"Congratulations, Jeasy!"
Ucapan selamat pada gadis bersurai pirang itu terus terlontar dari mulut sahabatnya.
Jeasy membalas pelukan Millie dengan erat seraya berkata, "Congratulations for you to, Mil! Akhirnya kita lulus juga."
Ya, kedua gadis berumur dua puluh dua tahun itu baru saja melangsungkan acara wisuda di Universitas Royal Institute of Technology di Swedia. Selama empat tahun menempuh perguruan tinggi di sana, akhirnya gelar sarjana System Informasi (IT) telah mereka dapatkan dengan bangga.
Namun, Jeasy tidak sebahagia teman-temannya dengan hasil akhir yang ia rasakan sekarang. Karena pakaian toga yang dikenakannya sama sekali tidak terabadikan. Tak ada orang tua ataupun keluarga terdekat yang hadir di sana untuk dirinya. Karena kedua orang yang amat dia cintai itu telah tiada sejak ia kecil, dan sejak saat itu keluarganya sudah tak menganggapnya lagi. Entah alasan apa yang membuat mereka seolah membuang Jeasy. Perjuangan Jeasy untuk kuliah pun ia lakukan sendiri dengan mengambil pekerjaan paruh waktu. Kini gadis berlesung pipi itu tampak sedih, rasa iri telah menyelimuti ulu hatinya.
"Dont be sad, Jeasy. I'm here. Kau bisa berswafoto bersama sahabat cantikmu ini. Kau bisa menganggap keluargaku sebagai keluargamu juga. Ingat, empat tahun kita bersama sebagai sahabat, aku tidak akan membiarkanmu tampak murung di hari bahagia ini," papar Millie. Kata-katanya berhasil meluruhkan cairan bening di mata indah Jeasy.
Belum juga Jeasy menanggapi ucapan Millie, tiba-tiba seorang pria paruh baya datang menghampiri. "Kau benar, Sayang. Ayah memang sudah menganggap sahabatmu itu sebagai anak Ayah juga," lontar Brix —Ayah Millie. "Jadi untuk kau, Jeasy, jangan sungkan untuk berbagi kisah dengan kami. Selama ini, 'kan kami sudah mengenalmu dengan baik. Mari, kita berfoto bersama," lanjutnya seraya merangkul kedua gadis itu.
Jeasy sungguh bahagia, kehidupannya terasa lengkap walau hanya dengan naungan sang sahabat. Selama dia berkuliah di universitas yang terbilang cukup ternama itu, ia sudah banyak dibantu oleh keluarga Millie. Akan tetapi, ia juga masih sadar, bahwa dirinya tidak mungkin terus bergantung pada mereka. Jeasy harus bangkit, keluarganya perlu melihat bahwa Jeasy bisa sukses. Dengan demikian, Jeasy yakin keluarganya akan bangga terhadap dirinya.
"Terima kasih banyak, Paman."
¤¤¤¤¤¤
Cakrawala Kota Marstrand tampak cerah dengan dibalut awan putih yang menghiasi. Salah satu kota di Swedia yang kaya akan budaya dan sejarah itu terlihat ramai dengan banyak orang berlalu-lalang untuk beraktivitas. Termasuk Jeasy, gadis itu tampak sudah siap dengan pakaian casualnya yang rapi.
"Semangat, Jeasy! Semoga ini awal dari kesusksesanmu," ujarnya berharap.
Dia akan melakukan interview di salah satu perusahaan daerah Marstrand. Dengan gelar S, IT yang ia punya, Jeasy jadi lebih mudah mendapat pekerjaan. Sudah dari jauh-jauh hari ia mencari pekerjaan tersebut, dan semua usahanya itu tidak sia-sia. Itulah piilihannya untuk belajar lebih mandiri, dan setidaknya tidak bergantung pada keluarga Millie lagi.
Kaki mulus itu ia ayunkan keluar dari rumah minimalis yang asri, wajah Jeasy terlihat berseri. Seolah dunia benar-benar akan mendukung untuk lolos interview pertamanya.
Sebuah kendaraan roda empat pun ia hentikan dan langsung masuk ke dalam dengan mengatakan tujuannya terlebih dahulu pada sang supir. "Pak, ke perusahaan Teryon Group, ya."
"Baik, Nona."
