"Masuklah, Queen. Jangan sungkan, anggap saja rumah sendiri." Joshua membuka pintu, sementara seorang gadis berambut panjang berjalan membuntutinya.
"Thanks." Queen mengedarkan pandangan ke penjuru ruangan.
Sejak turun dari mobil milik Joshua, Queen sudah berdecak kagum melihat rumah klasik bergaya Eropa. Bangunan mewah berlantai tiga dengan pilar-pilar kokoh itu milik keluarga Alexander, ayah Joshua. Seorang pengusaha sukses yang bergerak di berbagai bidang, mulai dari perhotelan, penerbangan, hingga pertambangan.
"Duduklah. Mau minum apa?"
"Jo, aku tidak bisa lama-lama di sini." Queen memperingatkan.
"Aish ... jangan sungkan. Tenang saja, Mom dan Dad sedang tidak di rumah."
"Bukan itu, tapi Mama tidak suka melihatku pulang terlalu malam."
"Queen, harusnya kau protes pada ibumu. Umurmu sudah dua puluh dua tahun, bukan bayi lagi."
"Jo!"
Joshua terkekeh, mengempaskan pantat di atas sofa, tepat di samping Queen. "Aku bercanda."
Queen mencebikkan bibir. "Jadi, apa yang ingin kau katakan?"
"Aku ingin mengambil kuliah musik di Swiss." Joshua menghela napas berat.
"Wow, serius? Selamat, kau pasti akan menjadi seniman hebat setelah lulus dari sana."
"Kau senang?"
"Siapa yang tidak senang melihat teman baiknya sukses."
Joshua menyugar rambut, gelisah. Kemudian, ia beranjak dari sofa dan berucap, "Tunggu sebentar, aku akan menyuruh maid untuk menyiapkan makan malam. Kalau bosan menunggu, kau bisa memainkan piano milikku."
"Oke."
Queen mengawasi tubuh tinggi Joshua, melangkah menaiki tangga yang entah menuju ke mana. Rumah ini terlalu besar, bahkan sepertinya Queen akan tersesat jika ia harus menyusuri rumah ini seorang diri. Sekali lagi, gadis itu mengedarkan pandangan ke sekitarnya. Guci-guci antik tersebar hampir di semua sudut ruang tamu.
Sementara di langit-langit, beberapa lampu kristal berjajar rapi, menerangi ruangan sekaligus mencerminkan jika pemilik rumah merupakan seseorang yang sangat menyukai kemewahan dan keartistikan. Sangat elegan bak sebuah istana.
Queen beranjak dari tempat duduknya, bergerak menuju piano di sisi kanan ruangan. Perlahan, ia menyentuh benda kesayangan Joshua. Menurut Joshua, ia memiliki sebuah piano hadiah dari seorang seniman ternama kenalan ayahnya.
Ah, Joshua sangat beruntung karena banyak yang mendukungnya dalam hal musik. Lain halnya dengan Queen, ibunya tidak menyetujui ketertarikan Queen dalam bidang seni musik. Meski demikian, ia tidak hilang akal. Diam-diam, ia selalu memanfaatkan kegiatan musik di kampus.
Itulah alasan yang membuat Queen senang berteman dengan Joshua. Pria itu dengan senang hati mengajari Queen berbagai macam alat musik. Akan tetapi, Queen lebih tertarik pada piano. Entahlah, ada kedamaian tersendiri saat mendengar dentingan nada dari tuts-tuts yang dimainkan.
Queen duduk di hadapan piano, meletakkan jemari di atas tuts-tuts berwarna putih. Ia tersenyum, bersiap memainkan melodi.
***
Rafael turun dari Ferrari merah kesayangannya. Tubuh tinggi tegapnya berjalan meninggalkan garasi, di mana deretan mobil berjajar dengan rapi. Tiba di pintu samping, ia tertegun.
Rafael menajamkan indra pendengarnya. Denting piano yang mengalun merdu itu sangat menarik perhatian. Siapa pemilik jari-jari yang piawai memainkan nada-nada sendu? Rasa penasaran pun membuat ia melangkah ke arah sumber suara.
Ah ya, itu dia. Gadis berambut panjang yang belum pernah Rafael lihat sebelumnya. Wajah berkulit putihnya nampak merona. Cantik. Tanpa mengenalnya pun Rafael tahu, gadis itu sangatlah istimewa.
