Ponsel berdering. Menjadi sebuah jeda untuk dua insan manusia yang masih diam dalam tatap wajah yang identik. Sherina Alexander Lansonia, si wanita karier yang sukses menjadikan Luis bertekuk lutut padanya hari ini. Pria itu tak lagi banyak berbicara selepas ia masuk ke dalam perangkap Alexa. Luis bukan pria yang bodoh, tingkat kesuksesan dalam dirinya berasal dari segala pemikiran cerdiknya itu. Ia hanya lemah dan payah kalau sudah menyangkut pasal wanita. Gairah yang ada di dalam diri pria kekar itu memang sulit untuk dibendung. Berapi-api dan meluap-luap hingga seseorang bisa melampiaskan napsunya.
Alexa bukan orang yang tepat untuk itu. Ia adalah gadis cerdik dengan seribu tak-tik gila yang selalu sukses membuatnya berdiri satu langkah lebih unggul dari Luis Ambrosius. Alexa hidup dengan baik. Mengenali Luis dari caranya bertatap dan sekilas pandang saja. Apa yang ada di dalam kepalanya, Alexa paham benar. Termasuk gairah untuk menjamah tubuhnya.
"Aku harus menjawab panggilannya," ucap Alexa tersenyum manis. Turun dari pangkuan Luis sembari mengecup lembut dagu pria di depannya itu. Tak berkutik. Luis hanya menyeringai tipis sembari memalingkan wajahnya.
Ia menatap lenggak-lenggok tubuh Alexa yang berjalan tanpa alas kaki. Tubuhnya tak benar jenjang. Heels yang dipakai oleh gadis itu benar membantunya untuk terlihat jangkung dan menjulang tinggi. Jika Alexa tak memakainya, ia hanyalah gadis mungil yang suka menyombong.
Ia tersenyum manis. Lagi-lagi mengarahkan pandangan tepat pada pria berkemeja yang baru saja menyandarkan tubuhnya ke belakang. Tatapan Luis tak segera kembali pada Alexa. Ia menatap keluar jalanan yang sempurna menampilkan pemandangan Kota London kalau pagi menjelang siang begini. Surya menyinari. Langit cerah dengan semburat awan putih yang menghiasi. Luis menyukai ini. Terlebih-lebih kalau bisa berjalan dengan langkah ringan menyusuri padatnya Kota.
"Kau mau mewakilkanku?" tanya Alexa berjalan mendekat. Ia duduk tepat di depan Luis. Menyilangkan kakinya rapi sembari menyodorkan ponsel miliknya.
Pria itu menolehkan wajahnya. Dalam diam, lensa cokelat muda itu menelisik. Menyapu setiap bagian layar ponsel yang menampilkan nama Alice di sana, calon ibu tirinya dua minggu lagi.
"Why should I?" Luis menyela. Merentangkan tangannya sembari sigap menaikkan satu sisi alis legamnya.
Panggilan berakhir. Layar ponsel kembali redup. Alexa meletakan benda itu di atas meja. Duduk menyandarkan tubuhnya sembari menghela napasnya ringan. Ia menarik peep toe yang dikenakan olehnya sebelum ini. Berniat untuk kembali memakainya selepas menjalankan aksinya untuk Luis.
"Karena aku tak ingin menjawabnya." Alexa berucap selepas hening membentang di antara mereka. Tak ada kebencian Alexa untuk Luis. Semua yang dilakukan olehnya hari ini hanya untuk menyelematkan Camaraderie dari tangan orang asing. Ya, meskipun itu ayah kandung Luis sendiri.
Camaraderie adalah milik Alexa sepenuhnya. Gedung itu adalah bagian dari mimpinya sejak beberapa tahun yang lalu. Ia bermimpi bahwa akan ada kembang api di langit malam dua minggu lagi. Peresmian gedung harus berjalan dengan megah sebagaimana mimpi yang sudah disusun olehnya. Tak boleh ada tangan asing yang masuk dan ikut menyentuh gedung persahabatan termegah di Britania raya itu.
"Akan kau gunakan untuk apa ancaman itu, Alexa? Menghancurkan reputasiku?" Luis kembali menyela. Membuka suaranya dengan nada berat sedikit serak. Dalam ia menatap Alexa. Wanita itu memang terkesan tak acuh sekarang ini. Hanya memperhatikan dirinya sendiri adalah cara dunia memandang seorang Sherina Alexander Lansonia.
