Lamat-lamat kudengar putriku Raisa memanggil sambil menepuk kecil pipiku.
Aku menyadari bahwa diri ini sekarang terbaring lemah di pembaringan. Ketika akan berusaha bangkit kepalaku berdenyut semakin kuat.Kucoba mengingat peristiwa yang tadi terjadi hingga aku bisa terbaring di tempat ini. Ah, iya, suamiku membawa pengantinnya ke rumah kami. Kenyataan itu, membuat segenap tubuhku seolah nyaris tak bertulang, air mataku menetes lagi, aku kecewa, perasaan terluka dan rasa cintaku terkoyakkan.
Bagaimana ia bisa melakukan ini padaku? Apa dosaku? Aku yang selalu menjaga diri, anak, dan kehormatannya, setia menunggu di rumah, patuh pada perintah dan larangannya, apa balasannya untukku.
Entah apa hutang budi pada Ustadznya, hingga suamiku mau tak mau harus menikahi anak gadis Sang Guru? Apakah begitu besar nilai sebuah janji. Ah benar, janji itu adalah hutang dan suamiku mungkin merasa malu untuk ingkar, harga dirinya seolah dicoreng jika ia sampai mengecewakan sang guru. Terlebih lagi, suamiku juga pria yang mapan dan sehat.
"Ya Allah, sabarkanlah aku menghadapi ujian ini," bisikku sendiri sambil memeluk Raisa.
Tiba-tiba pintu diketuk lalu terbuka perlahan, Mas Ikbal muncul membawakan segelas air dari balik pintu. Tak sanggup lagi kutatap wajahnya, wajah yang dulu selalu aku rindukan, tubuhnya yang selalu kupeluk untuk melabuhkan rasa gundah, tatap matanya yang menjadi penentram dalam jiwaku. Kini musnah semuanya, rasa cinta dan segalanya.
"Kamu sudah sadar, Bunda?" tanya suamiku berhati-hati. Kalimatnya dulu seolah penyejuk jiwaku, kini hanya duri-duri yang tersisa menusuk tiap kali kudengar suara lembutnya.
Tak kujawab dia sedikitpun, menoleh padanya pun tidak.
"Ini airnya," katanya sambil meletakkan gelas itu di meja. Kemudian ia mengambil tempat duduk di sisi pembaringanku.
"Bunda, aku menikahinya demi memenuhi janjiku, aku sudah berjanji sepuluh tahun yang lalu, jika aku sudah mapan aku akan menjemput putrinya."
"Tapi apakah Pak ustadz tahu jika kamu sudah beristri?"
Suamiku mengangguk pelan dan kutanggapi anggukannya dengan tawa getir. "Bagaimana mungkin seorang ustadz tega berbuat seperti itu, menghancurkan hati wanita lain, demi membahagiakan putrinya," kataku.
"Aku yang memaksa dan meyakinkannya," kata suamiku.
"Berarti kamu yang centil dan tidak setia, Mas." Kalimatku sendiri terasa pahit di tenggorokan.
"Kondisi Abinya, sudah demikian lemah, sakit jantung dan ginjal, dia ingin menikahkan putrinya sebelum ia menutup mata, aku mengajukan diri menebus janjiku dan meyakinkannya." Ia menerangkan itu padaku dengan lugas dan tanpa nada ragu-ragu.
"Tidakkah kamu memikirkan perasaanku? aku terluka Mas ... Aku sakit, lagipula kemapanan yang kau sebutkan itu, bukankah karena telah menikah dan mengarungi bahtera rumah tangga bersamaku, bukan dari awal semua kesuksesan ini, lihat apa yag kamu lakukan setelah kamu, sukses," ratapku lalu kembali tergugu pilu.
Saat ini perasaanku hampa pikiranku kosong dan satu satunya yang tersisa hanya rasa sesak dan putus asa.
Aku kehilangan impian dan semangat hidupku, kehilangan cinta dan harapan seolah membunuhku perlahan. Jujur aku ingin mati rasanya, detik ini juga.
"Aku gak sanggup dimadu, Mas, gak sanggup," ucapku sembari menjatuhkan diri di lututnya kupeluk kuat-kuat kakinya, "Ceraikan saja aku,. mas, aku gak sanggup dimadu, gak sanggup Mas, serumah dengan wanita itu ... ti-tidak bisa Mas ...."
