"Kau yang membuat semua ini?" Willy tampak terkejut dengan banyaknya hidangan makanan di meja makan. Ia sempat meragukan makanan tersebut karena dibuat oleh orang asing, bukan oleh sang pembantu seperti biasanya.
"Iya, Pak. Mungkin ini sebagai bentuk terima kasihku, lagipula asisten rumah tangga di sini sedang sakit, bukan? Jadi biarkan saja aku yang menggantikannya," jawab Jeasy masih setia berdiri di samping meja.
Willy bergeming sejenak. "Kau lupa?"
"L-lupa? Tentang apa?"
Pria itu mendengkus, lalu berkata, "Panggil aku nama saja."
Jeasy menunduk, ia benar-benar lupa. "Maaf, Pak. Tapi ... dengan menyebut nama saja kurasa itu tidak sopan."
"Dengar, ini rumahku. Maka aku berhak mengatur semuanya, termasuk kau harus memanggilku seperti apa. Mengerti?" Willy berucap tegas, ia kemudian mengancingkan jas di tubuhnya. "Cepat bangunkan Cassie, aku ingin sarapan bersamanya."
"Baik."
Jeasy bergegas menuju kamar Cassie, gadis kecil itu tampak masih tertidur pulas dengan boneka beruang di pelukannya. "Cassie, bangun, yuk. Aunty sudah siapin makanan untuk sarapanmu pagi ini."
Tubuh mungil itu menggeliat, matanya terbuka perlahan dan langsung tersenyum kala mendapat sambutan wajah Jeasy. "Selamat pagi, Aunty."
"Pagi, Sayang."
"Boleh aku katakan sesuatu?" tanya anak itu masih dengan posisinya yang telentang.
"Apa itu?"
"Aku ingin melihat wajah Aunty di setiap aku bangun tidur. Apa Aunty bisa melakukannya?" Dengan polos Cassie berharap demikian.
Wanita di depan anak itu bergeming sejenak. Ia tidak tahu pasti akan sampai kapan dirinya berada di sini. "Selagi Aunty bisa, Aunty akan melakukannya," jawab Jeasy tersenyum simpul.
"Aku sayang Aunty."
"Aunty pun. Sudah, sekarang Cassie harus mandi dulu, karena Daddy sudah menunggu di meja makan."
Mereka berdua menuju kamar mandi, tentu saja karena Cassie ingin Jeasy memandikannya. Tanpa mereka sadari, sedari tadi seseorang tengah memperhatikan keduanya dari balik pintu. Hati Willy seketika tersentuh melihat Jeasy dan putrinya semakin dekat.
"Sepertinya ... Cassie membutuhkan sosok ibu."
¤¤¤¤¤
Sepanjang hari ini Jeasy terus pergi menemani Cassie dengan berbagai kesibukannya. Seperti les balet, bermain di taman hiburan, kursus melukis, dan berbelanja mainan. Anak umur enam tahun itu memang sangat aktif, Jeasy mampu melihat titik kesuksesan dari anak yang pasti nantinya tumbuh menjadi wanita yang sangat cantik."Aunty, aku ingin bertemu Daddy." Di tengah perjalanan menuju rumah, Cassie merengek.
"Sayang, jam segini Daddy masih kerja, dia pasti sedang sibuk. Lagipula kau juga harus istirahat, hari ini pasti melelahkan, bukan?" jelas Jeasy mencoba membuat Cassie mengerti.
"No! Aku tidak lelah, Aunty. Pokoknya aku ingin ketemu Daddy, dia harus melihat karya lukisku dengan nilai paling tinggi ini," sarkas Cassie tampak murung. "Daddy selalu saja melewatkan untuk melihat hasil lukisanku, semakin hari dia jarang menilai karyaku, Aunty."
Jeasy terdiam, tidak mungkin Willy seperti itu. Jelas-jelas dari yang ia lihat beberapa hari ini, pria tersebut sangat lebih mementingkan putrinya. Ini pasti hanya akal-akalan Cassie saja, itulah yang Jeasy pikirkan. "Ya sudah, kita ke kantor Daddy sekarang."
"Hore. Thanks, Aunty."
