Pagi-pagi sekali ponselku berdering dan dengan mengucek mata, aku segera bangkit dan meraihnya dari dalam tas. Malam tadi aku tidur di rumah sakit menjaga Bapak sedangkan Raisa masih di rumah Bi murni, syukurnya Bi murni punya cucu yang umurnya sebaya dengan anakku sehingga Raisa merasa nyaman dan betah di titipkan di sana, peraturan rumah sakit juga melarang membawa balita, membuatku juga mau tak mau menitipkannya.
Kulirik layar ponsel dan nama Bi murni tertera di sana."Ya halo, Bi," sapaku. "Aduh, Nduk ... Bibik harus bagaimana," ucapnya setengah panik."Kenapa, apa terjadi sesuatu pada anak saya?""Anu, nduk, tadi pagi ayahnya datang dan membawa Raisa, Bibik udah coba tahan dengan banyak alasan, ayahnya bersikeras mau membawa, katanya cuma mau Jajan di Alfamart tapi, kok ya, belum kembali juga, Nduk."Deg.Seketika aliran darahku rasanya tersengat dan tiba tiba emosiku mendidih, kuraih kunciMelihat warga yang mencibir bahkan terang-terangan menyoraki mereka Mak Ikbal menyadari bahwa kini situasinya sudah tidak kondusif. Ia menarik Soraya dan meninggalkan tempat itu dan menjauh dariku dan kerumunan warga."Aku bakal jenguk Raisa lagi," Ucapnya sebelum pergi.Aku tak menanggapi dengan kata kata, hanya mendelik saja sambil memeluk putriku."Dan ya, kembalikan dokumen rumah.DegJantungku rasanya ingin meledak mendengarnya, dadaku seketika sesak menahan amarah, namun, kutahan karena tak ingin memperpanjang keributan di depan orang banyak.**Hari ini setelah berganti pakaian dan membersihkan diri, aku membawa Raisa meluncur ke rumah sakit untuk melihat keadaan Bapak lagi."Bunda kok kita gak pulang?" tanya putriku."Kita gak pulang lagi, Ayah sudah istri baru
Aku dan Mas Rafiq terkejut atas sikap anehnya yang sedikit absurd, di datang dan berteriak di kantin yang penuh dengan orang orang yang sedang makan siang, membuat aku dan Dokter Rafiq saling pandang."Mas Ikbal ...." Aku membalas tatapannya yang membeliak padaku."Gini ya, kelakuan kamu, kamu lari dari rumah dan malah duduk di sini dengan pria lain," ucapnya ketus."Hei Mas, Mas gak sadar ya, ini rumah sakit. Kira kira saya mau nongkrong-nongkrong aja di rumah sakit tanpa alasan," jawabku."Apa peduliku tentang kegiatanmu, mungkin saja kamu sengaja mengunjungi pria ... yang entah siapa dia ini," sambil menuding Mas Rafiq dengan bengisnya.Dokter bersahaja itu bangkit dari tempat duduknya dan menghampiri Mas Ikbal dengan langkah santai namun tegas. Ia menatap mas Ikbal tajam dan mereka beradu pandang bagai musuh kebuyutan."Anda yang membuat Mbak Jannah lebam
Setelah seminggu di rawat akhirnya kesehatan Bapak semakin membaik, napasnya sudah tidak sesak dan Bapak sudah bisa bangkit dari tempat tidur, selang-selang terpasang di tubuhnya juga sudah tidak terpasang lagi."Terima kasih Dok, atas bantuan dan perawatannya," kata Ibu pada dokter Rafiq ketika terakhir kali menjumpai Bapak sebelum kami membawanya kembali."Oh ya, Mbak Jannah, kapan Mbak Jannah mulai siap masuk kerja?" tanyanya."Besok, insyallah, Dok.""Baik jika begitu, saya pamit dulu," ucapnya sambil menyalami kedua orang tuaku.*Kubaringkan Bapak perlahan di pembaringan yang menghadap jendela agar Bapak bisa leluasa menatap ke pekarangan rumah untuk menikmati udara dan rindangnya pepohonan dari dalam rumah."Jannah, Nduk, kamu gak kembali ke tempat suamimu, kamu sudah lama lho merawat Bapak," kata Bapak dengan lembut.Ingin kuberitahu beliau yang sebenarnya bahwa rumah tanggaku diterpa prahara d