Taksi tersebut kini mulai membelah jalan raya, tetapi jalanan sepertinya sudah dilanda kemacetan. Padahal, waktu di Kota Marstrand sudah pukul 09.15, hampir siang dan seharusnya jalanan tidak semacet ini.
"Maaf, Pak. Apa tidak bisa dipercepat sedikit?" tanya Jeasy mulai gelisah. Pasalnya, tertulis pada jadwal interview kalau ia harus sudah sampai pukul 09.30. Jangan sampai gadis itu terlambat.
"Sepertinya terjadi kecelakaan di depan, Nona. Jadi jalanan macet total," jawab sang supir.
Keringat panik sedikit mengucur dari pelipis Jeasy, dia harus melakukan sesuatu. "Ya sudah, Pak. Saya turun di sini saja. Ini uangnya." Terpaksa ia harus turun dan akan mengambil jalan pintas menuju perusahaan itu.
Dengan langkah terburu-buru, Jeasy melewati beberapa mobil yang masih bergeming di jalanan akibat macet total. Ia berbelok memasuki jalanan kecil di daerah sana, menyusuri lahan kosong dengan rongsokan mobil di sekitarnya. Mau tidak mau Jeasy harus melewati jalanan tersebut, karena itulah satu-satunya jalan alternatif menuju perusahaan Teryon Group. Bedaknya yang natural kini tampak sedikit luntur karena sudah bercampur dengan keringat. Tak jarang pula Jeasy mengelapi peluh di dahi. Langkahnya semakin gancang kala netra coklat itu melihat arloji yang tertaut di tangan kiri, benda itu menunjukan pukul 09.23.
"Ayo, Jeasy! Percepat langkahmu!" serunya menyemangati diri.
"Aduh!"
Namun, tiba-tiba langkahnya tercegat oleh seorang anak kecil yang tak sengaja menabraknya. "Sayang, kalau jalan hati-hati. Nanti kau bisa terluka," ucap Jeasy mengelus puncak kepala anak itu.
"Aunty, help me! Help me!" Anak tersebut berteriak dengan polos. Suaranya bergetar, raut wajahnya begitu panik, dia seperti sedang ketakutan. Membuat Jeasy mengernyit tidak mengerti.
"A-ada apa, Nak? Apa yang terjadi padamu?" tanya Jeasy seraya menunduk, mencekal kedua lengan anak itu. Kini Jeasy mampu merasakan embusan anak kisaran umur lima tahun tersebut yang begitu memburu, sisa air mata kering di wajahnya juga tercetak.
"Bawa aku bersamamu, Aunty! Kumohon ...," lirihnya mulai menangis. Jeasy sungguh tidak paham dengan anak ini.
"Hei, Anak Sialan! Jangan lari kau! Kembalilah!
Teriakan itu terdengar semakin dekat, gadis kecil di hadapan Jeasy juga semakin gelisah. Masih dengan tangisannya ia mengubah posisi menjadi bersembunyi di belakang Jeasy. "Aunty, mereka orang jahat! Cassie takut."
Ucapan Cassie membuat Jeasy mengerti, ternyata anak itu membutuhkan pertolongan. "Kau tenang saja, jangan menangis." Setelah menghapus air mata Cassie, Jeasy langsung berbalik badan dan melihat dua pria berbadan kekar tengah berkacak pinggang.
"Serahkan anak itu!"
"Tidak! Kalian pria macam apa yang beraninya sama anak kecil, hah?" gertak Jeasy.
Salah sati dari pria itu malah tertawa meremehkan. "Dengar, Nona. Ini bukan urusanmu! Cepat berikan anak itu! Jangan sampai kami melukai kulit mulusmu, Nona Cantik."
"Aku tidak mau bersama mereka, Aunty!" seru Cassie masih menangis.
"Iya, Sayang. Aunty tidak akan membiarkan mereka menyentuhmu sedikit pun." Setelah mengucapkan itu, Jeasy baru sadar. Bahwa dirinya sedang mengejar waktu untuk interview. Gadis berhidung mancung itu melihat kembali arlojinya, ternyata sisa waktu yang ia punya tinggal tiga menit lagi.
'Astaga! Bagaimana ini? Aku tidak mungkin meninggalkan anak ini,' gumam Jeasy dalam hati.
"Oh, ternyata kau mau bermain-main dengan kami, Nona?" Pria brewokan itu berdecih dengan tatapan menyeringai. Tangannya keluar dari balik saku jaket dengan menggenggam sebuah pistol yang diarahkan tepat pada Jeasy. "Berikan anak itu atau kau akan mati?"
