Sejujurnya aku lelah dengan semua ini, dengan takdir berliku liku yang mewarnai hidupku. Andai bisa, aku ingin lari dan mengamankan diri ini dari dunia yang begitu kejam.Baru saja aku dan kedua anakku mengecap ketenangan, dan menikmati hidup kami, kini ujian menghantam silih berganti, membuatku sangat ingin menyerah dari semua ini, andai aku bisa, sejenak lepas dari semua kesulitan yang membelit ini. Sungguh, aku letih.Masih segar dalam ingatan, bagaimana ketika Wira merintih di ranjangnya, sementara keluarganya terus mendesakku agar mau menerima lamaran bankir kaya itu, tiba-tiba Mas Rafiq datang dan berteriak dengan tatapan melotot penuh amarah bahwa dia menolak semua cara mereka menekanku untuk menikahi anggota keluarga mereka."Apakah musibah ini akan kalian gunakan untuk menekan Jannah?""Hei, apa maksudmu! Anakku terluka gara-gara dia, tidak tahu apa yang akan terjadi kepada putraku kedepannya, apakah dia masih seperti semula atau malah cacat," ujar Jeng Zahrina sambil terdu
"Jangan dipikirkan apa yang dikatakan Mama dia memang seperti itu," bisik Wira kepadaku ketika Mamanya ke kamar mandi."Aku tak mempermasalahkannya," jawabku pelan sambil menyuapinya."Mbak ... aku berterimakasih atas semua perhatianmu, tapi sebaiknya Mbak tidak usah menjengukku lagi." Aku mencoba menelisik maksud dari ucapannya, mengapa dia harus mengatakan hal semacam itu."Apa yang kau katakan, aku tidak mengerti," ujarku."Aku sudah ikhlas melepaskan Mbak Jannah dengan Mas Rafiq." Sorot matanya yang sendu membuatku terenyuh."Jangan melantur seperti ini sebaiknya kamu istirahat saja." Aku membenahi selimut yang menutupi tubuhnya."Aku sungguh-sungguh, Mbak. Aku sadar bahwa cinta tidak bisa dipaksakan. Aku tahu, meski kita berteman tidak serta merta membuat hal itu menjadi cinta untukmu aku menyadari semua itu dan aku menyesali sikap bodohku untuk memaksakan dirimu menikahiku, Mbak," ujarnya sambil tersenyum getir."Tidak masalah aku memahami perasaanmu, aku bisa memaklumi sem
"Sebaiknya segera tentukan pilihanmu Nak, Ibu juga tidak ingin kamu terus-menerus sendiri seperti itu, karena penilaian orang lain tentang status janda sangat merugikan posisimu," ujar Ibu ketika aku menelponnya."Iya Bu, aku tahu tapi aku belum menentukan pilihanku, aku belum siap untuk naik ke jenjang berikutnya.""Ada dua pria yang begitu tulus dan menyayangimu, Nduk, kamu tinggal memilihnya," ujar Ibu."Bagaimanapun itu adalah pilihan yang sulit, Bu," gumamku pelan."Raisa menyukai salah satu dari pria itu?" tanya Ibu lagi."Raisa ingin aku kembali kepada Mas Raffiq.""Bagaimana dengan perasaanmu sendiri?""Entahlah... masih bingung," jawab ku sambil menghela nafas pelan."Lalu apa yang terjadi tentang Soraya?""Dia masih ditahan di rumahnya, Bu, polisi belum memiliki cukup bukti untuk bisa menjebloskan dia ke penjaara.""Jelas-jelas dia yang menyerang wira dengan air keras," ujar Ibu sedikit ingin marah."Tapi keluarga dan pengacaranya memiliki pengaruh besar, Bu. Mereka mati-m
"Kabar buruk apa?"tanyaku heran."Aku sudah berusaha untuk mengalihkan pikiran dan semua kerinduanku tapi tetap saja, perasaan bersalah dan rasa ingin memperbaiki keadaan timbul di dalam hatiku," ucapnya sambil memandang mataku dengan penuh makna."Aku tak paham ....""Aku masih berharap kita bersama lagi. Demi anak anak, demi aku, demi harapan yang pernah kita bangun.""apa kau lupa tentang perlakuanmu dan apa saja yang sudah terjadi dalam hidup kita masing masing.""Ya, aku bersalah menikahi angel secara diam diam, aku mengulangi kesalahan suamimu yang fatal. tapi ...""Sudah, jangan dilanjutkan," cegahku. "aku tak mau mengenang apapun tentang masa lalu.""Aku hampir kehilangan dirimu dan semangat hidupku saat kau bersama dengan wira. Tapi, setelah bertemu dengannya dan mengetahui hal sebenarnya harapanku tumbuh kembali. Aku harap kita bisa ....""apa?""rujuk lagi," jawabnya sambil menatap mataku."Jadi itu kabar buruknya?""ya, bahwa aku sulit move on dan hidup tanpamu. Maukah
