"Setelah peresmian gedung Camaraderie, kita akan menjadi saudara ipar."
Luis memincingkan matanya tajam. Dari apa yang dikatakan oleh Alexa barusan itu, tak semuanya bisa ia mengerti dengan baik. Peresmian Gedung Persahabatan, Camaraderie akan dilaksanakan dua minggu lagi. Hal itu tak menjadi masalah untuk Luis Ambrosius. Ia mendengar banyak tentang pengembangan gedung yang dibangun tepat berada di puncak tertinggi dari Joy Holding's Company. Ini adalah impian besar Alexa sejak beberapa tahun yang lalu. Wanita muda itu mengatakan banyak hal tentang Camaraderie padanya di masa lampau.
Sebuah gedung megah yang digunakan untuk pertemuan orang-orang penting kala hari yang penting pula. Akan tetapi jika hari penting itu tak sedang datang, Camaraderie akan disulap menjadi tempat VVIP yang hanya dikunjungi oleh orang-orang penting saja. Harga sewa Camaraderie tentu tak murah. Harus sedikit lebih dalam lagi untuk menguras kantong para wisatawan asing yang ingin menempati puncak tertinggi di London itu. Camaraderie akan menjadi gedung terbaik sepanjang sejarah bisnis yang ada di Britania raya.
"Kita akan menjadi saudara ipar." Alexa mengimbuhkan. Mengulangi kalimat yang masih membuat Luis bungkam tak bersuara sekarang ini.
"Kau benar tak tahu?" tanya Alexa menyeringai. Ia kini memutar langkahnya. Berjalan tepat mengarah pada jendela besar yang menatap keluar jalanan London. Pagi memang padat. Pusat aktivitas Britania raya berada di tempat ini. Kesibukan bukan lagi hal yang asing untuk seluruh penduduk yang ada di London.
"Alice akan menjadi ibu muda untukmu." Alexa kembali berucap. Tepat mengarahkan tatapan untuk Luis yang mulai terkejut dengan fakta ini.
Ia memang terlalu sibuk di Amsterdam untuk mengurus ini itu. Menjadikan dirinya sebagai orang asing untuk keluarganya sendiri. Akan tetapi bagaimana mungkin ayahnya menikah lagi dengan wanita yang berusia separuh dari angka hidupnya?
"Kau sedang bergurau, Alexa?"
Ia tertawa kecil. Menghela napasnya kasar sembari melipat tangan di atas perutnya. Alexa berjalan kembali untuk mendekati Luis. Pria yang memaku di tempatnya dengan tatapan kosong penuh ketidak percayaan. Luis memang tak pernah bersua dan berbincang ringan dengan sang ayahanda. Kesibukan dan tempat tinggal yang berbeda adalah satu alasan dari sekian banyaknya alasan yang ia miliki. Ibunya meninggal satu tahun lalu, bagaimana bisa ayahnya kembali menikah dengan wanita yang merupakan kakak kandung dari wanita pujaan hatinya? Persetanan gila!
"Aku bahkan menerima undangan itu. Satu minggu selepas peresmian Gedung Persahabatan Camaraderie, acaranya akan dilaksanakan."
"Atas dasar apa?" Luis menyahut. Tentu meskipun Alexa adalah wanita yang paling dekat dengannya, namun memberi banyak kepercayaan begitu saja hanya akan merugikan untuk dirinya.
"Happy Food Company akan lebih besar kalau bergabung dengan anak cabang dari Alice Palace bukan?"
Alexa kini meraih dasi yang dikenakan oleh Luis. Menariknya kasar agar pria itu mendekatkan tubuhnya pada Alexa. Luis diam sejenak. Menelisik arti tatapan yang Alexa berikan untuknya sekarang ini. Ah, Luis mengenalnya dengan baik! Alexa ingin meminta bantuan pada Luis Ambrosius.
"Batalkan pernikahan itu, Luis." Wanita itu berbisik manja. Perlahan menempelkan bibirnya tepat di daun telinga kiri pria yang kini tersenyum miring.
"Apapun caranya, batalkan." Alexa mengimbuhkan. Menggigit ujung daun telinga pria yang kini mulai memeluk tubuhnya hangat. Sentuhan Luis mulai Alexa rasakan dengan jelas. Membelai setiap inci tubuh ramping miliknya sekarang ini.
Wanita itu mendesah ringan. Merasakan sensasi luar biasa kala tangan besar itu mulai menjamah tubuhnya.
"Kau yang menggodaku lebih dulu, Alexa!" Luis menarik tubuh Alexa. Membuatnya jauh terpental mengenai sofa besar yang ada di sisi ruangan. Ia mengerang manja. Seakan sedang merasakan sakit sebab Luis membanting tubuhnya di atas sofa.