Mata besar Jeasy membulat, tubuhnya menegang, ia menggigit bibir bawah dengan takut. Tidak mungkin juga Jeasy membiarkan mereka mengambil Cassie begitu saja. Pada akhirnya Jeasy memilih untuk menyelamatkan anak tersebut. Ia berpikir, nyawa seseorang lebih penting daripada sebuah pekerjaan.
"Cassie, dengarkan Aunty. Saat Aunty menghitung mundur tiga sampai satu, setelah itu kau langsung lari. Cari tempat bersembunyi. Nanti Aunty akan menyusulmu. Paham?" bisik Jeasy sedikit gugup. Karena pria di depannya masih setia mengarahkan pistol padanya. Cassie hanya mengangguk dengan ragu.
"Jangan bisik-bisik! Kalau kalian bergerak, pistol ini pun akan meluncurkan tembakan!" teriak pria itu mengancam.
Jeasy maupun Cassie tak menggubris, mereka fokus dengan rencananya.
"Satu ...."
"Dua ...."
"Tiga! Lari Cassie lari!" Cassie langsung berlari secepat yang ia bisa, perintah Jassie benar-benar ia jalankan.
"Apa-apaan ini? Kejar anak itu, cepat!" seru salah satu pria yang memegang pistol.
Dor!
Saat Jeasy hendak berlari menyusul Cassie, tiba-tiba sesuatu terasa menembus betis kakinya. Membuatnya langsung ambruk seketika. "Auwh ...," erang Jeasy menahan sakit. Darah bercucuran dari kaki kanannya, bersamaan dengan itu mata indah Jeasy pun tertutup sempurna.
"Cepat katakan! Di mana kau menyembunyikan putriku, hah?"Lelaki berahang tegas itu terus menggertak pria di hadapannya yang hanya duduk santai dengan sebatang rokok. Willy benar-benar sudah kebakar emosi karena lawan bicaranya sedari tadi hanya tertawa hambar."Aku semakin yakin, kalau kau memang dalang di balik semua ini! Lihat saja apa yang akan kulakukan padamu, Pria Sialan!" Willy berbalik dan langsung mengambil langkah lebar hendak pergi meninggalkan ruangan bernuansa abu-abu itu. Namun, suara bariton berhasil mencegatnya."Apa yang akan kau lakukan, Tuan Willyard Poulter? Melaporkanku ke polisi? Dengan tuduhan penculikan anak?" tanya Jacob tertawa remeh. "Tanpa bukti apa pun? Haha ... aku yakin polisi tidak akan mempercayaimu! Sudah kubilang, bukan? Kalau aku tidak tahu apa-apa perihal kehilangan putrimu."Tanpa menoleh sedikit pun, Willy menjawab, "Mau kau mengelak sekeras apa pun, aku tetap mengetahui akal busukmu itu!" Willy kembali berjalan dan ben
Setelah beberapa menit, akhirnya si kecil itu sampai di sebuah rumah besar nan mewah. Zio langsung membuka pintu mobil untuk mempersilakan sang tuan putri turun."Segeralah beristirahat, Sayang," ucap Zio membuat senyum di bibir Cassie mengembang."Okay, Om Zio," timpalnya seraya turun. "Daddy ada di rumah, 'kan?" lanjutnya.Mendengar pertanyaan Cassie perihal Daddy-nya, Zio jadi teringat sesuatu. Dia baru sadar, kalau sekarang dirinya sedang mendapat tugas dari si bos. Akan tetapi, dia malah lupa."Ah, Daddy-mu masih di kantor.""Yah, padahal Cassie sangat merindukan Daddy. Bisakah Om Zio menyuruhnya untuk pulang cepat?"Zio langsung mengangguk, dia hanya mencoba untuk tidak membuat Cassie sedih. "Pasti, Tuan Putri."Cassie pun berseri, ia memperlihatkan gigi putihnya yang rapi. "Ya ampun!" kejutnya saat hendak memijakan kaki pada teras rumah."Kenapa, Tuan Putri?" Sontak Zio langsung bertanya."Cassie te
