Kutemui pemilik kost-kostan dan menceritakan maksud kedatanganku untuk mengontrak salah satu kamar yang ia sewakan.
Tadinya wanita berkaca mata itu agak heran dan ragu terlebih lagi saat dia melihat putriku, namun ketika kutunjukkan kartu indentitas dan menceritakan sebagian alasan mengapa akhirnya memilih untuk mengontrak saja, akhirnya ia mau memberikan satu kamar kosong untuk kutempati."Silakan Mbak Jannah, maaf masih kosong belum ada apa-apa," katanya sambil membuka pintu kamar.Kuedarkan pandanganku pada kamar berukuran 4 kali 6 meter tersebut. Ada kamar mandi dan dapur mini di dalamnya, lalu sebuah kasur dan bantal di pojok ruangan."Makasih, Bu, besok pagi saya bayar ya, hari ini saya belum mengambil uang," kataku."Iya, gak masalah Mbak Jannah."Kumasukkan koperku dan kuajak putriku untuk beristirahat, setidaknya untuk sementara aku akan berlindung di tempat ini. Kebetulan lokasinya searah rumah sakit dBismillah***Sudah dua Minggu aku mulai bekerja di rumah sakit atas rekomendasi Mas Rafiq, pekerjaanku tidak sulit karena sesuai dengan jurusan yang aku pilih di masa SMA.Di dapur rumah sakit aku mulai bekerja dari pukul 7 pagi hingga pukul empat sore. Tugasku adalah menyiapkan makanan para pasien sesuai dengan arahan kepala dapur, jumlah, porsi, dan jenis makanannya menyesuaikan kebutuhan pasien yang tentu saja berbeda-beda."Hai Mbak Jannah," sapa Dokter Rafiq yang kebetulan lewat ketika aku menyiapkan makanan ke dalam rak dorong yang akan diantarkan ke ruang pasien."Hai, Dok." Aku membalasnya."Gimana kerjaannya lancar?""Alhamdulillah, Dok.""Semoga selalu sehat dan bersemangat, ya," katanya."Terima kasih." aku menyungingkan senyum"Oh ya, kamu sore nanti pulang sama siapa?""Bawa mobil, Dok," jawabku."Kalo begitu saya boleh numpang
Mobil itu meluncur dengan cepat menuju arah rumah sakit, aku hanya mempu ternganga melihat cara mas Ikbal mengemudikan mobil, gas ditarik kuat hingga ban mobil berdecit dan debu-debu berterbangan di jalan.Aku yakin ia tidak menemukannya di rumah sakit, namun jika ia menemukan alamat rumah Mas Rafiq aku khawatir ia akan membuat keributan dan saling memukul."Hmm semoga saja tidak," gumamku dalam hati.**Keesokan harinya, seperti biasa setelah salat subuh aku melakukan rutinitas membersihkan kontrakan, memasak nasi dan mencuci pakaian, ketika sedang asyik menjemur di gantungan tiba-tiba klakson berbunyi sangat kencang di depan kost-kostanku..Kulirik mobil dan aku terkejut karena Mas Ikbal sudah di depan kontrakan bahkan ketika matahari belum sepenuhnya menyingsing, apa gerangan. Keinginannya pagi-pagi begini?Kuletakkan pakaian di ember lalu buru-buru menghampirinya sebelum suara klaksonnya membangunkan seluruh kompl
Kaca mobil Mas Rafiq pecah berkeping keping, kuhampiri mereka dengan setengah berlari dan kulihat di dalam mobil sana, Raisa putriku dipeluk mas Rafiq sedang dia menangis tersedu-sedu ketakutan melihat roman muka ayahnya yang bengis dan berbeda dari dulu-dulunya."Masak Ikbal, Kurang ajar sekali kamu, Mas.""Aku akan memberi pelajaran pada orang yang mencoba merayu dan mengambil kesempatan pada istriku," desisnya mendelik."Keluar kamu!" Teriaknya."Mas Ikbal, jangan bikin keributan di jalan," kataku menghalanginya."Minggir kamu!" Bentaknya sambil mendorongku ke samping."Keluar!"Prang!Gubrak!Mas Ikbal memukul kaca dan body mobil seharga 494 juta tersebut. Sedang mas Rafiq berusaha mengeluarkan Raisa dari pintu yang satunya, bergegas kutolong mereka."Ambil Raisa," pinta mas Rafiq.Setelah berhasil menggendong Raisa, Mas Rafiq keluar dari mobilnya, berdi