Tatapan itu menggodanya. Sigap tangan Luis melepaskan jas yang membalut tubuh kekarnya sekarang ini. Kasar menarik dasi yang membuat lehernya terasa sesak. Hanya tinggal kemeja yang tak disentuh olehnya, membiarkan Alexa lah yang melakukan itu. Tugas seorang wanita kalau ingin 'bermain' dengan laki-laki idamannya adalah membuka satu persatu kancing kemeja yang dikenakan. Duduk bersimpuh sembari menunggu giliran dirinya dilahap habis oleh lawan mainnya sekarang ini.
Luis tersenyum miring. Berjalan mendekat dan mulai menindih tubuh ramping milik Alexa. Sesuai dugaan! Alexa tetap dengan wajah tenang dan tak tergoda sedikitpun.
"Kau ingin memulai duluan atau aku yang—" Kecupan itu menghentikan kalimatnya. Wanita yang menjadi lawan mainnya memang sudah bisa dikatakan ahli dalam bidangnya. Bermain bersama laki-laki adalah hal lumrah untuk seorang pebisnis muda seperti Sherina Alexander Lansonia ini.
Alexa melepas kecupannya. Menatap Luis dengan penuh penghayatan.
"Lepaskan bajuku, Alexa." Luis memohon. Ia menjadi orang yang tak sabaran kalau hasrat sudah memenuhi di dalam diri. Alexa hanya terus mengulur waktunya saja.
"Kau juga melakukan ini di Amsterdam?" tanya Alexa menyunggingkan sisi bibir merah merona miliknya. Ia mulai lelah sebab harus menahan tubuh kekar milik Luis sekarang ini. Himpitan kaki itu benar-benar amat kuat dan bertenaga. Tak sepadan dengan sepasang paha ramping miliknya.
Luis sejenak diam. "Kau juga melakukan di sini bukan?"
"Tentu. Aku harus melindungi pembangunan Camaraderie." Alexa menyahut ringan. Ia tersenyum manis sembari memainkan bibir Luis dengan ujung jari jemari miliknya.
Hasrat mulai memenuhi di dalam diri. Hawa panas masuk dan merambah menguasai situasi. Luis benar berapi-api sekarang ini. Menatap dada milik lawan bicaranya benar-benar membuat segala yang ada di dalam dirinya bangkit. Hasrat, napsu, gairah, dan segala keinginan untuk memuaskan sudah hampir mencapai puncaknya.
"Lakukan, Alexa. Please." Ia memohon. Tatapan teduh itu masuk ke dalam lensa pekat milik Alexa. Wanita sialan yang terus saja menggoda dirinya dengan sentuhan-sentuhan manja itu.
Luis hanya menunggu Alexa membuka satu persatu kancing bajunya. Di dalam sebuah permainan yang amat disukai Luis, permulaan seperti itu benar-benar diharapakan dari Alexa sekarang ini.
Luis bisa saja brutal membuka dan melucuti segala yang membalut tubuh Alexa sekarang ini, namun itu hanya akan membuat Alexa marah besar padanya. Ia tak suka seseorang menyentuh tubuhnya tanpa seijin darinya.
"Berapa gadis yang tidur denganmu di sana? Lima? Enam? Tujuh?"
"Dua puluh satu." Luis menyahut. Kejujuran itu ada sebab ia tak bisa menahan napsunya lagi. Jika memang menjawab pertanyaan dari Alexa adalah satu-satunya cara untuk membuat gadis itu memulai semuanya pagi ini, maka Luis akan menjawab dengan kejujuran penuh.
"Berapa gadis yang hamil dan mengugurkan kandungannya?"
"Tiga belas."
Alexa kini tertawa ringan. Menyembunyikan wajah cantiknya di balik helai rambut yang mulai turun sebab ia memilih untuk menundukkan pandangannya.
"Kenapa tertawa?"
"Kau menyuruh mereka untuk mengugurkannya?" tanya Alexa lagi.
Luis menghela napasnya kasar. "Itu demi perusahaanku."
Bingo! Luis mirip dengan Alexa. Mampu melakukan apapun demi mempertahankan perusaahan yang dibangun dengan keringat dan jerih payahnya sendiri. Persamaan yang lain adalah Luis itu bodoh.
"Kau tau, Luis. Camaraderie dibangun dengan penyadap suara. Semua yang dikatakan di sini akan direkam dan dimasukkan untuk data pribadi dari Joy Holding's Company. Rahasiamu ... ada padaku sekarang."
Sial! Luis termakan suasana lagi!
.... To be Continued ...
