Aku dan Mas Rafiq terkejut atas sikap anehnya yang sedikit absurd, di datang dan berteriak di kantin yang penuh dengan orang orang yang sedang makan siang, membuat aku dan Dokter Rafiq saling pandang.
"Mas Ikbal ...." Aku membalas tatapannya yang membeliak padaku.
"Gini ya, kelakuan kamu, kamu lari dari rumah dan malah duduk di sini dengan pria lain," ucapnya ketus.
"Hei Mas, Mas gak sadar ya, ini rumah sakit. Kira kira saya mau nongkrong-nongkrong aja di rumah sakit tanpa alasan," jawabku.
"Apa peduliku tentang kegiatanmu, mungkin saja kamu sengaja mengunjungi pria ... yang entah siapa dia ini," sambil menuding Mas Rafiq dengan bengisnya.
Dokter bersahaja itu bangkit dari tempat duduknya dan menghampiri Mas Ikbal dengan langkah santai namun tegas. Ia menatap mas Ikbal tajam dan mereka beradu pandang bagai musuh kebuyutan.
"Anda yang membuat Mbak Jannah lebam
Setelah seminggu di rawat akhirnya kesehatan Bapak semakin membaik, napasnya sudah tidak sesak dan Bapak sudah bisa bangkit dari tempat tidur, selang-selang terpasang di tubuhnya juga sudah tidak terpasang lagi."Terima kasih Dok, atas bantuan dan perawatannya," kata Ibu pada dokter Rafiq ketika terakhir kali menjumpai Bapak sebelum kami membawanya kembali."Oh ya, Mbak Jannah, kapan Mbak Jannah mulai siap masuk kerja?" tanyanya."Besok, insyallah, Dok.""Baik jika begitu, saya pamit dulu," ucapnya sambil menyalami kedua orang tuaku.*Kubaringkan Bapak perlahan di pembaringan yang menghadap jendela agar Bapak bisa leluasa menatap ke pekarangan rumah untuk menikmati udara dan rindangnya pepohonan dari dalam rumah."Jannah, Nduk, kamu gak kembali ke tempat suamimu, kamu sudah lama lho merawat Bapak," kata Bapak dengan lembut.Ingin kuberitahu beliau yang sebenarnya bahwa rumah tanggaku diterpa prahara d
Kutemui pemilik kost-kostan dan menceritakan maksud kedatanganku untuk mengontrak salah satu kamar yang ia sewakan.Tadinya wanita berkaca mata itu agak heran dan ragu terlebih lagi saat dia melihat putriku, namun ketika kutunjukkan kartu indentitas dan menceritakan sebagian alasan mengapa akhirnya memilih untuk mengontrak saja, akhirnya ia mau memberikan satu kamar kosong untuk kutempati."Silakan Mbak Jannah, maaf masih kosong belum ada apa-apa," katanya sambil membuka pintu kamar.Kuedarkan pandanganku pada kamar berukuran 4 kali 6 meter tersebut. Ada kamar mandi dan dapur mini di dalamnya, lalu sebuah kasur dan bantal di pojok ruangan."Makasih, Bu, besok pagi saya bayar ya, hari ini saya belum mengambil uang," kataku."Iya, gak masalah Mbak Jannah."Kumasukkan koperku dan kuajak putriku untuk beristirahat, setidaknya untuk sementara aku akan berlindung di tempat ini. Kebetulan lokasinya searah rumah sakit d
Bismillah***Sudah dua Minggu aku mulai bekerja di rumah sakit atas rekomendasi Mas Rafiq, pekerjaanku tidak sulit karena sesuai dengan jurusan yang aku pilih di masa SMA.Di dapur rumah sakit aku mulai bekerja dari pukul 7 pagi hingga pukul empat sore. Tugasku adalah menyiapkan makanan para pasien sesuai dengan arahan kepala dapur, jumlah, porsi, dan jenis makanannya menyesuaikan kebutuhan pasien yang tentu saja berbeda-beda."Hai Mbak Jannah," sapa Dokter Rafiq yang kebetulan lewat ketika aku menyiapkan makanan ke dalam rak dorong yang akan diantarkan ke ruang pasien."Hai, Dok." Aku membalasnya."Gimana kerjaannya lancar?""Alhamdulillah, Dok.""Semoga selalu sehat dan bersemangat, ya," katanya."Terima kasih." aku menyungingkan senyum"Oh ya, kamu sore nanti pulang sama siapa?""Bawa mobil, Dok," jawabku."Kalo begitu saya boleh numpang
