Hari mulai terang dengan bayang mentari di ufuk timur, kicau burung bernyanyi riang di antara udara sejuk yang menyegarkan. Perlahan sinar membias dari balik kaca dan menembus kain tirai yang menutupi jendela.
Dulu, jika adzan pagi berkumandang aku akan segera bangun menunaikan ibadah lalu menyiapkan sarapan keluarga kecilku. Setelah beres dari dapur aku akan kembali ke kamar membangunkan suami dengan menempelkan tangan dingin bekas memegang air di matanya, ia akan menggeliat dan terbangun, terkadang Mas Ikbal merangkul tubuhku hingga aku terbenam dalam pelukannya atau dia akan merayuku hingga kami memadu cinta seperti keinginannya. Itu indah sekali, dan sebagai seorang istri memang aku tak pernah menolak untuk membahagiakannya.Namun kini, kenyataan pahit di hadapanku, kuhela napas kasar lalu bangkit menuikan shalat dan beralih ke dapur menyiapkan sarapan. Seusai sarapan kubenahi rumah dan kugiling cucian di mesin cuci.Entah mengapa setelah shalat tadi dan sejak merasakan sakit dari kemarin, pagi ini aku merasa memiliki energi berlebih untuk melakukan banyak hal, mungkin aku bisa menyalurkan emosi marah dan kecewaku dengan membersihkan rumah atau mencuci karpet.Kulap seluruh perabotan rumah, lalu menyapu dan mengepel. Ketika melewati kamar tamu aku agak ragu dan kembali sakit menusuk hati, namun segera kutepis karena aku sudah terlalu banya mengeluarkan air mata, aku lelah.Jika aku terus menerus menangis, aku akan depresi dan kacau, putriku ikut sedih dan tertekan lalu kami akan gila bersama sedang suamiku dan istri barunya mereka 'enjoy' saja. Mungkin begitu ya, kebanyakan laki-laki bebas berbuat apa saja, dan dari sini aku mengerti bahwa wacana tentang cinta sejati, hidup berdua selamanya, serta kesetiaan abadi hanya omong kosong belaka.Setidaknya aku menyadari itu, sejak kejadian kemarin, yang tersisa saat ini padaku hanya rasa benci dan asing saja untuk ayah dari putriku."Bunda ...." Putriku memanggil."Iya, Nak." Kujawab panggilannya sambil merangkulnya kemudian mengajaknya mandi."Bunda, Tante yang sekarang di rumah kita itu siapa?" tanyanya polos, jujur aku tak tahu harus menjawab apa."Ehm, dia ... ehm, segeralah mandi Raisa, nanti sarapan bareng Bunda pake nasi goreng." Aku mengalihkannya."Ayah kemana?" Lanjutnya."Ayah ... Ayah lagi sama ....""Tante itu ya, kenapa, Bund?" Potongnya lalu kembali bertanya."Sudahlah Nak, ayo kita mandi aja," jawabku sambil menuntunnya ke kamar mandi.Pukul 07:32 Pintu kamar tamu terbuka dan Soraya keluar dari sana dengan membawa handuk dan alat mandinya. Karena arah kamar mandi dan dapur yang searah membuatnya mau tak mau harus berpapasan denganku yang sedang menyuapi Raisa di meja makan.Ketika manik matanya bersitatap dengan pandanganku ada raut ragu serta sedikit malu ia siratkan melalui tundukan wajahnya."Assalamualaikum, Mbak, selamat pagi. Saya mau ke kamar mandi ya," katanya dengan hati-hati.Aku tak menjawabnya sedikitpun, aku hanya sibuk menyuapi putriku."Permisi ya, Mbak, saya izin pake."Ia berlalu ke kamar mandi dan tak lama berselang suamiku juga ikut keluar dari kamar tamu dan menemuiku di dapur."Selamat pagi Bunda, duh Raisa, anak Ayah udah sarapan aja," sapanya. Namun sama seperti responku pada Soraya responku padanya juga sama dinginnya.Mungkin dia sedikit tertegun jika aku telah terlihat biasa-biasa saja pagi ini, ia tidak tahu bahwa luka dalam hati ini sudah bernanah dan sulit disembuhkan lagi.Tunggu dulu, Tapi ... bukankah ini rumahku? Artinya aku punya hak, jika dia menduakanku, maka posisiku adalah istri pertama yang harus dihormati dan didengarkan."Akan kutunjukkan pada mereka, balasan dari menyakiti Jannah." Jiwaku bersenandika.Sepuluh menit berselang soraya keluar dari kamar mandi dengan rambut basah dan handuk yang ia sampirkan di bahunya, ketika hendak keluar ia berpapasan di pintu dengan Mas Ikbal sehingga terjadi kecanggungan beberapaa saat karena mereka saling menghalangi, suamiku meminta maaf dan wanita itu tersipu dengan senyum yang dikulumnya.Pagi-pagi