Setelah beberapa menit, akhirnya si kecil itu sampai di sebuah rumah besar nan mewah. Zio langsung membuka pintu mobil untuk mempersilakan sang tuan putri turun.
"Segeralah beristirahat, Sayang," ucap Zio membuat senyum di bibir Cassie mengembang.
"Okay, Om Zio," timpalnya seraya turun. "Daddy ada di rumah, 'kan?" lanjutnya.
Mendengar pertanyaan Cassie perihal Daddy-nya, Zio jadi teringat sesuatu. Dia baru sadar, kalau sekarang dirinya sedang mendapat tugas dari si bos. Akan tetapi, dia malah lupa.
"Ah, Daddy-mu masih di kantor."
"Yah, padahal Cassie sangat merindukan Daddy. Bisakah Om Zio menyuruhnya untuk pulang cepat?"
Zio langsung mengangguk, dia hanya mencoba untuk tidak membuat Cassie sedih. "Pasti, Tuan Putri."
Cassie pun berseri, ia memperlihatkan gigi putihnya yang rapi. "Ya ampun!" kejutnya saat hendak memijakan kaki pada teras rumah.
"Kenapa, Tuan Putri?" Sontak Zio langsung bertanya.
"Cassie telah melupakan kalung pemberian Daddy."
"Maksudmu?"
"Tadi saat Om Zio menemukan Cassie, Cassie hendak mengambil kalung itu yang terjatuh di sana. Dan Cassie malah lupa mengambilnya karena terlalu senang bertemu Om Zio," ucapnya dengan suara parau yang terdengar lucu.
"Baiklah, Cassie tenang saja. Om Zio akan mengambilnya ke sana. Semoga saja kalungnya masih ada."
Senyuman dari bibir cerry milik Cassy pun terbentuk. "Thanks, Om Zio."
Kini Zio kembali menghidupkan mobilnya dan segera meluncur ke tempat di mana Cassie ditemukan.
Sesaat setelah mobil itu benar-benar keluar dari gerbang besar di sana, Cassie tiba-tiba memekik, "Astaga!" Mata sipit gadis kecil itu tampak berkaca-kaca. "Aku telah melupakan Aunty. Bagaimana ini? Um ... semoga Om Zio juga bertemu dengan Aunty." Gadis kecil yang polos, Zio mana tahu perihal Jeasy.
¤¤¤¤¤Jeasy masih di dalam minimarket, antrian di kasir cukup memakan waktu. Padahal, ia sudah lelah berdiri apalagi sambil menahan sakit di kaki. Luka kering yang tampak mencolok di celana bahan berwarna putih tulang itu berhasil menarik perhatian orang-orang di sana. Jeasy sampai harus berkali-kali mencari alasan atas jawaban dari orang-orang yang bertanya. Karena ia tidak mungkin menceritakan bahwa itu luka akibat tembakan.Akhirnya Jeasy sudah berdiri paling depan, membayar dua botol minuman dengan beberapa cemilan. Dia tahu kalau anak kecil yang ia selamatkan pasti kelaparan. Tepat saat dia keluar, pandangannya langsung mengedar mencari sosok yang tadi bersamanya.
"Cassie? Kau di mana, Nak?" tanya Jeasy sedikit berteriak. Dia celingukan ke sana kemari. "Lihat, aku sudah membelikanmu minuman sekaligus cemilan. Ayolah, Sayang, jangan bermain petak umpet. Kau sedang kelelahan," ocehnya lagi. Jeasy mengira gadis berumur enam tahun itu sedang bermain-main.
Namun, mata indahnya itu malah menatap sesuatu yang berkilau akibat berpantulan dengan cahaya lampu jalanan. Itu sebuah kalung, benda yang menurut Jeasy tampak tidak asing. Langkahnya pun kini tertuju ke tempat kalung tersebut yang sedikit berada di tengah jalan.
"Sepertinya ... aku pernah melihat kalung ini," monolog Jeasy. Setelah memungut kalung tersebut, dia langsung menelitinya. "Ah, ya. Aku sempat melihat kalung ini di leher Cassie. Ini pasti miliknya."
