"Cepat katakan! Di mana kau menyembunyikan putriku, hah?"
Lelaki berahang tegas itu terus menggertak pria di hadapannya yang hanya duduk santai dengan sebatang rokok. Willy benar-benar sudah kebakar emosi karena lawan bicaranya sedari tadi hanya tertawa hambar.
"Aku semakin yakin, kalau kau memang dalang di balik semua ini! Lihat saja apa yang akan kulakukan padamu, Pria Sialan!" Willy berbalik dan langsung mengambil langkah lebar hendak pergi meninggalkan ruangan bernuansa abu-abu itu. Namun, suara bariton berhasil mencegatnya.
"Apa yang akan kau lakukan, Tuan Willyard Poulter? Melaporkanku ke polisi? Dengan tuduhan penculikan anak?" tanya Jacob tertawa remeh. "Tanpa bukti apa pun? Haha ... aku yakin polisi tidak akan mempercayaimu! Sudah kubilang, bukan? Kalau aku tidak tahu apa-apa perihal kehilangan putrimu."
Tanpa menoleh sedikit pun, Willy menjawab, "Mau kau mengelak sekeras apa pun, aku tetap mengetahui akal busukmu itu!" Willy kembali berjalan dan benar-benar pergi dari sana.
"Oh, shit! Kenapa dia terus mencurigaiku!" teriak Jacob setelah Willy hilang dari pandangan.
Di perjalanan menuju mobil, tangan kekar pria itu merogoh ponsel dari balik jas biru tuanya. Willy hendak menghubungi seseorang. "Bagaimana? Kau sudah mendapat kabar tentang Cassie?" tanyanya terlihat panik.
"Maaf, Willy. Jejaknya sama sekali tertutup rapi, aku dan anak buah yang lain masih berusaha," jawab seseorang di seberang telepon.
Willy mendengkus, putrinya yang dua hari ini menghilang membuat pria itu tampak cemas dan kelimpungan. "Aku tidak mau tahu, kau harus segera menemukan putriku! Lakukan penyelidikan ekstra di tempat kejadian. Ah, satu lagi Zio. Kau dan yang lain tidak boleh kembali sebelum mendapatkan Cassie!"
Willy langsung memutus teleponnya sepihak, orang yang menjadi tangan kanannya itu telah membuatnya kesal. Bagaimana mereka masih belum bisa menemukan putrinya setelah pencarian dua hari berturut-turut? Padahal, jumlah anak buah Willy tidaklah sedikit.
¤¤¤¤¤
"Umphh!!"
Erangan seorang wanita dari mulutnya yang terbekap kain terus terdengar di telinga kedua orang berbadan kekar di sana. Sementara satu bocah kecil yang juga dalam keadaan sama itu hanya menangis tersedu-sedu.
"Ck, kalian berdua bisa diam tidak, hah?" geram salah seorang pria itu.
Gadis dan anak kecil yang terikat pada kursi itu hanya menunduk takut. Tatapan pria brewok di sana terus menatap gadis yang kakinya terluka akibat tembakan dari temannya pagi tadi. "Kurasa ... kita lepaskan saja ikatan di kakinya, Jer. Dia terluka, aku kasihan melihatnya."
"Tidak! Kalau dia kabur bagaimana?" timpal pria yang dipanggil Jer itu.
"Biarkan saja. Dia, 'kan bukan tujuan kita. Yang penting anak ini tetap berada di genggaman kita. Tapi aku tidak mengerti, kenapa si bos masih belum mengunjungi kita di sini. Apa dia tidak jadi datang ke Marstrand?"
Jerry terdiam sejenak. "Kau ini bodoh sekali! Jika gadis itu lepas, dia bisa melaporkan kita ke polisi! Dia sudah melihat wajah kita. Dan untuk si bos, maklumi saja. Dia orang sibuk, atau mungkin sibuk juga dengan wanita-wanitanya."
"Ya sudah, kalau begitu kita cari makan dulu. Aku sudah lapar." Kedua pria itu pun pergi meninggalkan tawanannya.
