"Baiklah, Jihyun-ah. Aku sudah mengirimkan pesan pada kekasihku, jika dia membacanya dia pasti akan segera menelepon." Myungsuk lagi-lagi mematri senyum manis andalannya. Jihyun mengerjap.
"Oh, baik kalau begitu. Bisa aku pulang sekarang?" Jihyun menoleh ke arah jalanan yang mulai padat. Hari semakin sore dan mereka masih betah singgah di Café sejak tadi siang.
Yang ditanya mengangguk. "Tentu, kau pasti merindukan kekasihmu." Myungsuk berujar tanpa memandang Jihyun. Ia mengalihkan pandangannya yang setajam elang ke arah jalanan. Nampaknya sebuah sosok yang familiar tertangkap penglihatannya.
"Ah, itu dia!" Pekikan Myungsuk seketika memenuhi indra pendengaran Jihyun, membuatnya terperangah dan ikut menatap sosok yang Myungsuk maksud.
"Si-siapa?" Jihyun menoleh dan mendapati seorang pria dengan tinggi sekitar 178 cm tengah tersenyum dan menjabat tangan seseorang di seberang jalan dekat Cafe tempat mereka nongkrong. Jihyun tidak kenal siapa dia.
"Dia Jang Beomgyu. Seorang editor komik yang bekerja di salah satu penerbit." Lagi, suara itu kembali terdengar dengan intonasi antusias. Jihyun hampir menutup kedua telinganya rapat-rapat karena suara Myungsuk yang begitu keras.
Ah, sebenarnya suara Jihyun terdengar lebih keras jika dia berteriak seperti Myungsuk barusan. Tapi entah kenapa, ia merasa sangat terganggu dengan suara pemuda itu sekarang. Bukan hanya ekspektasi Myungsuk tentangnya yang salah, tapi ekspektasi Jihyun tentang Myungsuk juga meleset. Ia pikir pemuda itu hanya suka tersenyum, tapi rupanya dia juga berisik.
"Kau tahu darimana dia seorang editor komik?"
Jihyun mengedarkan pandangannya dan berusaha mencerna apa yang sedang terjadi. Ia belum pernah bertemu dengan editor mana pun, jadi bisa saja perkataan Myungsuk memang benar.
"Ckck, Jihyun-ah … aku sudah pernah masuk ke beberapa gedung penerbitan komik. Aku pernah bertemu dengannya." Myungsuk menggerak-gerakan jari telunjuknya di depan wajah dengan bangga.
"Percayalah, kekasihku adalah komikus yang hebat. Komiknya sudah banyak dimuat di majalah dan koran. Dia bahkan sudah pernah menerbitkan komik sendiri." Jihyun mengangguk saja mendengar penuturan teman barunya ini. Untuk apa bertingkah sok tahu, toh sepertinya memang Myungsuk sudah lebih tahu dari dia.
Ia kembali memperhatikan sosok Jang Beomgyu itu. Ekspresinya tidak cukup jelas dari jarak pandangnya sekarang. Tapi kelihatannya ia sedang tersenyum pada lawan bicaranya.
"Kekasihmu pernah menerbitkan komik? Apa judulnya?" Ragu, kedua alis Jihyun saling bertautan dan bibirnya kembali meluncurkan sebuah pertanyaan.
Myungsuk terkekeh pelan. "Komik berjudul Busan In Action." Jihyun kembali terperangah mendengar ucapan Myungsuk. Itu kan komik berseri favoritnya satu tahun yang lalu.
"Kekasihmu … Yeosong Bunny?" Suaranya semakin menghilang bersamaan dengan terdengarnya mesin kendaraan di luar Café.
Kali ini tatapan Myungsuk yang berpendar dan alisnya bertautan, pemuda itu menatap tajam wajah Jihyun.
"Hei, jangan memanggil nama pena kekasihku seenaknya!" Ia berkata dengan ketus. Sayang, bukan reaksi takut yang Jihyun berikan, ia justru berusaha menahan tawanya walau gagal.
Gadis Busan itu akhirnya tertawa geli. "Gila. Aku kan hanya bertanya. Dasar posesif." Ia memiringkan kepalanya, tertawa lagi.