Aku meratap pilu menangis dan memohon agar dia segera menjauhkaku darinya.
"Aku mau pulang ke rumah Bapakku, Mas, aku mau pulang, aku gak bisa di sini."
"Kumohon Jannah, aku mohon, Sayang... Semuanya akan baik-baik saja, aku tak akan menyentuhnya jika kamu tidak ridho, Jannah."
"Kamu yang akan baik-baik saja, tapi tidak denganku, gak sanggup aku melihat kedekatanmu, Mas, gak sanggup." Tenggorokanku terasa kering, bibirku juga seperti itu, sejak kedatangan wanita itu, tak sesuap nasi atau seteguk air pun yang mampu kucerna.
"Astagfirullah, Ya Allah." Berkali-kali, hanya kalimat itu yang mampu kuucapkan sambil menekan dada, meresapi sakitnya dimadu tanpa alasan.
"Maaf, Sayang. Aku tak akan mendekati Soraya jika kamu tidak ridho," katanya sambil menyentuh pucuk kepalaku.
"Tidak ridhonya diriku atas kebahagiaan Mas, adalah dosa besar." Air mataku kian deras hingga kurasakan mata ini pedih karena terlalu banyak mngucurkan buliran kepedihan.
"Tapi bagiku kamu tetap yang utama," jawabnya.
"Gak mungkin, seorang pria yang tidak adil dan cenderung pada satu istri di hari kiamat nanti akan bertemu Allah dalam keadaan tubuh yang miring sebelah (HR. Abu Dawud) apakah Mas mau itu terjadi?"
"Eng-enggak, Bunda. Maafin Ayah ya." Ia merangkulku namun kutepis segera.
"Aku gak bisa, Mas. Gak bisa sekarang, aku masih shock, aku belum menerima kenyataan ini, Mas."
Tok ... Tok ....
Pintu terketuk dan wanita itu timbul dari balik daun pintu. Mengenakan gamis berwarna putih dan jilbab merah muda, wajahnya terlihat segar dan anggun sekali, ketika manik matanya bersitatap dengan suamiku ada rona halus yang tergurat di pipinya, ia menunduk dengan penuh rasa cinta dan hormat pada imamku, suamiku, jujur hatiku perih, aku tak sanggup, aku membencinya. Walau ia tak pernah menzhalimiku, aku membenci keberadaannya."Ada apa, Soraya," tanya suamiku.
"Makan malam sudah siap, Mas." Nada suaranya begitu lembut.
"Baik, kamu makan saja duluan, aku aja menemani Bunda Raisa," jawab suamiku.
"Tidak apa, saya akan menunggu," jawabnya juga tak menyerah.
"Tidak usah menunggu, makan saja lebih dulu," kata suamiku dan dia wanita itu pun berlalu.
"Aku gak bisa, Mas. Aku gak bisa," desisku lagi, tangisku kembali pecah.
"Bunda ... Raisa lapar," kata putriku sambil menarik lenganku.
"Raisa makan sama ayah, ya," bujukku.
"Bunda kenapa nangis terus?"
"Gak apa sayang, makan sama ayah, ya."
Suamiku meraih Raisa lalu menggendongnya mengajaknya makan malam, sedangkan aku, aku sendiri tertinggal sedih di dalam rumah sendiri, aku merasa semua kebahagiaanku seketika menjadi kelam, hariku suram dan hidupku akan menderita.
Sungguh tak sanggup kuhadapi semua ini.
Kuambil air wudhu di kamar mandi lalu membentangkan sejadah, memohon, mengadu,menangis sejadi-jadinya.
Aku belum menerima semua kenyataan ini, aku menginterupsi keputusan Tuhan untuk menghadirkan wanita lain di rumah ini. Sejatinya cinta suci tak memiliki tempat bagi orang ketiga, namun semuanya terjadi tanpa kusadari, aku begitu bodoh dan polos tidak menyadari muslihat suamiku yang diam-diam menikah lagi.