Suasana di ruangan lumayan gelap dengan banyak sarang laba-laba dan sedikit lengang, hanya menyisakan dua orang yang sedang pasrah dalam ikatan.
'Aku harus melakukan sesuatu,' ujar Jeasy di dalam hati. Mulutnya masih susah untuk terbuka karena kain yang melilitnya.
Sesaat setelah itu, pandangannya tak sengaja melihat pecahan beling tak jauh dari sana. Satu akal pun muncul dari benak wanita itu.
Sembari menahan sakit pada kaki, Jeasy terus beringsut dengan kursinya. Ia bersusah payah menuju posisi beling itu berada. Setelah beberapa menit, aksinya tidak mengecewakan. Dia berhasil mendekati beling tersebut dan dengan sengaja langsung menjatuhkan diri bersama kursi yang ia duduki. Sekarang posisi Jeasy tengah tersungkur dengan tangan berusaha meraih beling itu dari arah belakang, karena faktanya tangan mulusnya itu terikat di belakang.
Setelah sedikit kesusahan, akhirnya Jeasy mampu mengambil beling tersebut. Ia segera menggesekannya pada tali yang mengikat tangan. Hal tersebut membutuhkan waktu cukup lama, Jeasy takut kalau rencananya akan gagal. Ia harus sudah berhasil sebelum para penjahat itu datang.
"Huh." Embusan napas wanita itu terdengar melengkuh. Ia telah berhasil memotong tali yang mengikat tangannya. Dengan segera ia melepaskan kain yang membekap mulut juga tali yang melilit di kakinya.
Tak lupa, Jeasy langsung menghampiri gadis kecil yang tampak masih ketakutan dengan tangisan. "Hei, kau tenang saja. Kita akan selamat," ujar Jeasy bermaksud menenangkan.
Tanpa menunggu lama, dia melucuti tali yang mengikat tubuh Cassie. Setelah terlepas, sontak anak itu langsung memeluk Jeasy dengan lembut. "Thank you very much, Aunty."
"Iya, Sayang. Sama-sama. Ya sudah, kita harus cepat pergi dari sini. Ayo!"
¤¤¤¤¤
Suasana menjelang malam di Kota Marstrand memang selalu memanjakan mata. Langit senja yang terpampang dari ujung barat menambah kesan romantis bagi kota tersebut. Lampu-lampu juga berangsur menyala melengkapi keindahan jalanan kota. Saat ini ketenangan sedang dirasakan semua orang karena waktu bekerja yang sudah usai. Akan tetapi, tidak bagi orang-orang yang sibuk di taman kota ini.
"Cepat, semuanya harus bergerak! Jangan sampai ada yang terlewat. Kalian harus teliti dalam melakukan penyelidikan ini," seru Zio pada anak buahnya. Mereka sedang berada di tempat kejadian di mana Cassie menghilang, yaitu di sebuah taman kota bekas pertunjukan sirkus dua hari lalu.
Selain itu, mereka juga tengah memeriksa CCTV yang ada di sana, bertanya pada warga sekitar, dan menscan semua sidik jari yang terdapat pada barang-barang di tempat tersebut. Namun, tanda-tanda penyebab hilangnya anak sang pengusaha besar itu belum tampak juga. Willy sendiri enggan untuk melaporkan kasus ini, karena semua itu akan berdampak buruk bagi Cassie juga dirinya.
Saat Zio sibuk mengintai, tiba-tiba ponsel di saku celananya berdering. Dengan cepat ia pun mengangkatnya. "Iya, ada tugas apa lagi, Will?" tanyanya.
Ternyata sang atasan yang menelepon. Zio sudah terbiasa memanggil bosnya sendiri tanpa embel-embel 'Pak' atau 'Tuan'. Karena itu permintaan Willy sendiri, dengan alasan mereka masih seumuran dan dia sudah menganggap Zio sebagai teman.