"Rencananya begitu kalau kau tak berhasil membatalkan pernikahan gila itu, Luis. Aku tak sudi membagi Joy Holding's Company pada keluargamu." Alexa menimpali. Melepaskan jari jemarinya dari ujung peep toe yang sukses ia kenakan sekarang ini.
"Kau tau benar bagaimana aku ketika sudah menyangkut Joy Holding's Company. Nyawa pun akan aku buang untuk mempertahankan bangunan itu," imbuhnya menuturkan.
Luis menganggukkan kepala. Tersenyum ringan sembari menatap paras cantik milik Alexa. Alexa benar, Luis mengenal dirinya dengan baik. Hidup bersama dan tubuh besar di lingkungan yang sama membuat mereka dekat sebagai seorang sahabat pada masanya. Tak ada ambisi kala itu. Hanya susun kebahagiaan yang menyertai keduanya.
Satu mimpi yang Luis punyai hingga sekarang untuk Alexa. Kala usia sudah menyentuh angka dua puluh lima, ia ingin menikahi Alexa. Berjalan di bawah hangatnya sinar mentari dengan gumpalan awan putih yang menyertai. Luis tak pernah berambisi untuk menyaingi Alexa, bahkan jika ia harus menyerahkan perusahaan pada Alexa asalkan dengan nilai tukar tubuh dan kehidupan wanita itu ... Luis akan melakukannya.
Akan tetapi untuk Alexa? Dia adalah si ambisius yang akan gila dengan mimpinya. Menyentuh mimpi adalah tujuannya untuk hidup sekarang ini. Menjadi seseorang berpangkat dengan kedudukan tinggi benar-benar membuat wanita itu lupa segalanya. Termasuk cinta yang terkalahkan oleh ambisi.
"Aku akan membatalkannya. Jangan khawatirkan apapun sekarang. Fokus saja dengan Camaraderie," ucap Luis memberi penekanan.
Alexa kembali menganggukkan kepalanya. Mengerti dengan ucapan Luis dan sekali saja ia ingin percaya dengan seorang laki-laki seperti Luis Ambrosius.
Ponsel kembali berdering. Kini nadanya lebih panjang sebab spam pesan masuk ke dalamnya. Alexa sigap mengambil benda itu. Mulai menggerakkan jari jemari untuk berselancar di dalam ponselnya.
"Alice akan datang. Kenakan jas dan rapikan kembali dasimu. Aku membenci Alice dengan pemikiran bodohnya," ucap Alexa bangkit dari tempat duduk. Berjalan ke sisi ruangan dengan Luis yang mulai mengekori.
Gadis itu meraih sisir di atas rak besar sisi ruangan. Mulai menyisir helai demi helai rambutnya yang sedikit berantakan. Luis mengambilnya. Dari belakang ia mengulurkan tangan untuk membantu menyisir rambut milik Alexa.
Wanita itu tersenyum singkat kala mulai merasakan jari jemari Luis masuk ke dalam celah rambut pendeknya.
"Jangan terlalu berambisi, Alexa. Itu akan berbahaya untuk dirimu," ucap Luis berbisik.
"Kematian ibuku adalah hal yang paling membahayakan untuk diriku, Luis." Alexa menyahut. Sama-sama berucap dengan nada lirih sekarang ini.
Luis menghentikan aktivitasnya. Mulai meraih tubuh gadis yang ada di depannya dan memeluknya dari belakang. Pria itu kini meletakkan dagu lancip miliknya di bahu Alexa. Membawa tubuh gadis itu untuk berayun ringan dengan gerak kaki yang tak lepas dari tempatnya.
"Haruskah aku melamarmu saja? Kau bisa hidup dengan bahagia sebagai Ny. Ambrosius."
Alexa tertawa kecil. "Mendiang ibuku pasti tertawa mendengar ini."
"Alexa ...."
"Luis!" Ia melepas pelukan pria yang ada di belakangnya. Tubuhnya berputar ringan dengan arah tatap yang jatuh tepat untuk pria di depannya sekarang ini. Alexa sedikit mendongakkan wajahnya, menatap dua pasang manik mata indah yang ikut menyorotnya dengan teduh.
"Aku tidak mencintaimu sebagai seorang pria, aku mencintaimu sebagai rekan seperjuanganku untuk sekarang ini. Tujuanku hanya ... membalaskan dendam ibuku."
... To be Continued ...