Sadar akan suatu hal, Jeasy pun langsung berargurmen, "Astaga! Apa jangan-jangan dia tertangkap lagi oleh para penjahat itu? Oh, tidak!" Jeasy terlihat panik dan masih dengan posisinya di tengah jalan. Yang untung saja hanya ada beberapa motor yang berlalu-lalang. "Aku harus menyelematkan dia."
Tepat saat berbalik badan, tiba-tiba suara klakson mobil terdengar nyaring mengejutkan Jeasy. Mobil itu sedikit menabrak tubuh Jeasy, membuatnya terhentak dan akhirnya tersungkur. Entah karena Jeasy sudah benar-benar lelah atau karena dirinya yang terserempet mobil, gadis itu sampai berakhir pingsan di sana.
"Oh my god! Aku telah menyerempet seseorang!" seru sang pengemudi dari dalam mobil. Dengan panik ia pun keluar dan menghampiri korban tersebut.
Zio berjongkok hendak membangunkan gadis yang tak sengaja ia tabrak, tapi matanya malah menangkap sebuah kalung yang berada di genggaman gadis itu. "Itukan ... kalungnya Cassy. Kenapa bisa ada di tangan gadis ini?" heran Zio.
Tanpa berpikir panjang, Zio malah mengangkat tubuh Jeasy dan membawanya ke dalam mobil. Ia mengira kalau gadis tersebut hendak mencuri kalung milik bos mudanya dan ia harus melaporkan kejadian itu, ditambah Zio pun wajib bertanggung jawab atas kesalahannya tadi. Lelaki itu juga sedikit kasihan melihat keadaan Jeasy yang tampak kacau dengan luka parah di kakinya.
¤¤¤¤¤
Masih dengan minuman bir di tangan, Willy kembali menghubungi seseorang. Setelah orang yang dituju menerima panggilannya, Willy langsung berceloteh, "Hei, Zio! Kau di mana, hah? Aku sudah menunggumu dari tadi!"
"Maaf, Will. Aku mengalami sedikit kendala, dan ada kabar bag —"
"Jangan banyak alasan! Aku tidak mau tahu, pokoknya sekarang juga kau harus kemari! Dan ingat, yang segar dan menggoda sudah kunanti!" sarkas Willy memotong ucapan lawan bicaranya di seberang telepon. Ia pun langsung mematikan sambungan dan kembali melanjutkan menikmati minuman alkohol itu.
Pria itu memang sedang kalut, apalagi pencarian putrinya yang belum juga ada kabar. Itu membuat dirinya butuh penghibur dan penenang. Hanya dengan minuman keras tersebutlah, bebannya akan terasa lepas. Namun, dengan minuman haram itu juga, Willy akan sulit dikendalikan dan selalu mencari pelampiasan pada seorang wanita.
Selang beberapa menit, orang yang ditunggu-tunggu pun datang. Zio menghampiri Willy di tengah kerumunan orang-orang yang diselimuti lampu remang-remang. Wajahnya menunduk karena dia pasti akan dimarahi habis-habisan.
"Mana? Mana wanitaku?" sambut Willy dengan keadaan mabuk. "Kau kemari dengan tangan kosong? Astaga! Kau tidak berguna!" Zio pun hanya diam.
"Ah, sudahlah. Mood-ku sudah hancur. Aku ingin pulang!" Willy berjalan sempoyongan menuju pintu keluar, melihat itu Zio pun langsung membantunya.
Namun, Zio malah terkejut saat Willy hendak menuju mobil yang ia bawa.
'Astaga! Mati aku!' rutuknya di dalam hati. Zio menggigit bibir bawah takut, seorang gadis yang ia tabrak sedang berbaring di dalam mobilnya, jangan sampai Willy melihat itu semua.
"Um ... Will, bukannya kau bawa mobil sendiri? Kenapa kau malah menuju ke arah mobil yang kubawa."
"Zio, kau ingin aku mati apa? Mengendarai mobil di saat mabuk itu tidak baik! Jadi aku ikut denganmu. Biar nanti mobilku diurus oleh petugas di sini," jawab Willy dengan mata yang masih meler. Club di sana memang sudah setia dan sepenuhnya melayani Willy, karena itu adalah salah satu Club miliknya.
"T-tapi ...."
Willy tidak mendengarkan penuturan Zio, kini dia sudah membuka pintu mobil bagian belakang. Sontak mata Willy memicing. Berbeda dengan Zio yang malah membuang muka, takut terkena semprotan dari atasannya.