"Seperti biasa di tempat biasa, segar dan menggoda."
Hanya itu jawaban dari seberang telepon yang Zio dengar, bosnya langsung menutup panggilan. Lelaki berambut cepak itu paham sekali dengan ucapan Willy tadi. Apalagi, terdengar dari nada bicara si bos yang sepertinya sedang dalam keadaan mabuk.
"Kalian lanjutkan penyelidikan. Aku ada urusan lain," titah Zio dan langsung melenggang pergi dengan mobilnya. Lebih tepatnya mobil Willy.
¤¤¤¤¤
"Aunty, sebenarnya kita mau pergi ke mana?" tanya Cassie menghentikan aksi larinya.
Jeasy pun menatap lekat anak di depannya, ia mampu melihat peluh di dahi gadis kecil itu, dia tampak kelelahan. Sedari tadi mereka berlari hanya untuk melarikan diri dari penjahat tadi. Walaupun Jeasy berlari dengan kaki terpingkal juga menahan rasa sakit yang mendalam, tetapi untung saja keduanya sudah lolos dan jauh dari tempat mereka dikurung.
"Kita akan pergi ke rumah Aunty. Karena anak kecil seusiamu pasti tidak mengingat alamat rumah sendiri, bukan?"
Cassie mengangguk sambil terkekeh. "Ya, Aunty benar."
"Tapi sepertinya kau kelelahan. Jadi, kita istirahat sebentar. Di depan sana ada minimarket, kita beli minuman dulu," sambung Jeasy mengelus puncak gadis kecil itu.
Kini mereka hanya berjalan biasa, tenaga keduanya tampak sudah terkuras. Setelah sampai di jalanan yang mulai ramai, Jeasy pun mampir di minimarket untuk sekadar membeli minuman. "Cassie tunggu di sini saja, ya. Aunty masuk dulu," ujarnya.
Cassie hanya menurut saja, ia berdiri di luar minimarket tepat di pinggir jalan. Namun, tiba-tiba Cassie merasa kehilangan sesuatu. Ia dengan repleks memegangi lehernya.
"Kalungku? Kalungku di mana?"
Pandangan Cassie mengedar, dan tepat matanya menangkap sesuatu yang berkilauan di tengah jalan. Ternyata kalung anak itu terjatuh di sana. Ia pun segera berlari dengan kakinya yang kecil, tetapi sebuah mobil tiba-tiba saja datang dalam waktu yang bersamaan.
"Aarghhh!" teriak Cassie langsung terjatuh.
Untung saja pengendara mobil tersebut berhasil menginjak rem di waktu yang tepat. Hampir saja dia menabrak Cassie. Terlihat sang pengemudi pun turun dari balik mobil mewah itu. "Maaf, Nak. Aku tidak sengaja. Mari, kuban —" Ucapan pria itu terhenti kala ia melihat wajah dari sosok kecil di hadapannya.
"Om Zio?" kejut anak itu.
"Cassie? Astaga! Akhirnya kau berhasil ditemukan." Zio tampak senang, putri dari bosnya ada di depan mata. "Kau tidak kenapa-napa, 'kan, Tuan Putri?"
"Aku baik-baik saja, Om."
"Ya sudah, mari kita pulang." Zio segera menarik tangan Cassie lembut.
Senyuman di bibir anak itu tampak tak pernah pudar, ia kelihatan sangat senang. "Ayo!" serunya bersemangat. Cassie langsung menerima ajakan Zio begitu saja. Anak itu telah melupakan sang penyelamat.
¤¤¤¤¤¤
Bersambung ....