Gadis itu terlalu serius menghayati permainannya, sampai-sampai tidak menyadari kehadiran Rafael. Nada-nada sendu itu terus mengalun merdu, menarik siapa pun yang mendengarnya untuk menyelam dan menikmatinya. Termasuk Rafael, menyilangkan kedua lengan di depan dada dengan mata tertuju pada gadis pemain piano.
Satu menit kemudian, alunan piano terhenti, gadis itu tersenyum seraya mendongak. Tanpa sengaja, mata jernihnya berserobok pandang dengan Rafael. Hanya beberapa detik, karena di detik selanjutnya ia kembali menunduk menatap deretan tuts piano. Kedua pipinya bersemu merah. Gadis polos, dan itu sama sekali bukan selera Rafael.
"Permainan yang bagus, tetapi sayang kau tidak cukup menarik dengan style kaus longgar dan celana jeans. Akan lebih sempurna jika mengenakan dress berenda dengan belahan dada rendah, dan rok berbahan sutera sebatas paha. Aku rasa kakimu cukup mulus untuk dipertontonkan." Rafael tersenyum miring, lantas pergi meninggalkan gadis yang wajahnya semakin memerah oleh ucapannya.
"Tidak sopan!"
Sayup-sayup Rafael mendengar gadis itu menggerutu. Ya, gerutuan khas seorang gadis polos. Lain halnya jika kalimat yang sedikit melecehkan itu ditujukan untuk gadis nakal, barangkali gadis itu seketika akan membuka pakaiannya di hadapan Rafael.
Oke, lupakan. Rafael sama sekali tidak tertarik pada gadis pemain piano yang baru dilihatnya malam ini. Sebelumnya, ia sudah seringkali melihat Joshua membawa teman-teman senimannya ke rumah. Entah untuk bermain piano, gitar, dan berbagai jenis alat musik lain.
Sebagai seseorang yang menyukai dunia bisnis, Rafael tidak menyukai seni. Baginya, hal-hal semacam itu tidaklah bermanfaat. Maka, ia pun merasa muak pada seniman-seniman yang menghabiskan masa muda mereka. Rafael acapkali bertengkar dengan Joshua, karena adiknya tidak menggunakan masa muda untuk belajar mengurus bisnis milik ayah mereka.
***
"Aku mencintaimu."
Ucapan Joshua membuat Queen terdiam. Saat ini, mereka berada di balkon lantai tiga. Duduk berhadapan dengan tiga buah candle light yang membuat suasana semakin romantis. Piring berisi makanan penutup sudah tandas, dan para maid baru saja membereskannya.
Akan tetapi, Queen tidak menyangka jika makan malam mereka akan ditutup oleh ungkapan cinta dari Joshua. Selama ini, ia hanya menganggap Joshua sebagai teman.
"Maaf mengejutkanmu, aku tidak bisa menyimpan perasaanku terlalu lama. Apalagi dua bulan lagi aku harus pergi ke Swiss. Aku−"
"Maaf, Jo," potong Queen. Ia menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya lewat mulut. "Aku−"
"Tidak perlu dijawab sekarang."
"Kau tahu, bukan? Ibuku tidak senang melihatku bermain-main dengan lelaki."
"Ya, aku tahu. Karenanya aku serius ingin menikahimu setelah kembali dari Swiss."
"Tapi−"
"Aku memberimu waktu untuk berpikir. Tidak perlu terburu-buru, oke?"
Queen mengangguk dan beranjak dari tempat duduknya. "Baiklah. Kalau begitu aku pulang sekarang."
"Aku akan mengantarmu."
"Tidak, Jo. Aku bisa pulang sendiri."
"Queen ...."
"Mama tidak akan senang melihatku pulang diantar seorang lelaki. Selamat malam, Jo."
Joshua mengangguk pasrah. Ia tahu benar sifat Queen. Jika sudah berkata 'tidak', maka tak akan ada yang boleh membantahnya. Sekali saja membantah, gadis itu akan mendiamkannya selama tujuh hari tujuh malam. Ah, Queen yang polos tetapi selalu teguh pada pendirian.
"Jadi dia gadis incaranmu?"
Joshua menoleh, entah sejak kapan Rafael berdiri di ambang pintu. Menyilangkan kedua lengan di depan dada, sembari menyugar rambutnya. Tertawa penuh ejekan.