Mobil itu meluncur dengan cepat menuju arah rumah sakit, aku hanya mempu ternganga melihat cara mas Ikbal mengemudikan mobil, gas ditarik kuat hingga ban mobil berdecit dan debu-debu berterbangan di jalan.Aku yakin ia tidak menemukannya di rumah sakit, namun jika ia menemukan alamat rumah Mas Rafiq aku khawatir ia akan membuat keributan dan saling memukul."Hmm semoga saja tidak," gumamku dalam hati.**Keesokan harinya, seperti biasa setelah salat subuh aku melakukan rutinitas membersihkan kontrakan, memasak nasi dan mencuci pakaian, ketika sedang asyik menjemur di gantungan tiba-tiba klakson berbunyi sangat kencang di depan kost-kostanku..Kulirik mobil dan aku terkejut karena Mas Ikbal sudah di depan kontrakan bahkan ketika matahari belum sepenuhnya menyingsing, apa gerangan. Keinginannya pagi-pagi begini?Kuletakkan pakaian di ember lalu buru-buru menghampirinya sebelum suara klaksonnya membangunkan seluruh kompl
Kaca mobil Mas Rafiq pecah berkeping keping, kuhampiri mereka dengan setengah berlari dan kulihat di dalam mobil sana, Raisa putriku dipeluk mas Rafiq sedang dia menangis tersedu-sedu ketakutan melihat roman muka ayahnya yang bengis dan berbeda dari dulu-dulunya."Masak Ikbal, Kurang ajar sekali kamu, Mas.""Aku akan memberi pelajaran pada orang yang mencoba merayu dan mengambil kesempatan pada istriku," desisnya mendelik."Keluar kamu!" Teriaknya."Mas Ikbal, jangan bikin keributan di jalan," kataku menghalanginya."Minggir kamu!" Bentaknya sambil mendorongku ke samping."Keluar!"Prang!Gubrak!Mas Ikbal memukul kaca dan body mobil seharga 494 juta tersebut. Sedang mas Rafiq berusaha mengeluarkan Raisa dari pintu yang satunya, bergegas kutolong mereka."Ambil Raisa," pinta mas Rafiq.Setelah berhasil menggendong Raisa, Mas Rafiq keluar dari mobilnya, berdi
Gadis itu muncul dari balik pintu, mengenakan kerudung hitam dengan wajah menunduk dan kedua tangan saling bertautan, gaya khas dia, langkah kakinya pelan dan terlihat ragu.Bapak dan Ibu saling berpandangan dalam heran."Silakan duduk, Nduk namamu siapa?" tanya Ibu pada wanita beradu pandang denganku."Makasih Bu," jawabnya sambil mengambil tempat."Mau apa kamu kemari?" tanyaku padanya dengan tatapan tajam."Nduk ...." Bapak menggeleng pelan memberi isyarat agar aku tidak bersikap demikian."Nama saya Soraya, Pak, Bu." Ia mengenalkan dirinya."Iya, terus keperluannya apa, Nduk?" lanjut Ibu."Aku ingin bicara dari hati ke hati dengan Bapak, dan Ibu, serta Mbak Jannah.""Kenapa?""Tentang saya, Mbak Jannah, dan Mas Ikbal.""Oalah, jadi kamu istri barunya I
Bias-bias mentari masih menyisakan rona keemasan yang menembus kaca mobil dan menimpa wajahku ketika kususuri jalanan kota menuju kantor polisi di mana mas Ikbal ditahan.Sebenarnya agak ragu kutemui namun mempertimbangkan kata-kata Bapak dan karena dia adalah ayah dari anakku, maka meski aku berkemudi dengan setengah hati aku terpaksa turun tangan untuk membereskan masalahnya.Sesampainya di sana, kulihat suamiku sedang duduk di kursi tunggu ia terlihat agak baik dengan senyum terkembang di bibir saat berbincang dengan salah satu anggota polisi di depannya, agak aneh aku melihatnya di sana, karena biasanya orang yang ditahan seharusnya berada dalam sel khusus.Kudorong pintu kaca dan memasuki lobi kantor, melihatku masuk Mas Ikbal langsung berdiri dan menyonsongku ke pintu."Jannah, istriku ...." Ia merangkul ku sesaat lalu melepasnya."Bu Jannah, ya. Ini Bu, suami