"Aku tidak mau Tuhan, aku tidak siap, aku tidak sanggup,Ya Allah, meski Engkau bersabda bahwa sabar itu indah, sungguh aku tak sanggup menjalani keindahan menyakitkan ini."
"Mbak ini, makanannya," katanya mengangsurkan nampan berisi nasi putih, capcay dan ayam goreng ke hadapanku, wanita lemah yang masih bersimpuh di sajadah.
"Jangan berikan aku makanan, untuk apa? Kamu sudah menghancurkan segalanya," jawabku lirih.
"Aku minta, Maaf Mbak," ucapnya pelan.
"Kamu lihat air mataku, degup jantungku yang hancur oleh perbuatanmu, kamu jahat, Soraya."
"Maaf, Mbak." Airmatanya juga meleleh lalu ia bangkit meninggalkanku.
"Sampai kapan pun aku tidak merelakan apa yang kamu rebut dariku, Soraya, kamu akan dapatkan karmanya."
"Maaf mbak ...."
"Dengan merebut suamiku, kau menabuh genderang perang padaku," jawabku dengan hati membeku.
Ia membalikkan badan sekilas lalu meninggalkanku sendiri lagi.
Waktu telah menunjukkan pukul 00:13 malam, ketika putriku tertidur lelap di pembaringan sedangkan aku tak sedetik mampu memejamkan mata.Berjuta pikiran berkecamuk, beribu dugaan yang akan terjadi bergelayut dan kebanyakan dugaan tentang penderitaanku di hari esok semakin membuatku terbebani. Demi Tuhan, perkara memiliki madu bukan hal yang sepele. Sudah begitu banyak aku melihat contoh wanita-wanita yang kemudian tersiksa dan terabaikan karena tiba-tiba suaminya memiliki istri baru. Anak-anak mulai terlantar dan kehilangan kasih sayang karena sang ayah menduakan perasaannya.Meski suami memiliki uang yang cukup tak akan sama lagi keadaannya ketika semuanya serba di bagi, waktu, kasih sayang, dan perhatian semuanya akan dibagi.Kutatap putriku yang sedang pulas, air mataku menitik lagi. Betapa ia akan kehilangan banyak hal dari sang ayah. Aku bisa membayangkan jika wanita itu hamil, dan me
Hari mulai terang dengan bayang mentari di ufuk timur, kicau burung bernyanyi riang di antara udara sejuk yang menyegarkan. Perlahan sinar membias dari balik kaca dan menembus kain tirai yang menutupi jendela.Dulu, jika adzan pagi berkumandang aku akan segera bangun menunaikan ibadah lalu menyiapkan sarapan keluarga kecilku. Setelah beres dari dapur aku akan kembali ke kamar membangunkan suami dengan menempelkan tangan dingin bekas memegang air di matanya, ia akan menggeliat dan terbangun, terkadang Mas Ikbal merangkul tubuhku hingga aku terbenam dalam pelukannya atau dia akan merayuku hingga kami memadu cinta seperti keinginannya. Itu indah sekali, dan sebagai seorang istri memang aku tak pernah menolak untuk membahagiakannya.Namun kini, kenyataan pahit di hadapanku, kuhela napas kasar lalu bangkit menuikan shalat dan beralih ke dapur menyiapkan sarapan. Seusai sarapan kubenahi rumah dan kugiling cucian di mesin cuci.Entah mengapa setelah shalat
Kuseret dia dan kutunjukkan semua gambar-gambar kami dan betapa kini semua keceriaan kami kini pudar oleh kedatangannya."Kau lihat itu, kau lihat semua photo-photo kami berbahagia dan kini kau hadir di sela-sela kebahagiaan itu, kau berpikir tidak," kataku padanya.Raut wajahnya terlihat takut dan ia menatap Mas Ikbal dengan matanya mengembun, berharap jika suaminya akan menolongnya."Jannah, kumohon, ada apa denganmu? Ini masih pagi?" Sela Mas Ikbal."Yang Ada apa, adalah dengan kalian? Kenapa kalian harus mengumbar bulan madu kalian di rumah ini, masih banyak tempat lain kan? Di hotel, atau bahkan belikan saja dia rumah baru, kenapa harus di rumahku!" teriakku."Jannah! Ini rumah kita semua!""Oh ya, berarti kini tidak ada ruang lagi untuk diriku karena semuanya harus dibagi?! Betul begitu?" Aku menatapnya nanar dan kedua manusia di hadapanku ini terdiam.
