dan Joshua, Papa ingin kalian mengakhiri permusuhan. Cukup sampai di sini. Jangan ada yang menjadi korban untuk kesekian kali.”“Tidak semudah itu,” bantah Rafael.“Rafael, jangan bersikap egois. Kau boleh membenci Papa, jika kau ingin membalas dendam, hancurkan Papa, karena Papa awal mula kejadian ini. Papa akui, Papa yang salah.”“Harusnya Papa mengatakan itu di depan Mama.”“Raf, bukankah setiap manusia pasti pernah berbuat khilaf dan dosa? Pun denganmu yang pernah dengan tega membatalkan pernikahanmu dengan Queen, lalu tanpa perasaan berusaha menggugurkan bayi di kandungan Queen.”“Aku menyesal, Pa.”“Kau pernah salah langkah, begitu pu
“Selamat malam, Neesha. Belum tidur?” Aldric melangkah menghampiri Neesha yang sedang asyik bermain piano.“Malam, Uncle. Neesha belum mengantuk, masih menunggu siapa tahu sebentar lagi Papa datang menjemput Neesha. Neesha kangen Papa.”Aldric mengelus rambut panjang Neesha dengan lembut, kemudian ia menunduk dan menyejajarkan posisi wajah dengan bocah perempuan itu. “Main pianonya bisa istirahat sebentar? Ada seseorang yang ingin bertemu Neesha.”Kaneesha mendongak dengan mata berbinar. “Papa yang datang kan?”Aldric menggeleng perlahan. “Bukan, Sayang.”“Yaaaah … ternyata bukan Papa.” Seketika binar indah di mata Kaneesha meredup.“Sabar ya, Nak. Papamu masih membutuhkan waktu.”“Sampai berapa lama? Papa sudah terlalu lama di luar kota.”“Emmm … tunggu saja. Ah ya, kata Alsen, selama ini Neesha ingin punya kakek dan nenek, ‘kan?”“Yeah, Neesha iri pada Alsen. Alsen punya mama yang baik, tidak seperti mama Neesha yang lebi
Queen meremas jemarinya, berdiri di depan Selly dengan tegang. Bagaimana tidak, Selly menyambut kedatangannya dengan senyuman. Senyum itulah yang membuat Queen curiga, ada sesuatu hal buruk yang akan diucapkan Selly.“Rafael tidak memaafkan kesalahanku, padahal apa yang dia lakukan tidak berbeda jauh denganku. Aku tidur dengan lelaki lain, dan Rafael pun tidur dengan wanita lain. Harusnya itu impas, bukan?” Selly tertawa dengan ekspresi datar. Terlihat jelas mata wanita itu sembab, pertanda ia baru saja menangis, entah berapa lama.“Kau membohonginya selama bertahun-tahun. Dan kau yang membuat Rafael memilih bayi yang salah.”“Okay. I know. Dan sekarang dia hancur, sama halnya denganku. Kita berempat terjebak dalam situasi yang sama. Bukankah seharusnya kau dan Joshua pun hancur seperti kami? Tapi kenyataannya kalian justru akan berpesta merayakan kehancuran kami.”“Kau harus ingat satu hal, Selly. Kami sudah terlebih dulu hancur oleh keegoisanmu dan
Aldric memapah Rafael masuk ke kamar, lantas mendudukkan lelaki itu di sofa. Beberapa menit yang lalu, ia menjemput lelaki itu di club. Kondisinya begitu memprihatinkan, menghabiskan berrgelas-gelas minuman sampai mabuk berat.“Mulai saat ini pulanglah ke rumahmu sendiri, jangan pulang ke rumah orang lain apalagi ke apartemen Queen. Neesha ada di rumahku, aku akan menjaganya sampai kau bisa mengendalikan diri dan mengambil keputusan yang tepat.”Rafael tertawa. “Bagaimana keadaan anak perempuan itu? Baik-baik saja?”“Baik-baik saja bagaimana, dia shock. Setiap hari menanyakanmu. Untung Alsen dan istriku selalu menghiburnya. Lalu bagaimana? Kau sudah mengambil keputusan?”Rafael mengacak rambut frustrasi. “Aku sudah mengirim surat gugatan cerai untuk Selly.”“Lalu bagaimana dengan Neesha?”“Bagaimana lagi? Tentu saja dia harus ikut ibunya. Aku sudah tidak sanggup mengurusnya, aku terluka setiap kali melihatnya. Seharusnya aku tida
“Good night, Queen. Sweet dream.” Joshua mengecup kening Queen.“Mimpi indah juga untukmu.”“Apa kau bahagia setelah kita menghabiskan waktu seharian untuk bersenang-senang di wahana rekreasi?”“Yeah, I’m happy.”“Syukurlah. Aku pulang dulu, sudah larut malam.”“Terima kasih, Jo.”“Kau sudah mengucapkan itu ratusan kali.”“Terima kasih karena sudah membantuku melupakan masa lalu.”Joshua tersenyum, mengusap pipi kanan calon istrinya. “Kau tahu aku melakukan ini karena aku mencintaimu.”“Aku beruntung memiliki teman sepertimu.”“Queen, kau percaya bahwa aku akan selalu berusaha membahagiakanmu, ‘kan?”“Hum … tentu saja. Saat ini kau satu-satunya lelaki yang aku percaya. Kau tidak pernah lelah mengejarku bahkan sekalipun aku berlari menjauh. Cinta yang kau tunjukkan membuatku semakin yakin, hanya kau lelaki yang bisa membuatku bahagia.”“Aku senang mendengar itu, Honey! Kau tidak m