Suara pintu diketuk. Menyela dua insan manusia yang kini sama-sama menitikkan sepasang netra indah itu untuk menatap tepat ke arah ambang pintu besar yang masih tertutup rapat. Suara menimpali. Di balik pintu kayu berukir itu seseorang sedang menunggu. Jika ditelisik dengan baik, Alice-lah yang memberi sebuah kabar akan datang beberapa saat yang lalu. Mengunjungi sang adik kandung bukanlah hal yang asing dan aneh lagi untuk semua orang.Alexa menyahut kala namanya dipanggil dengan nada ringan. Sempurna senyum manis itu mengembang sesaat selepas pintu benar-benar terbuka. Di depan sana wanita bertubuh jenjang berdiri dengan menyilangkan rapi kakinya. Matanya menyapu setiap bagian yang tak asing lagi untuknya. Bukan kali pertama Alice Lansonia datang kemari. Meskipun tak sering, setidaknya sekali dua kali ia pernah datang untuk menjenguk keadaan sang adik.Alice memang bukan saudara yang baik. Hubungannya dengan Alexa tak pernah membaik seiring berjalannya wa
Senyum seringai tak henti-hentinya ia lukiskan untuk merespon apa yang dikatakan Alice padanya. Ia tak menyangka kalau darah yang mengalir dalam tubuhnya tak pernah bisa membendung sikap tamaknya ini. Alice memang memiliki ibu yang sama dengannya, itu artinya darah yang mengalir di dalam tubuh Alice identik dengan Alexa. Mereka adalah saudara kandung, meskipun Alexa tak pernah pulang ke rumah jikalau bukan hal yang penting dan mendesak. Alexa tak menyukai keluarganya selepas kematian sang ibu kandung. Tinggal bersama ibu tiri tentu menjadi beban tersendiri untuknya."Aku tidak pernah membunuh ibu, Alexa." Selalu begitu. Kalimat itu yang terucap dari bibir Alice kini menjadi sebuah dialog monoton yang mulai ia hapal kalimatnya. Membunuh atau tidak, tersangka tetaplah tersangka.Alexa bangkit dari tempat duduknya. Sejenak wanita itu menatap sang kakak, kemudian berlalu untuk kembali meraih sebotol wine yang ia letakkan di sisi meja kaca sudut ruangan. Ini bukan tem
Hening tak ada suara yang menyela. Saling menatap satu sama lain dengan dua cangkir kopi berpasangan di depannya. Asap mengepul di udara. Aroma 'Cup of Excellence' nikmat menari-nari di dalam lubang hidung. Dua pasang cangkir kristal kini menjadi pusat pandangan semua orang yang ada di dalam ruangan. Pria dengan kumis tebal berwarna pekat yang merata di bawah hidungnya dengan janggut tipis yang menutupi dagu lancipnya itu benar-benar menyambut kedatangan tamunya dengan super duper mewah. Memang hanya dua cangkir kopi hasil lelang oleh coffee roaster dari Different Coffee Co, namun siapa sangka jika hanya ada 15 gelas saja di London. Dua ada di tangan Profesor Lim untuk menyambut kedatangan Alexa siang ini."Minumlah. Aku membawanya dari jauh," ucap pria itu menunjuk tepat ke mulut cangkir yang ada di depannya.Alexa menggeleng. "Aku tidak minum kopi siang begini," tuturnya menolak. Bukan hanya sekadar alasan semata, sebab memang itulah faktanya. Kopi hanya ak
Keduanya melangkah dengan kecepatan sedang. Membelah lorong bangunan tempat Harry bekerja. Di sini tak banyak orang yang berlalu-lalang. Laboratorium Profesor Lim benar-benar jauh dari keramaian. Luna bahkan bisa menghapal dengan benar dan baik wajah-wajah orang yang bekerja di sini. Mulai dari tenaga peneliti hingga pembantu yang hanya bertugas untuk menghantar kopi, membersihkan lantai, mematikan seluruh lampu bangunan kalau pekerjaan sudah selesai dan senja datang menyapa.Ini bukan rumah untuk profesor Lim, ini adalah tempatnya bekerja. Gedung yang dibangunnya berpuluh-puluh tahun silam ini adalah hasil dari suntikan dana sang ayahanda sebelum Joy Holding's Company jatuh ke tangan Alexa. Tak banyak relasi yang Alexa minta pada sang ayah, ia hanya ingin mengambil alih koneksi dari BioCell Laboratory. BioCell bukan lagi perusahaan pengubah sel-sel genetik makhluk hidup dan tumbuhan yang berada di bawah kendali sang ayahanda, namun dirinya. Semua menghormati kedatangan
