Siang ini Mas Ikbal menemuiku di halaman belakang, aku yang sedang menjahit pakaian untuk Raisa merasa heran dengan kedatangannya, kupikir ia belum pulang dari pekerjaannya dari raut wajahnya bisa kutangkap ia ingin mengatakan sesuatu yang penting.
"Boleh aku bicara?" ucap Mas Ikbal padaku."Ada apa Mas?" "Tabunganmu masih ada, kan?" "Ada, tapi kenapa Mas tanya tabunganku?" Hatiku mulai merasa tak nyaman."Mas boleh pinjam dulu, Bund ....""Buat apa, Mas?" Tanyaku yang melihat gesturnya yang sedikit gugup dan gelisah."Uhm ... Mas mau pinjam 15 juta, Bund," jawabnya.Aku terkesiap mendengar jumlah yang ia inginkan, untuk apa dia ingin meminjam uang yang telah kutabung selama beberapa tahun untuk sekolahnya Raisa nanti.Pekerjaannya sabagai staf di sebuah bank swasta membuat kami harus sering berhemat dan mengencangkan ikat pinggang. Memang gajinya tidak bisa kuk❤️❤️.Soraya sedang menikmati sarapannya ketika kutemui dia di dapur untuk menyiapkan makan putriku. Melihatku datang,Ia terlihat sedikit tak nyaman dengan gestur menarik diri dari meja makan."Dengar Soraya, apakah kamu akan segera pindah," tanyaku."Be-belum tahu Mba, tunggu Mas Ikbal," jawabnya lirih."Suamiku meminjam uang untuk mengontrakkan rumah untukmu ... Apa pendapatmu kalo kamu jadi aku, akan kupinjamkan atau tidak?"Dia berfikir sejenak lalu menjawab "Gak tahu mbak."Aku bersedekap sambil menyender di meja marmer dapur."Kau sendiri ... kenapa tidak pakai uangmu saja? Kalian semua sungguh tidak tahu malu, aku baru menemui manusia yang sama sama dua-duanya gak tahu malu," desisku."Maaf Mbak mohon hentikan itu, maaf, tapi uangku habis Mbak, untuk membeli kebutuhan pribadi kemarin." Ia menunduk
Mas Ikbal menghampiriku dengan garang lalu menarik lenganku dengan kasar.Plak!"Apa-apaan, kamu Jannah!"Sebuah tamparan keras mendarat di pipiku, membuatku merasakan sensasi pedih dan panas di bagian wajah pelipis dan ekor mata. Telingaku sampai berdenging saking kerasnya pukulan itu."Mas ...." Kutatap dia dengan air mata berderai sedangkan Soraya mundur dengan wajah ketakutan."Kalian membuatku malu," desisnya."Maaf, Mas, aku gak bermaksud bikin Mbak Jannah marah dan membuat Mas malu," cicit Soraya yang tersudut ke sisi wastafel."Apa ini, Jannah?! Kupikir kalian wanita bermoral yang akan mengangkat derajatku, derajat keluarga kita.""Hahaha," aku tertawa getir mendengar ocehannya, "Kamu bicara tentang mengangkat derajat, sesungguhnya kamu sedang menyabung kami dalam rumah ini," ujarku dengan nada sinis."Kalian istriku! Bukan binatang!" teriaknya."Lantas kenapa
Kupacu mobil membelah jalanan dengan hati yang kalut membawa sejuta luka. Rintik-rintik hujan mengiringi cuaca di sore hari, membawa kesenduan tersendiri di antara jiwa jiwa yang merana.Pukul 15:23 aku telah sampai di rumah Bapak setelah satu jam berkendara dari kota, kuturunkan putriku dari mobil yang tampak masih kelelahan dan sedih karena kejadian siang tadi."Ayo, Nak. Kita udah sampai di rumah kakek," ajakku sambil menggendongnya."Jannah ...." Bi Murni tetangga depan rumah Bapak memanggilku."Bapakmu di bawah ke rumah sakit, tadi dia pingsan di kamar mandi, mungkin sakit jantungnya kambuh.""Apa?""Iya, Nduk.""Ya Allah, kalo begitu saya susul bapak dulu,Bik."Melihatku panik putriku kembali menangis dan ikut panik. Kuraih dia dan kugendong segera. Mengapa Allah memberiku ujian yag bertubi-tubi hari ini, aku ta
"Terima kasih Dok, Anda sudah menyelamatkan Bapak saya," kataku pada Dokter yang kini berdiri di hadapanku sambil menyunggingkan senyum tipis."Tidak masalah, Mbak Jannah, Mbak Jannah jangan sungkan, oh ya, boleh ikut ke ruangan saya," pintanya."Tentu Dok," jawabku yang lantas mengikutinya keluar dari ruangan Bapak menuju ruang dokter."Silakan duduk, Mbak Jannah," katanya sambil mempersilakan aku duduk."Iya Dok, maaf tadi di musahllah saya gak tahu kalo anda dokter." Aku mencoba membuka percakapan."Ah, iya, ga masalah," jawab Dokter Rafiq masih dengan senyum khasnya."Ini saya tuliskan resep untuk Bapaknya, Mbak Jannah, mohon nanti di tebus di apotik ya," katanya sambil menyodorkan kertas.Aku menerimanya dan memperhatikan daftar catatan yang kulihat banyak sekali di kertas kecil itu."Dok ...." Aku sedikit ragu,