Myungsuk membuang nafas dan memutar lehernya, lelah.
"Kalau kau suka komik itu maka kau akan ingat karakter utamanya adalah seorang ulzzang." Myungsuk kembali menyeringai, dan kali ini sukses membuat Jihyun bergidik.
"Karakternya terinspirasi dariku, lho." Myungsuk tersenyum memikat dan berusaha memberitahu Jihyun bahwa wajahnya itu memang tampan.
Jihyun berdecak. "Aku tidak yakin. Kupikir Yeosong Bunny adalah wanita yang berwibawa. Aku tidak percaya dia adalah kekasihmu." Gantian Jihyun yang membuang muka.
"Hei, apa ini Jihyun-ah? Kau langsung tak percaya pada calon partner-mu ini?" Myungsuk mengangkat bahunya, "ckck, jahat sekali." Ia berusaha membuat suaranya terdengar sedih.
Jihyun memutar bola matanya, jengah. Bagaimana bisa partner-nya adalah orang yang seperti ini. Ya, seperti Hyun Myungsuk, yang narsis dan tingkahnya sedikit aneh.
"Myungsuk, aku lelah. Aku akan pulang lebih dulu." Jihyun bangkit dari kursinya dan segera melambaikan tangannya. Pemuda di seberang meja hanya membalas lambaian itu sambil tersenyum riang.
Siapa sangka Hyun Myungsuk yang minggu lalu memenangkan lomba membuat komik adalah seorang pemuda aneh seperti ini?
Jihyun berjalan dengan gontai menuju pintu Café, membukanya perlahan dan segera bersandar pada dinding di luar Cafe. Gila, dia tidak percaya akan membuat komik dengan orang seperti itu.
"Hyun Myungsuk itu orang yang terlalu aneh." Jihyun bergumam pelan, hampir tidak terdengar karena lagi-lagi mesin dan klakson kendaraan terdengar sangat kencang, saling bersahutan.
****
Gadis itu beranjak dari kasurnya yang nyaman dan segera pergi menuju kamar mandi. Membuat basah tubuhnya dengan air segar adalah hal yang dia perlukan sekarang. Hampir dua puluh menit Sunmi di dalam kamar mandi. Kalau dia tidak ingat masih punya kasur, mungkin dia sudah tertidur di bathtub.
"Gila, lelah sekali pekerjaan hari ini." Sunmi memegang pundak kirinya dengan tangan kanan. Raut wajahnya tampak menderita.
Seojin yang baru selesai memanaskan nasi langsung terkekeh dan ikut duduk di meja makan. "Sudah selesai pemotretannya?"
Sang adik hanya mengangguk tanpa mengubah ekspresi di wajahnya.
"Kenapa wajahnya ditekuk begitu? Wooseok mengatakan sesuatu?" Jika saat ini yang sedang bertanya adalah Myungsuk, maka Sunmi akan langsung menyiram wajahnya dengan air dingin. Sayangnya ini Seojin-eonnie, orang yang selalu mengurusnya seperti bayi.
"Dia menyuruhku mencari model untuk katalog bulan depan. Katanya ulzzang yang punya sorot mata tajam dan wajah brengsek." Sunmi memainkan jari telunjuknya di depan wajah. Kebiasaan ini sepertinya tertular dari Myungsuk.
Sang kakak memikirkan ucapan adiknya sebentar, kemudian menautkan alis. "Ulzzang? Tidak biasanya Wooseok melakukan itu." Dia menggelengkan kepalanya, bibir bawahnya maju sedikit.
Sunmi melirik Seojin yang duduk di seberangnya, menghela nafas kemudian mengangguk.
"Dia minta itu kali ini, Eonnie. Dan omong-omong dia bilang kau menarik."
Senyum langsung merekah di wajah kakaknya saat Sunmi mengatakan hal yang sama persis seperti yang dikatakan Wooseok tadi siang. Seojin tertawa.
"Aku memang sudah menarik sejak lahir, Sunmi."
Sunmi lagi-lagi hanya mampu menghela nafas, kakaknya memang orang paling menarik jika dia akui. Dia cantik dan bertalenta. Setidaknya, itu yang selalu Seojin katakan hingga sekarang. Dan anehnya Sunmi percaya saja.