"Kau membawa seorang wanita? Kenapa kau tidak bilang, jadi aku tidak perlu memarahimu tadi," ujar Willy santai. "Eh, tapi tunggu. Kenapa dia tertidur? Oh, astaga! Kakinya juga terluka? Ck, dia bukan pesananku! Aku bilang kau carikan aku wanita yang segar dan menggoda, tapi kenapa kau malah memberiku wanita dengan keadaan seperti ini, Zio?"
Zio terdiam sejenak, dia bingung harus mengatakan apa. "Willy, dengarkan aku. Dia memang bukan pesananmu. Tapi dia —" Ucapannya sontak terhenti kala melihat Willy yang malah ambruk. Pria itu terkulai lemas tak sadarkan diri. "Willy! Ah, dia pingsan."
Zio akhirnya membawa kedua manusia pingsan itu, entah dia akan diberi hukuman apa setelah ini oleh sang atasan. Sungguh, hari ini Zio ditimpa kesialan. Itulah pikirnya.
¤¤¤¤¤
Next or No?
Sesaat sebelum mobil hitam pekat itu sampai pada tujuannya, seketika mata pria yang habis mabuk itu terbuka. Matanya langsung memicing melihat gadis yang tertidur pulas di sana. Zio sama sekali tidak menyadari kalau Willy sudah sadarkan diri, dia sibuk menyetir dan fokus pada jalanan. Mata tajam Willy masih belum teralihkan memandangi Jeasy. Entah kenapa, dia terus meneliti tubuh yang terlihat seksi itu. Walaupun pakaian Jeasy tidaklah minim, tetapi pria itu mampu menangkap postur tubuh Jeasy yang indah dan menggoda. 'Tubuhnya menarik juga,' batin Willy menyeringai. Sisi negatifnya mulai keluar. "Oh, astaga! Apa yang aku pikirkan?" kilahnya setelah sadar dari pikiran buruk tersebut. Sontak Zio langsung menoleh dan mendapati tuannya yang sudah sadar. "Will, kau sudah sadar?" Tak ada jawaban, Willy sibuk memijat pelipisnya. "Tepat sekali, kau sadar dan kita sudah sampai," lanjut Zio menghentikan mobilnya. Sebuah rumah b
"Ck, astaga! Kenapa ponselnya masih tidak aktif?" Wanita manis itu tampak panik, ia terus memandang benda persegi panjang dengan nyalang."Ada apa, Miliie? Kau terlihat gelisah." Brix bertanya."Ini Ayah, entah kenapa dua hari terakhir Jeasy tidak ada kabar. Bahkan ponselnya juga mati.""Mungkin dia sedang sibuk. Kau tidak coba pergi ke rumahnya?"Millie berakhir duduk di samping sang ayah. "Sudah, Ayah. Tapi dia tidak ada, rumahnya juga terkunci. Aku jadi khawatir.""Kau yang tenang, Ayah yakin dia baik-baik saja. Mungkin sekarang dia lagi butuh waktu untuk sendiri."Millie hanya mengangguk, semoga saja perkataan ayahnya memang benar. Kini dering ponsel di tangannya terdengar, wajah Millie langsung berubah senang. Namun, setelah ia lihat nama yang tertampang di sana, ternyata bukan Jeasy."Maaf, Ayah. Aku angkat telepon dulu." Millie pun pergi seraya menjawab panggilan."Halo, Pynson. Ada apa kau meneleponku?""Kenapa kau