"Bukan urusanmu," sahut Joshua dingin.
"Gadis polos, dan masih perawan? Sepertinya menyenangkan jika aku bisa melakukan test drive padanya."
Bugh ...!!!
Satu hantaman keras meninju rahang Rafael. "Berani menyentuh se-inchi saja, aku akan menghabisimu, brengsek!"
Rafael mencengkeram kaus Joshua erat-erat. "Menyentuhnya? Aku bahkan bisa dengan mudah membuat gadis polos itu bertekuk lutut di hadapanku karena menginginkan sentuhanku."
"Queen bukan gadis seperti itu!"
"Aku bahkan hanya perlu menjentikkan jari untuk merubahnya menjadi gadis yang liar di atas ranjang!" Rafael mengempaskan tubuh Joshua hingga terjajar ke belakang dan menabrak meja. Satu buah gelas terguling, jatuh ke lantai dan hancur berkeping-keping.
Joshua menatap pintu yang sudah tertutup rapat, lalu menyentuh punggungnya yang berdenyut nyeri. Ia menyesal, tidak seharusnya ia mengajak Queen ke rumah ini dan mengungkapkan perasaannya. Lalu sekarang apa? Rafael sudah terlanjur mengendus siapa gadis yang Joshua cintai.
"Aaaarrrggghhh!!!" Joshua menepis semua barang-barang di meja hingga balkon ramai oleh bunyi dentingan. Pecahan gelas berhamburan di mana-mana, sementara candle light terguling dan akhirnya padam. Joshua hanya bisa melihat gelap.
***
Sial! Berkali-kali Queen merutuk dalam hati. Siapa arsitektur yang mendesain rumah milik keluarga Alexander? Kenapa harus dibuat semewah dan serumit ini? Apa sebelumnya mereka tidak mempertimbangkan jika rumah sebesar ini bisa membuat orang baru tersesat?Queen menghela napas kasar. Ia menghentikan langkah, lantas menatap lukisan burung merak di dinding sebelah kanan. Beberapa saat lalu, ia melihat lukisan serupa, begitu pula dengan meja kecil di sudut ruangan. Tiga pot kaktus kecil tertata rapi di meja. Artinya, sejak tadi Queen hanya memutari rumah ini. Queen tersesat dan tidak tahu di mana jalan keluarnya.Seharusnya Queen membiarkan Joshua mengantarnya pulang, setidaknya sampai di pintu gerbang. Ia bergegas mengambil ponsel dari saku celana, lalu mendial nomor Joshua. Sialnya, Joshua mengabaikan panggilan Queen. Barangkali pria itu tidak mendengar dering ponselnya.Queen memutuskan melanjutkan langkah tanpa Joshua. Ia berharap bertemu dengan seseorang yang bisa
Queen menggigit bibir bawahnya, lantas memalingkan wajah. Sebenarnya, Joshua pernah melakukan hal semanis ini, tetapi Queen merasa itu biasa. Akan tetapi, ketika pria asing bernama Rafael melakukan hal yang sama, Queen justru merasakan efek besar di dalam dirinya.Terlebih saat Rafael mengatakan kalimat terakhir. Ada perasaan membuncah di dalam hati Queen, lantas berefek pada kedua pipi yang memanas. Ah, sebesar itukah daya tarik yang dimiliki Rafael?Tidak! Queen tidak boleh terpengaruh. Pria mesum seperti Rafael sangat berbahaya. Ingat kalimat pertama yang terlontar dari mulut pria itu saat bertemu dengan Queen? Hem ... typical pria mesum yang senang bergonta-ganti pasangan."Kau semakin terlihat cantik dengan pipi merona seperti itu."Queen memalingkan wajah, lalu melanjutkan langkah yang tertunda. Ucapan-ucapan Rafael semakin membuat Queen melambung tinggi. Terdengar manis seperti madu, tapi Queen yakin jika sebenarnya pria itu sudah mencampurkan