Mobil yang dikemudikan sang supir pun berputar balik menuju jalan yang berbeda. Gadis kecil itu terlihat sangat senang, ia tarus menatap karya lukisnya dengan mata berbinar. Jeasy sendiri mengakui, lukisan tersebut memang sudah termasuk bagus walaupun dibuat oleh anak seumuran Cassie.
Tak terasa mobil mereka sudah sampai di depan gedung yang bertuliskan 'Teryon Group Company'. Jeasy merasa tidak asing dengan nama kantor tersebut, tapi di mana ia pernah mendengarnya? Tak mau memikirkan lebih jauh lagi, wanita itu berniat mengajak Cassie untuk segera turun. Akan tetapi, anak itu malah terlelap dengan memeluk hasil karya lukisnya. Jeasy tidak tega jika Cassie harus terbangun, dia pasti lelah.
"Apa aku beritahu Willy saja kalau Cassie ada di kantornya?" monolog Jeasy, "ah, tidak. Aku pasti tidak diperbolehkan masuk ke ruangannya."
Pikiran Jeasy buyar kala seseorang tiba-tiba mengetuk jendela mobil pelan. "Zio?" serunya seraya membuka pintu mobil.
"Jeasy? Sedang apa kau di sini? Apa di rumah ada masalah?" Zio memberondong.
Jeasy menggeleng cepat. "Tidak. Cassie yang memintaku ke sini, dia ingin bertemu Willy. Tapi setelah sampai, dia malah tertidur. Aku tidak enak jika harus membangunkannya, aku juga tida mungkin masuk ke dalam kantor begitu saja."
Zio tampak mengerti, dia segera meraih ponsel di saku jasnya. "Sebentar, aku hubungi Willy dulu." Selang beberapa detik, Zio melepaskan ponselnya dari telinga pertanda telepon berakhir. "Willy bilang masuk saja, dia ada di ruangannya, di lantai tujuh belas. Ah, ya, kau juga tidak perlu membangunkan Cassie. Dia biar aku yang jaga di sini," cakap Zio.
Jeasy mengernyit. Kenapa Cassie tidak ikut, lalu untuk apa dirinya bertemu Willy jika tidak bersama Cassie? "Zio, di sini yang ingin bertemu Willy itu Cassie, bukan aku. Jadi untuk apa aku menemui Willy."
"Entahlah. Dia bilang ingin berbicara sesuatu dulu denganmu di ruangannya. Baru setelah itu Willy akan ikut turun untuk menemui Cassie."
Embusan napas terdengar pelan mengalun dari bangir Jeasy. "Baiklah."
Tak sulit untuk menemukan ruangan pria berambut halus di dagunya alias Willy. Kini Jeasy sudah sampai di depam ruangan itu. Tangannya kaku saat hendak mengetuk pintu. "Permisi ...."
"Masuk." Suara tersebut menyambar dari dalam ruangan.
Langkah Jeasy terayun pelan saat pintu sudah terbuka. Dia sedikit menundukan kepala dan berkata, "Cassie ada di bawah."
"Aku tahu. Silakan duduk dulu," balas Willy. Wanita di hadapannya menurut. "Nama lengkapmu siapa?"
Jeasy tampak mengernyit, kenapa Willy bertanya seperti itu? Untuk apa?"
"Cepat jawab," kejut Willy sedikit keras.
"Jeasy Gracorner."
"Sekarang kau diterima bekerja di perusahaan ini."
Mata wanita itu membola. "Hah? Apa?"
"Kenapa? Kau tidak mau bekerja di sini?"
Jeasy menelan saliva, bukan itu yang dia maksud. "Bukan, Will. Tapi ini terlalu mendadak. Kenapa aku bisa langsung keterima bekerja di sini? Secara aku tidak pernah melamar kerja ataupub memintamu untuk memasukanku ke kantor ini."
Willy sedikit terkekeh, dia membuka laci meja dan menyodorkan satu berkas dokumen pada Jeasy. "Lihatlah."
Gadis cantik itu membuka lembaran dokumen tersebut, membacanya dengan saksama. "Astaga! Ini, 'kan surat lamaran kerjaku untuk melamar di perusahan ini. Aku baru ingat," gumam Jeasy tampak senang.
