Gadis itu muncul dari balik pintu, mengenakan kerudung hitam dengan wajah menunduk dan kedua tangan saling bertautan, gaya khas dia, langkah kakinya pelan dan terlihat ragu.
Bapak dan Ibu saling berpandangan dalam heran.
"Silakan duduk, Nduk namamu siapa?" tanya Ibu pada wanita beradu pandang denganku.
"Makasih Bu," jawabnya sambil mengambil tempat.
"Mau apa kamu kemari?" tanyaku padanya dengan tatapan tajam.
"Nduk ...." Bapak menggeleng pelan memberi isyarat agar aku tidak bersikap demikian.
"Nama saya Soraya, Pak, Bu." Ia mengenalkan dirinya.
"Iya, terus keperluannya apa, Nduk?" lanjut Ibu.
"Aku ingin bicara dari hati ke hati dengan Bapak, dan Ibu, serta Mbak Jannah."
"Kenapa?"
"Tentang saya, Mbak Jannah, dan Mas Ikbal."
"Oalah, jadi kamu istri barunya I
Bias-bias mentari masih menyisakan rona keemasan yang menembus kaca mobil dan menimpa wajahku ketika kususuri jalanan kota menuju kantor polisi di mana mas Ikbal ditahan.Sebenarnya agak ragu kutemui namun mempertimbangkan kata-kata Bapak dan karena dia adalah ayah dari anakku, maka meski aku berkemudi dengan setengah hati aku terpaksa turun tangan untuk membereskan masalahnya.Sesampainya di sana, kulihat suamiku sedang duduk di kursi tunggu ia terlihat agak baik dengan senyum terkembang di bibir saat berbincang dengan salah satu anggota polisi di depannya, agak aneh aku melihatnya di sana, karena biasanya orang yang ditahan seharusnya berada dalam sel khusus.Kudorong pintu kaca dan memasuki lobi kantor, melihatku masuk Mas Ikbal langsung berdiri dan menyonsongku ke pintu."Jannah, istriku ...." Ia merangkul ku sesaat lalu melepasnya."Bu Jannah, ya. Ini Bu, suami
Bias mentari yang menembus celah dedaunan mejatuhkan cahaya tepat di atas hijabku, sebagian sinarnya menyilaukan mata dan membuatku tersadar dari lamunan. Aku yang sedari tadi terpaku di parkiran tersentak sendiri.Sejak pulang bekerja, aku hanya menerawang memikirkan apa yang akan kulakukan, setengah bimbang memutuskan untuk mengakhiri saja rumah tangga penuh prahara ini aku lebih sering menghabiskan waktu untuk merenung sendiri.Benarkah jalan ini bukan jalan yang salah? Apakah semua orang bisa bahagia jika kami berpisah, bagaimana dengan Raisa nanti, apakah dia tidak akan terguncang menyadari kenyataan bahwa orang tuanya tidak akan serumah lagi?Kumasukkan kunci mobil dan mulai menyalakan mesinnya, meluncur menuju rumah Bapak di mana aku telah memutuskan untuk kembali dan menetap bersama mereka.Tiba tiba pikiranku menuju ke rumahku yang dulu, sehingga tanpa aba-aba seketika saja kuputar kemudi be
"Bunda kapan kita tidur bareng ayah lagi,' tanya raisa ketika aku menidurkannya di peraduan, 'Kok kita tidurnya di rumah kakek terus,kapan kita pulang ke rumah kita sendiri, Bun?"Aku agak sedih mendengar pertanyaanya, namun kupeluk dia sambil kuusap rambutnya perlahan, "Mungkin mulai sekarang Bunda sama Raisa aja yang tinggal bersama."Ia menatap wajahku wajahku lekat, "Emangnya ayah kemana Bun?""Ayah dan bunda tidak akan bersama lagi, Nak.""Kenapa?" Raut wajahnya mulai meredup."Karena ayah dan bunda, kita ...."Aku menahan napas untuk memilih kata kata yang tepat untuk memberitahu putriku bahwa aku ayahnya tidak akan bersama lagi."Bunda dan ayah kenapa?" Desaknya."Bunda dan ayah akan berpisah."Mimik wajah anakku seketika berubah sedih dan bola matanya mengembun."Kenapa ayah sama Bu
Putriku terus merengek untuk meminta bertemu dengan ayahnya, ia tak mau makan atau minum sedikit pun sehingga aku resah memikirkan hal ini, Raisa terlihat semakin lemah terkulai di pembaringan."Raisa, kamu minum obat dulu, Nak. Kalo udah agak mendingan kita pergi jenguk ayah, ya," bujukku sambil menyodorkan sendok sirup."Gak mau, Bunda, Raisa mau ayah, pokoknya mau ayah," rengeknya lalu tersedu-sedu membenamkan wajahnya di bantal."Yo wes, bawa aja Nduk, kasihan anakmu," ucap Ibu."Tapi Bu, aku ....""Tahan dulu, ego dan sakit hatimu, anakmu membutuhkan ayahnya, dia harus sembuh dulu, baru kamu memikirkan dendam dan sakit hati," suruh Ibu."Iya, baiklah." Aku mengalah pada keinginan Ibu.**Kususuri koridor rumah sakit tempat Mas Ikbal di rawat dengan hati bimbang, kuseret langkah sambil kulirik tiap ruangan meminda
Seminggu setelahnya,Kunikmati tiupan angin dan riak ombak di lautan sana dari sisi dermaga, iringan awan yang berarak menghiasi cakrawala langit sore serta burung-burung yang berkejaran.Semua pembandangan itu membuatku iri atas mereka, bebas tanpa beban, tak perlu memikirkan peliknya hidup dan masa depan. Menjalani apa yang ada dengan riang dan harapan.Aku tersenyum getir, sambil meremas besi besi pagar dermaga yang pembatas antara darat dan lautan lepas. Begitu banyak kenangan yang membayangi perjalanan hidup kami di tempat ini, saat berkenalan dengan Mas Ikbal, saat-saat baru menikah sering kali kami datang untuk mencari udara malam atau suasana senja yang penuh romansa.Aku akan berdiri di sini menatap jauh ke lautan sana sedang dia akan memelukku menghangatkan tubuh ini."Mas Ikbal, sudah begitu jauh jarak membentang antara kita." Aku bersenandika dalam sendu. 