Bola matanya berpendar untuk menatap ponsel pintar sang Kakak yang menyala di atas meja makan. Seojin mencoba mengalihkan pandangan Sunmi, namun gagal.
"Permisi sebentar, Wooseok telepon." Seojin langsung beranjak dari meja makan, meninggalkan Sunmi sendirian. Ia terlalu lelah. Hari ini sepertinya tertidur di meja makan juga bukan hal yang buruk. Kakinya sudah malas untuk sekedar menaiki anak tangga.
****
Myungsuk berceloteh panjang lebar mengenai rencananya untuk memulai debut sebagai seorang komikus, dan Sunmi dengan sabar mendengarkannya. Pemuda itu tampak sangat ceria dan mengabaikan pertengkaran kecil mereka beberapa hari lalu. Kalau sudah begini, Sunmi juga malas untuk mengungkit masalah yang sudah terjadi akhir-akhir ini. Biarkan saja kekasihnya ini bercerita sepuasnya.
Semuanya terjadi seperti biasanya dan terdengar wajar. Sampai pendengarannya menangkap satu nama yang rasanya pernah ia dengar tempo hari. Myungsuk menggumamkan nama Bae Jihyun dengan begitu lembut dan membuat telinga Sunmi panas.
"Kau kesini mau cerita soal debutmu atau cerita soal Bae Jihyun sialan itu?" Mulut Sunmi memang perlu ditampar sekali-kali. Dia bahkan tidak menghormati Jihyun yang seusia Myungsuk.
Oh, Myungsuk lupa dia belum memberitahu kekasihnya soal usia Jihyun. Pemuda Daegu itu memutar bola matanya, mencoba menghindari pertengkaran lainnya di pagi hari yang masih dingin.
"Aku serius, Sayang. Kami ingin meminjam studio bibimu jika kau tidak keberatan." Myungsuk mengelus surai legam Sunmi dan berkata dengan lembut, menuntut kekasihnya untuk segera memberi jawaban.
Kekasihnya itu sama sekali tak berniat untuk sekedar melirik matanya yang setajam mata elang. Suasana hati Sunmi masih belum baik sejak Myungsuk dengan gamblangnya membahas soal rencana debutnya sebagai komikus dengan membuat karya kolaborasi bersama temannya. Kepalanya pening.
"Terserah kau, Oppa. Aku tidak peduli." Nada suara itu terdengar dingin, menusuk indra pendengaran Myungsuk. Ia mendekap erat kekasihnya dan mengecup singkat pucuk kepalanya.
"Jangan seperti ini terus, Sunmi-ya. Aku akan melakukan apapun agar kau mau memaafkanku kali ini." Sunmi bisa merasakan suara Myungsuk yang melemah. Jujur, ia cepat luluh saat mendengar deep voice milik kekasihnya. Andai saja dia tidak pernah mengeluh tentang 'sesuatu' pada Myungsuk, ia yakin hubungannya dengan kekasihnya itu tidak akan dipenuhi oleh pertengkaran begini.
Sunmi menghela nafas. "Baiklah, Oppa. Aku punya satu permintaan." Gadis itu tahu ini adalah waktu yang tepat untuk membicarakan pekerjaan yang Wooseok berikan padanya kemarin.
Myungsuk ingat bahwa pertemuan mereka adalah melalui sosial media. Tapi yang ada di ingatan Sunmi berbeda. Sebelum mereka mengobrol via sosial media, mereka sudah pernah bertemu sebelumnya. Saat itu adalah awal musim semi dan Myungsuk tidak sengaja bertemu dengannya di stasiun. Awal pertemuan yang konyol dan berakhir dengan saling bertukar nomor telepon dan sosial media.
—Tunggu, kenapa Sunmi malah mengingat hal yang tidak penting sekarang. Bahkan ia yakin Myungsuk saja tidak mengingatnya lagi. Menunggu kekasihnya menjawab pertanyaannya memang perlu waktu. Buktinya sekarang pemuda itu malah membeku dengan ekspresi wajah yang kosong.