Mas Ikbal terlihat keluar dari pintu utama dengan setelan kemeja warna biru dasi hitam dan celana yang pas di badan dan membentuk tubuh atletisnya.Ia lalu mendekat pada Raisa mencium keningnya dan berpamitan padaku yang sedang berada di gazebo depan menikmati kolam ikan dan suara gemericik air mancur bersama Raisa."Mas berangkat dulu," ucapnya.Aku tak menggapinya dengan tindakan atau ucapan, tetap sibuk bersikap dingin sambil memberi makan ikan seolah tidak mendengar apapun."Jannah demi diriku, kumohon untuk tidak bertengkar lagi."Kuangkat pandanganku lalu kutatap ia dengan seksama menelisik semua hak yang ingin kutebak dari ucapan dan roman wajahnya."Aku akan tetap di sini hingga kau pulang agar kau bisa memastikan bahwa aku tidak bertemu atau bicara pada istri barumu, Mas.""Astagfirullah Jannah, bukan itu maksudku, aku hanya ....""Sudahlah, Mas mau berangka
Mas Ikbal terlihat keluar dari pintu utama dengan setelan kemeja warna biru dasi hitam dan celana yang pas di badan dan membentuk tubuh atletisnya.Ia lalu mendekat pada Raisa mencium keningnya dan berpamitan padaku yang sedang berada di gazebo depan menikmati kolam ikan dan suara gemericik air mancur bersama Raisa."Mas berangkat dulu," ucapnya.Aku tak menggapinya dengan tindakan atau ucapan, tetap sibuk bersikap dingin sambil memberi makan ikan seolah tidak mendengar apapun."Jannah demi diriku, kumohon untuk tidak bertengkar lagi."Kuangkat pandanganku lalu kutatap ia dengan seksama menelisik semua hak yang ingin kutebak dari ucapan dan roman wajahnya."Aku akan tetap di sini hingga kau pulang agar kau bisa memastikan bahwa aku tidak bertemu atau bicara pada istri barumu, Mas.""Astagfirullah Jannah, bukan itu maksudku, aku hanya ....""Sudahlah, Mas mau berangka
Makanan sudah siap dan mengepulkan aroma yang begitu menggugah selera, di meja makan semuanya sudah tertata rapi, ada masakanku dengan cita rasa oriental dan masakan Soraya.Kuminta Raisa untuk memanggil ayahnya untuk makan, aku telah menunggu di meja."Ayo makan, Yah," terdengar Raisa menggandeng tangan ayahnya dan Mas Ikbal mengikutinya dengan senyuman"Banyak sekali ini makanannya," ucap Mas Ikbal."Ya, 'kan, ada dua tukang masak di rumah ini," balasku sambil menyendokkan nasi ke piringnya."Soraya mana, kenapa enggak dipanggil."Gubrak!Kulepas alat makan di meja makan dengan kasar, Mas ikbal terkesiap kemudian menatapku lama."Ada apa?""Aku tak pernah tak menghargai dan menghormatimu, Mas. Namun kau ingin mengumpulkanku dengan wanita itu satu meja, yang benar aja, Mas? Bahkan jika pun wanita i
Bismillah.Jangan lupa tinggalkan votenya yang sayangku ❤️❤️❤️**Kurebahkan diri di pembaringan sunyi di mana dulu ada begitu banyak kehangatan cinta dan kasih sayang. Kupeluk diriku sendiri, meringkuk dalam dingin dan kesendirian, air mata ini meleleh lagi, mengingat betapa malangnya diri ini, aku sendiri di kamar ini an suamiku bersama istrinya di kamar tamu."Tuhan, sampai kapan ujian ini," gumamku sambil menyeka air mata.Kutarik selimut perlahan dan kubenamkan diriku di dalamnya, ada aroma suamiku yang tertinggal di bed cover ini sehingga kerinduan ini kian bertambah. Aku semakin terisak membayangkan suamiku memberi perlakuan romantis yang sama pada wanita lain, sungguh aku cemburu dan tidak terima.Tapi apa dayaku, Soraya istrinya, secara agama dia sah istrinya.Ada beragam pikiran yang saling bertentangan dalam otakku, beragam ide gila ya