"Kau yang membuat semua ini?" Willy tampak terkejut dengan banyaknya hidangan makanan di meja makan. Ia sempat meragukan makanan tersebut karena dibuat oleh orang asing, bukan oleh sang pembantu seperti biasanya."Iya, Pak. Mungkin ini sebagai bentuk terima kasihku, lagipula asisten rumah tangga di sini sedang sakit, bukan? Jadi biarkan saja aku yang menggantikannya," jawab Jeasy masih setia berdiri di samping meja.Willy bergeming sejenak. "Kau lupa?""L-lupa? Tentang apa?"Pria itu mendengkus, lalu berkata, "Panggil aku nama saja."Jeasy menunduk, ia benar-benar lupa. "Maaf, Pak. Tapi ... dengan menyebut nama saja kurasa itu tidak sopan.""Dengar, ini rumahku. Maka aku berhak mengatur semuanya, termasuk kau harus memanggilku seperti apa. Mengerti?" Willy berucap tegas, ia kemudian mengancingkan jas di tubuhnya. "Cepat bangunkan Cassie, aku ingin sarapan bersamanya.""Baik."Jeasy bergegas menuju kamar Cassie, gadis kecil itu tampak m
Hari ini wajah Jeasy tampak secerah mentari. Bagaimana tidak, hatinya begitu senang karena harapan untuk bekerja di salah satu perusahaan akhirnya terwujud. Ia tidak menyangka Willy akan dengan mudah menerima dirinya.Namun, otak Jeasy baru teringat sesuatu. Jika ia bekerja di kantor Willy, lalu bagaimana dengan Cassie? Apakah ia akan tetap menjadi seorang pengasuh anak? Karena tidak mungkin Jeasy mengambil dua pekerjaan itu sekaligus. Ia tidak pandai membagi waktu."Aunty kenapa? Tidak biasanya melamun seperti itu?" tanya Cassie seusai meneguk segelas susu dingin.Jeasy menggeleng, lalu kembali menyuapi makanan ke mulut anak itu. Untung saja Jeasy mulai bekerja besok di perusahaan Willy, sehingga sekarang ia masih bisa menemani Cassie."Aunty sayang gak sama Cassie?"Seketika pertanyaan itu membuat Jeasy terkejut. "Tentu, Sayang. Kenapa kamu nanya begitu?""Ah, tidak. Cassie cuma takut Aunty pergi," timpal anak itu menatap Jeasy
Menu sarapan pagi ini kembali dimasak oleh sang pembantu seperti biasanya, karena pembantu yang dikenal dengan Bibi Silly itu sudah sembuh dari sakitnya. Wanita umur akhir empat puluhan tersebut memang sudah setia menenami keluarga Willy sejak tiga tahun terakhir. Namun, seketika Cassie menggeleng saat tangan Jeasy mengangkat sendok untuk menyuapi anak itu. "Cassie mau roti panggang buatan Aunty," celetuknya membuat Willy yang sibuk menyantap sarapan teralih memerhatikan kedua perempuan di dekatnya. Jeasy hanya tersenyum seraya berucap, "Ini bukannya burger kesukaan Cassie? Bibi Silly khusus membuatkan ini untukmu, Sayang. Apa kau tidak merindukan masakan Bibi Silly, hm? Jadi, ayo makan ini saja." Cassie menggeleng cepat sembari memajukan bibirnya beberapa senti. Bocah itu memang terkadang susah untuk dibujuk. Pada akhirnya, Jeasy menurut karena tatapan Willy terus mengintimidasi. "Baiklah, Aunty akan buatkan roti panggang untukmu. Tunggu sebent
Sesampainya di rumah, Jeasy dikejutkan dengan keberadaan Willy yang sudah duduk tegap di sofa dengan tatapan yang sulit diartikan, seolah ia sedang menahan suatu amarah. Tidak biasanya dia pulang secepat itu. Akan tetapi, netranya sontak melirik si putri kecil yang dituntun oleh Jeasy. Raut wajah Willy seketika berubah total. Senyumnya mengembang seraya berdiri dan langsung menggendong Cassie dengan manja. "Sayang, bagaimana les baletnya? Lancar?" tanya Willy halus. "Yes, Dad. Aku, 'kan penari balet terbaik!" seru Cassie tampak gembira. "Good girl! Ya sudah, kalau begitu Cassie mandi dulu, ya, sama Bibi Silly. Soalnya Aunty Jeasy ada urusan sama Daddy," pinta Willy memberi senyuman terbaiknya untuk membujuk Cassie. Sementara Bibi Silly sudah berdiri di pinggir sofa sedari tadi. "Ayo, Non." Cassie mengangguk pelan seraya menatap Jeasy. "Kalau urusan Aunty sudah selesai, nanti ke kamar