Rafael meletakkan ponsel di atas meja. Kedua sudut bibirnya tertarik ke atas, menampakkan sebuah kepuasan. Puas karena merasa berada di atas angin. Sebentar lagi, kelincinya akan takluk di dalam genggaman."Kau tersenyum seperti orang yang sedang jatuh cinta." Teman Rafael yang bernama Aldric, berkomentar."Jatuh cinta? Jangan konyol." Rafael menghirup aroma kopi di dalam cangkir, lantas menyesapnya. Menikmati perpaduan antara rasa manis dan pahit yang membasahi tenggorokan."Kau benar-benar tahu jika gadis itu sedang memeluk jas dan menghirup aroma tubuhmu?""Aku hanya menebaknya. Gadis polos seperti dia persis seperti buku yang terbuka, setiap lembarnya mudah untuk dibaca. Permainan segera dimulai.""Aish ... dasar serigala!" Aldric menggeleng-gelengkan kepala, tidak menyukai kelakuan sahabatnya. "Sebaiknya kau pikirkan lagi, dia tidak pantas menjadi korban hanya karena dia gadis yang dicintai adikmu.""I don't care. Toh Queen tidak sep
Tuan PemaksaHai, Nona Manis. Aku akan menjemputmu tepat jam 7 malam. Di mana aku harus menjemputmu? Di rumah? Di toko roti?Queen membanting ponselnya ke atas meja. Apa ia harus memblokir nomor Rafael agar Tuan Pemaksa itu tidak bisa menghubunginya lagi? Ah, bukan pilihan tepat. Itu justru akan membuat Rafael bertindak semaunya sendiri.Lagi-lagi terdengar bunyi beep dari ponsel. Rafael tidak mudah menyerah. Apa sebenarnya tujuan Rafael mendekatinya? Karena tertarik? Queen menggeleng, tidak mungkin. Pria seperti Rafael tidak akan menyukai gadis polos seperti Queen.Tuan PemaksaTidak dibalas? Oke, aku akan menjemputmu di toko. Jika kau tidak menungguku di sana, aku akan datang ke rumahmu. Bertemu dengan calon ibu mertua bukanlah ide buruk.Gila! Apa kata Maura seandainya pria asing datang ke rumah untuk menjemput putrinya? Terlebih pri
Queen menahan napas saat Rafael menyentuh sisi lehernya. Sentuhan ringan itu membuat syaraf-syaraf tubuhnya menegang. Baru kali ini ada lelaki yang berani menyentuh Queen secara intens. Ah, perasaan macam apa ini, desiran di dalam darahnya terasa begitu asing.Di saat Queen masih sibuk memikirkan gejolak di dalam dirinya, tanpa diduga Rafael menunduk dan wajahnya semakin mendekat dengan Queen. Lantas, pria itu dengan lancang mengecup bibir gadis di hadapannya!Queen terbelalak. Ciuman pertamanya! Direbut secara paksa oleh lelaki brengsek yang tidak disukainya! Rafael kurang ajar! Refleks, Queen mendorong Rafael, lalu melayangkan tinju ke wajah pria itu.Rafael yang tidak menduga akan mendapat serangan mendadak, mundur selangkah sembari memegangi pipi. Luapan gairah beberapa saat lalu, digantikan rasa nyeri di wajahnya. Damn!Ternyata Queen bukan hanya polos, melainkan juga liar! Di saat semua wanita berebut ingin mendapat ciuman Rafael, Queen justru
Queen menghela napas kasar, menekan button pause di layar laptop. Drama Korea yang sedang ditonton sangat membosankan. Ah, bukan drama yang membosankan, tapi kissing scene yang membuat Queen jengkel. Demi apa, keromantisan itu mengingatkan Queen pada ciuman Rafael.Refleks, Queen menyentuh bibir. Seharusnya, ia memberikan ciuman pertamanya pada lelaki yang ia cintai, bukan pria asing yang menyebalkan. Sudah dua hari sejak peristiwa itu terjadi, dan untungnya Rafael tidak pernah mengganggu lagi. Barangkali pukulan di wajah Rafael membuat pria itu jera.Bunyi beep di ponsel membuat Queen mengalihkan perhatian dari laptop. Dengan cekatan jarinya mengusap layar ponsel. Pesan singkat dari Maura.MamaSebelum tidur jangan lupa mengunci pintu dan jendela. Mama pulang besok sore.Sejak siang tadi, Maura pergi ke luar kota. Kebetulan ada undangan di sebuah acara demo mas