Sesaat sebelum mobil hitam pekat itu sampai pada tujuannya, seketika mata pria yang habis mabuk itu terbuka. Matanya langsung memicing melihat gadis yang tertidur pulas di sana. Zio sama sekali tidak menyadari kalau Willy sudah sadarkan diri, dia sibuk menyetir dan fokus pada jalanan. Mata tajam Willy masih belum teralihkan memandangi Jeasy. Entah kenapa, dia terus meneliti tubuh yang terlihat seksi itu. Walaupun pakaian Jeasy tidaklah minim, tetapi pria itu mampu menangkap postur tubuh Jeasy yang indah dan menggoda. 'Tubuhnya menarik juga,' batin Willy menyeringai. Sisi negatifnya mulai keluar. "Oh, astaga! Apa yang aku pikirkan?" kilahnya setelah sadar dari pikiran buruk tersebut. Sontak Zio langsung menoleh dan mendapati tuannya yang sudah sadar. "Will, kau sudah sadar?" Tak ada jawaban, Willy sibuk memijat pelipisnya. "Tepat sekali, kau sadar dan kita sudah sampai," lanjut Zio menghentikan mobilnya. Sebuah rumah b
"Ck, astaga! Kenapa ponselnya masih tidak aktif?" Wanita manis itu tampak panik, ia terus memandang benda persegi panjang dengan nyalang."Ada apa, Miliie? Kau terlihat gelisah." Brix bertanya."Ini Ayah, entah kenapa dua hari terakhir Jeasy tidak ada kabar. Bahkan ponselnya juga mati.""Mungkin dia sedang sibuk. Kau tidak coba pergi ke rumahnya?"Millie berakhir duduk di samping sang ayah. "Sudah, Ayah. Tapi dia tidak ada, rumahnya juga terkunci. Aku jadi khawatir.""Kau yang tenang, Ayah yakin dia baik-baik saja. Mungkin sekarang dia lagi butuh waktu untuk sendiri."Millie hanya mengangguk, semoga saja perkataan ayahnya memang benar. Kini dering ponsel di tangannya terdengar, wajah Millie langsung berubah senang. Namun, setelah ia lihat nama yang tertampang di sana, ternyata bukan Jeasy."Maaf, Ayah. Aku angkat telepon dulu." Millie pun pergi seraya menjawab panggilan."Halo, Pynson. Ada apa kau meneleponku?""Kenapa kau
"Kau yang membuat semua ini?" Willy tampak terkejut dengan banyaknya hidangan makanan di meja makan. Ia sempat meragukan makanan tersebut karena dibuat oleh orang asing, bukan oleh sang pembantu seperti biasanya."Iya, Pak. Mungkin ini sebagai bentuk terima kasihku, lagipula asisten rumah tangga di sini sedang sakit, bukan? Jadi biarkan saja aku yang menggantikannya," jawab Jeasy masih setia berdiri di samping meja.Willy bergeming sejenak. "Kau lupa?""L-lupa? Tentang apa?"Pria itu mendengkus, lalu berkata, "Panggil aku nama saja."Jeasy menunduk, ia benar-benar lupa. "Maaf, Pak. Tapi ... dengan menyebut nama saja kurasa itu tidak sopan.""Dengar, ini rumahku. Maka aku berhak mengatur semuanya, termasuk kau harus memanggilku seperti apa. Mengerti?" Willy berucap tegas, ia kemudian mengancingkan jas di tubuhnya. "Cepat bangunkan Cassie, aku ingin sarapan bersamanya.""Baik."Jeasy bergegas menuju kamar Cassie, gadis kecil itu tampak m
Hari ini wajah Jeasy tampak secerah mentari. Bagaimana tidak, hatinya begitu senang karena harapan untuk bekerja di salah satu perusahaan akhirnya terwujud. Ia tidak menyangka Willy akan dengan mudah menerima dirinya.Namun, otak Jeasy baru teringat sesuatu. Jika ia bekerja di kantor Willy, lalu bagaimana dengan Cassie? Apakah ia akan tetap menjadi seorang pengasuh anak? Karena tidak mungkin Jeasy mengambil dua pekerjaan itu sekaligus. Ia tidak pandai membagi waktu."Aunty kenapa? Tidak biasanya melamun seperti itu?" tanya Cassie seusai meneguk segelas susu dingin.Jeasy menggeleng, lalu kembali menyuapi makanan ke mulut anak itu. Untung saja Jeasy mulai bekerja besok di perusahaan Willy, sehingga sekarang ia masih bisa menemani Cassie."Aunty sayang gak sama Cassie?"Seketika pertanyaan itu membuat Jeasy terkejut. "Tentu, Sayang. Kenapa kamu nanya begitu?""Ah, tidak. Cassie cuma takut Aunty pergi," timpal anak itu menatap Jeasy