Tangan seputih susu itu terus membelai lembut rambut si putri kecil dengan sisir. Wanita tersebut tampak fokus dan telaten mengikat rambut Cassie agar tampak rapi. Sampai panggilan dari sang pemilik rambut indah pun ia hiraukan begitu saja. Sepertinya kata yang tepat untuk Jeasy saat ini bukanlah fokus, melainkan dia malah melamun. "Aunty!" kejut Cassie, membuat Jeasy terperanjat dan menjatuhkan sisirnya. "Kenapa Aunty diam saja? Aku dari tadi berbicara sama Aunty." "Oh, astaga. Maafkan Aunty, Sayang. Aunty terlalu fokus menata rambutmu agar terlihat cantik," elaknya. Anak itu membalikkan badan dan menghadap Jeasy sepenuhnya. "Aunty melamun?" Jeasy terkekeh, bocah di hadapannya memang terlalu pintar. "Tidak, siapa bilang? Sudahlah, waktunya kita sarapan. Daddy pasti sudah menunggumu di meja makan." Begitu jelas Jeasy mencoba untuk mengakhiri perbincangan perihal dirinya yang tertangkap basah saat sedan
Tepat pukul 10.00, semua anak tampak berhamburan keluar dari gedung Kids Nursery School. Salah satu Kindergarten terbaik di Swedia. Ya, sekolah taman kanak-kanak yang satu inilah tempat Cassie belajar sekarang. Sudah tiga jam Jassie menunggu Cassie, tentunya wanita itu banyak mendapat tatapan aneh dari orang-orang di sana karena penampilannya yang tertutup. Baru beberapa hari seperti ini saja rasanya begitu tidak nyaman bagi Jeasy. "Ayo, Aunty!" kejut Cassie membuat Jeasy terperanjat. Jeasy berjongkok untuk berbicara pada Cassie dengan membuka maskernya sejenak. "Kita makan dulu, ya. Setelah itu Cassie lanjut kursus melukis." Walaupun suasana hati Jeasy sedang tidak baik, tetapi ia harus tetap terlihat bersemangat di depan gadis kecil itu. "Okay! Let's go!" Anak itu begitu ceria, ia tidak tahu bahwa aunty-nya sedang dilanda masalah karena ulah sang ayah. Keduanya kini mulai berjalan menuju mobil. Akan tetapi, ta
Kini keadaan Cassie sudah membaik, senyumnya terus mengembang apalagi saat Jeasy dan Willy datang ke ruang rawatnya. Bahkan, anak itu sekarang makan dengan lahap karena terlalu bahagia dengan Jeasy yang telaten menyuapinya. Gadis kecil tersebut juga terus saja menggoda sang ayah mengenai perihal pengakuannya di acara konferensi pers. Raut tersipu malu sekaligus pasrah sama sekali tak dapat disembunyikan dari wajah Willy. Ia benar-benar terjebak dengan tingkah anaknya sendiri. "Permisi." Seketika semua orang di ruangan itu menoleh pada pintu masuk, ternyata seorang dokter datang untuk memastikan keadaan Cassie. "Bagaimana, Dok, keadaan putri saya? Dia sudah baik-baik saja, bukan?" tanya Willy tak sabaran. Dokter itu terdiam sejenak, lalu merekahkan senyuman. "Keadaan Cassie berangsur membaik dengan cepat, besok dia sudah diperbolehkan pulang. Tapi tetap saja, jangan makan makanan sembarangan dan makanlah yang teratur."