Pernahkah kalian membayangkan berada di dalam kuasa seorang pria berwajah tampan serupa Dewa Yunani? Rahang tegas dengan bulu-bulu halus yang tercukur rapi, dan hampir seluruh bagian wajah terukir sempurna, tanpa cela sedikitpun. Lalu, mata tajam yang tiba-tiba berubah menjadi sayu, seolah tengah menawarkan sebuah kesepakatan, 'Hello, Baby Girl! Please, come to me! Tenang saja, aku tidak akan menyakitimu.'Harus Queen akui, Rafael terlalu pandai menguasai seseorang hanya dengan menatap matanya. Tatapan tajam dan menghunjam jauh di kedalaman mata lawannya. Seperti virus mematikan, dengan cepat menyebar hingga membuat lawan takluk di tangannya."Ahhhh ...." Desahan itu lolos begitu saja dari bibir Queen, saat lidah Rafael dengan nakal menyusup lebih jauh melewati bibir Queen.Jadi ini rasanya berciuman? Tolong, Queen bahkan tidak tahu bagaimana ia harus mendefinisikan rasa nikmat yang menggelenyar di sekujur tubuh. Yang ia tahu, ia merasakan panas,
Hari ke sepuluh sejak pertemuannya dengan Rafael. Queen memadamkan lampu kamar. Diambilnya kotak music snow globe pemberian Rafael, lantas ditekannya tombol di bagian bawah. Seketika, instrument musik mengalun merdu.Queen membaringkan tubuh di atas ranjang, matanya tidak pernah lepas dari snow globe yang kini memancarkan cahaya temaram warna warni. Indah, dan romantis. Instrument lembut itu dalam sekejap telah menyeret Queen pada kenangan malam itu. Saat Rafael menghujani kenikmatan untuk Queen.Queen bahkan tidak bisa melupakan aroma mint saat Rafael melumat bibirnya. Oh, apa yang sebenarnya Queen rasakan? Ia ingin membenci Rafael, tetapi kenyataannya ia justru tidak bisa melupakan kenangan terakhir mereka.Satu lagi yang mengganggu pikiran Queen. Kenapa Rafael tidak pernah lagi menemuinya? Barangkali Rafael merasa bosan pada Queen, karena saat itu Queen tidak membalas ciumannya. Pria brengsek seperti Rafael lebih meny
“Untuk kesekian kalinya, aku minta maaf pada kalian.” Alexander membuka pembicaraan. Duduk di meja kerja sembari menatap anak-anak di hadapannya bergantian.Queen duduk di antara Rafael dan Joshua. Ia memenuhi undangan Alexander untuk mendengarkan lelaki itu menyelesaikan permasalahan.“Rafael dan Joshua, Papa ingin kalian mengakhiri permusuhan. Cukup sampai di sini. Jangan ada yang menjadi korban untuk kesekian kali.”“Tidak semudah itu,” bantah Rafael.“Rafael, jangan bersikap egois. Kau boleh membenci Papa, jika kau ingin membalas dendam, hancurkan Papa, karena Papa awal mula kejadian ini. Papa akui, Papa yang salah.”“Harusnya Papa mengatakan itu di depan Mama.”“Raf, bukankah setiap manusia pasti pernah berbuat khilaf dan dosa? Pun denganmu yang pernah dengan tega membatalkan pernikahanmu dengan Queen, lalu tanpa perasaan berusaha menggugurkan bayi di kandungan Queen.”“Aku menyesal, Pa.”“Kau pernah salah langkah, begitu pu
“Selamat malam, Neesha. Belum tidur?” Aldric melangkah menghampiri Neesha yang sedang asyik bermain piano.“Malam, Uncle. Neesha belum mengantuk, masih menunggu siapa tahu sebentar lagi Papa datang menjemput Neesha. Neesha kangen Papa.”Aldric mengelus rambut panjang Neesha dengan lembut, kemudian ia menunduk dan menyejajarkan posisi wajah dengan bocah perempuan itu. “Main pianonya bisa istirahat sebentar? Ada seseorang yang ingin bertemu Neesha.”Kaneesha mendongak dengan mata berbinar. “Papa yang datang kan?”Aldric menggeleng perlahan. “Bukan, Sayang.”“Yaaaah … ternyata bukan Papa.” Seketika binar indah di mata Kaneesha meredup.“Sabar ya, Nak. Papamu masih membutuhkan waktu.”“Sampai berapa lama? Papa sudah terlalu lama di luar kota.”“Emmm … tunggu saja. Ah ya, kata Alsen, selama ini Neesha ingin punya kakek dan nenek, ‘kan?”“Yeah, Neesha iri pada Alsen. Alsen punya mama yang baik, tidak seperti mama Neesha yang lebi