Bias mentari yang menembus celah dedaunan mejatuhkan cahaya tepat di atas hijabku, sebagian sinarnya menyilaukan mata dan membuatku tersadar dari lamunan. Aku yang sedari tadi terpaku di parkiran tersentak sendiri.Sejak pulang bekerja, aku hanya menerawang memikirkan apa yang akan kulakukan, setengah bimbang memutuskan untuk mengakhiri saja rumah tangga penuh prahara ini aku lebih sering menghabiskan waktu untuk merenung sendiri.Benarkah jalan ini bukan jalan yang salah? Apakah semua orang bisa bahagia jika kami berpisah, bagaimana dengan Raisa nanti, apakah dia tidak akan terguncang menyadari kenyataan bahwa orang tuanya tidak akan serumah lagi?Kumasukkan kunci mobil dan mulai menyalakan mesinnya, meluncur menuju rumah Bapak di mana aku telah memutuskan untuk kembali dan menetap bersama mereka.Tiba tiba pikiranku menuju ke rumahku yang dulu, sehingga tanpa aba-aba seketika saja kuputar kemudi be
"Kabar buruk apa?"tanyaku heran."Aku sudah berusaha untuk mengalihkan pikiran dan semua kerinduanku tapi tetap saja, perasaan bersalah dan rasa ingin memperbaiki keadaan timbul di dalam hatiku," ucapnya sambil memandang mataku dengan penuh makna."Aku tak paham ....""Aku masih berharap kita bersama lagi. Demi anak anak, demi aku, demi harapan yang pernah kita bangun.""apa kau lupa tentang perlakuanmu dan apa saja yang sudah terjadi dalam hidup kita masing masing.""Ya, aku bersalah menikahi angel secara diam diam, aku mengulangi kesalahan suamimu yang fatal. tapi ...""Sudah, jangan dilanjutkan," cegahku. "aku tak mau mengenang apapun tentang masa lalu.""Aku hampir kehilangan dirimu dan semangat hidupku saat kau bersama dengan wira. Tapi, setelah bertemu dengannya dan mengetahui hal sebenarnya harapanku tumbuh kembali. Aku harap kita bisa ....""apa?""rujuk lagi," jawabnya sambil menatap mataku."Jadi itu kabar buruknya?""ya, bahwa aku sulit move on dan hidup tanpamu. Maukah
"Sebaiknya segera tentukan pilihanmu Nak, Ibu juga tidak ingin kamu terus-menerus sendiri seperti itu, karena penilaian orang lain tentang status janda sangat merugikan posisimu," ujar Ibu ketika aku menelponnya."Iya Bu, aku tahu tapi aku belum menentukan pilihanku, aku belum siap untuk naik ke jenjang berikutnya.""Ada dua pria yang begitu tulus dan menyayangimu, Nduk, kamu tinggal memilihnya," ujar Ibu."Bagaimanapun itu adalah pilihan yang sulit, Bu," gumamku pelan."Raisa menyukai salah satu dari pria itu?" tanya Ibu lagi."Raisa ingin aku kembali kepada Mas Raffiq.""Bagaimana dengan perasaanmu sendiri?""Entahlah... masih bingung," jawab ku sambil menghela nafas pelan."Lalu apa yang terjadi tentang Soraya?""Dia masih ditahan di rumahnya, Bu, polisi belum memiliki cukup bukti untuk bisa menjebloskan dia ke penjaara.""Jelas-jelas dia yang menyerang wira dengan air keras," ujar Ibu sedikit ingin marah."Tapi keluarga dan pengacaranya memiliki pengaruh besar, Bu. Mereka mati-m
"Jangan dipikirkan apa yang dikatakan Mama dia memang seperti itu," bisik Wira kepadaku ketika Mamanya ke kamar mandi."Aku tak mempermasalahkannya," jawabku pelan sambil menyuapinya."Mbak ... aku berterimakasih atas semua perhatianmu, tapi sebaiknya Mbak tidak usah menjengukku lagi." Aku mencoba menelisik maksud dari ucapannya, mengapa dia harus mengatakan hal semacam itu."Apa yang kau katakan, aku tidak mengerti," ujarku."Aku sudah ikhlas melepaskan Mbak Jannah dengan Mas Rafiq." Sorot matanya yang sendu membuatku terenyuh."Jangan melantur seperti ini sebaiknya kamu istirahat saja." Aku membenahi selimut yang menutupi tubuhnya."Aku sungguh-sungguh, Mbak. Aku sadar bahwa cinta tidak bisa dipaksakan. Aku tahu, meski kita berteman tidak serta merta membuat hal itu menjadi cinta untukmu aku menyadari semua itu dan aku menyesali sikap bodohku untuk memaksakan dirimu menikahiku, Mbak," ujarnya sambil tersenyum getir."Tidak masalah aku memahami perasaanmu, aku bisa memaklumi sem