Sunmi menepuk jidatnya sendiri. "Oppa, kubilang aku punya satu permintaan." Ia jengah, berbalik sedikit dan menyibak poni kekasihnya, menatap wajah Myungsuk.
Yang ditanya segera tersadar, kemudian mengangguk pelan. "Apa itu?" Manik keduanya bertemu secara spontan.
"Jadilah model untuk katalog WSX bulan berikutnya." Gadis itu berkata dengan nada datar dan membuat Myungsuk memekik setelahnya.
"HA? MODEL KATALOG WSX?" Benar saja, Myungsuk berteriak.
"Iya, Oppa. Wooseok-oppa minta dicarikan model seorang ulzzang."
Myungsuk tersenyum bangga sekarang. Memiliki wajah tampan memang memberimu banyak keberuntungan.
"Haha, aku tahu aku tampan, Sayang." Ia tersenyum lebar dan membuat Sunmi menautkan alisnya. Entah kenapa kekasihnya terlihat seperti pria tua yang suka bersenang-senang dengan seorang wanita sekarang.
"Ya, Wooseok-oppa menyuruhku mencari ulzzang yang punya sorot mata tajam—"
Senyum Myungsuk semakin lebar.
"—dan ulzzang yang punya wajah brengsek."
Myungsuk membuka lebar mulutnya dan hendak melayangkan protes setelah Sunmi benar-benar menyelesaikan kalimatnya.
"Hei! Kenapa menambahkan kata brengsek di belakangnya?"
Sunmi terkekeh mendengar proses dari yang lebih tua.
"Yah, cocok denganmu kan, Myungsuk-oppa?"
Si pemuda Daegu hanya menggembungkan pipinya setelah mendengar ucapan dari kekasihnya.
****
Seorang pemuda berkulit pucat terus memutar-mutar pulpen di tangannya. Tatapannya menerawang lurus ke depan, entah apa yang sedang ia pikirkan. Dantae tidak fokus sejak tadi, dan ia yakin penyebabnya tak lain adalah sebuah tawaran dari Wooseok beberapa hari yang lalu. Gila, pemuda bermata sipit itu menyuruhnya untuk menjadi cover di katalognya bulan depan. Bukannya Dantae tidak senang, tapi masalahnya, dia tidak suka tampil di depan publik. Bahkan hanya sedikit dari para penggemar yang mengetahui wajah aslinya, itu pun setengah tertutupi topi.Pemuda yang berasal dari Daegu itu membuang nafas dan mengacak pelan surainya yang berwarna mint. Sudah hampir tiga puluh menit ia membiarkan kertas itu tetap bersih. Tidak, ini tidak boleh terus terjadi atau dia tak akan bisa menghasilkan satu lagu pun hari ini.Pintu studio dibuka oleh seseorang, menyebabkan udara masuk dari luar karena ia tak cepat-cepat menutupnya lagi. Sosok Ji Seojin terl
Jihyun menghentak-hentakkan kakinya ke tanah, kesal dengan semua yang sudah terjadi hari ini. Sudah cukup dipermalukan seperti tadi, Jihyun tidak akan mau membaca komik Busan In Action lagi. Sialan, ia tidak menyangka seseorang dengan nama pena Yeosong Bunny itu adalah bocah labil yang punya sepasang gigi seperti kelinci.Reputasinya sebagai seorang mahasiswa baru hampir saja tercoreng jika tadi dia kelepasan menjewer kuping gadis itu. Dengan penampilan mencolok seperti itu, tentu saja ia akan mudah dikenali orang. Terlebih, lawannya kali ini adalah bocah SMA, bisa-bisa ia dituduh melakukan kekerasan pada anak dibawah umur."Hyun Myungsuk dan segala kehidupannya memang gila, arrgh!" Jihyun meracau frustrasi di depan halte bus. Saat bus tujuannya tiba, ia melangkahkan kakinya dengan cepat ke dalam sana dan segera mencari tempat duduk, menyamankan posisinya. Gadis Busan itu memasangkan earphone di telinganya dan mulai mencari channel radio f
