Mas Ikbal terlihat keluar dari pintu utama dengan setelan kemeja warna biru dasi hitam dan celana yang pas di badan dan membentuk tubuh atletisnya.
Ia lalu mendekat pada Raisa mencium keningnya dan berpamitan padaku yang sedang berada di gazebo depan menikmati kolam ikan dan suara gemericik air mancur bersama Raisa."Mas berangkat dulu," ucapnya.Aku tak menggapinya dengan tindakan atau ucapan, tetap sibuk bersikap dingin sambil memberi makan ikan seolah tidak mendengar apapun."Jannah demi diriku, kumohon untuk tidak bertengkar lagi."Kuangkat pandanganku lalu kutatap ia dengan seksama menelisik semua hak yang ingin kutebak dari ucapan dan roman wajahnya. "Aku akan tetap di sini hingga kau pulang agar kau bisa memastikan bahwa aku tidak bertemu atau bicara pada istri barumu, Mas." "Astagfirullah Jannah, bukan itu maksudku, aku hanya ....""Sudahlah, Mas mau berangkat kerja atau akan terus memberi ceramah?""Kamu membuat segalanya menjadi sulit, Jannah," desahnya pelan."Mas pikir ini mudah bagiku, sebagai istri pertama aku berada di posisi yang amat menyulitkan dan hampir tidak beruntung sama sekali. Menolak berat, menerima pun sakit,. Mas. Mas kira poligami itu mudah, Mas kira tidak akan ada pertentangan atau perselisihan, dan Mas ingin menjaga hatinya tapi sekali lagi Mas lupa menjaga hatiku," rutukku kecewa."Aku berangkat dulu, udah siang," jawabnya sambil bergegas menuju mobil.Aku tahu ia tak suka dengan ucapanku, aku tahu dia tersinggung, egonya tertampar dan wibawanya terdampar. Namun apa yang bisa kulakukan untuk mengobati rasa sakit yang kian perih ini? Selain melampiaskan semuanya.** Setelah mobilnya meninggalkan halaman rumah segera kubawa putriku masuk dan Menganti pakaiannya, kulihat wanita itu sedang sibuk membersihkan pecahan kaca dan menyapu ruang keluarga.Ia bertemu pandang denganku, ketika kutatap ia dengan tajam, Soraya langsung menunduk segan dan meneruskan tugasnya.Kuganti pakaian anakku dan kuraih tas dan memesan taksi online di gawaiku. Tak lama berselang taksi datang dan langsung meluncur membawaku 23 km ke arah timur ke rumah orang tuaku.Sesampainya di sana, kubuka gerbang rumah Ibu dengan pelan, kugandeng tangan putriku memasuki rumah kakek dan neneknya.Melihat kedatangan kami Ibu dan Bapak terlihat begitu gembira dengan sumringah mereka menyambut anakku, menggendongnya dan membawanya memetik buah segar di halaman belakang."Tumben sendirian, Nduk," kata Ibu.Aku tak menjawabnya namun ia sudah menangkap raut kesedihan yang kupancarkan dari mataku. Dihampirinya diri ini yang membenamkan wajah di meja makan tempat dia sedang memotong sayuran, dengan lembut menghampiri dan memberiku sentuhan di kepala."Ada apa Nduk, kok kelihatan lesu dan sedih?""Bu, aku memang sedang mengalami ujian berat, Bu.""Ujian apa? Cerita sama Ibu," jawabnya pelan sambil membingkai wajahku dengan kedua telapak tangannya yang lembut."Suamiku Bu, ...." Kupeluk pinggang ibu dan aku menangis tersedu-sedu seperti bocah yang kehilangan mainan."Ada apa suamimu, apa yang dilakukan Ikbal padamu?" lanjut ibu."Mas ikbal menikah