Para tamu di sekitar mereka mulai menyadari pertengkaran itu, bisikan dan pandangan mereka makin membakar situasi yang sudah bergejolak. “Orang-orang ini lagi,” desah seorang wanita. “Mereka tampaknya iri dengan penghargaan Tuan Pangestu,” komentar seorang pria. "Sepertinya tidak tahan kalau ada orang lain yang mendapat perhatian." Kata-kata itu hanya membuat Lukas semakin marah. Cengkeramannya pada lengan Darwin semakin erat sembari menggeram, “Apa katamu?!” Darwin tahu dia harus meredakan situasi ini sebelum meledak. Dengan pertimbangan yang tenang, dia berkata, "Lukas, tolong lepaskan aku. Mari kita berpisah baik-baik, dan biarkan perayaan malam ini menjadi acara yang sudah lewat." Tapi Lukas sudah tidak meneriman perdamaian lagi. "Aku akan pergi setelah kamu menjawab!" dia berteriak. Jari-jarinya menusuk kulit Darwin dengan tajam. "Aku mendapatkan tempatku di sini dengan usahaku sendiri, sama seperti orang lain. Aku tidak perlu menjelaskan pencapaianku padamu," balas Darwin,
Jantung Darwin berdebar kencang saat mobil-mobil itu mengapitnya dari kedua sisi. Tangannya mencengkeram setir begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih. Melalui kaca spion dia melihat dua pria bertubuh besar bertopeng keluar dari kendaraan di belakangnya, melangkah pelan ke arah mobilnya. Saat pintu sopir mobil di depan terbuka, Darwin mempersiapkan diri menghadapi apa yang akan terjadi. Seorang pria tinggi berbahu lebar muncul, wajahnya tertutup topeng ski hitam. Dia pun berjalan menuju mobil Darwin dengan langkah kaki yang berat. Pikiran Darwin berpacu, mati-matian mencari jalan keluar. Namun dia terjebak di antara kedua mobil tanpa jalan keluar. Saat pria itu mendekat, Darwin dapat melihat matanya yang mengancam mengintip melalui lubang mata topengnya, memancarkan kebencian di bawah sinar bulan. Darwin menurunkan kaca mobilnya sedikit, lalu bertanya dengan nada tenang namun waspada, "Apa yang kamu inginkan?" Pria itu mencondongkan tubuhnya, tangannya mencengkram pintu den
"Bagaimana?" tanya Lukas tajam ketika orang-orang itu mendekat. Jake meludah ke tanah, “Dia melawanan dengan hebat. Hampir saja membuat kami kalah.” Alis Lisa terangkat karena terkejut, "Hampir apa?" Roy mengangguk dengan muram. "Bajingan itu lebih tangguh dari kelihatannya. Perlu bertiga untuk mengalahkannya." "Bajingan itu memukuli kami," tambah Mitch, hidungnya yang berdarah masih menetes. "Aku juga dipukul dengan sikunya. Dia bertarung kotor." Mata Lukas berbinar kejam, "Dan apakah pekerjaannya sudah selesai?" Jake membalas tatapannya dengan mantap, "Kami meninggalkannya dalam keadaan yang parah. Tidak mungkin dia selamat. Tulang rusuk patah, luka dan memar di mana-mana. Dia hampir tidak bernapas saat kami pergi." Mendengar ini, Lisa tersenyum dingin, menggosok kedua tangannya dengan gembira. Namun rahang Lukas mengatup, tinju mengepal di sisi tubuhnya. “Aku ingin melihat mayatnya.” Para pria itu saling bertukar pandang gelisah. "Begini ya, tidak ada mayat yang bisa kami
Margaret Pangestu mondar-mandir di rumahnya yang mewah, kekhawatiran terpampang di wajahnya yang menua. Sudah dua hari sejak Darwin dilarikan ke rumah sakit dalam keadaan babak belur dan memar akibat serangan keji itu. Para dokter meyakinkannya bahwa luka-lukanya akan sembuh, namun hal itu tidak mengurangi kekhawatirannya sebagai ibu. Dia mengusap rambut yang mulai memutih dengan jari-jarinya, matanya berkaca-kaca saat dia mengingat sosok putranya yang babak belur terbaring di ranjang rumah sakit, tubuhnya terhubung ke mesin-mesin rumah sakit. Siapa yang melakukan hal seperti itu? Dan mengapa? Berbagai kemungkinan muncul di benaknya, sampai satu tersangka tampak lebih mungkin dari yang lain, Lukas Adiguna. Bocah sombong itu pernah memukul Darwin sekali, bukan tidak mugkin dia melakukannya lagi. Semua ini terlalu mudah. Sambil menghela nafas, Margaret menekan tombol interkom. "Jefri, ke ruang kerjaku." Dalam beberapa menit, kepala pelayannya yang setia masuk sambil membungkuk horm