"Ya, sekarang aku tahu. Waktu itu saat kau menyelamatkan putriku, kau sebenarnya ada jadwal interview di sini, bukan?" tanya Willy.
"Iya, benar. Pantas saja tadi saat melihat nama perusahan ini tidak asing."
Willy hanya mengangguk. "Sekarang kau sudah bisa bekerja di sini."
"Tanpa interview atau magang terlebih dulu?" Jeasy bertanya pelan.
"Tentu saja. Semua itu sudah terwakilkan dengan aksimu yang menolong Cassie."
Jeasy terlihat bahagia, dia memeluk surat lamaran kerja di tangannya. "Terima kasih banyak."
Hari ini wajah Jeasy tampak secerah mentari. Bagaimana tidak, hatinya begitu senang karena harapan untuk bekerja di salah satu perusahaan akhirnya terwujud. Ia tidak menyangka Willy akan dengan mudah menerima dirinya.Namun, otak Jeasy baru teringat sesuatu. Jika ia bekerja di kantor Willy, lalu bagaimana dengan Cassie? Apakah ia akan tetap menjadi seorang pengasuh anak? Karena tidak mungkin Jeasy mengambil dua pekerjaan itu sekaligus. Ia tidak pandai membagi waktu."Aunty kenapa? Tidak biasanya melamun seperti itu?" tanya Cassie seusai meneguk segelas susu dingin.Jeasy menggeleng, lalu kembali menyuapi makanan ke mulut anak itu. Untung saja Jeasy mulai bekerja besok di perusahaan Willy, sehingga sekarang ia masih bisa menemani Cassie."Aunty sayang gak sama Cassie?"Seketika pertanyaan itu membuat Jeasy terkejut. "Tentu, Sayang. Kenapa kamu nanya begitu?""Ah, tidak. Cassie cuma takut Aunty pergi," timpal anak itu menatap Jeasy
Menu sarapan pagi ini kembali dimasak oleh sang pembantu seperti biasanya, karena pembantu yang dikenal dengan Bibi Silly itu sudah sembuh dari sakitnya. Wanita umur akhir empat puluhan tersebut memang sudah setia menenami keluarga Willy sejak tiga tahun terakhir. Namun, seketika Cassie menggeleng saat tangan Jeasy mengangkat sendok untuk menyuapi anak itu. "Cassie mau roti panggang buatan Aunty," celetuknya membuat Willy yang sibuk menyantap sarapan teralih memerhatikan kedua perempuan di dekatnya. Jeasy hanya tersenyum seraya berucap, "Ini bukannya burger kesukaan Cassie? Bibi Silly khusus membuatkan ini untukmu, Sayang. Apa kau tidak merindukan masakan Bibi Silly, hm? Jadi, ayo makan ini saja." Cassie menggeleng cepat sembari memajukan bibirnya beberapa senti. Bocah itu memang terkadang susah untuk dibujuk. Pada akhirnya, Jeasy menurut karena tatapan Willy terus mengintimidasi. "Baiklah, Aunty akan buatkan roti panggang untukmu. Tunggu sebent
Sesampainya di rumah, Jeasy dikejutkan dengan keberadaan Willy yang sudah duduk tegap di sofa dengan tatapan yang sulit diartikan, seolah ia sedang menahan suatu amarah. Tidak biasanya dia pulang secepat itu. Akan tetapi, netranya sontak melirik si putri kecil yang dituntun oleh Jeasy. Raut wajah Willy seketika berubah total. Senyumnya mengembang seraya berdiri dan langsung menggendong Cassie dengan manja. "Sayang, bagaimana les baletnya? Lancar?" tanya Willy halus. "Yes, Dad. Aku, 'kan penari balet terbaik!" seru Cassie tampak gembira. "Good girl! Ya sudah, kalau begitu Cassie mandi dulu, ya, sama Bibi Silly. Soalnya Aunty Jeasy ada urusan sama Daddy," pinta Willy memberi senyuman terbaiknya untuk membujuk Cassie. Sementara Bibi Silly sudah berdiri di pinggir sofa sedari tadi. "Ayo, Non." Cassie mengangguk pelan seraya menatap Jeasy. "Kalau urusan Aunty sudah selesai, nanti ke kamar