Sejujurnya aku lelah dengan semua ini, dengan takdir berliku liku yang mewarnai hidupku. Andai bisa, aku ingin lari dan mengamankan diri ini dari dunia yang begitu kejam.Baru saja aku dan kedua anakku mengecap ketenangan, dan menikmati hidup kami, kini ujian menghantam silih berganti, membuatku sangat ingin menyerah dari semua ini, andai aku bisa, sejenak lepas dari semua kesulitan yang membelit ini. Sungguh, aku letih.Masih segar dalam ingatan, bagaimana ketika Wira merintih di ranjangnya, sementara keluarganya terus mendesakku agar mau menerima lamaran bankir kaya itu, tiba-tiba Mas Rafiq datang dan berteriak dengan tatapan melotot penuh amarah bahwa dia menolak semua cara mereka menekanku untuk menikahi anggota keluarga mereka."Apakah musibah ini akan kalian gunakan untuk menekan Jannah?""Hei, apa maksudmu! Anakku terluka gara-gara dia, tidak tahu apa yang akan terjadi kepada putraku kedepannya, apakah dia masih seperti semula atau malah cacat," ujar Jeng Zahrina sambil terdu
Aku kembali ke rumah dengan tubuh dan pikiran yang sudah lelah kubuka pintu utama lalu menuju kursi tamu meletakkan tasku lalu membaringkan diri dengan lunglai di sana.Pikiranku melayang pada rentetan kejadian yang begitu mengejutkan hari ini, setelah didesak untuk "mau menerima" mengambil hati Wira, akhirnya Jeng Zahrina mau tenang dan menguatkan hatinya untuk tidak menangis lagi.Besok mereka akan melakukan operasi untuk memperbaiki kulit punggung dan wajah Wira yang rusak akibat siraman air keras. Ah, kembali pikiranku melayang kepada mantan maduku itu, entah di mana dia berada dan apa yang sedang dia lakukan, kemungkinan saat ini dia sedang bersembunyi di suatu tempat atau mungkin juga duduk santai di rumah orang tuanya.Tring ... Ponsel berbunyi.Kuraih benda itu dengan setengah lesu lalu membaca nama siapa yang sedang menelpon, dan ternyata itu adalah Rina."Halo Rin ada kabar terbaru?""Laporan sudah kami selesaikan, besok polisi akan menuju tempat kejadian untuk mengamankan
Sesegera mungkin aku meluncur membawa wira ke rumah sakit bersama kedua asistenku, tak lupa aku hubungi nomor Mama Wira yang memang sudah tersimpan di ponselku karena dia adalah pelanggan tetap toko kami."Halo assalamualaikum Jeng Zahrina," sapaku."Waalaikumsalam ada apa kamu menelpon saya," tanya Nyonya Zahrina dengan nada sedikit tidak suka."Maaf karena aku harus memberitahukan hal penting, tapi mohon tenangkan diri Jeng ya," ujarku."Katakan saja apa yang sedang terjadi?""Tadinya Wira datang ke tokoku dan duduk sebentar lalu pergi, namun tak lama kemudian Soraya datang dan berniat menyiramkan air keras kepadaku, namun tanpa diduga-duga Wira datang lagi dan terkena siraman air keras," tuturku hati-hati."Apa?!""Iya, saat ini aku dalam perjalanan membawanya ke rumah sakit.""Kalo terjadi apa-apa dengan anak saya kamu harus bertanggung jawab." Ucapan Mama Wira membuat pikiranku kacau."Kemana kamu akan membawa anakku!" pekiknya lagi."Ke Rumah Sakit Budi Kusuma Jeng," jawabku.