Gadis itu muncul dari balik pintu, mengenakan kerudung hitam dengan wajah menunduk dan kedua tangan saling bertautan, gaya khas dia, langkah kakinya pelan dan terlihat ragu.Bapak dan Ibu saling berpandangan dalam heran."Silakan duduk, Nduk namamu siapa?" tanya Ibu pada wanita beradu pandang denganku."Makasih Bu," jawabnya sambil mengambil tempat."Mau apa kamu kemari?" tanyaku padanya dengan tatapan tajam."Nduk ...." Bapak menggeleng pelan memberi isyarat agar aku tidak bersikap demikian."Nama saya Soraya, Pak, Bu." Ia mengenalkan dirinya."Iya, terus keperluannya apa, Nduk?" lanjut Ibu."Aku ingin bicara dari hati ke hati dengan Bapak, dan Ibu, serta Mbak Jannah.""Kenapa?""Tentang saya, Mbak Jannah, dan Mas Ikbal.""Oalah, jadi kamu istri barunya I
Bias-bias mentari masih menyisakan rona keemasan yang menembus kaca mobil dan menimpa wajahku ketika kususuri jalanan kota menuju kantor polisi di mana mas Ikbal ditahan.Sebenarnya agak ragu kutemui namun mempertimbangkan kata-kata Bapak dan karena dia adalah ayah dari anakku, maka meski aku berkemudi dengan setengah hati aku terpaksa turun tangan untuk membereskan masalahnya.Sesampainya di sana, kulihat suamiku sedang duduk di kursi tunggu ia terlihat agak baik dengan senyum terkembang di bibir saat berbincang dengan salah satu anggota polisi di depannya, agak aneh aku melihatnya di sana, karena biasanya orang yang ditahan seharusnya berada dalam sel khusus.Kudorong pintu kaca dan memasuki lobi kantor, melihatku masuk Mas Ikbal langsung berdiri dan menyonsongku ke pintu."Jannah, istriku ...." Ia merangkul ku sesaat lalu melepasnya."Bu Jannah, ya. Ini Bu, suami
Bias mentari yang menembus celah dedaunan mejatuhkan cahaya tepat di atas hijabku, sebagian sinarnya menyilaukan mata dan membuatku tersadar dari lamunan. Aku yang sedari tadi terpaku di parkiran tersentak sendiri.Sejak pulang bekerja, aku hanya menerawang memikirkan apa yang akan kulakukan, setengah bimbang memutuskan untuk mengakhiri saja rumah tangga penuh prahara ini aku lebih sering menghabiskan waktu untuk merenung sendiri.Benarkah jalan ini bukan jalan yang salah? Apakah semua orang bisa bahagia jika kami berpisah, bagaimana dengan Raisa nanti, apakah dia tidak akan terguncang menyadari kenyataan bahwa orang tuanya tidak akan serumah lagi?Kumasukkan kunci mobil dan mulai menyalakan mesinnya, meluncur menuju rumah Bapak di mana aku telah memutuskan untuk kembali dan menetap bersama mereka.Tiba tiba pikiranku menuju ke rumahku yang dulu, sehingga tanpa aba-aba seketika saja kuputar kemudi be
"Bunda kapan kita tidur bareng ayah lagi,' tanya raisa ketika aku menidurkannya di peraduan, 'Kok kita tidurnya di rumah kakek terus,kapan kita pulang ke rumah kita sendiri, Bun?"Aku agak sedih mendengar pertanyaanya, namun kupeluk dia sambil kuusap rambutnya perlahan, "Mungkin mulai sekarang Bunda sama Raisa aja yang tinggal bersama."Ia menatap wajahku wajahku lekat, "Emangnya ayah kemana Bun?""Ayah dan bunda tidak akan bersama lagi, Nak.""Kenapa?" Raut wajahnya mulai meredup."Karena ayah dan bunda, kita ...."Aku menahan napas untuk memilih kata kata yang tepat untuk memberitahu putriku bahwa aku ayahnya tidak akan bersama lagi."Bunda dan ayah kenapa?" Desaknya."Bunda dan ayah akan berpisah."Mimik wajah anakku seketika berubah sedih dan bola matanya mengembun."Kenapa ayah sama Bu
Putriku terus merengek untuk meminta bertemu dengan ayahnya, ia tak mau makan atau minum sedikit pun sehingga aku resah memikirkan hal ini, Raisa terlihat semakin lemah terkulai di pembaringan."Raisa, kamu minum obat dulu, Nak. Kalo udah agak mendingan kita pergi jenguk ayah, ya," bujukku sambil menyodorkan sendok sirup."Gak mau, Bunda, Raisa mau ayah, pokoknya mau ayah," rengeknya lalu tersedu-sedu membenamkan wajahnya di bantal."Yo wes, bawa aja Nduk, kasihan anakmu," ucap Ibu."Tapi Bu, aku ....""Tahan dulu, ego dan sakit hatimu, anakmu membutuhkan ayahnya, dia harus sembuh dulu, baru kamu memikirkan dendam dan sakit hati," suruh Ibu."Iya, baiklah." Aku mengalah pada keinginan Ibu.**Kususuri koridor rumah sakit tempat Mas Ikbal di rawat dengan hati bimbang, kuseret langkah sambil kulirik tiap ruangan meminda