Nantikan kisah mereka di episode selanjutnya^^
Setelah beberapa menit, akhirnya si kecil itu sampai di sebuah rumah besar nan mewah. Zio langsung membuka pintu mobil untuk mempersilakan sang tuan putri turun."Segeralah beristirahat, Sayang," ucap Zio membuat senyum di bibir Cassie mengembang."Okay, Om Zio," timpalnya seraya turun. "Daddy ada di rumah, 'kan?" lanjutnya.Mendengar pertanyaan Cassie perihal Daddy-nya, Zio jadi teringat sesuatu. Dia baru sadar, kalau sekarang dirinya sedang mendapat tugas dari si bos. Akan tetapi, dia malah lupa."Ah, Daddy-mu masih di kantor.""Yah, padahal Cassie sangat merindukan Daddy. Bisakah Om Zio menyuruhnya untuk pulang cepat?"Zio langsung mengangguk, dia hanya mencoba untuk tidak membuat Cassie sedih. "Pasti, Tuan Putri."Cassie pun berseri, ia memperlihatkan gigi putihnya yang rapi. "Ya ampun!" kejutnya saat hendak memijakan kaki pada teras rumah."Kenapa, Tuan Putri?" Sontak Zio langsung bertanya."Cassie te
Sesaat sebelum mobil hitam pekat itu sampai pada tujuannya, seketika mata pria yang habis mabuk itu terbuka. Matanya langsung memicing melihat gadis yang tertidur pulas di sana. Zio sama sekali tidak menyadari kalau Willy sudah sadarkan diri, dia sibuk menyetir dan fokus pada jalanan. Mata tajam Willy masih belum teralihkan memandangi Jeasy. Entah kenapa, dia terus meneliti tubuh yang terlihat seksi itu. Walaupun pakaian Jeasy tidaklah minim, tetapi pria itu mampu menangkap postur tubuh Jeasy yang indah dan menggoda. 'Tubuhnya menarik juga,' batin Willy menyeringai. Sisi negatifnya mulai keluar. "Oh, astaga! Apa yang aku pikirkan?" kilahnya setelah sadar dari pikiran buruk tersebut. Sontak Zio langsung menoleh dan mendapati tuannya yang sudah sadar. "Will, kau sudah sadar?" Tak ada jawaban, Willy sibuk memijat pelipisnya. "Tepat sekali, kau sadar dan kita sudah sampai," lanjut Zio menghentikan mobilnya. Sebuah rumah b
"Ck, astaga! Kenapa ponselnya masih tidak aktif?" Wanita manis itu tampak panik, ia terus memandang benda persegi panjang dengan nyalang."Ada apa, Miliie? Kau terlihat gelisah." Brix bertanya."Ini Ayah, entah kenapa dua hari terakhir Jeasy tidak ada kabar. Bahkan ponselnya juga mati.""Mungkin dia sedang sibuk. Kau tidak coba pergi ke rumahnya?"Millie berakhir duduk di samping sang ayah. "Sudah, Ayah. Tapi dia tidak ada, rumahnya juga terkunci. Aku jadi khawatir.""Kau yang tenang, Ayah yakin dia baik-baik saja. Mungkin sekarang dia lagi butuh waktu untuk sendiri."Millie hanya mengangguk, semoga saja perkataan ayahnya memang benar. Kini dering ponsel di tangannya terdengar, wajah Millie langsung berubah senang. Namun, setelah ia lihat nama yang tertampang di sana, ternyata bukan Jeasy."Maaf, Ayah. Aku angkat telepon dulu." Millie pun pergi seraya menjawab panggilan."Halo, Pynson. Ada apa kau meneleponku?""Kenapa kau