Pagi-pagi sekali ponselku berdering dan dengan mengucek mata, aku segera bangkit dan meraihnya dari dalam tas. Malam tadi aku tidur di rumah sakit menjaga Bapak sedangkan Raisa masih di rumah Bi murni, syukurnya Bi murni punya cucu yang umurnya sebaya dengan anakku sehingga Raisa merasa nyaman dan betah di titipkan di sana, peraturan rumah sakit juga melarang membawa balita, membuatku juga mau tak mau menitipkannya.Kulirik layar ponsel dan nama Bi murni tertera di sana."Ya halo, Bi," sapaku."Aduh, Nduk ... Bibik harus bagaimana," ucapnya setengah panik."Kenapa, apa terjadi sesuatu pada anak saya?""Anu, nduk, tadi pagi ayahnya datang dan membawa Raisa, Bibik udah coba tahan dengan banyak alasan, ayahnya bersikeras mau membawa, katanya cuma mau Jajan di Alfamart tapi, kok ya, belum kembali juga, Nduk."Deg.Seketika aliran darahku rasanya tersengat dan tiba tiba emosiku mendidih, kuraih kunci
Melihat warga yang mencibir bahkan terang-terangan menyoraki mereka Mak Ikbal menyadari bahwa kini situasinya sudah tidak kondusif. Ia menarik Soraya dan meninggalkan tempat itu dan menjauh dariku dan kerumunan warga."Aku bakal jenguk Raisa lagi," Ucapnya sebelum pergi.Aku tak menanggapi dengan kata kata, hanya mendelik saja sambil memeluk putriku."Dan ya, kembalikan dokumen rumah.DegJantungku rasanya ingin meledak mendengarnya, dadaku seketika sesak menahan amarah, namun, kutahan karena tak ingin memperpanjang keributan di depan orang banyak.**Hari ini setelah berganti pakaian dan membersihkan diri, aku membawa Raisa meluncur ke rumah sakit untuk melihat keadaan Bapak lagi."Bunda kok kita gak pulang?" tanya putriku."Kita gak pulang lagi, Ayah sudah istri baru
Aku dan Mas Rafiq terkejut atas sikap anehnya yang sedikit absurd, di datang dan berteriak di kantin yang penuh dengan orang orang yang sedang makan siang, membuat aku dan Dokter Rafiq saling pandang."Mas Ikbal ...." Aku membalas tatapannya yang membeliak padaku."Gini ya, kelakuan kamu, kamu lari dari rumah dan malah duduk di sini dengan pria lain," ucapnya ketus."Hei Mas, Mas gak sadar ya, ini rumah sakit. Kira kira saya mau nongkrong-nongkrong aja di rumah sakit tanpa alasan," jawabku."Apa peduliku tentang kegiatanmu, mungkin saja kamu sengaja mengunjungi pria ... yang entah siapa dia ini," sambil menuding Mas Rafiq dengan bengisnya.Dokter bersahaja itu bangkit dari tempat duduknya dan menghampiri Mas Ikbal dengan langkah santai namun tegas. Ia menatap mas Ikbal tajam dan mereka beradu pandang bagai musuh kebuyutan."Anda yang membuat Mbak Jannah lebam
Setelah seminggu di rawat akhirnya kesehatan Bapak semakin membaik, napasnya sudah tidak sesak dan Bapak sudah bisa bangkit dari tempat tidur, selang-selang terpasang di tubuhnya juga sudah tidak terpasang lagi."Terima kasih Dok, atas bantuan dan perawatannya," kata Ibu pada dokter Rafiq ketika terakhir kali menjumpai Bapak sebelum kami membawanya kembali."Oh ya, Mbak Jannah, kapan Mbak Jannah mulai siap masuk kerja?" tanyanya."Besok, insyallah, Dok.""Baik jika begitu, saya pamit dulu," ucapnya sambil menyalami kedua orang tuaku.*Kubaringkan Bapak perlahan di pembaringan yang menghadap jendela agar Bapak bisa leluasa menatap ke pekarangan rumah untuk menikmati udara dan rindangnya pepohonan dari dalam rumah."Jannah, Nduk, kamu gak kembali ke tempat suamimu, kamu sudah lama lho merawat Bapak," kata Bapak dengan lembut.Ingin kuberitahu beliau yang sebenarnya bahwa rumah tanggaku diterpa prahara d