Sementara itu, di rumah Adiguna, Lukas dan Lisa sedang merayakan di ruang tamu dengan minum-minum. Namun suasana menjadi suram ketika John Adiguna melangkah masuk, wajahnya bagaikan awan badai. Tanpa peringatan, dia memukul wajah Lukas dengan keras. Lisa tersentak ketika Lukas terhuyung-huyung, memegangi pipinya yang perih karena terkejut. “Ayah! Apa-apaan ini?” Mata John berkobar karena marah. "Tindakan bodohmulah yang membuat kami kehilangan kontrak dengan Manufaktur Weston, dasar bodoh, tidak tahu berterima kasih!" Mata Lukas melebar. "A-apa maksudmu?" tuntut Lukas, masih memegangi pipinya yang perih. Ayahnya belum pernah memukulnya sebelumnya, tindakan itu membuatnya terguncang. John menggeram. “Kita kehilangan kontrak kerja sama yang berharga.” Mata Lukas semakin membelalak tak percaya. "Apa? Itu tidak mungkin! Bagaimana bisa?" Lukas bertanya, mengatupkan rahangnya sambil mengusap pipinya yang perih. Dia mencoba memahami apa yang menyebabkan mereka kehilangan kontrak pent
Keesokan paginya, Lukas terbangun dengan sakit kepala yang menusuk. Apa yang terjadi dengan ayahnya terulang kembali di benaknya, sungguh terasa pahit. Dia menyeret langkahnya keluar dari tempat tidur, cemas akan apa yang mungkin akan terjadi hari itu. Saat dia memasuki ruang makan, dia tahu ada sesuatu yang tidak beres. Para pelayan berkeliaran dengan wajah pucat dan berbisik-bisik panik. Dia menemukan ayahnya di ruang kerja, kertas-kertas berserakan di mana-mana dan setengah botol scotch kosong di atas meja. “Ayah, apa yang terjadi?” tuntut Lukas, kegelisahannya semakin bertambah. John mendongak, matanya merah dan lelah. "Sudah berakhir. Adiguna Industri sudah tamat." Lukas merasakan badannya menggigil, "Apa maksudnya Ayah?!" Ayahnya tertawa hampa, "Semua aset kita disita, rekening dibekukan, kontrak diakhiri." Dia meneguk botolnya. Tangan Lukas mengepal, kukunya menancap di telapak tangannya cukup keras hingga mengeluarkan darah. "Bagaimana mungkin?! Kita telah membangun
Saat mobil Darwin berbelok, struktur mewah Resor dan Hotel Graha Agung mulai terlihat, kemegahannya tidak dapat dipungkiri bahkan dari kejauhan. Dengan mengenakan pakaian kasual yang paling nyaman dan mewah, hati Darwin masih sedikit bergetar. Informasi yang baru dia ketahui dan tugas berat dari ibunya ini sangat membebani pikirannya. Pilihan pakaiannya yang dimaksudkan untuk kenyamanan selama masa pemulihan, kini tampak sangat tidak pantas ketika resor semakin dekat. Saat melangkah ke lobi yang mewah, Darwin langsung merasa seperti ikan di daratan. Ruangan itu penuh dengan gumaman lembut percakapan di antara para tamu, semuanya berpakaian rapi. Di antara mereka ada yang melemparkan tatapan sekilas dan menilai pakaiannya. Ekspresi mereka antara rasa ingin tahu dan jijik. Darwin berjalan menuju resepsionis, dia memperhatikan pandangan para staf tertuju padanya. Terutama tiga wanita di resepsionis berpenampilan indah dengan pakaian elegan mereka. Yang satu mengenakan blazer pas b
Begitu berada di luar, Darwin mengatur napas sejenak, dadanya naik-turun dengan tidak teratur. Udara sejuk tidak banyak menenangkan badai emosi yang berkecamuk di dalam dirinya. Amarah, rasa malu, dan rasa tidak percaya bercampur aduk. Dia tidak bisa memahami kelancangan Henry, sikapnya yang tidak hormat dengan terang-terangan. Para staf hotel yang sangat cepat menghakiminya hanya karena kata-kata satu orang. Dia mengeluarkan ponselnya dari saku dan menggenggamnya erat-erat. Ketika Darwin pergi dengan kekalahan dan rasa malu, atmosfer lobi kembali ke keadaan semula. Namun, drama hari itu masih jauh dari selesai. Henry yang baru saja mengusir Darwin dengan tawa yang kejam, kini menoleh ke arah Grace dengan tatapan yang membuat wanita itu merinding. "Sialan! Biang kerok! Dia benar-benar penipu," katanya dengan dingin dan meremehkan. Dalam hati Grace merasa jijik dengan kesombongan Henry, tetapi dia mempertahankan sikap profesionalnya. "Tolong jangan tersinggung, Tuan Henry. Situa