Suara yang dihasilkan oleh ketukan jemari jenjang pada keyboard laptop memenuhi ruangan kamar yang sunyi. Sosok cantik itu tengah asik dengan blognya, mengabaikan satu sosok lagi yang sekarang tengah sibuk menorehkan goresan-goresan kasar pena di atas kertas putih. Seojin tak mau menatap adiknya yang tampak kesal sejak kepulangannya sore tadi. Kalau tidak salah, tiga puluh menit yang lalu Sunmi cerita soal pertemuannya dengan gadis bernama Bae Jihyun yang membuat hatinya panas akhir-akhir ini. Keributan terjadi setelah Sunmi menyiram wajah Jihyun dengan segelas iced americano yang disaksikan oleh puluhan pasang mata. Sungguh, Seojin tidak mengerti jalan pikiran adiknya, dasar bocah. Wanita cantik itu kemudian menutup halaman blognya saat ia sudah menyelesaikan postingannya, kemudian beranjak dari kasur, menghampiri Sunmi yang asik menggambar di kursinya. Helaan nafas berat terus terdengar ketika ia melangkah mendekati s
Sunmi memutar-mutar pensil di tangannya, tak fokus sedari tadi karena mengingat kata-katanya sendiri beberapa hari yang lalu. Sebenarnya ia tak berniat untuk membuat Myungsuk marah, tapi karena perkataannya tempo hari, sampai sekarang kekasihnya itu belum juga menghubunginya.Waktu istirahat akan berakhir sebentar lagi, dan Sunmi masih belum beranjak dari kursinya sejak bel berbunyi. Panggilan dari teman sekelasnya tak ia hiraukan, seolah pikirannya hanya mampu fokus pada satu hal.Pada Hyun Myungsuk yang ia rasa mulai menjauh.Gadis itu menghela nafas berkali-kali, lelah sendiri dengan skenario bodoh yang sudah ia buat. Sunmi mengutuk Myungsuk dalam hatinya. Brengsek, apa dia masih butuh aku, batinnya. Persetan kau, ulzzang brengsek.Lama bermonolog sendiri, tiba-tiba ponselnya bergetar. Ia lekas mengambilnya dan melihat sebuah pesan masuk yang dikirimkan oleh seseorang beberapa detik yang lalu.
Hujan turun secara tiba-tiba malam ini. Padahal, sejak tadi sore belum ada tanda-tanda akan turun hujan, awan mendung pun tak terlihat. Keempat orang yang baru keluar dari restoran itu menatap tak percaya pada jalanan basah di depan mereka. Hujannya sangat deras, dan sialnya Seojin masih punya pekerjaan."Aku harus menyerahkan file ke Bos sebelum dia berangkat ke luar kota besok." Wanita cantik itu mengoceh panjang lebar sejak mereka mendengar suara hujan. Wooseok sudah ingin menutup telinganya rapat-rapat jika saja bukan Seojin yang sedang berbicara seperti kereta api.Aku tidak peduli, Noona. Persetan dengan semua file milik Bos mu, telingaku rasanya mau pecah, batin Wooseok. Tapi ia mengurungkan niatnya untuk benar-benar meneriakki Seojin karena ia ingat kalau pekerjaan tetap pujaan hatinya selain food blogger adalah Chef di salah satu hotel bintang lima. Dan demi Tuhan, Wooseok pernah tak sengaja membuka salah satu file milik Seojin. S
Inbox (1)From: Kang WooseokHai, Noona ... apa kabar? Hari ini sudah makan berapa kali? Perlu kutemani ke supermarket, mungkin? Kapan kita bisa bertemu?Inbox (1)From: Kang WooseokSeojin-noona, kau ada di rumah? Aku ingin bertemu :) ayo kita makan siang bersama~Inbox (1)From: Kang WooseokNoona, hari ini luang tidak? Ayo temani aku ke toko sepatu. Oppa di rumah, kan? Aku jemput sekarang, ya ....Inbox: (1)From: Kang WooseokNoona, hangout bersamaku, ya? Aku bosan. Miss u Noona :(****"Bagus, Seojin ... bagus. Ya, ke kiri sedikit."
