Alexander yang tangannya terkepal dan terkepal di sisi tubuhnya, hampir tidak bisa menahan amarahnya. "Ayahku, Henry Prasetyo, akan mendengar tentang ini," geramnya, gigi terkatup, ancaman menggantung di udara seperti awan badai.Ketegangan di dalam ruangan meningkat, pengunjung saling melirik dengan mata terbelalak, merasakan eskalasi. Elizabeth, berdiri sedikit di belakang Alexander, memutar matanya karena frustrasi, kepercayaan dirinya sebelumnya menguap menjadi campuran rasa malu dan marah. Dia mengusap keningnya dengan serbet, kulitnya berkilau karena keringat di bawah pengawasan ketat dari kerumunan yang berkumpul.Tuan Santoso, meskipun terkejut dengan penyebutan Henry Prasetyo, tetap tetap tenang. "Terlepas dari siapa ayahmu, kelakuanmu malam ini tidak dapat diterima. Sekali lagi aku memintamu, silakan pergi," katanya, suaranya tegas namun membawa penyesalan atas kejadian tidak menyenangkan yang terjadi.Alexander, yang sekarang tampak gemetar karena marah, maju selangkah, post
Ketika Darwin Pangestu meninggalkan kantornya lebih awal dari biasanya, rasa nostalgia melanda dirinya. Alih-alih langsung pulang ke Villa Pangestu, dia malah mengambil jalan memutar dan mengarahkan mobilnya ke arah berlawanan. Setelah sekitar satu setengah jam berkendara, dia tiba di tempat yang familiar namun jauh dari masa lalunya, panti asuhan tempat dia dibesarkan. Bangunan itu, yang terletak di bagian kota yang tenang, tampak persis seperti yang diingatnya. Bangunannya sederhana, berlantai dua, dicat dengan warna kuning lembut yang mulai memudar dan terkelupas di beberapa tempat. Nama ‘Harapan Kasih’ terpampang di atas pintu masuk pada papan kayu yang berayun lembut tertiup angin. Darwin memarkir mobilnya dan melangkah keluar, jantungnya berdebar kencang oleh kegembiraan dan ketakutan.Saat dia membuka gerbang kecil dan memasuki halaman, pemandangan anak-anak berlarian dan bermain di sekitarnya membawa banyak kenangan. Dia hampir bisa melihat dirinya sendiri di antara mereka, se
Ketika Darwin dengan teguh mengklaim statusnya sebagai SVIP, kecurigaan memenuhi ruangan. Pegawai bank itu, senyumnya sudah lama memudar, memandangnya dengan campuran ketidaksabaran dan ketidakpercayaan. Penjaga keamanan, dengan otot tegang, siap bertindak berdasarkan sinyalnya.Orang asing lain di antara kerumunan itu, yang mengenakan setelan jas yang tampaknya terlalu mewah untuk sikap rendahannya, tidak dapat menahan rasa gelinya. "Oh, ayolah! Lihat orang ini," dia mencibir, suaranya terdengar meremehkan. Jas yang dia kenakan tidak mampu menutupi cibiran dalam suaranya, bibirnya melengkung membentuk senyuman mengejek.Gumaman orang banyak semakin keras, ada yang memutar mata, ada yang saling berbisik, melirik ke arah Darwin dengan ragu.Seorang wanita yang mengantri berbisik kepada orang di sebelahnya, cukup keras hingga orang lain dapat mendengarnya, "Apakah dia benar? Dia tidak terlihat seperti VIP."Pelanggan lainnya, seorang pria yang memegang tas kerja, terkekeh dan berkata, "M
Darwin berdiri di tengah-tengah taman hiburan terbesar di kota, "Taman Fantasi," jantungnya berdebar kencang penuh dengan kegembiraan dan antisipasi.Dia telah menabung selama berbulan-bulan, dengan cermat merencanakan dan berhemat untuk membuat hari ini sempurna bagi Lisa kesayangannya. Taman itu dia sewa untuk dirinya sendiri hari itu, sebuah kejutan yang tidak sabar Darwin berikan. Dia sudah memberi tahu Lisa untuk menemuinya jam 6 malam, tapi Lisa tidak kunjung datang.“A-Apa dia lupa?” Darwin berbisik pada dirinya sendiri, berusaha menghilangkan keraguan yang menjalari hatinya.Dengan rasa sesak di dadanya, dia menelpon Lisa, jemarinya gemetar saat menekan tombol. Telepon terus berdering, tapi tidak ada jawaban. Kesunyian itu terasa berat, membuatnya makin khawatir.“Ayolah, angkat,” Darwin bergumam sembari terus menelepon. Dia mematikan sambungan lalu mencoba menelepon lagi, dia tahu jika Lisa tidak datang, uangnya akan terbuang sia-sia.Tak disangka, kali ini Lisa mengangkat te