lagi, Bu, tiba-tiba ia membawa pengantin nya ke rumah," jawabku."Apa?!" Suara bariton di belakangku tiba-tiba mengagetkan diri ini.Tanpa kusadari ternyata Bapak berdiri di belakangku sambil menggendong Raisa. Ia menatapku dengan tatapan tajam."Bapak ...." Aku mengadu padanya tergugu pilu."Astagfirullah ...." Bapak hanya mampu bergumam sambil menekan dadanya."Bapak," kuhampiri bapak yang mengambil tempat duduk di sofa tak jauh dari meja makan, " Bapak, tolong aku gak kuat Pak, aku mau pulang sama Bapak aja," keluhku sedih."Mana suamimu sekarang?""Di kantornya, Pak.""Telpon dia, biar aku yang bicara."Kurogoh tas dan kuambil gawaiku, kutekan dial pada nomor Mas Ikbal dan tak lama kemudian sambungan di angkat Mas ikbal."Halo, Bunda," sapanya yang kudengar dari speaker ponsel.."Ikbal, ini Bapak." Bapak menyapanya dengan serius."Kamu mampir dulu sore ini ke rumah saya, saya mau bicara," pinta Bapak."Ba-baik, pak."**Sore hari Waktu menunjukkan pukul empat lewat lima menit ketika mobil mas Ikbal memasuki pekarangan rumah Bapak."Assalamualaikum, Pak." Bapak menatapnya dari atas ke bawah dengan tatapan tajam "Walaikum salam, " jawab bapak.Mas Ikbal masuk dan menyalami Bapak dan ibu dengan hormat. Lalu ia mengambil tempat duduk yang tak jauh dari mereka dan aku duduk di sebelah kanan Bapak."Benarkah, kabar yang saya dengar?""Ehmm ... Saya ....""Ikbal ..." Bapak menghela napasnya berat, "Dulu, ketika meminang anak gadis saya, kamu berjanji akan menjaga dan membahagiakannya, lalu kini, lihat apa yang terjadi."Bapak menatapnya dengan penuh ketegasan."Maafkan saya Pak, saya terpaksa melakukan itu demi janji saya pada Ustadz," jawabnya."Saya tahu, anak saya sudah memberi tahu saya, jika bagimu janji adalah amanat yang harus ditepati, lalu bagaimana janjimu dengan saya?"Mas Ikbal terdiam sambil menundukkan wajahnya."Anak saya adalah buah hati dan kesayangan jiwa saya, bagaimana kamu tega menyakitinya? sebagai bapaknya, saya tidak ridho pada apapun hal yang membuat anak saya sengsara.""Saya minta maaf, saya janji Saya akan tetap menjaga amanat Bapak, saya janji , Pak." Mas Ikbal berkata dengan nada dan raut bersungguh-sungguh."Kalo kamu tidak lagi mencintainya, maka kembalikan pada saya, saya tidak akan menolak untuk membuka kedua tangan untuknya, saya akan merawatnya," ujar Bapak dengan suara bergetar sambil melepas kacamatanya dan mengusap kelopak matanya yang mengembun.Aku yang berada di sisi Bapak tak sanggup menahan air mata, karena sungguh ini adalah situasi paling emosional dalam hidupku."Saya mencintainya, Pak, apalagi kami telah memiliki anak ....""Kalo kamu sungguh mencintainya, apakah kamu tega menduakan dia? Coba kamu berada di posisinya tidakkah kamu terluka?""Maaf ...." Suara suamiku nyaris tenggelam."Kami bisa memilih sekarang, pisahkan kedua istrimu, atau ceraikan saja anak saya!"Suamiku sontak mendongak dan menggeleng cepat."Ja-jangan Pak. Saya gak sanggup pisah dengan mereka," tolak Mas Ikbal."Kamu tahu kan, konseksuensi dari perbuatan poligami, kamu harus mengatur segalanya dan mengkondisikan agar tidak pernah