Tangan seputih susu itu terus membelai lembut rambut si putri kecil dengan sisir. Wanita tersebut tampak fokus dan telaten mengikat rambut Cassie agar tampak rapi. Sampai panggilan dari sang pemilik rambut indah pun ia hiraukan begitu saja. Sepertinya kata yang tepat untuk Jeasy saat ini bukanlah fokus, melainkan dia malah melamun. "Aunty!" kejut Cassie, membuat Jeasy terperanjat dan menjatuhkan sisirnya. "Kenapa Aunty diam saja? Aku dari tadi berbicara sama Aunty." "Oh, astaga. Maafkan Aunty, Sayang. Aunty terlalu fokus menata rambutmu agar terlihat cantik," elaknya. Anak itu membalikkan badan dan menghadap Jeasy sepenuhnya. "Aunty melamun?" Jeasy terkekeh, bocah di hadapannya memang terlalu pintar. "Tidak, siapa bilang? Sudahlah, waktunya kita sarapan. Daddy pasti sudah menunggumu di meja makan." Begitu jelas Jeasy mencoba untuk mengakhiri perbincangan perihal dirinya yang tertangkap basah saat sedan
Tepat pukul 10.00, semua anak tampak berhamburan keluar dari gedung Kids Nursery School. Salah satu Kindergarten terbaik di Swedia. Ya, sekolah taman kanak-kanak yang satu inilah tempat Cassie belajar sekarang. Sudah tiga jam Jassie menunggu Cassie, tentunya wanita itu banyak mendapat tatapan aneh dari orang-orang di sana karena penampilannya yang tertutup. Baru beberapa hari seperti ini saja rasanya begitu tidak nyaman bagi Jeasy. "Ayo, Aunty!" kejut Cassie membuat Jeasy terperanjat. Jeasy berjongkok untuk berbicara pada Cassie dengan membuka maskernya sejenak. "Kita makan dulu, ya. Setelah itu Cassie lanjut kursus melukis." Walaupun suasana hati Jeasy sedang tidak baik, tetapi ia harus tetap terlihat bersemangat di depan gadis kecil itu. "Okay! Let's go!" Anak itu begitu ceria, ia tidak tahu bahwa aunty-nya sedang dilanda masalah karena ulah sang ayah. Keduanya kini mulai berjalan menuju mobil. Akan tetapi, ta
Sudah hampir setengah hari Willy sibuk mencari keberadaan Jeasy. Ia sampai mengerahkan beberapa anak buah agar pencarian lebih cepat. Dia sengaja melakukan itu demi putrinya. Karena semenjak Jeasy benar-benar dinyatakan hilang, Cassie langsung menangis tidak karuan. Tangisannya tak kunjung usai sampai anak itu mogok makan. Dia terus meringkuk di kamar Jeasy berharap wanita itu kembali datang. Dengan perasaan cemas, Willy kembali menghubungi Bibi Silly untuk memastikan keadaan Cassie. "Halo, Daddy? Bagaimana? Aunty sudah ketemu? Aunty Jeasy akan pulang lagi ke rumah kita, bukan?" Itulah sambutan dari seberang telepon yang Willy dapatkan. Anak itu benar-benar tidak mau kehilangan Jeasy. Willy bergeming sejenak, ia bingung harus mengatakan apa pada Cassie. Karena faktanya Jeasy sama sekali belum ditemukan. Menelusuri alamat yang ada pada resume saat dirinya melamar pekerjaan pun sia-sia. Ternyata rumah yang berada di alamat tersebut kosong. "Cassie sayang, janga