***Siapa itu ....Wanita cantik berkerudung satin dengan aksen manik-manik keemasan, lukisan henna menghiasi tangan, cincin berlian melingkar di jari manisnya. Ia berdiri di teras rumah dengan wajah menunduk dan gugup sambil meremas jemarinya tak berani mengangkat wajah untuk menatap bola mataku bahkan sepatah kata pun tak terdengar dari bibirnya, namun, aku bisa memastikan bahwa ia adalah pengantin baru.**Sudah dua hari sejak kepergian suamiku yang izin untuk melaksanakan tugasnya di luar kota, Mak Ikbal, suami yang begitu kucintai sepenuh hati dan telah memberiku seorang putri cantik, ia adalah imam yang hampir tanpa cela dalam keluarga kecilku.Perawakannya yag tinggi, wajah berseri dengan iris mata kecoklatan, hidung mancung serta rahang yang ditumbuhi bulu-bulu halus membuat aura ketampana
Lamat-lamat kudengar putriku Raisa memanggil sambil menepuk kecil pipiku.Aku menyadari bahwa diri ini sekarang terbaring lemah di pembaringan. Ketika akan berusaha bangkit kepalaku berdenyut semakin kuat.Kucoba mengingat peristiwa yang tadi terjadi hingga aku bisa terbaring di tempat ini. Ah, iya, suamiku membawa pengantinnya ke rumah kami. Kenyataan itu, membuat segenap tubuhku seolah nyaris tak bertulang, air mataku menetes lagi, aku kecewa, perasaan terluka dan rasa cintaku terkoyakkan.Bagaimana ia bisa melakukan ini padaku? Apa dosaku? Aku yang selalu menjaga diri, anak, dan kehormatannya, setia menunggu di rumah, patuh pada perintah dan larangannya, apa balasannya untukku.Entah apa hutang budi pada Ustadznya, hingga suamiku mau tak mau harus menikahi anak gadis Sang Guru? Apakah begitu besar nilai sebuah janji. Ah benar, janji itu adalah hutang dan suamiku mungkin merasa malu untuk ingkar, h
Waktu telah menunjukkan pukul 00:13 malam, ketika putriku tertidur lelap di pembaringan sedangkan aku tak sedetik mampu memejamkan mata.Berjuta pikiran berkecamuk, beribu dugaan yang akan terjadi bergelayut dan kebanyakan dugaan tentang penderitaanku di hari esok semakin membuatku terbebani. Demi Tuhan, perkara memiliki madu bukan hal yang sepele. Sudah begitu banyak aku melihat contoh wanita-wanita yang kemudian tersiksa dan terabaikan karena tiba-tiba suaminya memiliki istri baru. Anak-anak mulai terlantar dan kehilangan kasih sayang karena sang ayah menduakan perasaannya.Meski suami memiliki uang yang cukup tak akan sama lagi keadaannya ketika semuanya serba di bagi, waktu, kasih sayang, dan perhatian semuanya akan dibagi.Kutatap putriku yang sedang pulas, air mataku menitik lagi. Betapa ia akan kehilangan banyak hal dari sang ayah. Aku bisa membayangkan jika wanita itu hamil, dan me
Hari mulai terang dengan bayang mentari di ufuk timur, kicau burung bernyanyi riang di antara udara sejuk yang menyegarkan. Perlahan sinar membias dari balik kaca dan menembus kain tirai yang menutupi jendela.Dulu, jika adzan pagi berkumandang aku akan segera bangun menunaikan ibadah lalu menyiapkan sarapan keluarga kecilku. Setelah beres dari dapur aku akan kembali ke kamar membangunkan suami dengan menempelkan tangan dingin bekas memegang air di matanya, ia akan menggeliat dan terbangun, terkadang Mas Ikbal merangkul tubuhku hingga aku terbenam dalam pelukannya atau dia akan merayuku hingga kami memadu cinta seperti keinginannya. Itu indah sekali, dan sebagai seorang istri memang aku tak pernah menolak untuk membahagiakannya.Namun kini, kenyataan pahit di hadapanku, kuhela napas kasar lalu bangkit menuikan shalat dan beralih ke dapur menyiapkan sarapan. Seusai sarapan kubenahi rumah dan kugiling cucian di mesin cuci.Entah mengapa setelah shalat