Rafael mengerjap, terbangun dari tidur lelapnya. Ah, entah sudah berapa lama ia tidak pernah merasakan tidur yang begitu hangat dan nyaman seperti malam ini. Dan aroma harum yang tidak asing di indra penciumannya itu−Wait! Rafael menggeleng, sebisa mungkin menghilangkan rasa kantuk, lalu mempertajam penglihatannya. Sekarang ia tahu kenapa ia bisa tidur senyaman ini. Wanita itu, Queen, berada di dalam dekapannya. Bagaimana ceritanya sehingga Queen bisa tertidur di sofa bersamanya?Sembari mengingat-ingat kejadian semalam, tangan Rafael terulur untuk merapikan anak rambut di dahi Queen. Ah, cantik dan penuh pesona.Queen yang merasa terusik oleh belaian lembut di dahinya, dalam sekejap matanya terbuka dan tergagap saat menemukan Rafael berada di sisinya. “Rafael!”Wanita itu bergegas bangun dan menyingkir dari Rafael. Duduk berpindah ke sofa seberang, lantas mengikat rambutnya yang berantakan.“Sepertinya semalam aku mabuk.” Rafael bersandar ke
“Kau suka ini?” Joshua menunjuk cincin bermata berlian di etalase.Malam itu, Joshua mengajak Queen memilih satu set perhiasan untuk acara pernikahan mereka yang hanya tinggal 3 minggu lagi.“Aku tidak suka terlihat mencolok. Pilih saja yang berliannya kecil.”“Ayolah, Queen. Apa salahnya terlihat mencolok? Kau bukan hanya calon istri seorang pianis kelas internasional, tetapi juga menantu pengusaha besar Alexander.”“Jo, kita sudah sepakat mengadakan resepsi sederhana.”Joshua menatap Queen secara intens. “Kau tidak sedang meragukan pernikahan ini, ‘kan?”“Tidak, Jo. Aku hanya−““Takut pernikahanmu gagal lagi?”“Jo!”“Queen, aku bukan Rafael! Kau tahu sendiri, seorang lelaki bernama Joshua mencintaimu sejak pertama kali melihatmu. Lalu apa yang harus kau ragukan?”Queen menghela napas. “Aku percaya padamu. Hanya saja−““Takut Rafael menghancurkan rencana pernikahan kita? Tenang saja, aku sudah meminta bantua
“Tiramissu satu, cheesecake satu.” Rafael memesan kue di ‘Q Bakery’ sembari mengedarkan pandangan ke seluruh area toko kue.Setelah selesai melakukan transaksi, Rafael menenteng paper bag berisi kue favorit Kaneesha. Melangkah tegap menuju tempat parkir. Ia mengerutkan dahi saat menemukan seorang wanita berdiri tepat di sisi kanan mobil. Nara, teman Queen.Nara menyilangkan kedua lengan di depan dada sembari bersandar di mobil. “Lima kali,” ujarnya dengan wajah masam.“Lima kali apanya?”“Saya menghitungnya, sudah lima hari berturut-turut Anda selalu datang ke toko ini.”“Lalu? Apa yang aneh? Aku membeli kue.” Rafael menunjukkan paper bag di tangannya.“Anda tidak sekadar membeli kue. Mencari Queen, ‘kan?”“Queen? Apa hubungannya kue ini dengan Queen? Aku justru senang dia tidak menjadi guru les putriku lagi.”Sejak malam di rumah sakit waktu itu, Queen tidak pernah datang ke rumah Rafael lagi.
“Sudah sejauh mana?”Akhirnya, setelah beberapa menit terdiam, pertanyaan Selly memecah keheningan. Rafael menggenggam tangan Selly, menatap wajah pucat wanita itu dengan perasaan bersalah.“Apanya?” Seperti orang bodoh, Rafael menanggapi pertanyaan Selly.“Hubungan kalian, memangnya apa lagi?”“Dia hanya guru les piano Neesha.”“Ya, hanya guru les piano. Aku pun tidak lupa cerita tentang masa kecilmu. Ayahmu, dan guru les piano.”“Jangan samakan aku dengannya. Please, Sel. Jangan berpikiran yang tidak-tidak.”“Aku harus berpikir apa? Neesha bahkan memuji-muji dia seperti ratu. Merawat Neesha saat sakit. Dia menggantikan posisiku sebagai seorang ibu.” Terdengar helaan napas kasar. “Mungkin dia juga sudah menggantikan posisiku sebagai seorang istri.”“Sel, berhenti berpikiran negatif. Kau tahu aku hanya mencintaimu.”“Bagaimana bisa kebetulan seperti itu? Bukankah dulu kau bilang wanita itu berada di Italia? Lalu sekarang