"Kau yang membuat semua ini?" Willy tampak terkejut dengan banyaknya hidangan makanan di meja makan. Ia sempat meragukan makanan tersebut karena dibuat oleh orang asing, bukan oleh sang pembantu seperti biasanya."Iya, Pak. Mungkin ini sebagai bentuk terima kasihku, lagipula asisten rumah tangga di sini sedang sakit, bukan? Jadi biarkan saja aku yang menggantikannya," jawab Jeasy masih setia berdiri di samping meja.Willy bergeming sejenak. "Kau lupa?""L-lupa? Tentang apa?"Pria itu mendengkus, lalu berkata, "Panggil aku nama saja."Jeasy menunduk, ia benar-benar lupa. "Maaf, Pak. Tapi ... dengan menyebut nama saja kurasa itu tidak sopan.""Dengar, ini rumahku. Maka aku berhak mengatur semuanya, termasuk kau harus memanggilku seperti apa. Mengerti?" Willy berucap tegas, ia kemudian mengancingkan jas di tubuhnya. "Cepat bangunkan Cassie, aku ingin sarapan bersamanya.""Baik."Jeasy bergegas menuju kamar Cassie, gadis kecil itu tampak m
Hari ini wajah Jeasy tampak secerah mentari. Bagaimana tidak, hatinya begitu senang karena harapan untuk bekerja di salah satu perusahaan akhirnya terwujud. Ia tidak menyangka Willy akan dengan mudah menerima dirinya.Namun, otak Jeasy baru teringat sesuatu. Jika ia bekerja di kantor Willy, lalu bagaimana dengan Cassie? Apakah ia akan tetap menjadi seorang pengasuh anak? Karena tidak mungkin Jeasy mengambil dua pekerjaan itu sekaligus. Ia tidak pandai membagi waktu."Aunty kenapa? Tidak biasanya melamun seperti itu?" tanya Cassie seusai meneguk segelas susu dingin.Jeasy menggeleng, lalu kembali menyuapi makanan ke mulut anak itu. Untung saja Jeasy mulai bekerja besok di perusahaan Willy, sehingga sekarang ia masih bisa menemani Cassie."Aunty sayang gak sama Cassie?"Seketika pertanyaan itu membuat Jeasy terkejut. "Tentu, Sayang. Kenapa kamu nanya begitu?""Ah, tidak. Cassie cuma takut Aunty pergi," timpal anak itu menatap Jeasy
Menu sarapan pagi ini kembali dimasak oleh sang pembantu seperti biasanya, karena pembantu yang dikenal dengan Bibi Silly itu sudah sembuh dari sakitnya. Wanita umur akhir empat puluhan tersebut memang sudah setia menenami keluarga Willy sejak tiga tahun terakhir. Namun, seketika Cassie menggeleng saat tangan Jeasy mengangkat sendok untuk menyuapi anak itu. "Cassie mau roti panggang buatan Aunty," celetuknya membuat Willy yang sibuk menyantap sarapan teralih memerhatikan kedua perempuan di dekatnya. Jeasy hanya tersenyum seraya berucap, "Ini bukannya burger kesukaan Cassie? Bibi Silly khusus membuatkan ini untukmu, Sayang. Apa kau tidak merindukan masakan Bibi Silly, hm? Jadi, ayo makan ini saja." Cassie menggeleng cepat sembari memajukan bibirnya beberapa senti. Bocah itu memang terkadang susah untuk dibujuk. Pada akhirnya, Jeasy menurut karena tatapan Willy terus mengintimidasi. "Baiklah, Aunty akan buatkan roti panggang untukmu. Tunggu sebent
Sesampainya di rumah, Jeasy dikejutkan dengan keberadaan Willy yang sudah duduk tegap di sofa dengan tatapan yang sulit diartikan, seolah ia sedang menahan suatu amarah. Tidak biasanya dia pulang secepat itu. Akan tetapi, netranya sontak melirik si putri kecil yang dituntun oleh Jeasy. Raut wajah Willy seketika berubah total. Senyumnya mengembang seraya berdiri dan langsung menggendong Cassie dengan manja. "Sayang, bagaimana les baletnya? Lancar?" tanya Willy halus. "Yes, Dad. Aku, 'kan penari balet terbaik!" seru Cassie tampak gembira. "Good girl! Ya sudah, kalau begitu Cassie mandi dulu, ya, sama Bibi Silly. Soalnya Aunty Jeasy ada urusan sama Daddy," pinta Willy memberi senyuman terbaiknya untuk membujuk Cassie. Sementara Bibi Silly sudah berdiri di pinggir sofa sedari tadi. "Ayo, Non." Cassie mengangguk pelan seraya menatap Jeasy. "Kalau urusan Aunty sudah selesai, nanti ke kamar