Myungsuk menyelesaikan tugas kuliahnya tepat pukul sembilan malam ini. Inginnya langsung tidur dan memimpikan anak anjing yang lucu seperti kemarin, tapi sepertinya ia harus mengubur semua keinginannya sekarang, karena lagi-lagi sesuatu bernama deadline terus membuat kedua matanya tetap terjaga semalaman penuh.Ia tidak ingat kapan Jihyun kembali ke rumahnya hari ini. Sejak pagi mood pemuda itu benar-benar buruk. Ia mencoret gambar yang sudah hampir jadi, lalu menggambarnya kembali dengan asal-asalan. Tentu saja hal itu membuat Myungsuk semakin lama mengerjakan gambarnya. Belum lagi jam kuliah yang harus ia kejar. Ini semua benar-benar berat jika dipikir berulang kali, tapi mau bagaimana pun, ia sudah terlanjur mengerjakan semuanya.Pertengkaran dengan Sunmi masih belum selesai. Gadis Busan itu bahkan masih belum menghubunginya sampai sekarang. Tadi pagi Myungsuk menemuinya ke sekolah, bermaksud untuk meminta maaf. Namun sepertinya mood Su
"Dantae-ya, kenapa membeli jajangmyeon di jam segini? Apa kau sangat sibuk akhir-akhir ini?"Dantae kenal baik dengan paman penjual jajangmyeon yang ada di kedai ini. Beliau biasa membuka kedainya dari pukul tujuh malam hingga pukul dua pagi. Biasanya, Dantae makan di sana bersama Wooseok atau Seojin. Tapi sesekali saat Jihyun berkunjung ke Seoul sebelum ia pindah, mereka juga suka kencan di sana, atau membeli jajangmyeon untuk dibawa pulang. Tapi malam ini, tidak ada seorang pun yang bersama Dantae hingga membuat lelaki paruh baya itu bertanya."Ke mana Wooseok dan Seojin?" Ia kembali bertanya sebelum Dantae menjawab.Pria Daegu itu hanya tersenyum sambil mengambil uang kembalian yang diberikan si lelaki paruh baya. Kalau Jihyun tidak sedang merengek seperti tadi, ia pasti akan pergi bersamanya ke kedai ini."Mereka sedang tidak bersamaku. Aku membeli ini untuk kekasihku, dia tiba-tiba ingin makan j
Hokkaido selalu bersalju. Namun, dinginnya gumpalan putih itu tak sedingin perasaan Jihyun sekarang. Ia merasa cemas, sangat cemas hingga tubuhnya nyaris mati rasa. Sudah berjam-jam ia menunggu di koridor rumah sakit. Orang-orang berlalu-lalang untuk mengurus keluarga mereka, atau sekedar menjenguk kerabat yang sangat. Beberapa yang datang menangis karena syok keluarganya menjadi korban kecelakaan, atau yang lebih buruk lagi; mereka menerima informasi bahwa orang yang mereka sayangi telah pergi untuk selama-lamanya."Bagaimana, Jihyun-ah ... apa sudah ada kabar dari dokter?"Jihyun mematai seorang pria berkacamata yang berusia sekitar tiga puluh tahunan di dekatnya. Sosok familiar itu adalah Lee Yunsung, kakak Dantae satu-satunya. Semalam kondisi Dantae sangat drop dan ia dibawa ke rumah sakit. Beruntung, Yunsung tinggal di Jepang dan bisa menemani adiknya di sini."Belum ada, Oppa. Aku sangat cemas, kenapa sampai sekarang