ada yang tersakiti.""Insyaalllah saya bisa, saya janji saya akan berusaha. Bolehkah saya membawa anak istri saya pulang?""Bagaimana, Jannah," tanya Bapak.Aku bergeming mendengar bapak dalam kebimbanganku. Aku ingin bersama Mas Ikbal karena aku mencintainya dan kusadari anakku membutuhkan Ayahnya. Namun mengingat perbuatannya dan melihat Soraya berada di rumah, aku sungguh berat sekali untuk kembali."Aku gak mau selama wanita itu di rumah itu, Pak," balasku"Dengar jannah, selama suamimu tidak berbuat zhalim dan aniaya, kewajibanmu adalah mengikuti dan mentaatinya, kecuali kamu sudah tak mau bersamanya lagi," imbuh Bapak."Bunda ... Ayo pulang," ajak putriku.Mau tak mau aku pun meyerah pada keinginan anakku yang begitu merengek ingin pulang dan memainkan mainan kesayangannya.Ketika berpamitan kucium tangan Ibu dan kupeluk erat wanita tercintaku itu, kutumpahkan sekali lagi sesak yang menusuk dadaku."Sabar Nduk, insyaallah, Allah akan tunjukkan jalan terbaik."Mas Ikbal terlihat keluar dari pintu utama dengan setelan kemeja warna biru dasi hitam dan celana yang pas di badan dan membentuk tubuh atletisnya.Ia lalu mendekat pada Raisa mencium keningnya dan berpamitan padaku yang sedang berada di gazebo depan menikmati kolam ikan dan suara gemericik air mancur bersama Raisa."Mas berangkat dulu," ucapnya.Aku tak menggapinya dengan tindakan atau ucapan, tetap sibuk bersikap dingin sambil memberi makan ikan seolah tidak mendengar apapun."Jannah demi diriku, kumohon untuk tidak bertengkar lagi."Kuangkat pandanganku lalu kutatap ia dengan seksama menelisik semua hak yang ingin kutebak dari ucapan dan roman wajahnya."Aku akan tetap di sini hingga kau pulang agar kau bisa memastikan bahwa aku tidak bertemu atau bicara pada istri barumu, Mas.""Astagfirullah Jannah, bukan itu maksudku, aku hanya ....""Sudahlah, Mas mau berangka
Makanan sudah siap dan mengepulkan aroma yang begitu menggugah selera, di meja makan semuanya sudah tertata rapi, ada masakanku dengan cita rasa oriental dan masakan Soraya.Kuminta Raisa untuk memanggil ayahnya untuk makan, aku telah menunggu di meja."Ayo makan, Yah," terdengar Raisa menggandeng tangan ayahnya dan Mas Ikbal mengikutinya dengan senyuman"Banyak sekali ini makanannya," ucap Mas Ikbal."Ya, 'kan, ada dua tukang masak di rumah ini," balasku sambil menyendokkan nasi ke piringnya."Soraya mana, kenapa enggak dipanggil."Gubrak!Kulepas alat makan di meja makan dengan kasar, Mas ikbal terkesiap kemudian menatapku lama."Ada apa?""Aku tak pernah tak menghargai dan menghormatimu, Mas. Namun kau ingin mengumpulkanku dengan wanita itu satu meja, yang benar aja, Mas? Bahkan jika pun wanita i