Tangan seputih susu itu terus membelai lembut rambut si putri kecil dengan sisir. Wanita tersebut tampak fokus dan telaten mengikat rambut Cassie agar tampak rapi. Sampai panggilan dari sang pemilik rambut indah pun ia hiraukan begitu saja. Sepertinya kata yang tepat untuk Jeasy saat ini bukanlah fokus, melainkan dia malah melamun. "Aunty!" kejut Cassie, membuat Jeasy terperanjat dan menjatuhkan sisirnya. "Kenapa Aunty diam saja? Aku dari tadi berbicara sama Aunty." "Oh, astaga. Maafkan Aunty, Sayang. Aunty terlalu fokus menata rambutmu agar terlihat cantik," elaknya. Anak itu membalikkan badan dan menghadap Jeasy sepenuhnya. "Aunty melamun?" Jeasy terkekeh, bocah di hadapannya memang terlalu pintar. "Tidak, siapa bilang? Sudahlah, waktunya kita sarapan. Daddy pasti sudah menunggumu di meja makan." Begitu jelas Jeasy mencoba untuk mengakhiri perbincangan perihal dirinya yang tertangkap basah saat sedan
Kini keadaan Cassie sudah membaik, senyumnya terus mengembang apalagi saat Jeasy dan Willy datang ke ruang rawatnya. Bahkan, anak itu sekarang makan dengan lahap karena terlalu bahagia dengan Jeasy yang telaten menyuapinya. Gadis kecil tersebut juga terus saja menggoda sang ayah mengenai perihal pengakuannya di acara konferensi pers. Raut tersipu malu sekaligus pasrah sama sekali tak dapat disembunyikan dari wajah Willy. Ia benar-benar terjebak dengan tingkah anaknya sendiri. "Permisi." Seketika semua orang di ruangan itu menoleh pada pintu masuk, ternyata seorang dokter datang untuk memastikan keadaan Cassie. "Bagaimana, Dok, keadaan putri saya? Dia sudah baik-baik saja, bukan?" tanya Willy tak sabaran. Dokter itu terdiam sejenak, lalu merekahkan senyuman. "Keadaan Cassie berangsur membaik dengan cepat, besok dia sudah diperbolehkan pulang. Tapi tetap saja, jangan makan makanan sembarangan dan makanlah yang teratur."
Jeasy masih setia menemani Cassie, bahkan ia tak berpindah dari tempat duduknya sedikit pun. Tangan wanita itu terus menggenggam tangan mungil Cassie dan mengelusnya halus. Jeasy tahu, ia tidak boleh egois. Cassie sakit karena dirinya yang berniat menghindar dari masalah. Namun, sekarang itu tidak penting, kesehetan Cassie jauh lebih penting, maka dari itu Jeasy tidak akan pergi untuk menghindar lagi. Pun dengan willy yang masih duduk termenung di depan ruang rawat pitrinya. Pria itu sama sekali tidak berniat mengajak Jeasy untuk mengobrol atau membahas sesuatu dengannya. Pikiran Willy hanyut mengingat perkataan sang dokter beberapa saat lalu perihal penyakit yang diderita sang putri. Pria berbulu halus di dagunya itu terus saja memijat pelipis dengan raut yang sulit diartikan. Embusan napas berat pun beberapa kali lolos dari hidungnya. Untuk sesaat Willy merasa dirinya telah gagal menjadi sosok ayah, karena ia tidak becus menjaga Cassie. Entah separah apa peny