Kutinggalkan mereka dan berlari ke dapur, saat sampai di sana, mataku kembali terbelalak melihat dapur kesayanganku yang sudah sangat berantakan dan kotor. Meja makan penuh piring kotor bekas mereka sarapan subuh tadi, sebagian makanan tumpah tanpa di tutup dan mengundang lalat.Lantai dapur ditumpahi susu dan lengket di kakiku, entah siapa yang menumpahkannya, mengapa ia tak berinisiatif mengelapnya, lalu pintu kulkas tidak ditutup rapat, kuraba piranti di dalamnya sudah tidak dingin, mungkin sejak semalam kulkas ini dibiarkan seperti ini sehingga makanan mulai layu dan berbau.Lemari-lemari dapur terbuka begitu saja dan tidak ditutup kembali ketika mengambil piring, sedang ceruk wastafel di penuhi panci kotor hitam penuh celomok, komporku seperti kompor yang dimuntahi dan dibiarkan begitu saja sampai kering bekas makanan makanan yang meluber ke permukaan stainlessnya."Astagfirullah, sabarkanlah aku dengan emosi yang semakin memuncak ...." Aku berg
"Kabar buruk apa?"tanyaku heran."Aku sudah berusaha untuk mengalihkan pikiran dan semua kerinduanku tapi tetap saja, perasaan bersalah dan rasa ingin memperbaiki keadaan timbul di dalam hatiku," ucapnya sambil memandang mataku dengan penuh makna."Aku tak paham ....""Aku masih berharap kita bersama lagi. Demi anak anak, demi aku, demi harapan yang pernah kita bangun.""apa kau lupa tentang perlakuanmu dan apa saja yang sudah terjadi dalam hidup kita masing masing.""Ya, aku bersalah menikahi angel secara diam diam, aku mengulangi kesalahan suamimu yang fatal. tapi ...""Sudah, jangan dilanjutkan," cegahku. "aku tak mau mengenang apapun tentang masa lalu.""Aku hampir kehilangan dirimu dan semangat hidupku saat kau bersama dengan wira. Tapi, setelah bertemu dengannya dan mengetahui hal sebenarnya harapanku tumbuh kembali. Aku harap kita bisa ....""apa?""rujuk lagi," jawabnya sambil menatap mataku."Jadi itu kabar buruknya?""ya, bahwa aku sulit move on dan hidup tanpamu. Maukah
"Sebaiknya segera tentukan pilihanmu Nak, Ibu juga tidak ingin kamu terus-menerus sendiri seperti itu, karena penilaian orang lain tentang status janda sangat merugikan posisimu," ujar Ibu ketika aku menelponnya."Iya Bu, aku tahu tapi aku belum menentukan pilihanku, aku belum siap untuk naik ke jenjang berikutnya.""Ada dua pria yang begitu tulus dan menyayangimu, Nduk, kamu tinggal memilihnya," ujar Ibu."Bagaimanapun itu adalah pilihan yang sulit, Bu," gumamku pelan."Raisa menyukai salah satu dari pria itu?" tanya Ibu lagi."Raisa ingin aku kembali kepada Mas Raffiq.""Bagaimana dengan perasaanmu sendiri?""Entahlah... masih bingung," jawab ku sambil menghela nafas pelan."Lalu apa yang terjadi tentang Soraya?""Dia masih ditahan di rumahnya, Bu, polisi belum memiliki cukup bukti untuk bisa menjebloskan dia ke penjaara.""Jelas-jelas dia yang menyerang wira dengan air keras," ujar Ibu sedikit ingin marah."Tapi keluarga dan pengacaranya memiliki pengaruh besar, Bu. Mereka mati-m
"Jangan dipikirkan apa yang dikatakan Mama dia memang seperti itu," bisik Wira kepadaku ketika Mamanya ke kamar mandi."Aku tak mempermasalahkannya," jawabku pelan sambil menyuapinya."Mbak ... aku berterimakasih atas semua perhatianmu, tapi sebaiknya Mbak tidak usah menjengukku lagi." Aku mencoba menelisik maksud dari ucapannya, mengapa dia harus mengatakan hal semacam itu."Apa yang kau katakan, aku tidak mengerti," ujarku."Aku sudah ikhlas melepaskan Mbak Jannah dengan Mas Rafiq." Sorot matanya yang sendu membuatku terenyuh."Jangan melantur seperti ini sebaiknya kamu istirahat saja." Aku membenahi selimut yang menutupi tubuhnya."Aku sungguh-sungguh, Mbak. Aku sadar bahwa cinta tidak bisa dipaksakan. Aku tahu, meski kita berteman tidak serta merta membuat hal itu menjadi cinta untukmu aku menyadari semua itu dan aku menyesali sikap bodohku untuk memaksakan dirimu menikahiku, Mbak," ujarnya sambil tersenyum getir."Tidak masalah aku memahami perasaanmu, aku bisa memaklumi sem