Queen meremas jemarinya, berdiri di depan Selly dengan tegang. Bagaimana tidak, Selly menyambut kedatangannya dengan senyuman. Senyum itulah yang membuat Queen curiga, ada sesuatu hal buruk yang akan diucapkan Selly.“Rafael tidak memaafkan kesalahanku, padahal apa yang dia lakukan tidak berbeda jauh denganku. Aku tidur dengan lelaki lain, dan Rafael pun tidur dengan wanita lain. Harusnya itu impas, bukan?” Selly tertawa dengan ekspresi datar. Terlihat jelas mata wanita itu sembab, pertanda ia baru saja menangis, entah berapa lama.“Kau membohonginya selama bertahun-tahun. Dan kau yang membuat Rafael memilih bayi yang salah.”“Okay. I know. Dan sekarang dia hancur, sama halnya denganku. Kita berempat terjebak dalam situasi yang sama. Bukankah seharusnya kau dan Joshua pun hancur seperti kami? Tapi kenyataannya kalian justru akan berpesta merayakan kehancuran kami.”“Kau harus ingat satu hal, Selly. Kami sudah terlebih dulu hancur oleh keegoisanmu dan
Aldric memapah Rafael masuk ke kamar, lantas mendudukkan lelaki itu di sofa. Beberapa menit yang lalu, ia menjemput lelaki itu di club. Kondisinya begitu memprihatinkan, menghabiskan berrgelas-gelas minuman sampai mabuk berat.“Mulai saat ini pulanglah ke rumahmu sendiri, jangan pulang ke rumah orang lain apalagi ke apartemen Queen. Neesha ada di rumahku, aku akan menjaganya sampai kau bisa mengendalikan diri dan mengambil keputusan yang tepat.”Rafael tertawa. “Bagaimana keadaan anak perempuan itu? Baik-baik saja?”“Baik-baik saja bagaimana, dia shock. Setiap hari menanyakanmu. Untung Alsen dan istriku selalu menghiburnya. Lalu bagaimana? Kau sudah mengambil keputusan?”Rafael mengacak rambut frustrasi. “Aku sudah mengirim surat gugatan cerai untuk Selly.”“Lalu bagaimana dengan Neesha?”“Bagaimana lagi? Tentu saja dia harus ikut ibunya. Aku sudah tidak sanggup mengurusnya, aku terluka setiap kali melihatnya. Seharusnya aku tida
“Good night, Queen. Sweet dream.” Joshua mengecup kening Queen.“Mimpi indah juga untukmu.”“Apa kau bahagia setelah kita menghabiskan waktu seharian untuk bersenang-senang di wahana rekreasi?”“Yeah, I’m happy.”“Syukurlah. Aku pulang dulu, sudah larut malam.”“Terima kasih, Jo.”“Kau sudah mengucapkan itu ratusan kali.”“Terima kasih karena sudah membantuku melupakan masa lalu.”Joshua tersenyum, mengusap pipi kanan calon istrinya. “Kau tahu aku melakukan ini karena aku mencintaimu.”“Aku beruntung memiliki teman sepertimu.”“Queen, kau percaya bahwa aku akan selalu berusaha membahagiakanmu, ‘kan?”“Hum … tentu saja. Saat ini kau satu-satunya lelaki yang aku percaya. Kau tidak pernah lelah mengejarku bahkan sekalipun aku berlari menjauh. Cinta yang kau tunjukkan membuatku semakin yakin, hanya kau lelaki yang bisa membuatku bahagia.”“Aku senang mendengar itu, Honey! Kau tidak m