Kutemui pemilik kost-kostan dan menceritakan maksud kedatanganku untuk mengontrak salah satu kamar yang ia sewakan.Tadinya wanita berkaca mata itu agak heran dan ragu terlebih lagi saat dia melihat putriku, namun ketika kutunjukkan kartu indentitas dan menceritakan sebagian alasan mengapa akhirnya memilih untuk mengontrak saja, akhirnya ia mau memberikan satu kamar kosong untuk kutempati."Silakan Mbak Jannah, maaf masih kosong belum ada apa-apa," katanya sambil membuka pintu kamar.Kuedarkan pandanganku pada kamar berukuran 4 kali 6 meter tersebut. Ada kamar mandi dan dapur mini di dalamnya, lalu sebuah kasur dan bantal di pojok ruangan."Makasih, Bu, besok pagi saya bayar ya, hari ini saya belum mengambil uang," kataku."Iya, gak masalah Mbak Jannah."Kumasukkan koperku dan kuajak putriku untuk beristirahat, setidaknya untuk sementara aku akan berlindung di tempat ini. Kebetulan lokasinya searah rumah sakit d
Bismillah***Sudah dua Minggu aku mulai bekerja di rumah sakit atas rekomendasi Mas Rafiq, pekerjaanku tidak sulit karena sesuai dengan jurusan yang aku pilih di masa SMA.Di dapur rumah sakit aku mulai bekerja dari pukul 7 pagi hingga pukul empat sore. Tugasku adalah menyiapkan makanan para pasien sesuai dengan arahan kepala dapur, jumlah, porsi, dan jenis makanannya menyesuaikan kebutuhan pasien yang tentu saja berbeda-beda."Hai Mbak Jannah," sapa Dokter Rafiq yang kebetulan lewat ketika aku menyiapkan makanan ke dalam rak dorong yang akan diantarkan ke ruang pasien."Hai, Dok." Aku membalasnya."Gimana kerjaannya lancar?""Alhamdulillah, Dok.""Semoga selalu sehat dan bersemangat, ya," katanya."Terima kasih." aku menyungingkan senyum"Oh ya, kamu sore nanti pulang sama siapa?""Bawa mobil, Dok," jawabku."Kalo begitu saya boleh numpang
Mobil itu meluncur dengan cepat menuju arah rumah sakit, aku hanya mempu ternganga melihat cara mas Ikbal mengemudikan mobil, gas ditarik kuat hingga ban mobil berdecit dan debu-debu berterbangan di jalan.Aku yakin ia tidak menemukannya di rumah sakit, namun jika ia menemukan alamat rumah Mas Rafiq aku khawatir ia akan membuat keributan dan saling memukul."Hmm semoga saja tidak," gumamku dalam hati.**Keesokan harinya, seperti biasa setelah salat subuh aku melakukan rutinitas membersihkan kontrakan, memasak nasi dan mencuci pakaian, ketika sedang asyik menjemur di gantungan tiba-tiba klakson berbunyi sangat kencang di depan kost-kostanku..Kulirik mobil dan aku terkejut karena Mas Ikbal sudah di depan kontrakan bahkan ketika matahari belum sepenuhnya menyingsing, apa gerangan. Keinginannya pagi-pagi begini?Kuletakkan pakaian di ember lalu buru-buru menghampirinya sebelum suara klaksonnya membangunkan seluruh kompl
Kaca mobil Mas Rafiq pecah berkeping keping, kuhampiri mereka dengan setengah berlari dan kulihat di dalam mobil sana, Raisa putriku dipeluk mas Rafiq sedang dia menangis tersedu-sedu ketakutan melihat roman muka ayahnya yang bengis dan berbeda dari dulu-dulunya."Masak Ikbal, Kurang ajar sekali kamu, Mas.""Aku akan memberi pelajaran pada orang yang mencoba merayu dan mengambil kesempatan pada istriku," desisnya mendelik."Keluar kamu!" Teriaknya."Mas Ikbal, jangan bikin keributan di jalan," kataku menghalanginya."Minggir kamu!" Bentaknya sambil mendorongku ke samping."Keluar!"Prang!Gubrak!Mas Ikbal memukul kaca dan body mobil seharga 494 juta tersebut. Sedang mas Rafiq berusaha mengeluarkan Raisa dari pintu yang satunya, bergegas kutolong mereka."Ambil Raisa," pinta mas Rafiq.Setelah berhasil menggendong Raisa, Mas Rafiq keluar dari mobilnya, berdi
Gadis itu muncul dari balik pintu, mengenakan kerudung hitam dengan wajah menunduk dan kedua tangan saling bertautan, gaya khas dia, langkah kakinya pelan dan terlihat ragu.Bapak dan Ibu saling berpandangan dalam heran."Silakan duduk, Nduk namamu siapa?" tanya Ibu pada wanita beradu pandang denganku."Makasih Bu," jawabnya sambil mengambil tempat."Mau apa kamu kemari?" tanyaku padanya dengan tatapan tajam."Nduk ...." Bapak menggeleng pelan memberi isyarat agar aku tidak bersikap demikian."Nama saya Soraya, Pak, Bu." Ia mengenalkan dirinya."Iya, terus keperluannya apa, Nduk?" lanjut Ibu."Aku ingin bicara dari hati ke hati dengan Bapak, dan Ibu, serta Mbak Jannah.""Kenapa?""Tentang saya, Mbak Jannah, dan Mas Ikbal.""Oalah, jadi kamu istri barunya I