MyunsukHyunTetaplah bersama selamanya. Aku hanya punya kau.#KimMyungsukDisini #AkuBersamaDenganTemanku #IniKembaranku #AkujugamencintaimuJihyunSunmi tersenyum saat melihat notif di ponselnya. Myungsuk mengunggah sebuah foto tautan tangannya bersama seseorang yang ia yakini tangan Jihyun. Oh, melodrama macam apa ini? Bukankah pertemanan mereka hanya berisi komik dan hal-hal konyol lainnya? Sunmi terkekeh melihat itu."Wow, kau bahkan tidak menunjukkan raut marah saat melihat postingan ini." Daehyun menekan-nekan jari telunjuk kirinya di atas layar ponsel Sunmi. Tangan kanannya sudah penuh membawa beberapa kantung makanan."Tidak apa-apa, Daehyun-ah. Sudah kubilang mereka tidak akan macam-macam. Kalau kau mau, kita juga bisa mengunggah foto tangan kita yang sedang bergandengan."Daehyun memutar bola matanya. "Iya, iya. Terserah kau saja Sunmi-ya. Maaf aku tidak tertarik menggenggam t
Dantae berjalan menuju parkiran tempat show di Busan untuk mengambil mobilnya. Artis tidak perlu ragu memarkir di sana. Terlalu ramai di salon membuatnya mau tidak mau mengalah. Ia menyuruh pegawai salon itu memarkirkan mobilnya tak jauh dari sana. Alhasil, karena ketiduran ia harus rela mengirim pesan pada Beomgyu kalau ia akan terlambat.Ia mengecek ponselnya berulang kali, memastikan bahwa Beomgyu tidak menghubunginya. Lantunan musik hiphop memenuhi area jalanan yang padat, namun tak sedikit orang yang memperhatikan layar besar itu. Poster dua rapper ternama terpampang besar di sana. Dantae memakai topi hitamnya, lalu menaikkan tudung mantel dan berjalan sambil tersenyum tipis. Konser awal tahunnya akan segera tiba.Terlalu mengabaikan sekeliling, Dantae terperanjat saat seseorang menabrak bahu kanannya. Ponsel yang dipegang sosok itu jatuh dan spontan Dantae menangkapnya. Ia bernafas lega."Maaf." Suara dingin Dantae t
"Wow, kau benar-benar menungguku di sini." Suara baritone yang sangat dikenalinya berhasil memecah lamunan mengenai kejadian yang ia alami beberapa jam yang lalu. Tentang hubungannya dan Jang Beomgyu yang sudah kandas. Jihyun tidak ingin menyalahkan siapapun lagi untuk semuanya, dia hanya—menyesal karena tidak mendengarkan ucapan Myungsuk waktu itu.Waktu menunjukkan pukul sembilan lebih dua puluh menit saat ia asik tenggelam dalam lamunannya sendiri. Melupakan bahwa kedatangannya di tempat ini bukan untuk melamun, tapi bertemu dengan teman baiknya. Myungsuk melambai dari jarak dua meter dan mulai mengayunkan sepatunya ke arah Jihyun. Kursi Taman yang ia duduki sendiri mulai terasa lebih berat saat Myungsuk ikut duduk di sebelahnya, mematai dari samping."Hitam. Sudah kuduga ini cocok denganmu." Tangan pemuda Daegu itu beralih untuk menyentuh surai temannya yang berubah warna. Merah muda ke hitam. Ini tentu membuat Jihyun harus mengg
Malam hari menyapa, masih dengan cuaca yang membeku. Jihyun duduk sendirian di taman, menunggu Myungsuk menemuinya sebentar lagi. Hampir satu hari ia habiskan untuk pergi ke suatu tempat hari ini setelah mengacaukan semuanya. Walaupun Jihyun bilang ia tidak suka mengacaukannya, sosok bernama Jang Beomgyu itu tetap pergi dengan senyuman dan berkata bahwa semua ini bukanlah salah Jihyun.Namun, tetap saja ia cemas. Sebagai manusia yang berperasaan dan tidak ingin menyakiti orang lain, Jihyun benar-benar merasa sangat bersalah atas apa yang terjadi di antara dirinya dan Kang Beomgyu."Seharusnya, dari awal aku mendengarkan Myungsuk. Harusnya aku tidak boleh memberi harapan pada Kang Beomgyu jika akhirnya aku melakukan itu untuk pelampiasan."Jihyun menunduk di bangku taman dengan perasaan gelisah yang memenuhi relung hatinya.****Beberapa jam sebelumnya.