mereka sudah bahagia dan aku nelangsa, pagi pagi wanita itu berambut basah sedangkan aku menyaksikan kedua pasangan pengantin itu dengan mata yang basah, Subhanallah, keren sekali peristiwa dalam rumah ini.Dan ya, wanita itu, berani sekali ia melepas jilbabnya meski rumah ini rumah suaminya dan aku adalah seorang wanita, setidaknya ia menjaga sikap santun dan menghargainya. Dengan demikian, semakin bertambahlah rasa benci dalam jiwaku.Aku telah selesai menyuapi putriku, sambil membereskan piring, tiba tiba wanita itu kembali dan kali ini ia sudah terlihat cantik dengan kerudung merah dan baju coklat."Mbak ... saya ingin bikin teh untuk Mas Ikbal," ucapnya pelan."Silakan, semuanya sudah tersedia di depan matamu tinggal kau seduh saja!" aku ketus sambil mengelap wastafel dapur."Ba-baik, Mbak." Ia mula meraih panci kecil yang aku gantung."Bukan panci itu, pake panci yang ada gagangnya di sebelah sana!" kataku sambil menunjuk rak kecil. Ia mengangguk dan segera meraih panci itu."Oh ya, sejak kapan suamiku minum teh, setahuku ia tak suka teh?" Sengaja kutekankan kata 'Ku' padanya."Oh, kalo begitu dia minum apa, Mbak?""Wastafel harus selalu kering, kompor dilap sehabis dipakai, sendok bekas adukan minuman langsung diletakkan di ceruk pencuci, lalu dibersihkan, sehabis makan piring langsung dicuci, dan lagi, menu suamiku hanya aku yang menentukan jumlah kalori harian yang dia asup."Ia menunduk sambil menggenggam kuat panci yang dia pegang."Bunda, apakah dia adalah pembantu sekarang?""Iya, dia membantu bunda mengurus ayah!" Kutegaskan kalimat itu lalu berlalu dari hadapannya.Kuajak putriku ke kamar untuk menguncir rambutnya dan Mas Ikbal menyusul ke kamar tiba-tiba."Aku dengar keributan, ada apa?"Aku beku, telingaku tuli untuk mendengar ucapannya, bibirku juga kelu untuk menjawab karena saat ini sesungguhnya aku ingin menjerit jerit dan mengamuk saja."Bunda, kumohon jangan kehilangan kelembutanmu, kuperhatikan kamu menjadi kasar dan sombong. Aku seolah tak mengenalmu.""Oh ya, itu belum seberapa," jawabku, "Dan lagi, sejak kapan kita benar-benar telah saling mengenal, apa harapanmu, dan apa impianku?"Ia terdiam tak menanggapi sepatah kata pun."Kenapa kamu tidak menjawab, apakah kamu kini kehilangan rasa bijak dan wibawa karena poligami?""Bunda ....""Tegaskan pada Soraya bahwa aku tidak akan tahan terhadap sesuatu yang berantakan dan kotor. Juga, jangan mengacaukan dapurku, karena itu area paling penting bagiku dalam rumah ini," tegasku."Bagaimana kalo dia ingin masak?""Entahlah!" Aku mengendikkan bahu, "Mungkin Mas bisa buatkan dapur lain atau bahkan rumah baru, kebetulan aku juga tak sudi dia bersama lku," jawabku."Jannah!""Jangan berteriak padaku! Tak cukup kau memberiku luka?!"Saat mataku mulai mengembun wanita itu datang dan melihat kami dengan aksen lugunya. Entah benar benar lugu atau sandiwara saja."Mas Ikbal, mbak Jannah, saya mohon ...."."Kau ingin menengahiku?" kataku sambil menghampirinya dan menarik lengannya dan menunjukkan pada jejeran pigura photo bahagia kami, "Seandainya kamu tak datang ke rumahku, tentu tak akan ada keributan sepagi ini, dan aku masih bahagia!"Kuseret dia dan kutunjukkan semua gambar-gambar kami dan betapa kini semua keceriaan kami kini pudar oleh kedatangannya."Kau lihat itu, kau lihat semua photo-photo kami berbahagia dan kini kau hadir di sela-sela kebahagiaan itu, kau berpikir tidak," kataku padanya.Raut wajahnya terlihat takut dan ia menatap Mas Ikbal dengan matanya mengembun, berharap jika suaminya akan menolongnya."Jannah, kumohon, ada apa denganmu? Ini masih pagi?" Sela Mas Ikbal."Yang Ada apa, adalah dengan kalian? Kenapa kalian harus mengumbar bulan madu kalian di rumah ini, masih banyak tempat lain kan? Di hotel, atau bahkan belikan saja dia rumah baru, kenapa harus di rumahku!" teriakku."Jannah! Ini rumah kita semua!""Oh ya, berarti kini tidak ada ruang lagi untuk diriku karena semuanya harus dibagi?! Betul begitu?" Aku menatapnya nanar dan kedua manusia di hadapanku ini terdiam.