*Pemuda itu, datang lagi ke toko sore menjelang aku menutup gerai pakaian dan barang milikku itu.Ia melangkah santai lalu menarik kursi yang ada di depan meja kerja dan mendudukkan dirinya sambil tersenyum."Mbak Jannah, belum mau pulang?" tanyanya."Belum, masih sibuk," jawabku."Uhm, aku akan menunggu,", jawabnya."Kau sadar apa yang kau lakukan sekarang?"tanyaku dengan tatapan tajam. "Aku sudah cukup memberimu ruang, Wira.""Apa maksudnya Mbak, Mbak terlihat marah," ucapnya pelan."Aku sudah cukup baik kepadamu dengan tidak bersikap kasar dan frontal, aku harap kau mengerti kalau aku tidak nyaman dengan semua sikap ini.""Aku tidak tahu cara terbaik untuk bisa merebut hatimu Mbak," jawabnya pelan."Kamu tidak perlu bersusah payah karena aku belum membuka hati untuk siapapun Wira," ucapku dengan tetap menatap lekat padanya."Aku tahu kalau tidak denganku, Mbak Jannah pasti akan kembali lagi dengan dokter Rafiq, iya kan?" cecarnya sok tahu.Aku hanya tertawa getir mendengar ucapan
Ting tong ...Pagi pagi bel rumah sudah berdenting dan entah siapa berkunjung di pagi buta seperti ini. Sesaat aku sempat bertanya-tanya sekaligus kesal, denting yang terus menerus mengganggu telingaku."Siapa di luar?" tanyaku."Aku," jawab suara yang familiar kudengar itu."Kamu ngapain pagi-pagi gini, bahkan embun pun belum kering di pucuk daun," ujarku."Biarkan embun, yang penting aku menatapmu di awal hari sudah cukup membuatku seolah memiliki semua kebahagiaan.""Hentikan gombalan recehmu!" teriakku di pengeras suara yang tersambung ke gerbang."Jangan marah pagi-pagi aku datang ke sini membawa sesuatu untuk Raisa dan Rayan,". ujarnya santai."Tidak usah bawakan apapun anak-anakku baik-baik saja," jawabku ketus."Tapi Raisa menyukaiku kok. Buktinya ia senang menerima sepaket boneka LoL yang aku belikan," lanjutnya sambil tertawa kecil, " Raisa Sapa Bunda," suruhnya."Bunda ...." Tiba tiba suara anakku timbul dari depan gerbang sana."Raisa kamu ngapaian di gerbang pagi-pagi, k
"Ini makanan banyak banget siapa yang beli makanan sebanyak ini?""itu dari pemuda tampan yang pagi-pagi sudah datang ke sini dan membawa semobil makanan," jawab asistenku Rina."Apa? Siapa?""Teman Mbak, yang berondong itu lho," jawab Rina setengah berbisik."Ya ampun," desahku."Kenapa Mbak, kan bagus mbak dapat banyak perhatian," jawabnya sambil berkedip aneh."Ish ...mendapat perhatian dari orang yang kita suka itu bagus, tapi kalo gak suka, bikin ilfil kan?""Emangnya mbak sekarang lagi ilfil?" timpal Rudi supirku."Iya, karena aku gak mau didekati pria itu." Aku menghempas diri di sofa sambil melempar pandangan ke tumpukan kotak makanan di meja tamu.Kuhela napas berkali-kali untuk melegakan dadaku, namun kedua pegawaiku itu masih heran dengan sikapku itu. Mereka seperti menunggu adegan berikutnya."Apa lagi? Kenapa pada berdiri?""Makanan sebanyak itu Mbak Jannah bisa habiskan?""Siapa bilang aku akan memakannya?" jawabku sewot."Kasihan yang beli, Mbak," jawab Rina memelas."