Sudah hampir setengah hari Willy sibuk mencari keberadaan Jeasy. Ia sampai mengerahkan beberapa anak buah agar pencarian lebih cepat. Dia sengaja melakukan itu demi putrinya. Karena semenjak Jeasy benar-benar dinyatakan hilang, Cassie langsung menangis tidak karuan. Tangisannya tak kunjung usai sampai anak itu mogok makan. Dia terus meringkuk di kamar Jeasy berharap wanita itu kembali datang. Dengan perasaan cemas, Willy kembali menghubungi Bibi Silly untuk memastikan keadaan Cassie. "Halo, Daddy? Bagaimana? Aunty sudah ketemu? Aunty Jeasy akan pulang lagi ke rumah kita, bukan?" Itulah sambutan dari seberang telepon yang Willy dapatkan. Anak itu benar-benar tidak mau kehilangan Jeasy. Willy bergeming sejenak, ia bingung harus mengatakan apa pada Cassie. Karena faktanya Jeasy sama sekali belum ditemukan. Menelusuri alamat yang ada pada resume saat dirinya melamar pekerjaan pun sia-sia. Ternyata rumah yang berada di alamat tersebut kosong. "Cassie sayang, janga
Tepat pukul 10.00, semua anak tampak berhamburan keluar dari gedung Kids Nursery School. Salah satu Kindergarten terbaik di Swedia. Ya, sekolah taman kanak-kanak yang satu inilah tempat Cassie belajar sekarang. Sudah tiga jam Jassie menunggu Cassie, tentunya wanita itu banyak mendapat tatapan aneh dari orang-orang di sana karena penampilannya yang tertutup. Baru beberapa hari seperti ini saja rasanya begitu tidak nyaman bagi Jeasy. "Ayo, Aunty!" kejut Cassie membuat Jeasy terperanjat. Jeasy berjongkok untuk berbicara pada Cassie dengan membuka maskernya sejenak. "Kita makan dulu, ya. Setelah itu Cassie lanjut kursus melukis." Walaupun suasana hati Jeasy sedang tidak baik, tetapi ia harus tetap terlihat bersemangat di depan gadis kecil itu. "Okay! Let's go!" Anak itu begitu ceria, ia tidak tahu bahwa aunty-nya sedang dilanda masalah karena ulah sang ayah. Keduanya kini mulai berjalan menuju mobil. Akan tetapi, ta
Tangan seputih susu itu terus membelai lembut rambut si putri kecil dengan sisir. Wanita tersebut tampak fokus dan telaten mengikat rambut Cassie agar tampak rapi. Sampai panggilan dari sang pemilik rambut indah pun ia hiraukan begitu saja. Sepertinya kata yang tepat untuk Jeasy saat ini bukanlah fokus, melainkan dia malah melamun. "Aunty!" kejut Cassie, membuat Jeasy terperanjat dan menjatuhkan sisirnya. "Kenapa Aunty diam saja? Aku dari tadi berbicara sama Aunty." "Oh, astaga. Maafkan Aunty, Sayang. Aunty terlalu fokus menata rambutmu agar terlihat cantik," elaknya. Anak itu membalikkan badan dan menghadap Jeasy sepenuhnya. "Aunty melamun?" Jeasy terkekeh, bocah di hadapannya memang terlalu pintar. "Tidak, siapa bilang? Sudahlah, waktunya kita sarapan. Daddy pasti sudah menunggumu di meja makan." Begitu jelas Jeasy mencoba untuk mengakhiri perbincangan perihal dirinya yang tertangkap basah saat sedan
Sesampainya di rumah, Jeasy dikejutkan dengan keberadaan Willy yang sudah duduk tegap di sofa dengan tatapan yang sulit diartikan, seolah ia sedang menahan suatu amarah. Tidak biasanya dia pulang secepat itu. Akan tetapi, netranya sontak melirik si putri kecil yang dituntun oleh Jeasy. Raut wajah Willy seketika berubah total. Senyumnya mengembang seraya berdiri dan langsung menggendong Cassie dengan manja. "Sayang, bagaimana les baletnya? Lancar?" tanya Willy halus. "Yes, Dad. Aku, 'kan penari balet terbaik!" seru Cassie tampak gembira. "Good girl! Ya sudah, kalau begitu Cassie mandi dulu, ya, sama Bibi Silly. Soalnya Aunty Jeasy ada urusan sama Daddy," pinta Willy memberi senyuman terbaiknya untuk membujuk Cassie. Sementara Bibi Silly sudah berdiri di pinggir sofa sedari tadi. "Ayo, Non." Cassie mengangguk pelan seraya menatap Jeasy. "Kalau urusan Aunty sudah selesai, nanti ke kamar