Ponsel berdering. Menjadi sebuah jeda untuk dua insan manusia yang masih diam dalam tatap wajah yang identik. Sherina Alexander Lansonia, si wanita karier yang sukses menjadikan Luis bertekuk lutut padanya hari ini. Pria itu tak lagi banyak berbicara selepas ia masuk ke dalam perangkap Alexa. Luis bukan pria yang bodoh, tingkat kesuksesan dalam dirinya berasal dari segala pemikiran cerdiknya itu. Ia hanya lemah dan payah kalau sudah menyangkut pasal wanita. Gairah yang ada di dalam diri pria kekar itu memang sulit untuk dibendung. Berapi-api dan meluap-luap hingga seseorang bisa melampiaskan napsunya.Alexa bukan orang yang tepat untuk itu. Ia adalah gadis cerdik dengan seribu tak-tik gila yang selalu sukses membuatnya berdiri satu langkah lebih unggul dari Luis Ambrosius. Alexa hidup dengan baik. Mengenali Luis dari caranya bertatap dan sekilas pandang saja. Apa yang ada di dalam kepalanya, Alexa paham benar. Termasuk gairah untuk menjamah tubuhnya."Aku har
Suara pintu diketuk. Menyela dua insan manusia yang kini sama-sama menitikkan sepasang netra indah itu untuk menatap tepat ke arah ambang pintu besar yang masih tertutup rapat. Suara menimpali. Di balik pintu kayu berukir itu seseorang sedang menunggu. Jika ditelisik dengan baik, Alice-lah yang memberi sebuah kabar akan datang beberapa saat yang lalu. Mengunjungi sang adik kandung bukanlah hal yang asing dan aneh lagi untuk semua orang.Alexa menyahut kala namanya dipanggil dengan nada ringan. Sempurna senyum manis itu mengembang sesaat selepas pintu benar-benar terbuka. Di depan sana wanita bertubuh jenjang berdiri dengan menyilangkan rapi kakinya. Matanya menyapu setiap bagian yang tak asing lagi untuknya. Bukan kali pertama Alice Lansonia datang kemari. Meskipun tak sering, setidaknya sekali dua kali ia pernah datang untuk menjenguk keadaan sang adik.Alice memang bukan saudara yang baik. Hubungannya dengan Alexa tak pernah membaik seiring berjalannya wa
Senyum seringai tak henti-hentinya ia lukiskan untuk merespon apa yang dikatakan Alice padanya. Ia tak menyangka kalau darah yang mengalir dalam tubuhnya tak pernah bisa membendung sikap tamaknya ini. Alice memang memiliki ibu yang sama dengannya, itu artinya darah yang mengalir di dalam tubuh Alice identik dengan Alexa. Mereka adalah saudara kandung, meskipun Alexa tak pernah pulang ke rumah jikalau bukan hal yang penting dan mendesak. Alexa tak menyukai keluarganya selepas kematian sang ibu kandung. Tinggal bersama ibu tiri tentu menjadi beban tersendiri untuknya."Aku tidak pernah membunuh ibu, Alexa." Selalu begitu. Kalimat itu yang terucap dari bibir Alice kini menjadi sebuah dialog monoton yang mulai ia hapal kalimatnya. Membunuh atau tidak, tersangka tetaplah tersangka.Alexa bangkit dari tempat duduknya. Sejenak wanita itu menatap sang kakak, kemudian berlalu untuk kembali meraih sebotol wine yang ia letakkan di sisi meja kaca sudut ruangan. Ini bukan tem
Hening tak ada suara yang menyela. Saling menatap satu sama lain dengan dua cangkir kopi berpasangan di depannya. Asap mengepul di udara. Aroma 'Cup of Excellence' nikmat menari-nari di dalam lubang hidung. Dua pasang cangkir kristal kini menjadi pusat pandangan semua orang yang ada di dalam ruangan. Pria dengan kumis tebal berwarna pekat yang merata di bawah hidungnya dengan janggut tipis yang menutupi dagu lancipnya itu benar-benar menyambut kedatangan tamunya dengan super duper mewah. Memang hanya dua cangkir kopi hasil lelang oleh coffee roaster dari Different Coffee Co, namun siapa sangka jika hanya ada 15 gelas saja di London. Dua ada di tangan Profesor Lim untuk menyambut kedatangan Alexa siang ini."Minumlah. Aku membawanya dari jauh," ucap pria itu menunjuk tepat ke mulut cangkir yang ada di depannya.Alexa menggeleng. "Aku tidak minum kopi siang begini," tuturnya menolak. Bukan hanya sekadar alasan semata, sebab memang itulah faktanya. Kopi hanya ak