Sejujurnya aku lelah dengan semua ini, dengan takdir berliku liku yang mewarnai hidupku. Andai bisa, aku ingin lari dan mengamankan diri ini dari dunia yang begitu kejam.Baru saja aku dan kedua anakku mengecap ketenangan, dan menikmati hidup kami, kini ujian menghantam silih berganti, membuatku sangat ingin menyerah dari semua ini, andai aku bisa, sejenak lepas dari semua kesulitan yang membelit ini. Sungguh, aku letih.Masih segar dalam ingatan, bagaimana ketika Wira merintih di ranjangnya, sementara keluarganya terus mendesakku agar mau menerima lamaran bankir kaya itu, tiba-tiba Mas Rafiq datang dan berteriak dengan tatapan melotot penuh amarah bahwa dia menolak semua cara mereka menekanku untuk menikahi anggota keluarga mereka."Apakah musibah ini akan kalian gunakan untuk menekan Jannah?""Hei, apa maksudmu! Anakku terluka gara-gara dia, tidak tahu apa yang akan terjadi kepada putraku kedepannya, apakah dia masih seperti semula atau malah cacat," ujar Jeng Zahrina sambil terdu
Aku kembali ke rumah dengan tubuh dan pikiran yang sudah lelah kubuka pintu utama lalu menuju kursi tamu meletakkan tasku lalu membaringkan diri dengan lunglai di sana.Pikiranku melayang pada rentetan kejadian yang begitu mengejutkan hari ini, setelah didesak untuk "mau menerima" mengambil hati Wira, akhirnya Jeng Zahrina mau tenang dan menguatkan hatinya untuk tidak menangis lagi.Besok mereka akan melakukan operasi untuk memperbaiki kulit punggung dan wajah Wira yang rusak akibat siraman air keras. Ah, kembali pikiranku melayang kepada mantan maduku itu, entah di mana dia berada dan apa yang sedang dia lakukan, kemungkinan saat ini dia sedang bersembunyi di suatu tempat atau mungkin juga duduk santai di rumah orang tuanya.Tring ... Ponsel berbunyi.Kuraih benda itu dengan setengah lesu lalu membaca nama siapa yang sedang menelpon, dan ternyata itu adalah Rina."Halo Rin ada kabar terbaru?""Laporan sudah kami selesaikan, besok polisi akan menuju tempat kejadian untuk mengamankan
Sesegera mungkin aku meluncur membawa wira ke rumah sakit bersama kedua asistenku, tak lupa aku hubungi nomor Mama Wira yang memang sudah tersimpan di ponselku karena dia adalah pelanggan tetap toko kami."Halo assalamualaikum Jeng Zahrina," sapaku."Waalaikumsalam ada apa kamu menelpon saya," tanya Nyonya Zahrina dengan nada sedikit tidak suka."Maaf karena aku harus memberitahukan hal penting, tapi mohon tenangkan diri Jeng ya," ujarku."Katakan saja apa yang sedang terjadi?""Tadinya Wira datang ke tokoku dan duduk sebentar lalu pergi, namun tak lama kemudian Soraya datang dan berniat menyiramkan air keras kepadaku, namun tanpa diduga-duga Wira datang lagi dan terkena siraman air keras," tuturku hati-hati."Apa?!""Iya, saat ini aku dalam perjalanan membawanya ke rumah sakit.""Kalo terjadi apa-apa dengan anak saya kamu harus bertanggung jawab." Ucapan Mama Wira membuat pikiranku kacau."Kemana kamu akan membawa anakku!" pekiknya lagi."Ke Rumah Sakit Budi Kusuma Jeng," jawabku.