Harry menatap laju mobil yang baru saja pergi meninggalkan kawasan bangunan gedung laboratorium. Meninggalkan aroma parfum yang khas datang dari dalam tubuh wanita pemilik nama lengkap Sherina Alexander Lansonia itu. Ia tersenyum aneh. Bukan licik, hanya sedikit aneh! Harry tak menyangka bisa bertemu langsung dengan pemilik nama Alexa itu. Selama ini ia hanya banyak mendengar kabar tentang Alexa melalui sang paman. Pria berbadan gempal itu selalu menceritakan pasal Alexa, pemilik gedung Joy Holding's Company yang masih berusia muda. Ambisi Alexa sedikit berbahaya, begitu kata Lee Won Shik kala dirinya menutup cerita pasal Alexa. Harry pun tak tahu, kalau Alexa lebih cantik dan memukau jikalau dilihat dari jarak yang sangat dekat seperti tadi. Raut wajahnya tak sebanding dengan suaranya yang halus dan lembut. Mata itu mencerminkan sikap gigih dalam membangun pendirian. Tajam berkharisma membuat siapa saja yang ditatapnya akan luluh dan terpikat dengannya. Alexa adalah gadis berwawasa
Meja besar dengan sajian berbagai hidangan menu mewah dan berkelas kini mulai tertangkap jelas oleh sepasang netra milik Sherina Alexander Lansonia. Wanita bergaun pekat itu tak henti-hentinya menyapu setiap bagian meja yang membatasi akses duduknya dengan beberapa orang tak asing, namun amat sangat dibenci olehnya. Di sisi kanan sang kakak duduk dengan anggunnya. Mulai menarik segelas wine dan menyeruputnya dengan lembut. Alice Lansonia menjaga semuanya di depan sang ayanhanda tercinta. Segala perilaku yang dibuatnya adalah point perhatian untuk pria tua dengan rambut yang memulai memutih itu. Tepat di depan Alexa sang ibu tiri menatapnya dengan penuh makna. Mungkin jika orang luar yang datang dan melihat interaksi mereka, akan mengira bahwa wanita dengan rambut pekat yang digelung di belakang tengkuk lehernya itu adalah sosok ibu berhati malaikat. Ya, benar malaikat, namun malaikat pencabut nyawa. Bibir merah muda itu tertarik. Memberikan senyum seringai di atas paras cantik awet
"Kau akan bersikap seperti anak gadis yang baru saja melalui masa pubertas?!" Suara lantang itu menghentikan laju langkah gadis yang kini menatap jauh ke depan. Arah sorot matanya tak bersahabat. Bak seekor singa yang baru saja menemukan mangsa terbaiknya. Suara ujung peep toe yang membentur permukaan ubin di bawahnya menggema jelas di ruangan. Disusul tawa kecil dari seorang wanita berumur yang sudah tak bisa disebut sebagai gadis muda lagi. Penampilannya mewah dan elegan, khas seperti seorang istri pejabat kaya.Bibir itu menyeringai tajam. Menarik bahu wanita yang jauh lebih muda darinya. Cara berpakaian mereka sama. Sederhana tak banyak aksesoris, namun terlihat begitu mewah dan elegan. Alexa memang bukan tipe wanita muda yang suka memamerkan kekayaannya, yang ia suka bukan uang namun apa yang bisa dibeli oleh benda itu. Kedudukan dan tahta serta rasa hormat yang tinggi."Kau benar, aku adalah gadis puber." Alexa menoleh. Memutar tubuhnya sembari tegas me
Kepulan asap mengudara. Aroma espreso mulai menari-nari di dalam lubang hidung. Di dalam cangkir kecil dengan ukiran garis lengkung itu, aroma berasal. Tepat di tengah meja cangkir itu berada. Menjadi pemisah dua piring kecil berisi camilan kue kering dengan susu kental manis di atasnya. Bercampur dengan aroma tembakau, pria itu menghirupnya dalam-dalam. Merasakan sensasi nikmat luar biasa selepas aroma itu mulai bisa menghibur hatinya yang sedang was-was. Papan besar di depannya berisi beberapa foto orang-orang asing dengan wajah seram menjadi fokus bagi Harry Tyler Lim untuk saat ini. Ia menghisap gulungan tembakau itu dengan kasar. Sesekali mengembuskan kasar asapnya keluar dari celah bibir juga kedua lubang hidungnya. Ia bukan perokok aktif, hanya terkadang saja untuk menenangkan hatinya saja. Kasus menumpuk. Teka teki gila kini mulai memenuhi pikirannya. Ruang kosong sudah tak ada lagi. Tak bersisa untuk memikirkan mau makan apa besok pagi?"Makanlah sesuatu juga. Jangan