Bismillah.Jangan lupa tinggalkan votenya yang sayangku ❤️❤️❤️**Kurebahkan diri di pembaringan sunyi di mana dulu ada begitu banyak kehangatan cinta dan kasih sayang. Kupeluk diriku sendiri, meringkuk dalam dingin dan kesendirian, air mata ini meleleh lagi, mengingat betapa malangnya diri ini, aku sendiri di kamar ini an suamiku bersama istrinya di kamar tamu."Tuhan, sampai kapan ujian ini," gumamku sambil menyeka air mata.Kutarik selimut perlahan dan kubenamkan diriku di dalamnya, ada aroma suamiku yang tertinggal di bed cover ini sehingga kerinduan ini kian bertambah. Aku semakin terisak membayangkan suamiku memberi perlakuan romantis yang sama pada wanita lain, sungguh aku cemburu dan tidak terima.Tapi apa dayaku, Soraya istrinya, secara agama dia sah istrinya.Ada beragam pikiran yang saling bertentangan dalam otakku, beragam ide gila ya
Kutinggalkan mereka dan berlari ke dapur, saat sampai di sana, mataku kembali terbelalak melihat dapur kesayanganku yang sudah sangat berantakan dan kotor. Meja makan penuh piring kotor bekas mereka sarapan subuh tadi, sebagian makanan tumpah tanpa di tutup dan mengundang lalat.Lantai dapur ditumpahi susu dan lengket di kakiku, entah siapa yang menumpahkannya, mengapa ia tak berinisiatif mengelapnya, lalu pintu kulkas tidak ditutup rapat, kuraba piranti di dalamnya sudah tidak dingin, mungkin sejak semalam kulkas ini dibiarkan seperti ini sehingga makanan mulai layu dan berbau.Lemari-lemari dapur terbuka begitu saja dan tidak ditutup kembali ketika mengambil piring, sedang ceruk wastafel di penuhi panci kotor hitam penuh celomok, komporku seperti kompor yang dimuntahi dan dibiarkan begitu saja sampai kering bekas makanan makanan yang meluber ke permukaan stainlessnya."Astagfirullah, sabarkanlah aku dengan emosi yang semakin memuncak ...." Aku berg
Siang hari ...Siang ini suamiku memutuskan tidak masuk kantor, ia menjaga Raisa dan juga membantu Soraya membereskan sisa kekacauan rumah, sedangan aku jatuh tak berdaya di pembaringan kamarku.Beberapa kali kudengar suamiku meminta pengertian pada Soraya agar dia menurut dan disiplin pada peraturan rumah ini, Mas ikbal juga memintanya untuk selalu menjaga kebersihan agar aku tak lagi marah."Hmm ... apakah tentang kebersihan saja wanita itu harus di briefing? Subhanallah."Berkali kali aku hanya mampu mengelus dada kesal."Bunda ...." Suamiku mengintipkan kepalanya dari balik pintu dan tersenyum manis sekali."Apa?" Jawabku lirih."Aku bikinin kamu bubur kesukaanmu, ya," tawarnya."Gak usah Mas," tolakku.Ia menghampiri dan membelai wajahku dengan perlahan. "Lihatlah pipimu s
Lantunan adzan mengalun merdu membangunkanku, kusibak selimut yang menutupi tubuh lalu segera beranjak ke kamar mandi. Kutunaikan shalat dan menyempatkan membaca surah-surah Al-Qur'an hingga pagi beranjak terang.Ketika kurapikan sejadah kudengar suara orang tengah menggoreng sesuatu sambil membersihkan dapur jadi segera kuraih jilbab dan memakainya lalu menyusul ke dapur. Sampai di sana aku nyaris syok bukan main, dapurku mengepulkan asap yang luar biasa pekatnya serta Baugosong yang menguar ke seluruh ruangan."Apa ini?" kataku setengah menjerit.Sambil menghampiri kompor yang masih mengebulkan asap bahkan isinya juga mengobarkan api. Segera kumatikan dan kupindahkan wajannya Ke wastafel."Apa yang kau lakukan ?""Aku lagi goreng telur,Mbak," jawabnya lirih"Goreng telur gosong?!""Maaf mbak, aku tadi kelamaan," bisiknya."Kamu gak bisa masak? Bukannya kemarin kamu siapkan makan malam?"