Mas Ikbal terlihat keluar dari pintu utama dengan setelan kemeja warna biru dasi hitam dan celana yang pas di badan dan membentuk tubuh atletisnya.Ia lalu mendekat pada Raisa mencium keningnya dan berpamitan padaku yang sedang berada di gazebo depan menikmati kolam ikan dan suara gemericik air mancur bersama Raisa."Mas berangkat dulu," ucapnya.Aku tak menggapinya dengan tindakan atau ucapan, tetap sibuk bersikap dingin sambil memberi makan ikan seolah tidak mendengar apapun."Jannah demi diriku, kumohon untuk tidak bertengkar lagi."Kuangkat pandanganku lalu kutatap ia dengan seksama menelisik semua hak yang ingin kutebak dari ucapan dan roman wajahnya."Aku akan tetap di sini hingga kau pulang agar kau bisa memastikan bahwa aku tidak bertemu atau bicara pada istri barumu, Mas.""Astagfirullah Jannah, bukan itu maksudku, aku hanya ....""Sudahlah, Mas mau berangka
Mas Ikbal terlihat keluar dari pintu utama dengan setelan kemeja warna biru dasi hitam dan celana yang pas di badan dan membentuk tubuh atletisnya.Ia lalu mendekat pada Raisa mencium keningnya dan berpamitan padaku yang sedang berada di gazebo depan menikmati kolam ikan dan suara gemericik air mancur bersama Raisa."Mas berangkat dulu," ucapnya.Aku tak menggapinya dengan tindakan atau ucapan, tetap sibuk bersikap dingin sambil memberi makan ikan seolah tidak mendengar apapun."Jannah demi diriku, kumohon untuk tidak bertengkar lagi."Kuangkat pandanganku lalu kutatap ia dengan seksama menelisik semua hak yang ingin kutebak dari ucapan dan roman wajahnya."Aku akan tetap di sini hingga kau pulang agar kau bisa memastikan bahwa aku tidak bertemu atau bicara pada istri barumu, Mas.""Astagfirullah Jannah, bukan itu maksudku, aku hanya ....""Sudahlah, Mas mau berangka
Makanan sudah siap dan mengepulkan aroma yang begitu menggugah selera, di meja makan semuanya sudah tertata rapi, ada masakanku dengan cita rasa oriental dan masakan Soraya.Kuminta Raisa untuk memanggil ayahnya untuk makan, aku telah menunggu di meja."Ayo makan, Yah," terdengar Raisa menggandeng tangan ayahnya dan Mas Ikbal mengikutinya dengan senyuman"Banyak sekali ini makanannya," ucap Mas Ikbal."Ya, 'kan, ada dua tukang masak di rumah ini," balasku sambil menyendokkan nasi ke piringnya."Soraya mana, kenapa enggak dipanggil."Gubrak!Kulepas alat makan di meja makan dengan kasar, Mas ikbal terkesiap kemudian menatapku lama."Ada apa?""Aku tak pernah tak menghargai dan menghormatimu, Mas. Namun kau ingin mengumpulkanku dengan wanita itu satu meja, yang benar aja, Mas? Bahkan jika pun wanita i
Bismillah.Jangan lupa tinggalkan votenya yang sayangku ❤️❤️❤️**Kurebahkan diri di pembaringan sunyi di mana dulu ada begitu banyak kehangatan cinta dan kasih sayang. Kupeluk diriku sendiri, meringkuk dalam dingin dan kesendirian, air mata ini meleleh lagi, mengingat betapa malangnya diri ini, aku sendiri di kamar ini an suamiku bersama istrinya di kamar tamu."Tuhan, sampai kapan ujian ini," gumamku sambil menyeka air mata.Kutarik selimut perlahan dan kubenamkan diriku di dalamnya, ada aroma suamiku yang tertinggal di bed cover ini sehingga kerinduan ini kian bertambah. Aku semakin terisak membayangkan suamiku memberi perlakuan romantis yang sama pada wanita lain, sungguh aku cemburu dan tidak terima.Tapi apa dayaku, Soraya istrinya, secara agama dia sah istrinya.Ada beragam pikiran yang saling bertentangan dalam otakku, beragam ide gila ya