Jeasy masih setia menemani Cassie, bahkan ia tak berpindah dari tempat duduknya sedikit pun. Tangan wanita itu terus menggenggam tangan mungil Cassie dan mengelusnya halus. Jeasy tahu, ia tidak boleh egois. Cassie sakit karena dirinya yang berniat menghindar dari masalah. Namun, sekarang itu tidak penting, kesehetan Cassie jauh lebih penting, maka dari itu Jeasy tidak akan pergi untuk menghindar lagi. Pun dengan willy yang masih duduk termenung di depan ruang rawat pitrinya. Pria itu sama sekali tidak berniat mengajak Jeasy untuk mengobrol atau membahas sesuatu dengannya. Pikiran Willy hanyut mengingat perkataan sang dokter beberapa saat lalu perihal penyakit yang diderita sang putri. Pria berbulu halus di dagunya itu terus saja memijat pelipis dengan raut yang sulit diartikan. Embusan napas berat pun beberapa kali lolos dari hidungnya. Untuk sesaat Willy merasa dirinya telah gagal menjadi sosok ayah, karena ia tidak becus menjaga Cassie. Entah separah apa peny
Kini keadaan Cassie sudah membaik, senyumnya terus mengembang apalagi saat Jeasy dan Willy datang ke ruang rawatnya. Bahkan, anak itu sekarang makan dengan lahap karena terlalu bahagia dengan Jeasy yang telaten menyuapinya. Gadis kecil tersebut juga terus saja menggoda sang ayah mengenai perihal pengakuannya di acara konferensi pers. Raut tersipu malu sekaligus pasrah sama sekali tak dapat disembunyikan dari wajah Willy. Ia benar-benar terjebak dengan tingkah anaknya sendiri. "Permisi." Seketika semua orang di ruangan itu menoleh pada pintu masuk, ternyata seorang dokter datang untuk memastikan keadaan Cassie. "Bagaimana, Dok, keadaan putri saya? Dia sudah baik-baik saja, bukan?" tanya Willy tak sabaran. Dokter itu terdiam sejenak, lalu merekahkan senyuman. "Keadaan Cassie berangsur membaik dengan cepat, besok dia sudah diperbolehkan pulang. Tapi tetap saja, jangan makan makanan sembarangan dan makanlah yang teratur."
Kini keadaan Cassie sudah membaik, senyumnya terus mengembang apalagi saat Jeasy dan Willy datang ke ruang rawatnya. Bahkan, anak itu sekarang makan dengan lahap karena terlalu bahagia dengan Jeasy yang telaten menyuapinya. Gadis kecil tersebut juga terus saja menggoda sang ayah mengenai perihal pengakuannya di acara konferensi pers. Raut tersipu malu sekaligus pasrah sama sekali tak dapat disembunyikan dari wajah Willy. Ia benar-benar terjebak dengan tingkah anaknya sendiri. "Permisi." Seketika semua orang di ruangan itu menoleh pada pintu masuk, ternyata seorang dokter datang untuk memastikan keadaan Cassie. "Bagaimana, Dok, keadaan putri saya? Dia sudah baik-baik saja, bukan?" tanya Willy tak sabaran. Dokter itu terdiam sejenak, lalu merekahkan senyuman. "Keadaan Cassie berangsur membaik dengan cepat, besok dia sudah diperbolehkan pulang. Tapi tetap saja, jangan makan makanan sembarangan dan makanlah yang teratur."