Siang ini Mas Ikbal menemuiku di halaman belakang, aku yang sedang menjahit pakaian untuk Raisa merasa heran dengan kedatangannya, kupikir ia belum pulang dari pekerjaannya dari raut wajahnya bisa kutangkap ia ingin mengatakan sesuatu yang penting."Boleh aku bicara?" ucap Mas Ikbal padaku."Ada apa Mas?""Tabunganmu masih ada, kan?""Ada, tapi kenapa Mas tanya tabunganku?" Hatiku mulai merasa tak nyaman."Mas boleh pinjam dulu, Bund ....""Buat apa, Mas?" Tanyaku yang melihat gesturnya yang sedikit gugup dan gelisah."Uhm ... Mas mau pinjam 15 juta, Bund," jawabnya.Aku terkesiap mendengar jumlah yang ia inginkan, untuk apa dia ingin meminjam uang yang telah kutabung selama beberapa tahun untuk sekolahnya Raisa nanti.Pekerjaannya sabagai staf di sebuah bank swasta membuat kami harus sering berhemat dan mengencangkan ikat pinggang. Memang gajinya tidak bisa kuk
❤️❤️.Soraya sedang menikmati sarapannya ketika kutemui dia di dapur untuk menyiapkan makan putriku. Melihatku datang,Ia terlihat sedikit tak nyaman dengan gestur menarik diri dari meja makan."Dengar Soraya, apakah kamu akan segera pindah," tanyaku."Be-belum tahu Mba, tunggu Mas Ikbal," jawabnya lirih."Suamiku meminjam uang untuk mengontrakkan rumah untukmu ... Apa pendapatmu kalo kamu jadi aku, akan kupinjamkan atau tidak?"Dia berfikir sejenak lalu menjawab "Gak tahu mbak."Aku bersedekap sambil menyender di meja marmer dapur."Kau sendiri ... kenapa tidak pakai uangmu saja? Kalian semua sungguh tidak tahu malu, aku baru menemui manusia yang sama sama dua-duanya gak tahu malu," desisku."Maaf Mbak mohon hentikan itu, maaf, tapi uangku habis Mbak, untuk membeli kebutuhan pribadi kemarin." Ia menunduk
"Kabar buruk apa?"tanyaku heran."Aku sudah berusaha untuk mengalihkan pikiran dan semua kerinduanku tapi tetap saja, perasaan bersalah dan rasa ingin memperbaiki keadaan timbul di dalam hatiku," ucapnya sambil memandang mataku dengan penuh makna."Aku tak paham ....""Aku masih berharap kita bersama lagi. Demi anak anak, demi aku, demi harapan yang pernah kita bangun.""apa kau lupa tentang perlakuanmu dan apa saja yang sudah terjadi dalam hidup kita masing masing.""Ya, aku bersalah menikahi angel secara diam diam, aku mengulangi kesalahan suamimu yang fatal. tapi ...""Sudah, jangan dilanjutkan," cegahku. "aku tak mau mengenang apapun tentang masa lalu.""Aku hampir kehilangan dirimu dan semangat hidupku saat kau bersama dengan wira. Tapi, setelah bertemu dengannya dan mengetahui hal sebenarnya harapanku tumbuh kembali. Aku harap kita bisa ....""apa?""rujuk lagi," jawabnya sambil menatap mataku."Jadi itu kabar buruknya?""ya, bahwa aku sulit move on dan hidup tanpamu. Maukah
"Sebaiknya segera tentukan pilihanmu Nak, Ibu juga tidak ingin kamu terus-menerus sendiri seperti itu, karena penilaian orang lain tentang status janda sangat merugikan posisimu," ujar Ibu ketika aku menelponnya."Iya Bu, aku tahu tapi aku belum menentukan pilihanku, aku belum siap untuk naik ke jenjang berikutnya.""Ada dua pria yang begitu tulus dan menyayangimu, Nduk, kamu tinggal memilihnya," ujar Ibu."Bagaimanapun itu adalah pilihan yang sulit, Bu," gumamku pelan."Raisa menyukai salah satu dari pria itu?" tanya Ibu lagi."Raisa ingin aku kembali kepada Mas Raffiq.""Bagaimana dengan perasaanmu sendiri?""Entahlah... masih bingung," jawab ku sambil menghela nafas pelan."Lalu apa yang terjadi tentang Soraya?""Dia masih ditahan di rumahnya, Bu, polisi belum memiliki cukup bukti untuk bisa menjebloskan dia ke penjaara.""Jelas-jelas dia yang menyerang wira dengan air keras," ujar Ibu sedikit ingin marah."Tapi keluarga dan pengacaranya memiliki pengaruh besar, Bu. Mereka mati-m