Kutinggalkan mereka dan berlari ke dapur, saat sampai di sana, mataku kembali terbelalak melihat dapur kesayanganku yang sudah sangat berantakan dan kotor. Meja makan penuh piring kotor bekas mereka sarapan subuh tadi, sebagian makanan tumpah tanpa di tutup dan mengundang lalat.Lantai dapur ditumpahi susu dan lengket di kakiku, entah siapa yang menumpahkannya, mengapa ia tak berinisiatif mengelapnya, lalu pintu kulkas tidak ditutup rapat, kuraba piranti di dalamnya sudah tidak dingin, mungkin sejak semalam kulkas ini dibiarkan seperti ini sehingga makanan mulai layu dan berbau.Lemari-lemari dapur terbuka begitu saja dan tidak ditutup kembali ketika mengambil piring, sedang ceruk wastafel di penuhi panci kotor hitam penuh celomok, komporku seperti kompor yang dimuntahi dan dibiarkan begitu saja sampai kering bekas makanan makanan yang meluber ke permukaan stainlessnya."Astagfirullah, sabarkanlah aku dengan emosi yang semakin memuncak ...." Aku berg
Siang hari ...Siang ini suamiku memutuskan tidak masuk kantor, ia menjaga Raisa dan juga membantu Soraya membereskan sisa kekacauan rumah, sedangan aku jatuh tak berdaya di pembaringan kamarku.Beberapa kali kudengar suamiku meminta pengertian pada Soraya agar dia menurut dan disiplin pada peraturan rumah ini, Mas ikbal juga memintanya untuk selalu menjaga kebersihan agar aku tak lagi marah."Hmm ... apakah tentang kebersihan saja wanita itu harus di briefing? Subhanallah."Berkali kali aku hanya mampu mengelus dada kesal."Bunda ...." Suamiku mengintipkan kepalanya dari balik pintu dan tersenyum manis sekali."Apa?" Jawabku lirih."Aku bikinin kamu bubur kesukaanmu, ya," tawarnya."Gak usah Mas," tolakku.Ia menghampiri dan membelai wajahku dengan perlahan. "Lihatlah pipimu s
Lantunan adzan mengalun merdu membangunkanku, kusibak selimut yang menutupi tubuh lalu segera beranjak ke kamar mandi. Kutunaikan shalat dan menyempatkan membaca surah-surah Al-Qur'an hingga pagi beranjak terang.Ketika kurapikan sejadah kudengar suara orang tengah menggoreng sesuatu sambil membersihkan dapur jadi segera kuraih jilbab dan memakainya lalu menyusul ke dapur. Sampai di sana aku nyaris syok bukan main, dapurku mengepulkan asap yang luar biasa pekatnya serta Baugosong yang menguar ke seluruh ruangan."Apa ini?" kataku setengah menjerit.Sambil menghampiri kompor yang masih mengebulkan asap bahkan isinya juga mengobarkan api. Segera kumatikan dan kupindahkan wajannya Ke wastafel."Apa yang kau lakukan ?""Aku lagi goreng telur,Mbak," jawabnya lirih"Goreng telur gosong?!""Maaf mbak, aku tadi kelamaan," bisiknya."Kamu gak bisa masak? Bukannya kemarin kamu siapkan makan malam?"