Jeasy masih setia menemani Cassie, bahkan ia tak berpindah dari tempat duduknya sedikit pun. Tangan wanita itu terus menggenggam tangan mungil Cassie dan mengelusnya halus. Jeasy tahu, ia tidak boleh egois. Cassie sakit karena dirinya yang berniat menghindar dari masalah. Namun, sekarang itu tidak penting, kesehetan Cassie jauh lebih penting, maka dari itu Jeasy tidak akan pergi untuk menghindar lagi. Pun dengan willy yang masih duduk termenung di depan ruang rawat pitrinya. Pria itu sama sekali tidak berniat mengajak Jeasy untuk mengobrol atau membahas sesuatu dengannya. Pikiran Willy hanyut mengingat perkataan sang dokter beberapa saat lalu perihal penyakit yang diderita sang putri. Pria berbulu halus di dagunya itu terus saja memijat pelipis dengan raut yang sulit diartikan. Embusan napas berat pun beberapa kali lolos dari hidungnya. Untuk sesaat Willy merasa dirinya telah gagal menjadi sosok ayah, karena ia tidak becus menjaga Cassie. Entah separah apa peny
Sudah hampir setengah hari Willy sibuk mencari keberadaan Jeasy. Ia sampai mengerahkan beberapa anak buah agar pencarian lebih cepat. Dia sengaja melakukan itu demi putrinya. Karena semenjak Jeasy benar-benar dinyatakan hilang, Cassie langsung menangis tidak karuan. Tangisannya tak kunjung usai sampai anak itu mogok makan. Dia terus meringkuk di kamar Jeasy berharap wanita itu kembali datang. Dengan perasaan cemas, Willy kembali menghubungi Bibi Silly untuk memastikan keadaan Cassie. "Halo, Daddy? Bagaimana? Aunty sudah ketemu? Aunty Jeasy akan pulang lagi ke rumah kita, bukan?" Itulah sambutan dari seberang telepon yang Willy dapatkan. Anak itu benar-benar tidak mau kehilangan Jeasy. Willy bergeming sejenak, ia bingung harus mengatakan apa pada Cassie. Karena faktanya Jeasy sama sekali belum ditemukan. Menelusuri alamat yang ada pada resume saat dirinya melamar pekerjaan pun sia-sia. Ternyata rumah yang berada di alamat tersebut kosong. "Cassie sayang, janga
Tepat pukul 10.00, semua anak tampak berhamburan keluar dari gedung Kids Nursery School. Salah satu Kindergarten terbaik di Swedia. Ya, sekolah taman kanak-kanak yang satu inilah tempat Cassie belajar sekarang. Sudah tiga jam Jassie menunggu Cassie, tentunya wanita itu banyak mendapat tatapan aneh dari orang-orang di sana karena penampilannya yang tertutup. Baru beberapa hari seperti ini saja rasanya begitu tidak nyaman bagi Jeasy. "Ayo, Aunty!" kejut Cassie membuat Jeasy terperanjat. Jeasy berjongkok untuk berbicara pada Cassie dengan membuka maskernya sejenak. "Kita makan dulu, ya. Setelah itu Cassie lanjut kursus melukis." Walaupun suasana hati Jeasy sedang tidak baik, tetapi ia harus tetap terlihat bersemangat di depan gadis kecil itu. "Okay! Let's go!" Anak itu begitu ceria, ia tidak tahu bahwa aunty-nya sedang dilanda masalah karena ulah sang ayah. Keduanya kini mulai berjalan menuju mobil. Akan tetapi, ta
Tangan seputih susu itu terus membelai lembut rambut si putri kecil dengan sisir. Wanita tersebut tampak fokus dan telaten mengikat rambut Cassie agar tampak rapi. Sampai panggilan dari sang pemilik rambut indah pun ia hiraukan begitu saja. Sepertinya kata yang tepat untuk Jeasy saat ini bukanlah fokus, melainkan dia malah melamun. "Aunty!" kejut Cassie, membuat Jeasy terperanjat dan menjatuhkan sisirnya. "Kenapa Aunty diam saja? Aku dari tadi berbicara sama Aunty." "Oh, astaga. Maafkan Aunty, Sayang. Aunty terlalu fokus menata rambutmu agar terlihat cantik," elaknya. Anak itu membalikkan badan dan menghadap Jeasy sepenuhnya. "Aunty melamun?" Jeasy terkekeh, bocah di hadapannya memang terlalu pintar. "Tidak, siapa bilang? Sudahlah, waktunya kita sarapan. Daddy pasti sudah menunggumu di meja makan." Begitu jelas Jeasy mencoba untuk mengakhiri perbincangan perihal dirinya yang tertangkap basah saat sedan