"Jangan dipikirkan apa yang dikatakan Mama dia memang seperti itu," bisik Wira kepadaku ketika Mamanya ke kamar mandi."Aku tak mempermasalahkannya," jawabku pelan sambil menyuapinya."Mbak ... aku berterimakasih atas semua perhatianmu, tapi sebaiknya Mbak tidak usah menjengukku lagi." Aku mencoba menelisik maksud dari ucapannya, mengapa dia harus mengatakan hal semacam itu."Apa yang kau katakan, aku tidak mengerti," ujarku."Aku sudah ikhlas melepaskan Mbak Jannah dengan Mas Rafiq." Sorot matanya yang sendu membuatku terenyuh."Jangan melantur seperti ini sebaiknya kamu istirahat saja." Aku membenahi selimut yang menutupi tubuhnya."Aku sungguh-sungguh, Mbak. Aku sadar bahwa cinta tidak bisa dipaksakan. Aku tahu, meski kita berteman tidak serta merta membuat hal itu menjadi cinta untukmu aku menyadari semua itu dan aku menyesali sikap bodohku untuk memaksakan dirimu menikahiku, Mbak," ujarnya sambil tersenyum getir."Tidak masalah aku memahami perasaanmu, aku bisa memaklumi sem
Sejujurnya aku lelah dengan semua ini, dengan takdir berliku liku yang mewarnai hidupku. Andai bisa, aku ingin lari dan mengamankan diri ini dari dunia yang begitu kejam.Baru saja aku dan kedua anakku mengecap ketenangan, dan menikmati hidup kami, kini ujian menghantam silih berganti, membuatku sangat ingin menyerah dari semua ini, andai aku bisa, sejenak lepas dari semua kesulitan yang membelit ini. Sungguh, aku letih.Masih segar dalam ingatan, bagaimana ketika Wira merintih di ranjangnya, sementara keluarganya terus mendesakku agar mau menerima lamaran bankir kaya itu, tiba-tiba Mas Rafiq datang dan berteriak dengan tatapan melotot penuh amarah bahwa dia menolak semua cara mereka menekanku untuk menikahi anggota keluarga mereka."Apakah musibah ini akan kalian gunakan untuk menekan Jannah?""Hei, apa maksudmu! Anakku terluka gara-gara dia, tidak tahu apa yang akan terjadi kepada putraku kedepannya, apakah dia masih seperti semula atau malah cacat," ujar Jeng Zahrina sambil terdu
Aku kembali ke rumah dengan tubuh dan pikiran yang sudah lelah kubuka pintu utama lalu menuju kursi tamu meletakkan tasku lalu membaringkan diri dengan lunglai di sana.Pikiranku melayang pada rentetan kejadian yang begitu mengejutkan hari ini, setelah didesak untuk "mau menerima" mengambil hati Wira, akhirnya Jeng Zahrina mau tenang dan menguatkan hatinya untuk tidak menangis lagi.Besok mereka akan melakukan operasi untuk memperbaiki kulit punggung dan wajah Wira yang rusak akibat siraman air keras. Ah, kembali pikiranku melayang kepada mantan maduku itu, entah di mana dia berada dan apa yang sedang dia lakukan, kemungkinan saat ini dia sedang bersembunyi di suatu tempat atau mungkin juga duduk santai di rumah orang tuanya.Tring ... Ponsel berbunyi.Kuraih benda itu dengan setengah lesu lalu membaca nama siapa yang sedang menelpon, dan ternyata itu adalah Rina."Halo Rin ada kabar terbaru?""Laporan sudah kami selesaikan, besok polisi akan menuju tempat kejadian untuk mengamankan
Sesegera mungkin aku meluncur membawa wira ke rumah sakit bersama kedua asistenku, tak lupa aku hubungi nomor Mama Wira yang memang sudah tersimpan di ponselku karena dia adalah pelanggan tetap toko kami."Halo assalamualaikum Jeng Zahrina," sapaku."Waalaikumsalam ada apa kamu menelpon saya," tanya Nyonya Zahrina dengan nada sedikit tidak suka."Maaf karena aku harus memberitahukan hal penting, tapi mohon tenangkan diri Jeng ya," ujarku."Katakan saja apa yang sedang terjadi?""Tadinya Wira datang ke tokoku dan duduk sebentar lalu pergi, namun tak lama kemudian Soraya datang dan berniat menyiramkan air keras kepadaku, namun tanpa diduga-duga Wira datang lagi dan terkena siraman air keras," tuturku hati-hati."Apa?!""Iya, saat ini aku dalam perjalanan membawanya ke rumah sakit.""Kalo terjadi apa-apa dengan anak saya kamu harus bertanggung jawab." Ucapan Mama Wira membuat pikiranku kacau."Kemana kamu akan membawa anakku!" pekiknya lagi."Ke Rumah Sakit Budi Kusuma Jeng," jawabku.