Menu sarapan pagi ini kembali dimasak oleh sang pembantu seperti biasanya, karena pembantu yang dikenal dengan Bibi Silly itu sudah sembuh dari sakitnya. Wanita umur akhir empat puluhan tersebut memang sudah setia menenami keluarga Willy sejak tiga tahun terakhir. Namun, seketika Cassie menggeleng saat tangan Jeasy mengangkat sendok untuk menyuapi anak itu. "Cassie mau roti panggang buatan Aunty," celetuknya membuat Willy yang sibuk menyantap sarapan teralih memerhatikan kedua perempuan di dekatnya. Jeasy hanya tersenyum seraya berucap, "Ini bukannya burger kesukaan Cassie? Bibi Silly khusus membuatkan ini untukmu, Sayang. Apa kau tidak merindukan masakan Bibi Silly, hm? Jadi, ayo makan ini saja." Cassie menggeleng cepat sembari memajukan bibirnya beberapa senti. Bocah itu memang terkadang susah untuk dibujuk. Pada akhirnya, Jeasy menurut karena tatapan Willy terus mengintimidasi. "Baiklah, Aunty akan buatkan roti panggang untukmu. Tunggu sebent
Hari ini wajah Jeasy tampak secerah mentari. Bagaimana tidak, hatinya begitu senang karena harapan untuk bekerja di salah satu perusahaan akhirnya terwujud. Ia tidak menyangka Willy akan dengan mudah menerima dirinya.Namun, otak Jeasy baru teringat sesuatu. Jika ia bekerja di kantor Willy, lalu bagaimana dengan Cassie? Apakah ia akan tetap menjadi seorang pengasuh anak? Karena tidak mungkin Jeasy mengambil dua pekerjaan itu sekaligus. Ia tidak pandai membagi waktu."Aunty kenapa? Tidak biasanya melamun seperti itu?" tanya Cassie seusai meneguk segelas susu dingin.Jeasy menggeleng, lalu kembali menyuapi makanan ke mulut anak itu. Untung saja Jeasy mulai bekerja besok di perusahaan Willy, sehingga sekarang ia masih bisa menemani Cassie."Aunty sayang gak sama Cassie?"Seketika pertanyaan itu membuat Jeasy terkejut. "Tentu, Sayang. Kenapa kamu nanya begitu?""Ah, tidak. Cassie cuma takut Aunty pergi," timpal anak itu menatap Jeasy
"Kau yang membuat semua ini?" Willy tampak terkejut dengan banyaknya hidangan makanan di meja makan. Ia sempat meragukan makanan tersebut karena dibuat oleh orang asing, bukan oleh sang pembantu seperti biasanya."Iya, Pak. Mungkin ini sebagai bentuk terima kasihku, lagipula asisten rumah tangga di sini sedang sakit, bukan? Jadi biarkan saja aku yang menggantikannya," jawab Jeasy masih setia berdiri di samping meja.Willy bergeming sejenak. "Kau lupa?""L-lupa? Tentang apa?"Pria itu mendengkus, lalu berkata, "Panggil aku nama saja."Jeasy menunduk, ia benar-benar lupa. "Maaf, Pak. Tapi ... dengan menyebut nama saja kurasa itu tidak sopan.""Dengar, ini rumahku. Maka aku berhak mengatur semuanya, termasuk kau harus memanggilku seperti apa. Mengerti?" Willy berucap tegas, ia kemudian mengancingkan jas di tubuhnya. "Cepat bangunkan Cassie, aku ingin sarapan bersamanya.""Baik."Jeasy bergegas menuju kamar Cassie, gadis kecil itu tampak m