Rafael mengerjap, terbangun dari tidur lelapnya. Ah, entah sudah berapa lama ia tidak pernah merasakan tidur yang begitu hangat dan nyaman seperti malam ini. Dan aroma harum yang tidak asing di indra penciumannya itu−Wait! Rafael menggeleng, sebisa mungkin menghilangkan rasa kantuk, lalu mempertajam penglihatannya. Sekarang ia tahu kenapa ia bisa tidur senyaman ini. Wanita itu, Queen, berada di dalam dekapannya. Bagaimana ceritanya sehingga Queen bisa tertidur di sofa bersamanya?Sembari mengingat-ingat kejadian semalam, tangan Rafael terulur untuk merapikan anak rambut di dahi Queen. Ah, cantik dan penuh pesona.Queen yang merasa terusik oleh belaian lembut di dahinya, dalam sekejap matanya terbuka dan tergagap saat menemukan Rafael berada di sisinya. “Rafael!”Wanita itu bergegas bangun dan menyingkir dari Rafael. Duduk berpindah ke sofa seberang, lantas mengikat rambutnya yang berantakan.“Sepertinya semalam aku mabuk.” Rafael bersandar ke
“Kau suka ini?” Joshua menunjuk cincin bermata berlian di etalase.Malam itu, Joshua mengajak Queen memilih satu set perhiasan untuk acara pernikahan mereka yang hanya tinggal 3 minggu lagi.“Aku tidak suka terlihat mencolok. Pilih saja yang berliannya kecil.”“Ayolah, Queen. Apa salahnya terlihat mencolok? Kau bukan hanya calon istri seorang pianis kelas internasional, tetapi juga menantu pengusaha besar Alexander.”“Jo, kita sudah sepakat mengadakan resepsi sederhana.”Joshua menatap Queen secara intens. “Kau tidak sedang meragukan pernikahan ini, ‘kan?”“Tidak, Jo. Aku hanya−““Takut pernikahanmu gagal lagi?”“Jo!”“Queen, aku bukan Rafael! Kau tahu sendiri, seorang lelaki bernama Joshua mencintaimu sejak pertama kali melihatmu. Lalu apa yang harus kau ragukan?”Queen menghela napas. “Aku percaya padamu. Hanya saja−““Takut Rafael menghancurkan rencana pernikahan kita? Tenang saja, aku sudah meminta bantua
“Tiramissu satu, cheesecake satu.” Rafael memesan kue di ‘Q Bakery’ sembari mengedarkan pandangan ke seluruh area toko kue.Setelah selesai melakukan transaksi, Rafael menenteng paper bag berisi kue favorit Kaneesha. Melangkah tegap menuju tempat parkir. Ia mengerutkan dahi saat menemukan seorang wanita berdiri tepat di sisi kanan mobil. Nara, teman Queen.Nara menyilangkan kedua lengan di depan dada sembari bersandar di mobil. “Lima kali,” ujarnya dengan wajah masam.“Lima kali apanya?”“Saya menghitungnya, sudah lima hari berturut-turut Anda selalu datang ke toko ini.”“Lalu? Apa yang aneh? Aku membeli kue.” Rafael menunjukkan paper bag di tangannya.“Anda tidak sekadar membeli kue. Mencari Queen, ‘kan?”“Queen? Apa hubungannya kue ini dengan Queen? Aku justru senang dia tidak menjadi guru les putriku lagi.”Sejak malam di rumah sakit waktu itu, Queen tidak pernah datang ke rumah Rafael lagi.
“Sudah sejauh mana?”Akhirnya, setelah beberapa menit terdiam, pertanyaan Selly memecah keheningan. Rafael menggenggam tangan Selly, menatap wajah pucat wanita itu dengan perasaan bersalah.“Apanya?” Seperti orang bodoh, Rafael menanggapi pertanyaan Selly.“Hubungan kalian, memangnya apa lagi?”“Dia hanya guru les piano Neesha.”“Ya, hanya guru les piano. Aku pun tidak lupa cerita tentang masa kecilmu. Ayahmu, dan guru les piano.”“Jangan samakan aku dengannya. Please, Sel. Jangan berpikiran yang tidak-tidak.”“Aku harus berpikir apa? Neesha bahkan memuji-muji dia seperti ratu. Merawat Neesha saat sakit. Dia menggantikan posisiku sebagai seorang ibu.” Terdengar helaan napas kasar. “Mungkin dia juga sudah menggantikan posisiku sebagai seorang istri.”“Sel, berhenti berpikiran negatif. Kau tahu aku hanya mencintaimu.”“Bagaimana bisa kebetulan seperti itu? Bukankah dulu kau bilang wanita itu berada di Italia? Lalu sekarang