*Pemuda itu, datang lagi ke toko sore menjelang aku menutup gerai pakaian dan barang milikku itu.Ia melangkah santai lalu menarik kursi yang ada di depan meja kerja dan mendudukkan dirinya sambil tersenyum."Mbak Jannah, belum mau pulang?" tanyanya."Belum, masih sibuk," jawabku."Uhm, aku akan menunggu,", jawabnya."Kau sadar apa yang kau lakukan sekarang?"tanyaku dengan tatapan tajam. "Aku sudah cukup memberimu ruang, Wira.""Apa maksudnya Mbak, Mbak terlihat marah," ucapnya pelan."Aku sudah cukup baik kepadamu dengan tidak bersikap kasar dan frontal, aku harap kau mengerti kalau aku tidak nyaman dengan semua sikap ini.""Aku tidak tahu cara terbaik untuk bisa merebut hatimu Mbak," jawabnya pelan."Kamu tidak perlu bersusah payah karena aku belum membuka hati untuk siapapun Wira," ucapku dengan tetap menatap lekat padanya."Aku tahu kalau tidak denganku, Mbak Jannah pasti akan kembali lagi dengan dokter Rafiq, iya kan?" cecarnya sok tahu.Aku hanya tertawa getir mendengar ucapan
Ting tong ...Pagi pagi bel rumah sudah berdenting dan entah siapa berkunjung di pagi buta seperti ini. Sesaat aku sempat bertanya-tanya sekaligus kesal, denting yang terus menerus mengganggu telingaku."Siapa di luar?" tanyaku."Aku," jawab suara yang familiar kudengar itu."Kamu ngapain pagi-pagi gini, bahkan embun pun belum kering di pucuk daun," ujarku."Biarkan embun, yang penting aku menatapmu di awal hari sudah cukup membuatku seolah memiliki semua kebahagiaan.""Hentikan gombalan recehmu!" teriakku di pengeras suara yang tersambung ke gerbang."Jangan marah pagi-pagi aku datang ke sini membawa sesuatu untuk Raisa dan Rayan,". ujarnya santai."Tidak usah bawakan apapun anak-anakku baik-baik saja," jawabku ketus."Tapi Raisa menyukaiku kok. Buktinya ia senang menerima sepaket boneka LoL yang aku belikan," lanjutnya sambil tertawa kecil, " Raisa Sapa Bunda," suruhnya."Bunda ...." Tiba tiba suara anakku timbul dari depan gerbang sana."Raisa kamu ngapaian di gerbang pagi-pagi, k
"Ini makanan banyak banget siapa yang beli makanan sebanyak ini?""itu dari pemuda tampan yang pagi-pagi sudah datang ke sini dan membawa semobil makanan," jawab asistenku Rina."Apa? Siapa?""Teman Mbak, yang berondong itu lho," jawab Rina setengah berbisik."Ya ampun," desahku."Kenapa Mbak, kan bagus mbak dapat banyak perhatian," jawabnya sambil berkedip aneh."Ish ...mendapat perhatian dari orang yang kita suka itu bagus, tapi kalo gak suka, bikin ilfil kan?""Emangnya mbak sekarang lagi ilfil?" timpal Rudi supirku."Iya, karena aku gak mau didekati pria itu." Aku menghempas diri di sofa sambil melempar pandangan ke tumpukan kotak makanan di meja tamu.Kuhela napas berkali-kali untuk melegakan dadaku, namun kedua pegawaiku itu masih heran dengan sikapku itu. Mereka seperti menunggu adegan berikutnya."Apa lagi? Kenapa pada berdiri?""Makanan sebanyak itu Mbak Jannah bisa habiskan?""Siapa bilang aku akan memakannya?" jawabku sewot."Kasihan yang beli, Mbak," jawab Rina memelas."