Jeasy masih setia menemani Cassie, bahkan ia tak berpindah dari tempat duduknya sedikit pun. Tangan wanita itu terus menggenggam tangan mungil Cassie dan mengelusnya halus. Jeasy tahu, ia tidak boleh egois. Cassie sakit karena dirinya yang berniat menghindar dari masalah. Namun, sekarang itu tidak penting, kesehetan Cassie jauh lebih penting, maka dari itu Jeasy tidak akan pergi untuk menghindar lagi. Pun dengan willy yang masih duduk termenung di depan ruang rawat pitrinya. Pria itu sama sekali tidak berniat mengajak Jeasy untuk mengobrol atau membahas sesuatu dengannya. Pikiran Willy hanyut mengingat perkataan sang dokter beberapa saat lalu perihal penyakit yang diderita sang putri. Pria berbulu halus di dagunya itu terus saja memijat pelipis dengan raut yang sulit diartikan. Embusan napas berat pun beberapa kali lolos dari hidungnya. Untuk sesaat Willy merasa dirinya telah gagal menjadi sosok ayah, karena ia tidak becus menjaga Cassie. Entah separah apa peny
Sudah hampir setengah hari Willy sibuk mencari keberadaan Jeasy. Ia sampai mengerahkan beberapa anak buah agar pencarian lebih cepat. Dia sengaja melakukan itu demi putrinya. Karena semenjak Jeasy benar-benar dinyatakan hilang, Cassie langsung menangis tidak karuan. Tangisannya tak kunjung usai sampai anak itu mogok makan. Dia terus meringkuk di kamar Jeasy berharap wanita itu kembali datang. Dengan perasaan cemas, Willy kembali menghubungi Bibi Silly untuk memastikan keadaan Cassie. "Halo, Daddy? Bagaimana? Aunty sudah ketemu? Aunty Jeasy akan pulang lagi ke rumah kita, bukan?" Itulah sambutan dari seberang telepon yang Willy dapatkan. Anak itu benar-benar tidak mau kehilangan Jeasy. Willy bergeming sejenak, ia bingung harus mengatakan apa pada Cassie. Karena faktanya Jeasy sama sekali belum ditemukan. Menelusuri alamat yang ada pada resume saat dirinya melamar pekerjaan pun sia-sia. Ternyata rumah yang berada di alamat tersebut kosong. "Cassie sayang, janga
Tepat pukul 10.00, semua anak tampak berhamburan keluar dari gedung Kids Nursery School. Salah satu Kindergarten terbaik di Swedia. Ya, sekolah taman kanak-kanak yang satu inilah tempat Cassie belajar sekarang. Sudah tiga jam Jassie menunggu Cassie, tentunya wanita itu banyak mendapat tatapan aneh dari orang-orang di sana karena penampilannya yang tertutup. Baru beberapa hari seperti ini saja rasanya begitu tidak nyaman bagi Jeasy. "Ayo, Aunty!" kejut Cassie membuat Jeasy terperanjat. Jeasy berjongkok untuk berbicara pada Cassie dengan membuka maskernya sejenak. "Kita makan dulu, ya. Setelah itu Cassie lanjut kursus melukis." Walaupun suasana hati Jeasy sedang tidak baik, tetapi ia harus tetap terlihat bersemangat di depan gadis kecil itu. "Okay! Let's go!" Anak itu begitu ceria, ia tidak tahu bahwa aunty-nya sedang dilanda masalah karena ulah sang ayah. Keduanya kini mulai berjalan menuju mobil. Akan tetapi, ta
Tangan seputih susu itu terus membelai lembut rambut si putri kecil dengan sisir. Wanita tersebut tampak fokus dan telaten mengikat rambut Cassie agar tampak rapi. Sampai panggilan dari sang pemilik rambut indah pun ia hiraukan begitu saja. Sepertinya kata yang tepat untuk Jeasy saat ini bukanlah fokus, melainkan dia malah melamun. "Aunty!" kejut Cassie, membuat Jeasy terperanjat dan menjatuhkan sisirnya. "Kenapa Aunty diam saja? Aku dari tadi berbicara sama Aunty." "Oh, astaga. Maafkan Aunty, Sayang. Aunty terlalu fokus menata rambutmu agar terlihat cantik," elaknya. Anak itu membalikkan badan dan menghadap Jeasy sepenuhnya. "Aunty melamun?" Jeasy terkekeh, bocah di hadapannya memang terlalu pintar. "Tidak, siapa bilang? Sudahlah, waktunya kita sarapan. Daddy pasti sudah menunggumu di meja makan." Begitu jelas Jeasy mencoba untuk mengakhiri perbincangan perihal dirinya yang tertangkap basah saat sedan