*Pemuda itu, datang lagi ke toko sore menjelang aku menutup gerai pakaian dan barang milikku itu.Ia melangkah santai lalu menarik kursi yang ada di depan meja kerja dan mendudukkan dirinya sambil tersenyum."Mbak Jannah, belum mau pulang?" tanyanya."Belum, masih sibuk," jawabku."Uhm, aku akan menunggu,", jawabnya."Kau sadar apa yang kau lakukan sekarang?"tanyaku dengan tatapan tajam. "Aku sudah cukup memberimu ruang, Wira.""Apa maksudnya Mbak, Mbak terlihat marah," ucapnya pelan."Aku sudah cukup baik kepadamu dengan tidak bersikap kasar dan frontal, aku harap kau mengerti kalau aku tidak nyaman dengan semua sikap ini.""Aku tidak tahu cara terbaik untuk bisa merebut hatimu Mbak," jawabnya pelan."Kamu tidak perlu bersusah payah karena aku belum membuka hati untuk siapapun Wira," ucapku dengan tetap menatap lekat padanya."Aku tahu kalau tidak denganku, Mbak Jannah pasti akan kembali lagi dengan dokter Rafiq, iya kan?" cecarnya sok tahu.Aku hanya tertawa getir mendengar ucapan
Ting tong ...Pagi pagi bel rumah sudah berdenting dan entah siapa berkunjung di pagi buta seperti ini. Sesaat aku sempat bertanya-tanya sekaligus kesal, denting yang terus menerus mengganggu telingaku."Siapa di luar?" tanyaku."Aku," jawab suara yang familiar kudengar itu."Kamu ngapain pagi-pagi gini, bahkan embun pun belum kering di pucuk daun," ujarku."Biarkan embun, yang penting aku menatapmu di awal hari sudah cukup membuatku seolah memiliki semua kebahagiaan.""Hentikan gombalan recehmu!" teriakku di pengeras suara yang tersambung ke gerbang."Jangan marah pagi-pagi aku datang ke sini membawa sesuatu untuk Raisa dan Rayan,". ujarnya santai."Tidak usah bawakan apapun anak-anakku baik-baik saja," jawabku ketus."Tapi Raisa menyukaiku kok. Buktinya ia senang menerima sepaket boneka LoL yang aku belikan," lanjutnya sambil tertawa kecil, " Raisa Sapa Bunda," suruhnya."Bunda ...." Tiba tiba suara anakku timbul dari depan gerbang sana."Raisa kamu ngapaian di gerbang pagi-pagi, k
"Ini makanan banyak banget siapa yang beli makanan sebanyak ini?""itu dari pemuda tampan yang pagi-pagi sudah datang ke sini dan membawa semobil makanan," jawab asistenku Rina."Apa? Siapa?""Teman Mbak, yang berondong itu lho," jawab Rina setengah berbisik."Ya ampun," desahku."Kenapa Mbak, kan bagus mbak dapat banyak perhatian," jawabnya sambil berkedip aneh."Ish ...mendapat perhatian dari orang yang kita suka itu bagus, tapi kalo gak suka, bikin ilfil kan?""Emangnya mbak sekarang lagi ilfil?" timpal Rudi supirku."Iya, karena aku gak mau didekati pria itu." Aku menghempas diri di sofa sambil melempar pandangan ke tumpukan kotak makanan di meja tamu.Kuhela napas berkali-kali untuk melegakan dadaku, namun kedua pegawaiku itu masih heran dengan sikapku itu. Mereka seperti menunggu adegan berikutnya."Apa lagi? Kenapa pada berdiri?""Makanan sebanyak itu Mbak Jannah bisa habiskan?""Siapa bilang aku akan memakannya?" jawabku sewot."Kasihan yang beli, Mbak," jawab Rina memelas."