"Jannah, ini suplemen vitamin yang baik untuk kesehatanmu."Tiba-tiba dokter tampan itu datang di jam istirahat dan meletakkan sebuah kotak vitamin di hadapanku. Aku mendongak menatapnya, dan dia selalu membalas tatapanku dengan senyuman teduh."Aduh, Mas jadi merepotkan ... tapi, terima kasih," ucapku pelan.Sementara itu, teman-teman kerja yang duduk tak jauh dariku saling mencolek dan tersenyum-senyum melihat Dokter Rafiq memberiku perhatian."Jannah, gimana kabar orang tuamu?" tanyanya lagi."Ba-baik, tapi kenapa bertanya, Dok?"Ia tertawa kecil, lalu berkata, "Memangnya aneh untuk sekedar bertanya?"Melihat sorot manik matanya yang berkharisma membuatku semakin gugup dan salah tingkah."A-anu, Dok ... merasa aneh saja," jawabku singkat."Lho, antara pasien dan dokter sudah biasa saling memperhatikan dan berkomunikasi, tidak ada yang disebut berlebihan.""Tapi aku
Sepanjang perjalanan dari rumah Mas Ikbal tak mampu kubendung air mata di pipi, terus terbayang di pelupuk mata bagaimana rumah impianku dulu kini beralih menjadi istana wanita lain, dekorasi, perabot dan aksesorisnya semuanya diubah.Aku gak habis pikir juga entah uang dari mana suamiku membeli dan mengikuti keinginan Soraya, mungkin ayahnya yang pemilik sebuah lembaga pendidikan berbasis agama yang memberinya begitu banyak dana.Mas Ikbal, kueja namanya, kusayangkan sekali sikapnya yang tidak keberatan sedikit pun jika barang-barangku dikeluarkan dari kamar utama, seolah ada pembiaran seakan-akan aku tidak akan kembali ke rumah itu.Padahal aku belum resmi bercerai darinya.Ah, jiwaku sesak, dan luka itu ikembali menganga, andai saja tadi aku tak perlu ke sana, dan terpaksa menyaksikan semua hal menyakitkan itu.Tring ...Ponselku berdering dan nama Ibu terpampang di sana."Assalamualaikum, Bu," sapaku."Walaikum salam, ada apa Bu," tanyaku."Ini Nduk, anakmu tanya kamu ada di ma
Bismillahirrahmanirrahim. ❤️**Panggilan sidang kupenuhi dengan hati berdebar-debar tak menentu, entah mengapa aku merasa gugup menghadapi hari ini. Mungkin karena ini pengalaman pertama dan jujur aku cemas akan agendanya, aku khawatir sikap.Mas Ikbal di pertemuan mediasi membuat pengakuanku malah ditolak oleh pengadilan."Bunda, Bunda mau kemana," tanya Raisa yang melihatku telah berdandan rapi."Ada sedikit urusan, Nak.""Raisa mau ikut," pintanya."Gak usah Sayang, Bunda cuma sebentar kok, nanti bunda bawain es krim kesukaan Raisa.""Bunda janji ya," ucapnya senang."Iya, Sayang." Kupeluk dan kukecup keningnya.***"Jadi anda tidak ingin bersama lagi Bu,"tanya salah satu petugas pengadilan yang mengawal agenda mediasi kami.Aku yang duduk berhadapan dengan Mas Ikbal serta empat orang petugas pengadilan hanya meliriknya sekilas lalu berkata,"Saya sudah tidak mau kembali atau bersama lagi, Pak." Aku menggeleng pelan."Tapi saya belum bersedia, Pak," potong Mas Ikbal."Kenapa?" tany