Menu sarapan pagi ini kembali dimasak oleh sang pembantu seperti biasanya, karena pembantu yang dikenal dengan Bibi Silly itu sudah sembuh dari sakitnya. Wanita umur akhir empat puluhan tersebut memang sudah setia menenami keluarga Willy sejak tiga tahun terakhir. Namun, seketika Cassie menggeleng saat tangan Jeasy mengangkat sendok untuk menyuapi anak itu. "Cassie mau roti panggang buatan Aunty," celetuknya membuat Willy yang sibuk menyantap sarapan teralih memerhatikan kedua perempuan di dekatnya. Jeasy hanya tersenyum seraya berucap, "Ini bukannya burger kesukaan Cassie? Bibi Silly khusus membuatkan ini untukmu, Sayang. Apa kau tidak merindukan masakan Bibi Silly, hm? Jadi, ayo makan ini saja." Cassie menggeleng cepat sembari memajukan bibirnya beberapa senti. Bocah itu memang terkadang susah untuk dibujuk. Pada akhirnya, Jeasy menurut karena tatapan Willy terus mengintimidasi. "Baiklah, Aunty akan buatkan roti panggang untukmu. Tunggu sebent
Sesampainya di rumah, Jeasy dikejutkan dengan keberadaan Willy yang sudah duduk tegap di sofa dengan tatapan yang sulit diartikan, seolah ia sedang menahan suatu amarah. Tidak biasanya dia pulang secepat itu. Akan tetapi, netranya sontak melirik si putri kecil yang dituntun oleh Jeasy. Raut wajah Willy seketika berubah total. Senyumnya mengembang seraya berdiri dan langsung menggendong Cassie dengan manja. "Sayang, bagaimana les baletnya? Lancar?" tanya Willy halus. "Yes, Dad. Aku, 'kan penari balet terbaik!" seru Cassie tampak gembira. "Good girl! Ya sudah, kalau begitu Cassie mandi dulu, ya, sama Bibi Silly. Soalnya Aunty Jeasy ada urusan sama Daddy," pinta Willy memberi senyuman terbaiknya untuk membujuk Cassie. Sementara Bibi Silly sudah berdiri di pinggir sofa sedari tadi. "Ayo, Non." Cassie mengangguk pelan seraya menatap Jeasy. "Kalau urusan Aunty sudah selesai, nanti ke kamar
Kini keadaan Cassie sudah membaik, senyumnya terus mengembang apalagi saat Jeasy dan Willy datang ke ruang rawatnya. Bahkan, anak itu sekarang makan dengan lahap karena terlalu bahagia dengan Jeasy yang telaten menyuapinya. Gadis kecil tersebut juga terus saja menggoda sang ayah mengenai perihal pengakuannya di acara konferensi pers. Raut tersipu malu sekaligus pasrah sama sekali tak dapat disembunyikan dari wajah Willy. Ia benar-benar terjebak dengan tingkah anaknya sendiri. "Permisi." Seketika semua orang di ruangan itu menoleh pada pintu masuk, ternyata seorang dokter datang untuk memastikan keadaan Cassie. "Bagaimana, Dok, keadaan putri saya? Dia sudah baik-baik saja, bukan?" tanya Willy tak sabaran. Dokter itu terdiam sejenak, lalu merekahkan senyuman. "Keadaan Cassie berangsur membaik dengan cepat, besok dia sudah diperbolehkan pulang. Tapi tetap saja, jangan makan makanan sembarangan dan makanlah yang teratur."