Keduanya melangkah dengan kecepatan sedang. Membelah lorong bangunan tempat Harry bekerja. Di sini tak banyak orang yang berlalu-lalang. Laboratorium Profesor Lim benar-benar jauh dari keramaian. Luna bahkan bisa menghapal dengan benar dan baik wajah-wajah orang yang bekerja di sini. Mulai dari tenaga peneliti hingga pembantu yang hanya bertugas untuk menghantar kopi, membersihkan lantai, mematikan seluruh lampu bangunan kalau pekerjaan sudah selesai dan senja datang menyapa.Ini bukan rumah untuk profesor Lim, ini adalah tempatnya bekerja. Gedung yang dibangunnya berpuluh-puluh tahun silam ini adalah hasil dari suntikan dana sang ayahanda sebelum Joy Holding's Company jatuh ke tangan Alexa. Tak banyak relasi yang Alexa minta pada sang ayah, ia hanya ingin mengambil alih koneksi dari BioCell Laboratory. BioCell bukan lagi perusahaan pengubah sel-sel genetik makhluk hidup dan tumbuhan yang berada di bawah kendali sang ayahanda, namun dirinya. Semua menghormati kedatangan
Harry menatap laju mobil yang baru saja pergi meninggalkan kawasan bangunan gedung laboratorium. Meninggalkan aroma parfum yang khas datang dari dalam tubuh wanita pemilik nama lengkap Sherina Alexander Lansonia itu. Ia tersenyum aneh. Bukan licik, hanya sedikit aneh! Harry tak menyangka bisa bertemu langsung dengan pemilik nama Alexa itu. Selama ini ia hanya banyak mendengar kabar tentang Alexa melalui sang paman. Pria berbadan gempal itu selalu menceritakan pasal Alexa, pemilik gedung Joy Holding's Company yang masih berusia muda. Ambisi Alexa sedikit berbahaya, begitu kata Lee Won Shik kala dirinya menutup cerita pasal Alexa. Harry pun tak tahu, kalau Alexa lebih cantik dan memukau jikalau dilihat dari jarak yang sangat dekat seperti tadi. Raut wajahnya tak sebanding dengan suaranya yang halus dan lembut. Mata itu mencerminkan sikap gigih dalam membangun pendirian. Tajam berkharisma membuat siapa saja yang ditatapnya akan luluh dan terpikat dengannya. Alexa adalah gadis berwawasa
Meja besar dengan sajian berbagai hidangan menu mewah dan berkelas kini mulai tertangkap jelas oleh sepasang netra milik Sherina Alexander Lansonia. Wanita bergaun pekat itu tak henti-hentinya menyapu setiap bagian meja yang membatasi akses duduknya dengan beberapa orang tak asing, namun amat sangat dibenci olehnya. Di sisi kanan sang kakak duduk dengan anggunnya. Mulai menarik segelas wine dan menyeruputnya dengan lembut. Alice Lansonia menjaga semuanya di depan sang ayanhanda tercinta. Segala perilaku yang dibuatnya adalah point perhatian untuk pria tua dengan rambut yang memulai memutih itu. Tepat di depan Alexa sang ibu tiri menatapnya dengan penuh makna. Mungkin jika orang luar yang datang dan melihat interaksi mereka, akan mengira bahwa wanita dengan rambut pekat yang digelung di belakang tengkuk lehernya itu adalah sosok ibu berhati malaikat. Ya, benar malaikat, namun malaikat pencabut nyawa. Bibir merah muda itu tertarik. Memberikan senyum seringai di atas paras cantik awet
"Kau akan bersikap seperti anak gadis yang baru saja melalui masa pubertas?!" Suara lantang itu menghentikan laju langkah gadis yang kini menatap jauh ke depan. Arah sorot matanya tak bersahabat. Bak seekor singa yang baru saja menemukan mangsa terbaiknya. Suara ujung peep toe yang membentur permukaan ubin di bawahnya menggema jelas di ruangan. Disusul tawa kecil dari seorang wanita berumur yang sudah tak bisa disebut sebagai gadis muda lagi. Penampilannya mewah dan elegan, khas seperti seorang istri pejabat kaya.Bibir itu menyeringai tajam. Menarik bahu wanita yang jauh lebih muda darinya. Cara berpakaian mereka sama. Sederhana tak banyak aksesoris, namun terlihat begitu mewah dan elegan. Alexa memang bukan tipe wanita muda yang suka memamerkan kekayaannya, yang ia suka bukan uang namun apa yang bisa dibeli oleh benda itu. Kedudukan dan tahta serta rasa hormat yang tinggi."Kau benar, aku adalah gadis puber." Alexa menoleh. Memutar tubuhnya sembari tegas me