"Oh, Wooseok?"Dantae membalas sapaan Wooseok lewat telepon pagi ini. Yang lebih muda menanyakan kenapa ia tidak mampir ke studio—walaupun ini tahun baru, dan tidak mengabarinya sejak kabur bersama Seojin semalam."Ah, Hyung. Kau di mana sekarang?" Dantae tahu saat kalimat itu terucap, Wooseok sudah menuduhnya yang tidak-tidak. Seperti; Dantae sedang bersama Seojin, Dantae sedang bermesraan dengan Seojin, Dantae dan Seojin punya hubungan gelap. Dan hal-hal tidak masuk akal lainnya yang berkaitan dengan Seojin."Aku sedang di Busan, mengganti warna rambutku. Kau pasti tahu alasannya. Omong-omong Seojin-noona sudah mengatakan semuanya."Sebuah pertanyaan kembali dilontarkan Wooseok setelah Dantae menyelesaikan kalimatnya."Kapan kau ke Busan? Kau bisa mati kalau berkeliaran siang-siang begini. Dan, a-apa? Seojin-noona cerita padamu tentang sesuatu, Hyung?""Ck, jangan
Jang Beomgyu memasukan ponselnya ke dalam saku mantel saat ia selesai menghubungi Jihyun. Ini pekerjaan penting, jadi harus cepat dilakukan. Walaupun Beomgyu sedikit tidak mengerti kenapa Jihyun mau keluar rumah di cuaca dingin begini, karena sudah terlanjur, dia hanya membiarkannya.Sepatunya menciptakan bunyi saat menapak di lorong. Lantai tiga nomor seratus sepuluh. Beomgyu mencari kamar yang dimaksud Jihyun dengan seksama. Belum sampai langkahnya di depan pintu, suara asing memekik cukup keras dari pintu sebelah."Hyungnim, apa kau mencari Jihyun-ssi?" Beomgyu spontan menoleh pada sosok itu. Anak laki-laki dengan postur tinggi sedang bersandar di depan pintu rumahnya.Pria itu menyunggingkan sebuah senyum manis sebelum menanggapi ucapannya. "Ah, iya. Aku pacarnya Jihyun. Dia menyuruhku masuk duluan dan mengambil kunci di bawah pot bunga."Anak laki-laki tinggi itu bergeming. Matanya membulat di detik b
Jihyun menikmati sekaleng softdrink yang Wooseok berikan. Meneguknya dengan cepat tanpa memedulikan tatap heran yang dihadiahi di rapper padanya. Bunyi klontang nyaring dari kaleng minuman kosong yang dibuang ke sudut tempat sampah menemani larutnya malam tahun baru. Kembang api perlahan-lahan makin menghilang. Redupnya buyar menemani langkah kaki orang-orang yang kembali ke rumah mereka. Di jam segini, adalah hal gila jika kau menyebutnya sedang hangout bersama seseorang. Wooseok lebih suka menganggapnya—kebetulan."Kau putus dengan Dantae-hyung?" Satu kalimat tanya yang meluncur dari Wooseok membuat Jihyun jengah. Decakan terdengar setelah suara baritone itu berhasil menyelesaikan kalimatnya. Jihyun menoleh, mendapati Wooseok tengah menatap tak biasa ke arahnya, ia meremas kuat kaleng di tangannya."Berhenti menatapku seperti itu, Oppa!" Jihyun tidak suka ini. K
"Kau ini kenapa sebenarnya?" Jihyun menatap nyalang pada Dantae. Dahinya berkerut, "bukankah kau sendiri yang bilang agar aku tak mencarimu lagi? Lalu kenapa justru kau yang datang padaku!?"Dantae terkekeh mendengar ucapan mantan kekasihnya. "Haha, kau benar. Memang aneh. Jika seandainya keadaan berbalik. Misalnya kau yang meninggalkanku ... lalu aku yang merasa rindu, setidaknya itu terdengar lucu. Tapi—""Kau yang meninggalkanku, dan kau yang merasa rindu. Itu terlalu menggelikan, Dantae-ssi.""Kau benar.""Sudahlah, jangan pernah membahas ini lagi. Aku akan pulang!""Tunggu, Jihyun—""Lepaskan aku, Dantae-ssi! Kau seharusnya malu melakukan ini pada orang yang sudah kau buang."Dantae terkekeh mendengar ucapan Jihyun. Benar. Dia memang hanya seorang pria brengsek yang dengan mudah membuang Jihyun begitu saja. Tidak tahu terima kasih. Sudah p