Sesampainya di rumah, Jeasy dikejutkan dengan keberadaan Willy yang sudah duduk tegap di sofa dengan tatapan yang sulit diartikan, seolah ia sedang menahan suatu amarah. Tidak biasanya dia pulang secepat itu. Akan tetapi, netranya sontak melirik si putri kecil yang dituntun oleh Jeasy. Raut wajah Willy seketika berubah total. Senyumnya mengembang seraya berdiri dan langsung menggendong Cassie dengan manja. "Sayang, bagaimana les baletnya? Lancar?" tanya Willy halus. "Yes, Dad. Aku, 'kan penari balet terbaik!" seru Cassie tampak gembira. "Good girl! Ya sudah, kalau begitu Cassie mandi dulu, ya, sama Bibi Silly. Soalnya Aunty Jeasy ada urusan sama Daddy," pinta Willy memberi senyuman terbaiknya untuk membujuk Cassie. Sementara Bibi Silly sudah berdiri di pinggir sofa sedari tadi. "Ayo, Non." Cassie mengangguk pelan seraya menatap Jeasy. "Kalau urusan Aunty sudah selesai, nanti ke kamar
Menu sarapan pagi ini kembali dimasak oleh sang pembantu seperti biasanya, karena pembantu yang dikenal dengan Bibi Silly itu sudah sembuh dari sakitnya. Wanita umur akhir empat puluhan tersebut memang sudah setia menenami keluarga Willy sejak tiga tahun terakhir. Namun, seketika Cassie menggeleng saat tangan Jeasy mengangkat sendok untuk menyuapi anak itu. "Cassie mau roti panggang buatan Aunty," celetuknya membuat Willy yang sibuk menyantap sarapan teralih memerhatikan kedua perempuan di dekatnya. Jeasy hanya tersenyum seraya berucap, "Ini bukannya burger kesukaan Cassie? Bibi Silly khusus membuatkan ini untukmu, Sayang. Apa kau tidak merindukan masakan Bibi Silly, hm? Jadi, ayo makan ini saja." Cassie menggeleng cepat sembari memajukan bibirnya beberapa senti. Bocah itu memang terkadang susah untuk dibujuk. Pada akhirnya, Jeasy menurut karena tatapan Willy terus mengintimidasi. "Baiklah, Aunty akan buatkan roti panggang untukmu. Tunggu sebent
Hari ini wajah Jeasy tampak secerah mentari. Bagaimana tidak, hatinya begitu senang karena harapan untuk bekerja di salah satu perusahaan akhirnya terwujud. Ia tidak menyangka Willy akan dengan mudah menerima dirinya.Namun, otak Jeasy baru teringat sesuatu. Jika ia bekerja di kantor Willy, lalu bagaimana dengan Cassie? Apakah ia akan tetap menjadi seorang pengasuh anak? Karena tidak mungkin Jeasy mengambil dua pekerjaan itu sekaligus. Ia tidak pandai membagi waktu."Aunty kenapa? Tidak biasanya melamun seperti itu?" tanya Cassie seusai meneguk segelas susu dingin.Jeasy menggeleng, lalu kembali menyuapi makanan ke mulut anak itu. Untung saja Jeasy mulai bekerja besok di perusahaan Willy, sehingga sekarang ia masih bisa menemani Cassie."Aunty sayang gak sama Cassie?"Seketika pertanyaan itu membuat Jeasy terkejut. "Tentu, Sayang. Kenapa kamu nanya begitu?""Ah, tidak. Cassie cuma takut Aunty pergi," timpal anak itu menatap Jeasy
"Kau yang membuat semua ini?" Willy tampak terkejut dengan banyaknya hidangan makanan di meja makan. Ia sempat meragukan makanan tersebut karena dibuat oleh orang asing, bukan oleh sang pembantu seperti biasanya."Iya, Pak. Mungkin ini sebagai bentuk terima kasihku, lagipula asisten rumah tangga di sini sedang sakit, bukan? Jadi biarkan saja aku yang menggantikannya," jawab Jeasy masih setia berdiri di samping meja.Willy bergeming sejenak. "Kau lupa?""L-lupa? Tentang apa?"Pria itu mendengkus, lalu berkata, "Panggil aku nama saja."Jeasy menunduk, ia benar-benar lupa. "Maaf, Pak. Tapi ... dengan menyebut nama saja kurasa itu tidak sopan.""Dengar, ini rumahku. Maka aku berhak mengatur semuanya, termasuk kau harus memanggilku seperti apa. Mengerti?" Willy berucap tegas, ia kemudian mengancingkan jas di tubuhnya. "Cepat bangunkan Cassie, aku ingin sarapan bersamanya.""Baik."Jeasy bergegas menuju kamar Cassie, gadis kecil itu tampak m