Jeasy masih setia menemani Cassie, bahkan ia tak berpindah dari tempat duduknya sedikit pun. Tangan wanita itu terus menggenggam tangan mungil Cassie dan mengelusnya halus. Jeasy tahu, ia tidak boleh egois. Cassie sakit karena dirinya yang berniat menghindar dari masalah. Namun, sekarang itu tidak penting, kesehetan Cassie jauh lebih penting, maka dari itu Jeasy tidak akan pergi untuk menghindar lagi. Pun dengan willy yang masih duduk termenung di depan ruang rawat pitrinya. Pria itu sama sekali tidak berniat mengajak Jeasy untuk mengobrol atau membahas sesuatu dengannya. Pikiran Willy hanyut mengingat perkataan sang dokter beberapa saat lalu perihal penyakit yang diderita sang putri. Pria berbulu halus di dagunya itu terus saja memijat pelipis dengan raut yang sulit diartikan. Embusan napas berat pun beberapa kali lolos dari hidungnya. Untuk sesaat Willy merasa dirinya telah gagal menjadi sosok ayah, karena ia tidak becus menjaga Cassie. Entah separah apa peny
Sudah hampir setengah hari Willy sibuk mencari keberadaan Jeasy. Ia sampai mengerahkan beberapa anak buah agar pencarian lebih cepat. Dia sengaja melakukan itu demi putrinya. Karena semenjak Jeasy benar-benar dinyatakan hilang, Cassie langsung menangis tidak karuan. Tangisannya tak kunjung usai sampai anak itu mogok makan. Dia terus meringkuk di kamar Jeasy berharap wanita itu kembali datang. Dengan perasaan cemas, Willy kembali menghubungi Bibi Silly untuk memastikan keadaan Cassie. "Halo, Daddy? Bagaimana? Aunty sudah ketemu? Aunty Jeasy akan pulang lagi ke rumah kita, bukan?" Itulah sambutan dari seberang telepon yang Willy dapatkan. Anak itu benar-benar tidak mau kehilangan Jeasy. Willy bergeming sejenak, ia bingung harus mengatakan apa pada Cassie. Karena faktanya Jeasy sama sekali belum ditemukan. Menelusuri alamat yang ada pada resume saat dirinya melamar pekerjaan pun sia-sia. Ternyata rumah yang berada di alamat tersebut kosong. "Cassie sayang, janga
Tepat pukul 10.00, semua anak tampak berhamburan keluar dari gedung Kids Nursery School. Salah satu Kindergarten terbaik di Swedia. Ya, sekolah taman kanak-kanak yang satu inilah tempat Cassie belajar sekarang. Sudah tiga jam Jassie menunggu Cassie, tentunya wanita itu banyak mendapat tatapan aneh dari orang-orang di sana karena penampilannya yang tertutup. Baru beberapa hari seperti ini saja rasanya begitu tidak nyaman bagi Jeasy. "Ayo, Aunty!" kejut Cassie membuat Jeasy terperanjat. Jeasy berjongkok untuk berbicara pada Cassie dengan membuka maskernya sejenak. "Kita makan dulu, ya. Setelah itu Cassie lanjut kursus melukis." Walaupun suasana hati Jeasy sedang tidak baik, tetapi ia harus tetap terlihat bersemangat di depan gadis kecil itu. "Okay! Let's go!" Anak itu begitu ceria, ia tidak tahu bahwa aunty-nya sedang dilanda masalah karena ulah sang ayah. Keduanya kini mulai berjalan menuju mobil. Akan tetapi, ta
Tangan seputih susu itu terus membelai lembut rambut si putri kecil dengan sisir. Wanita tersebut tampak fokus dan telaten mengikat rambut Cassie agar tampak rapi. Sampai panggilan dari sang pemilik rambut indah pun ia hiraukan begitu saja. Sepertinya kata yang tepat untuk Jeasy saat ini bukanlah fokus, melainkan dia malah melamun. "Aunty!" kejut Cassie, membuat Jeasy terperanjat dan menjatuhkan sisirnya. "Kenapa Aunty diam saja? Aku dari tadi berbicara sama Aunty." "Oh, astaga. Maafkan Aunty, Sayang. Aunty terlalu fokus menata rambutmu agar terlihat cantik," elaknya. Anak itu membalikkan badan dan menghadap Jeasy sepenuhnya. "Aunty melamun?" Jeasy terkekeh, bocah di hadapannya memang terlalu pintar. "Tidak, siapa bilang? Sudahlah, waktunya kita sarapan. Daddy pasti sudah menunggumu di meja makan." Begitu jelas Jeasy mencoba untuk mengakhiri perbincangan perihal dirinya yang tertangkap basah saat sedan