Darwin berusaha mencerna situasi menyakitkan yang terjadi ini dengan tidak percaya dan hati yang terluka. “Tapi... hari jadi kami...” dia tergagap, kata-katanya tertahan di kerongkongan.Kata-kata itu seakan menampar Darwin. Tiga tahun? Tidak mungkin. Hari jadi mereka hari ini, mereka baru saja menikah tahun lalu. Dunia seakan berputar di sekitarnya, nyata dan fana bercampur aduk menjadi satu seperti komedi putar yang memuakkan.Lelaki di samping Lisa sama sekali tidak terlihat seperti Darwin—percaya diri, modis, pakaiannya yang dijahit dengan baik menyimbolkan kesuksesan, sesuatu yang sangat ingin Darwin capai. Lengannya masih tetap memeluk Lisa, menyadarkan Darwin akan kenyataan bahwa Lisa adalah milik lelaki itu.Nick bertanya dengan heran, “Lelucon macam apa ini?”Darwin yang masih terkejut hanya bisa menjawab, “Aku tidak mengerti, aku merencanakan kejutan untuknya.”Siaran langsung berlanjut saat Rachel Pelangi, masih berseri-seri, membacakan komentar dari penonton."Penontonku be
Lisa menyeringai, hatinya berdegup kencang sembari membatin, “Darwin pasti sudah gila. Bisa-bisanya dia mau bercerai denganku?” Pikirannya berpacu, mencari segala cara untuk keluar dari situasi ini.“Kamu ingin bercerai? Kenapa? Setelah semua yang aku lakukan untukmu? Kamu sangat tidak bersyukur...” suara Lisa bergetar dipenuhi rasa tidak percaya dan amarah.Darwin memotong ucapan Lisa, suaranya tegang saat dia berkata, “Aku melihat siaran langsung itu, Lisa. Kamu dan Lukas mengumumkan pada semua orang bahwa kalian berpacaran.”Lisa mulai panik ketika dia menyadari Darwin telah melihat video itu. "Oh tidak, ini tidak mungkin terjadi," pikirnya dengan matanya membelalak ketakutan. Dia tahu dia harus berpikir cepat untuk menyelamatkan situasi. "Pikirkan sesuatu, Lisa, pikir." desaknya pada dirinya sendiri, memaksa memasang wajah tenang."Oh ya ampun, video itu? Itu hanya drama palsu yang direncanakan oleh perusahaanku untuk publisitas. Jangan terlalu mudah tertipu." jawab Lisa, suaranya
Darwin menatap celana dalam di tangan Lukas, dia merasa seakan bumi terbelah dua. Pandangannya mengarah ke Lisa, penuh rasa sakit “Apa maksudnya ini?” desaknya. Lisa menatapnya, paniknya hilang digantikan oleh cibiran, “Ya sudah, kamu sudah tau...” cemoohnya. “Aku dan Lukas sudah berpacaran selama beberapa bulan.”“Beberapa bulan?” Darwin tersentak, “Selama ini kamu berbohong dan berselingkuh di belakangku?” Pengkhianatan Lisa menusuknya bagaikan pisau. Lisa memutar bola matanya. “Aduh ayolah, jangan sok kaget,” katanya sambil mengibaskan rambut.Kata-kata Lisa menusuk tajam, tapi Darwin tidak gentar. “Kamu membuang semua yang kita lewati bersama hanya demi dia?” Darwin menunjuk Lukas. “Kenapa, Lisa? Aku tidak mengerti kenapa kamu melakukan ini!”Lisa memutar bola matanya seakan meremehkan. “Hubungan kita berdua memang sejak awal tidak akan bertahan lama. Apa kamu benar-benar berpikir aku mau dengan orang miskin yang bodoh sepertimu? Aku ingin hidup yang enak, bukan hidup susah yang
Darwin merasa dipermalukan melihat Lukas menggandeng Lisa menuju kamarnya, seakan menantang Darwin untuk menghentikan mereka.Lukas menyeringai sambil memeluk Lisa lebih erat. “Darwin temanku, apakah kamu benar-benar tidak keberatan?” ejeknya. Darwin mengepalkan tangannya, tak mampu berkata-kata.Lisa memandang Darwin sekilas, dengan acuh berkata, “Kamu ini tidak pernah benar-benar mengenalku, Darwin.” Lukas terkekeh, “Sepertinya fantasimu hancur lebur ya.” Darwin hanya bisa terdiam perih melihat mereka berdua. Pengkhianatan mereka menyayat hatinya lebih dalam dari pada pedang paling tajam sekalipun, apalagi setelah mengetahui bahwa Lisa tidak pernah benar-benar mencintainya.Darwin tahu dia harus meninggalkan tempat itu, dalam kesakitan pun dia berusaha bangkit meski belum sepenuhnya pulih dari pukulan di kepalanya.Lisa mencemooh, “Lihatlah, dia berusaha kabur bagai anak anjing yang terluka.”Lukas menimpali, “Kasihan sekali, dia tidak bisa apa-apa.”Gelak tawa Lukas dan Lisa bergema