Sesampainya di rumah, Jeasy dikejutkan dengan keberadaan Willy yang sudah duduk tegap di sofa dengan tatapan yang sulit diartikan, seolah ia sedang menahan suatu amarah. Tidak biasanya dia pulang secepat itu. Akan tetapi, netranya sontak melirik si putri kecil yang dituntun oleh Jeasy. Raut wajah Willy seketika berubah total. Senyumnya mengembang seraya berdiri dan langsung menggendong Cassie dengan manja. "Sayang, bagaimana les baletnya? Lancar?" tanya Willy halus. "Yes, Dad. Aku, 'kan penari balet terbaik!" seru Cassie tampak gembira. "Good girl! Ya sudah, kalau begitu Cassie mandi dulu, ya, sama Bibi Silly. Soalnya Aunty Jeasy ada urusan sama Daddy," pinta Willy memberi senyuman terbaiknya untuk membujuk Cassie. Sementara Bibi Silly sudah berdiri di pinggir sofa sedari tadi. "Ayo, Non." Cassie mengangguk pelan seraya menatap Jeasy. "Kalau urusan Aunty sudah selesai, nanti ke kamar
Menu sarapan pagi ini kembali dimasak oleh sang pembantu seperti biasanya, karena pembantu yang dikenal dengan Bibi Silly itu sudah sembuh dari sakitnya. Wanita umur akhir empat puluhan tersebut memang sudah setia menenami keluarga Willy sejak tiga tahun terakhir. Namun, seketika Cassie menggeleng saat tangan Jeasy mengangkat sendok untuk menyuapi anak itu. "Cassie mau roti panggang buatan Aunty," celetuknya membuat Willy yang sibuk menyantap sarapan teralih memerhatikan kedua perempuan di dekatnya. Jeasy hanya tersenyum seraya berucap, "Ini bukannya burger kesukaan Cassie? Bibi Silly khusus membuatkan ini untukmu, Sayang. Apa kau tidak merindukan masakan Bibi Silly, hm? Jadi, ayo makan ini saja." Cassie menggeleng cepat sembari memajukan bibirnya beberapa senti. Bocah itu memang terkadang susah untuk dibujuk. Pada akhirnya, Jeasy menurut karena tatapan Willy terus mengintimidasi. "Baiklah, Aunty akan buatkan roti panggang untukmu. Tunggu sebent
Hari ini wajah Jeasy tampak secerah mentari. Bagaimana tidak, hatinya begitu senang karena harapan untuk bekerja di salah satu perusahaan akhirnya terwujud. Ia tidak menyangka Willy akan dengan mudah menerima dirinya.Namun, otak Jeasy baru teringat sesuatu. Jika ia bekerja di kantor Willy, lalu bagaimana dengan Cassie? Apakah ia akan tetap menjadi seorang pengasuh anak? Karena tidak mungkin Jeasy mengambil dua pekerjaan itu sekaligus. Ia tidak pandai membagi waktu."Aunty kenapa? Tidak biasanya melamun seperti itu?" tanya Cassie seusai meneguk segelas susu dingin.Jeasy menggeleng, lalu kembali menyuapi makanan ke mulut anak itu. Untung saja Jeasy mulai bekerja besok di perusahaan Willy, sehingga sekarang ia masih bisa menemani Cassie."Aunty sayang gak sama Cassie?"Seketika pertanyaan itu membuat Jeasy terkejut. "Tentu, Sayang. Kenapa kamu nanya begitu?""Ah, tidak. Cassie cuma takut Aunty pergi," timpal anak itu menatap Jeasy
"Kau yang membuat semua ini?" Willy tampak terkejut dengan banyaknya hidangan makanan di meja makan. Ia sempat meragukan makanan tersebut karena dibuat oleh orang asing, bukan oleh sang pembantu seperti biasanya."Iya, Pak. Mungkin ini sebagai bentuk terima kasihku, lagipula asisten rumah tangga di sini sedang sakit, bukan? Jadi biarkan saja aku yang menggantikannya," jawab Jeasy masih setia berdiri di samping meja.Willy bergeming sejenak. "Kau lupa?""L-lupa? Tentang apa?"Pria itu mendengkus, lalu berkata, "Panggil aku nama saja."Jeasy menunduk, ia benar-benar lupa. "Maaf, Pak. Tapi ... dengan menyebut nama saja kurasa itu tidak sopan.""Dengar, ini rumahku. Maka aku berhak mengatur semuanya, termasuk kau harus memanggilku seperti apa. Mengerti?" Willy berucap tegas, ia kemudian mengancingkan jas di tubuhnya. "Cepat bangunkan Cassie, aku ingin sarapan bersamanya.""Baik."Jeasy bergegas menuju kamar Cassie, gadis kecil itu tampak m