Sesampainya di rumah, Jeasy dikejutkan dengan keberadaan Willy yang sudah duduk tegap di sofa dengan tatapan yang sulit diartikan, seolah ia sedang menahan suatu amarah. Tidak biasanya dia pulang secepat itu. Akan tetapi, netranya sontak melirik si putri kecil yang dituntun oleh Jeasy. Raut wajah Willy seketika berubah total. Senyumnya mengembang seraya berdiri dan langsung menggendong Cassie dengan manja. "Sayang, bagaimana les baletnya? Lancar?" tanya Willy halus. "Yes, Dad. Aku, 'kan penari balet terbaik!" seru Cassie tampak gembira. "Good girl! Ya sudah, kalau begitu Cassie mandi dulu, ya, sama Bibi Silly. Soalnya Aunty Jeasy ada urusan sama Daddy," pinta Willy memberi senyuman terbaiknya untuk membujuk Cassie. Sementara Bibi Silly sudah berdiri di pinggir sofa sedari tadi. "Ayo, Non." Cassie mengangguk pelan seraya menatap Jeasy. "Kalau urusan Aunty sudah selesai, nanti ke kamar
Menu sarapan pagi ini kembali dimasak oleh sang pembantu seperti biasanya, karena pembantu yang dikenal dengan Bibi Silly itu sudah sembuh dari sakitnya. Wanita umur akhir empat puluhan tersebut memang sudah setia menenami keluarga Willy sejak tiga tahun terakhir. Namun, seketika Cassie menggeleng saat tangan Jeasy mengangkat sendok untuk menyuapi anak itu. "Cassie mau roti panggang buatan Aunty," celetuknya membuat Willy yang sibuk menyantap sarapan teralih memerhatikan kedua perempuan di dekatnya. Jeasy hanya tersenyum seraya berucap, "Ini bukannya burger kesukaan Cassie? Bibi Silly khusus membuatkan ini untukmu, Sayang. Apa kau tidak merindukan masakan Bibi Silly, hm? Jadi, ayo makan ini saja." Cassie menggeleng cepat sembari memajukan bibirnya beberapa senti. Bocah itu memang terkadang susah untuk dibujuk. Pada akhirnya, Jeasy menurut karena tatapan Willy terus mengintimidasi. "Baiklah, Aunty akan buatkan roti panggang untukmu. Tunggu sebent
Hari ini wajah Jeasy tampak secerah mentari. Bagaimana tidak, hatinya begitu senang karena harapan untuk bekerja di salah satu perusahaan akhirnya terwujud. Ia tidak menyangka Willy akan dengan mudah menerima dirinya.Namun, otak Jeasy baru teringat sesuatu. Jika ia bekerja di kantor Willy, lalu bagaimana dengan Cassie? Apakah ia akan tetap menjadi seorang pengasuh anak? Karena tidak mungkin Jeasy mengambil dua pekerjaan itu sekaligus. Ia tidak pandai membagi waktu."Aunty kenapa? Tidak biasanya melamun seperti itu?" tanya Cassie seusai meneguk segelas susu dingin.Jeasy menggeleng, lalu kembali menyuapi makanan ke mulut anak itu. Untung saja Jeasy mulai bekerja besok di perusahaan Willy, sehingga sekarang ia masih bisa menemani Cassie."Aunty sayang gak sama Cassie?"Seketika pertanyaan itu membuat Jeasy terkejut. "Tentu, Sayang. Kenapa kamu nanya begitu?""Ah, tidak. Cassie cuma takut Aunty pergi," timpal anak itu menatap Jeasy
"Kau yang membuat semua ini?" Willy tampak terkejut dengan banyaknya hidangan makanan di meja makan. Ia sempat meragukan makanan tersebut karena dibuat oleh orang asing, bukan oleh sang pembantu seperti biasanya."Iya, Pak. Mungkin ini sebagai bentuk terima kasihku, lagipula asisten rumah tangga di sini sedang sakit, bukan? Jadi biarkan saja aku yang menggantikannya," jawab Jeasy masih setia berdiri di samping meja.Willy bergeming sejenak. "Kau lupa?""L-lupa? Tentang apa?"Pria itu mendengkus, lalu berkata, "Panggil aku nama saja."Jeasy menunduk, ia benar-benar lupa. "Maaf, Pak. Tapi ... dengan menyebut nama saja kurasa itu tidak sopan.""Dengar, ini rumahku. Maka aku berhak mengatur semuanya, termasuk kau harus memanggilku seperti apa. Mengerti?" Willy berucap tegas, ia kemudian mengancingkan jas di tubuhnya. "Cepat bangunkan Cassie, aku ingin sarapan bersamanya.""Baik."Jeasy bergegas menuju kamar Cassie, gadis kecil itu tampak m